“Assalamualaikum.”
Ucapan salam yang sengaja diteriakkan oleh Rain ketika memasuki rumah, berhasil mengalihkan perhatian Embun yang sedang asyik menonton film kesukaannya di ruang bersantai.
Dengan tawa riang, gadis kecil itu segera bangkit, lalu berlari dengan cepat untuk menyambut kedatangan sang Ayah yang sejak tadi dinantinya. Embun jatuhkan tubuh kecilnya di atas d**a bidang lelaki dewasa, yang kini sedang memposisikan diri setengah berlutut di hadapannya, lalu melingkarkan kedua tangan kecil itu untuk memeluk Rain.
“Waalaikumsalam, Papa,” jawabnya, dengan pelafalan tidak jelas.
Sembari menggendong tubuh putrinya, Rain pun kembali berdiri, lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, untuk memperlihatkan sekantong penuh hadiah pada Embun.
“Taraaa!”
Saking bahagianya, kedua kaki gadis kecil itu bergerak-gerak, meminta Rain agar segera menurunkannya kembali, untuk membongkar semua hadiah yang dibelikan oleh sang Ayah dalam kantong plastik putih tersebut.
Hanya melihat kebahagiaan putri kecilnya saja, membuat Rain tanpa sadar mengulas senyum hangat. Dengan hati-hati, ia turunkan Embun dari pangkuannya, menaruh kantong besar tersebut di atas lantai, lalu bersimpuh di hadapan putrinya.
Sambil tersenyum, gadis kecil itu pun berjongkok, dan mulai mengeluarkan satu per satu isi dari dalam sana.
“Semuanya buat Embun?”
Rain menganggukkan kepala. “Hm. Semuanya buat Embun.”
“Ini juga buat Embun?” tanyanya dengan antusias, seraya menaruh, dan menata satu per satu wadah tertutup berbentuk bulat, yang di dalamnya berisi mainan plastisin beraneka warna.
“Ya, buat Embun,” jawab Rain lagi.
“ini juga?” tanyanya lagi, memperlihatkan satu kotak mainan berisi pasir kinetic berwarna ungu.
“Hm.” Lagi-lagi, Rain menganggukkan kepala.
Gadis kecil itu kembali mengeluarkan sebuah kotak lain berwarna merah muda, kemudian menatap isi di dalamnya dengan mata berkaca-kaca. “Papa, boneka barbie cantik ini … buat Embun?” tanyanya melirih.
Melihat raut wajah gadis kecil itu berubah sendu, Rain pun segera menangkup kedua sisi wajah mungilnya, kemudian mengangkat kepala Embun secara perlahan. “Embun gak suka bonekanya?”
Gadis kecil itu menggelengkan kepala, diikuti setetes air mata yang begitu saja terjatuh di atas wajahnya. “E-Embun suka,” jawabnya terbata-bata.
Dengan kedua ibu jari, Rain menghapus sisa air mata pada wajah putrinya, lalu bertanya, “kalau suka, kenapa princess cantik Papa nangis?”
“Embun kangen Mama,” sahutnya. Karena melihat boneka tersebut, mengingatkan gadis kecil itu pada sosok sang Ibu yang selalu membelikannya mainan boneka seperti ini.
Mendengar jawaban lirih putrinya, membuat jantung Rain seakan berhenti berdetak. Sesak. Bahkan, untuk menarik napas dalam pun, terasa sangat sulit.
Rain tahu, bagaimana perasaan Embun saat ini. Merindukan seseorang yang sudah tiada, itu bukan perkara yang mudah. Apalagi, sosok seorang Ibu, yang biasa menemani kesehariannya, selama dua puluh empat jam, dalam tiga puluh hari. Sejak membuka mata di pagi hari, hingga terlelap di waktu malam.
Jangankan Embun, sampai detik ini, dirinya pun masih belum sepenuhnya merelakan kepergian Nadira–sang istri tercinta. Walau sekuat apapun ia bertahan, dinding pertahanannya masih belum bisa kembali berdiri kokoh, setelah pilar penyangga dalam hatinya menghilang.
Tanpa ragu, Rain bawa tubuh mungil Embun ke dalam dekapannya, berusaha menenangkan gadis kecil itu dengan cara yang biasa sang istri lakukan.
“Embun adalah gadis hebatnya Papa. Embun adalah cantiknya Papa. Dan, Embun adalah separuh hatinya Papa yang tersisa. Papa tahu, semua ini gak mudah untuk dijalani. Apalagi Embun. Tapi, Embun harus kuat, Embun harus tabah. Karena penyemangat yang Papa punya saat ini, hanya Embun. Ratu kecil dalam istana besar yang sudah Papa bangun,” ucap Rain, diikuti setetes air mata terjatuh di atas wajah lelahnya.
***
Quality time bagi Rain dan Embun, adalah dengan menonton tayangan kartun kesukaan putrinya, seperti yang sudah Rain janjikan pagi tadi.
Sembari menikmati camilan, berupa snack ringan rasa cokelat, pria berpakaian santai yang tengah duduk bersandar di atas sofa bersebelahan dengan Embun, sesekali melirik pada gadis kecil itu, lalu menyuapi satu potong snack ringan ke dalam mulutnya.
“Embun,” panggil Rain.
Karena sedang fokus menonton film kartun kesukaannya, Embun tetap bergeming, menatap pada televisi berukuran besar di depan sana, tak menghiraukan panggilan dari Ayahnya.
“Embun.”
Tidak menyerah, pria tampan itu kembali menyerukan nama putrinya, hingga Embun yang teralihkan fokusnya, seketika menoleh ke sisi kanan, menatap pada sang Ayah dengan kedua alis terangkat. “Apa, Papa?”
Mengetahui perhatian putrinya sudah teralihkan, Rain berpura-pura merajuk, melipat kedua tangannya di atas d**a*, kemudian memasang raut wajah merengut. “Embun cuekin Papa! Papa marah sama Embun!”
Embun yang merasa kebingungan melihat sikap Ayahnya, mengerutkan dahi. “Papa kaya Yoyo! Marah-marah terus,” balas Embun, dengan pelafalan yang terdengar sangat menggemaskan.
“Yoyo? Siapa Yoyo?” tanya Rain penasaran.
“Kucingnya Vino,” jawab Embun.
“Kucing? Whoa … sekarang, Papa disamain sama hewan peliharaan?” Lagi-lagi, Rain berpura-pura kesal.
Dengan polosnya, Embun mengangguk. “Yoyo lucu. Embun suka Yoyo. Tapi, Yoyo suka marah-marah kalau ekornya Embun tarik.”
“Lah, Yoyo pasti marah kalau Embun tarik ekornya.”
“Kenapa?”
“Karena Yoyo pasti merasa kesakitan,” jelas Rain, memberi sedikit edukasi pada putrinya.
“Ekornya Yoyo gerak-gerak.”
“Kalau Yoyo hidup, ekornya pasti gerak. Kalau ekor Yoyo diem, berarti Yoyonya meninggal.”
“Kaya Mama?” tanya Embun tiba-tiba.
Mendengar jawaban gadis kecil itu, membuat Rain terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya lelaki itu menganggukkan kepala, dan berusaha mengulas senyum. “Ya, Embun benar. Seperti Mama.”
Gadis kecil itu akhirnya kembali menatap pada layar besar di hadapannya, sembari memeluk boneka barbie pemberian Rain. “Kalau gitu, Embun gak akan narik ekor Yoyo lagi. Biar Yoyo gak diambil Tuhan, dan ninggalin Vino. Kalau Yoyo meninggal, pasti Vino sedih.”
“Hmmm … siapa Vino?” tanya Rain berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Temen sekolah Embun,” jawab Embun, mulai acuh tak acuh.
Melihat sang putri mulai kembali fokus pada tontonannya, Rain yang tak ingin terabaikan oleh Embun, tiba-tiba menyerang pinggang gadis kecil itu dengan gelitikan pelan, hingga Embun menggeliat tak karuan, diikuti gelak tawa, yang terdengar menggema, seakan mengisi kekosongan rumah besar itu.
Cukup lama mereka bercanda gurau, sampai akhirnya Rain berhenti mengganggu Embun, dan hanya menatap iris netra indah gadis kecil itu, dalam-dalam.
Masih dalam keadaan napas tersengal, Rain bertanya, “Embun sayang sama Papa?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Embun sayang Papa. Papa sayang Embun?” tanyanya sembari melingkarkan kedua tangan pada leher sang Ayah. Dia ciumi setiap sisi wajah Rain, hingga menyisakan basah karena air liurnya.
“Jelas. Papa sangat sayang sama Embun. Embun, adalah harta paling berharga yang Papa miliki.” Rain menjeda ucapannya, lalu menyingkirkan beberapa helai anak rambut dari wajah putri kecilnya. “Dari Embun, Papa banyak belajar tentang kehidupan. Tentang rasa sabar. Dan … tentang keikhlasan. Papa gak bisa bayangin, kalau Embun gak ada, siapa yang akan menjadi penyemangat setelah Mama kamu tiada?”
Suara yang semula terdengar tenang, perlahan mulai bergetar. Dan tanpa sadar, satu tetes air mata begitu saja terjatuh, hingga membuat Embun yang melihat hal itu seketika melepas pelukannya pada leher sang Ayah, untuk menghapus sisa air mata pada wajah Rain.
“Papa jangan nangis. Kalau Papa nangis, Embun jadi sedih,” lirih gadis kecil itu dengan kedua sudut bibir turun ke bawah.
“Papa gak sedih, kok. Justru, Papa nangis karena Papa bahagia punya Embun di kehidupan Papa. Embun adalah tersegalanya untuk Papa, dari dulu, sekarang, hingga penghujung umur Papa. Selalu, selamanya. Tak akan pernah terganti oleh siapapun,” balas Rain, yang kemudian mendaratkan satu ciuman yang cukup lama di atas kening putri semata wayangnya.
‘Kamu akan tetap menjadi bayi kecil Papa, bahkan hingga kamu dewasa nanti.’
***
Dua tahun kemudian.
Seorang gadis cantik, bertubuh kecil, mengenakan kemeja navy, berpadu rok span hitam sepanjang lutut, tengah berlarian, membawa beberapa map di tangannya, hendak menuju aula rapat. Setelah tiba di depan pintu besar yang terbuat dari kayu jati berwarna dark brown, gadis itu menghentikan langkah kakinya, merapikan rambut yang sedikit berantakan karena angin, kemudian berjalan memasuki ruang tersebut.
Pandangannya seketika mengedar, mencari rekan satu divisi yang sudah terlebih dahulu tiba, kemudian tersenyum, kala seorang lelaki, bersama seorang wanita melambaikan tangan, lalu menunjuk kursi kosong yang sengaja mereka sisakan untuk gadis itu.
“Kamu dari mana aja, sih, Ki? Lama banget. Udah hampir mulai rapatnya,” bisik pria berkemeja hitam.
Shaki yang baru saja duduk di atas kursi, terdengar menghela napas dalam, menenangkan degup jantungnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya menjawab, “Gue sakit perut. Semalem, di kosan, gue sama Ama makan bakso pentol yang dibawain Bang Delio.”
Sembari menyalakan benda elektronik berbentuk persegi panjang yang cukup besar, Shaki kembali mengedarkan pandangannya, menatap para peserta rapat, yang sudah bersiap dengan agenda, dan susunan berkas presentasi masing-masing divisi.
Tepat, ketika iris mata itu menangkap sosok yang sangat tidak asing sedang menatap ke arahnya, Shaki tersenyum, lalu setengah melambai pada lelaki yang duduk di bawah sana.
'Istirahat nanti, mau ikut makan di restaurant samping kantor?' tanyanya, dengan bahasa isyarat, atau gerakan tangan saja.
'Ok. Setelah meeting selesai, kita langsung makan siang, bareng Amaira, Fajar, dan Rara.' Pria itu pun membalas dengan bahasa isyarat, sembari tersenyum lebar.
Hanya berselang beberapa detik, lelaki tampan, berwibawa, dengan raut wajah datar dan dingin, yang berdiam tepat di samping Rain, mulai bangkit dari posisi duduknya. Berdiri tegap, memandang seluruh peserta rapat, hingga suasana dalam ruang tersebut seketika hening.
Setelah benar-benar kondusif, lelaki itu pun menekan sebuah tombol kecil berwarna merah di samping batang microphone duduk di atas meja, hendak memulai rapat pada pagi ini.
“Pada hari Kamis, tanggal dua puluh tujuh Desember, pukul Sembilan pagi, rapat evaluasi kerja tahunan PT. Loom. Inc, dimulai,” ucap sang Direktur Utama perusahaan tersebut dengan lantang dan tegas.
Suara gemuruh para pegawai inti masing-masing divisi perusahaan ekstraktif PT. Loom. Inc, yang tengah membuka beberapa berkas hasil evaluasi tahunan, seketika menggema di setiap sudut aula besar tersebut.
Begitu juga dengan Shaki. Gadis terampil, yang sangat pandai, dan menguasai berbagai bidang pekerjaan tersebut, mulai memisahkan file-file yang belum begitu diperlukan, lalu menata berkas utama yang akan masuk ke dalam pembahasan pertama pada rapat besar kali ini.
“Ki, Pak Rain ngeliatin kamu.” Mendengar bisikan dari salah satu rekan satu divisinya yang duduk di sisi kanan, Shaki seketika mengalihkan perhatiannya, untuk menatap pada lelaki dingin dan datar yang sedang duduk di samping sang Direktur Utama, sembari menunjuk ponsel milik lelaki itu, yang ditaruh di atas meja.
Mengerti, maksud dari bahasa tubuh sang Direktur Personalia, Shaki pun segera menyalakan benda pipih yang sebelumnya sempat ia matikan, hingga beberapa notifikasi pesan masuk dari pimpinannya kini terpampang pada layar ponselnya.
[Pabrik Es Balok]
Pabrik Es Balok : Kamu di mana?
Pabrik Es Balok : Berkas evaluasi Divisi Personalia yang kemarin kita kerjakan, tolong di cek ulang.
Pabrik Es Balok : Susun file dari yang progresnya paling bagus untuk di presentasikan lebih awal.
Pabrik Es Balok : Perihal rekaman selama rapat berlangsung, jangan lupa di simpan. Jangan sampai, kejadian tahun lalu terulang, gara-gara keteledoran Siska! Paham?
Anda : Baik, Pak.
Pabrik Es Balok : Dan satu lagi.
Pabrik Es Balok : Setelah selesai rapat evaluasi, kamu ikut saya ke lapangan. Ada karyawan yang bermasalah dengan penduduk di sekitar pertambangan batu bara.
Anda : Tapi, Pak, saya gak bawa baju ganti.
Pabrik Es Balok : Saya tidak menerima penolakan!
Anda : Baik, Pak.
Setelah mengirimkan pesan terakhir, Shaki yang nampak kesal seketika menaruh ponsel tersebut dengan kasar di atas meja. Gadis itu menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal, sembari menghela napas dalam.
“Pabrik Es Balok lagi?” tebak Fajar, lelaki yang duduk di samping kiri Shaki.
Masih dalam posisi menunduk, gadis itu menganggukkan kepala, lalu menggeser gawai miliknya, agar Fajar membaca sendiri isi dari chat atasan mereka.
“Kenapa gak sama Bang Delio aja, sih, kunjungan lapangannya?” gerutu Shaki setengah berbisik.
“Setelah makan siang, Pak Adelio ada meeting sama PT. Agrobara di daerah Dago. Jadi, udah pasti, Pabrik Es Balok yang harus turun tangan,” sahut Rara, gadis yang duduk di sisi kanan Shaki.
Fajar yang baru saja selesai membaca isi pesan singkat antara Shaki dan pimpinan mereka, seketika menoleh, lalu memperlihatkan satu lembar berkas yang ia bawa beberapa saat lalu, pada kedua rekan sejawatnya.
“Pak Effendi, salah satu penambang batu bara di Sorong, Papua, sempet ribut dengan penduduk di sekitar pertambangan,” bisik Fajar.
“Kenapa?” tanya Shaki penasaran. Sesekali, gadis itu melirik ke depan, menatap rekan dari divisi administrasi sedang mempresentasikan kinerja kerja selama satu tahun ini.
“Jadi, Pak Effendi diperintahkan Tukang Es Balok, membuuat aliran sungai baru, untuk mengalihkan sumber air di kawasan tersebut agar tidak tercemar. Tapi sayangnya, Pak Effendi lalai. Bukannya membuat saluran air yang baru, dia lebih mendahulukan pengurusan surat penjagaan di kantor polisi terdekat. Sampai akhirnya, sumber air penduduk sekitar mulai tercemar kandungan dari batubara, ikan-ikan mulai banyak yang mati, sampai sumur warga pun akhirnya kering,” jelas Fajar, berbisik.
“Pantes aja Tukang Es Balok langsung turun ke lapangan untuk mengatasi masalah di sana,” timpal Rara berpendapat.
“Dan sayangnya, minggu ini bagian Shaki yang piket,” ujar Fajar lagi.
“Empat hari bareng sama Tukang Es Balok, auto beku sebadan-badan!” gerutu Shaki, diikuti helaan napas berat.
***