Satu Hal Yang Dibenci Rain ~~

1345 Kata
Suara gemuruh tepuk tangan, tanda rapat evaluasi tahunan PT. Loom. Inc berakhir, mulai terdengar riuh. Seluruh karyawan yang hadir dalam ruang itu terlihat berdiri, kemudian memberi hormat, kala sang Direktur Utama–Gilang Antares–berjalan meninggalkan tempat tersebut, diikuti oleh para Direktur masing-masing bagian dalam perusahaan. Begitu juga dengan Rain. Lelaki tampan, mengenakan setelan jas light grey, berpadu kemeja putih, dengan dasi berwarna selaras, juga ikut berjalan di belakang pemimpin dari para pemimpin tersebut. Dan, tepat saat mereka tiba di depan pintu lift khusus yang sudah terbuka, seluruh jajaran Direktur menghentikan langkah kaki mereka, kemudian membungkuk, sebagai tanda hormat pada sang atasan. Tetapi, tidak bagi Rain. Dengan santainya, lelaki itu justru ikut berjalan masuk ke dalam lift, berdiri di samping Gilang, sembari melepas kancing jas yang dikenakannya, tepat setelah pintu elevator tertutup. “Rain, gue udah minta Pak Huda buat jemput Embun dan pengasuhnya. Selama lo di Papua, biar Embun tinggal sama Mama-Papa, bareng Letisha,” ujar Gilang, sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan yang dikenakannya. Rain yang sedang berdiri, bersandar pada dinding elevator, menganggukkan kepala. “Gue juga udah telepon Mama, sekalian izin pergi, dan titip Embun untuk beberapa hari ke depan.” “Lo pergi sama siapa?” tanya Gilang. “Sama salah satu karyawan divisi personalia,” jawab Rain, santai. “Siapa?” “Shaki.” Setelah mendengar jawaban dari sang Adik, Gilang pun segera merogoh ponsel dari dalam saku jas, untuk menghubungi seseorang. Cukup lama pria itu terdiam, hingga bersamaan dengan pintu lift terbuka, panggilan yang sedari tadi menghubungkan pun mulai tersambung. “Pak Nadifh, tolong booking kamar suite dengan connecting room di kota Sorong, Papua, atas nama Rain Antares. Cek in …,” pria tampan, berusia tiga puluh delapan tahun itu melihat pada jam mewah yang melingkar pada pergelangan tangannya, lalu terdiam sesaat, seperti sedang menghitung sesuatu. “… besok, sekitar pukul tujuh atau delapan pagi,” lanjut Gilang sembari melangkahkan kakinya ke luar dari dalam lift, diikuti Rain dari belakang. Entah jawaban apa yang diberikan sekretaris pribadi Gilang di seberang telepon, karena pria tampan itu hanya menjawabnya dengan gumaman singkat, lalu memutuskan panggilan. “Ngapain, sih, lo, pesen connecting room segala? Kamar terpisah biasa juga udah cukup.” Akhirnya, Rain yang sejak tadi bersikap santai dan diam, mengutarakan protesnya. “Kalau lo pergi sama karyawan laki-laki, sih, gue pesen kamar terpisah. Lah, ini, lo pergi sama karyawan perempuan. Jelas beda,” jawab Gilang. “Mau perempuan, mau laki-laki, bagi gue sama aja. Karyawan!” tegas Rain lagi. GIlang menggeleng. “Dia perempuan. Lo sebagai lelaki harus menjaga dia. Jangan karena dia hanya seorang karyawan, lo tega biarin gitu aja kalau ada sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi sama dia. Lagian, dia salah satu karyawan lo. Gak salah, dong, lo bersikap baik, dan melindungi karyawan lo sendiri,” sahut Gilang memberi penjelasan. Pria bertubuh kekar itu paham betul, bagaimana sikap sang Adik jika berhadapan dengan seorang wanita. Rain yang dahulu seorang pria hangat, ramah, dan lembut, berubah seratus delapan puluh derajat sejak kematian istri tercintanya. Selama rentang waktu dua tahun ini, entah sudah kali keberapa, sang Ibu mengatur pertemuan antara Rain dengan putri beberapa kerabat dekat keluarga Antares. Dan, semua hasil dari pertemuan itu, berakhir sama. Yaitu, penolakan secara sepihak. Bahkan tak jarang, orang tua dari teman kencan buta Rain, melontarkan protes yang cukup pedas pada Hanezka–Ibu kandung Rain dan Gilang–satu jam, setelah kencan selesai. Seperti beberapa hari yang lalu. “Memang, kalau dia perempuan, kenapa? Dia udah dewasa. Dia pasti bisa jaga dirinya sendiri. Ngapain juga gue harus ikut sibuk jagain orang lain?” tanya Rain, acuh tak acuh. “Setidaknya, lo harus jagain dia. Kalau lo ngerasa gak nyaman menjaga dia sebagai perempuan, lo bisa jaga dia sebagai karyawan, anak buah lo yang bekerja di divisi personalia.” Gilang menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik, menghadap pada sang Adik yang juga menghentikan langkah kakinya. “Bersikap hangat pada perempuan gak ada salahnya, kok. Jangan bersikap terlalu dingin, dan tidak peduli. Udah cukup, lo berlari di tempat yang sama selama dua tahun. Sekarang, saatnya lo melangkah ke luar, dan meninggalkan lingkaran hitam yang lo buat selama ini,” lanjut Gilang, seraya memegang kedua bahu Rain, dan mengusapnya dengan lembut. Lagi-lagi dengan santainya, Rain meraih kedua tangan sang Kakak, untuk menyingkirkannya dari pundak Rain, kemudian tersenyum. “Gue merasa nyaman dengan cara ini. Dan Gue, udah bahagia, walau hanya berdua dengan Embun. Jadi, tolong bujuk Mama, agar berhenti melakukan hal-hal yang tidak fundamental. Oke?” “Rain! Lo jangan bersikap kekanakan. Lo jangan terlalu egois. Lo juga harus pikirin Embun. Anak lo. Dia masih kecil. Dia butuh figure seorang ibu dalam tumbuh kembangnya!” “Gue, adalah seorang Ayah, dan sekaligus seorang Ibu untuk Embun. Jadi, gue mohon, berhenti menjodoh-jodohkan gue. Gue bisa bahagiain Embun, dengan cara gue sendiri. Gue juga bisa menjamin kehidupan Embun. Dan gue yakin, Embun gak butuh sosok lain, untuk mengganti Ibunya!” balas Rain, penuh penekanan. “Membuka hati untuk perempuan lain, bukan berarti mengganti Nadira dalam hidup lo, dan Embun. Nadira, tetaplah seorang ibu untuk Embun. Dan Nadira, tetaplah seorang istri pertama bagi lo. Ayo, Rain, buka jalan pikiran lo.” Lagi-lagi, Gilang menyahuti dengan kalimat nasihat. “Lo gak akan tahu, gimana perasaan gue! Karena posisinya, lo belum pernah ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh orang yang sangat lo sayangi!” Malas beradu argument dengan sang Adik, Gilang pun memilih pergi meninggalkan tempat itu sendirian, untuk kembali ke ruangannya. Sedangkan Rain, menghembuskan napas panjangnya dengan kasar, sebagai bentuk luapan kekesalan. Benci. Rain paling benci pembahasan seperti ini. Sejak kematian Nadira, dua tahun lalu, hal yang paling dihindari oleh pria itu hanya satu, yaitu seorang perempuan asing, yang hendak mendekatinya. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Nadira dalam hidup Rain, maupun Embun. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menjadi paling istimewa dalam hati Rain, selain almarhum mantan istrinya. Tidak akan pernah! *** Setelah rapat evaluasi selesai, tanpa menunggu rekan kerjanya yang lain, Shaki segera berlarian, memeluk map berisi berkas-berkas, hendak kembali ke ruangannya untuk bersiap. Gadis itu bahkan tidak menghiraukan seruan teman-teman satu divisinya. Dan justru, sekarang gadis itu hanya terfokus pada panggilan yang baru saja tersambung pada ponselnya. “Iya, Pak?” Sapanya, namun lebih terdengar seperti pertanyaan. “Saya beri waktu sepuluh menit untuk bersiap, dan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Setelah selesai, segera pergi ke pelataran parkir basement lantai AB! Saya tunggu kamu di mobil!” “Pak, saya minta waktu lima belas menit, iya? Saya harus memindahkan beberapa file ke flashdisk untuk dijadikan bahan pertimbangan di sana,” pinta Shaki, tanpa menghentikan langkah kaki kecilnya yang semakin cepat, menyusuri lorong. “Sepuluh menit! Dan, tidak ada tawar menawar lagi. Paham?” Lelaki itu semakin menegaskan perkataannya. “Pak, Saya belum mempersiapkan apapun. Lima belas menit, iya, Pak?” Tanpa menyerah, Shaki masih melakukan penawaran waktu dengan sang Direktur. “Sepuluh menit! Saya tunggu!” ucapnya lagi, dan di detik berikutnya, panggilan pun terputus. Setibanya di ruang kantor divisi personalia, Shaki yang terlihat sangat kesal, segera berlari kecil menuju kubikel, untuk menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan. Ia sambungkan diska lepas miliknya pada port USB CPU, menyalin data-data penting ke dalam benda mungil tersebut. Sambil menunggu penyalinan selesai, Shaki pun mengambil beberapa hardcopy dari dalam Ordner Bindex di lemarinya, kemudian menumpuk berkas tersebut di atas meja. Hanya berselang beberapa menit, ponsel yang ia taruh di atas meja kembali bergetar. Gadis itu segera meraih ponsel tersebut, ketika nama kontak Direkturnya terpampang pada layar gawai. “Iya, Pak?” tanya Shaki, tepat saat panggilan mulai tersambung. “Waktu kamu empat menit lagi! Segera selesaikan semuanya, dan berlari menuju pelataran parkir basement. Saya sudah memajukan jadwal penerbangan. Jika sampai kita terlambat, itu adalah kesalahan kamu.” “Ya Tuhan, Pak ….” Lirih Shaki. “Saya tahu, Saya tampan! Cepat!” titah Rain dengan tegas, lalu kembali memutuskan panggilan secara sepihak. Shaki yang sangat merasa kesal dengan sikap semena-mena atasannya itu, seketika melempar ponsel ke sembarang tempat dengan frustasi, sambil menundukkan kepala. “Dasar, Es Serut!!” gerutunya sangat pelan, bahkan hampir tidak terdengar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN