Sikap Menjengkelkan Rain ~~

1336 Kata
“Kamu terlambat empat menit, tiga puluh sembilan detik, dua puluh milidetik, dari waktu yang Saya berikan!” Perkataan pertama yang dilontarkan oleh Rain, tepat ketika Shaki mendudukkan tubuhnya di atas kursi mobil, seketika membuat gadis cantik nan mungil itu menganga. Ia tidak habis pikir, jika Rain benar-benar menghitung waktu keterlambatannya, hingga hitungan waktu terkecil. Dengan napas yang masih terengah-engah, dan peluh membasahi kening, juga sekujur tubuhnya, gadis itu berkata, “kaki Saya gak panjang, Pak. Langkah kaki Saya juga tidak sebesar langkah kaki Bapak, dan orang-orang lainnya. Saya sudah berusaha berlari secepat mungkin, agar tiba di sini tepat pada waktunya. Bahkan, Saya turun pakai tangga darurat, loh, Pak, karena lift lagi penuh banget. Mana bawa berkas sebanyak ini.” Shaki berusaha membela diri. Tidak peduli dengan sederet kalimat pembelaan dari karyawannya itu, Rain dengan datarnya menjawab, “Saya tidak peduli! Itu bukan urusan Saya.” Pria itu menekan tombol hitam pada dashboard, hingga suara mesin mobil yang sangat lembut, mulai terdengar. Ia putar kemudi ke sisi kanan, lalu menginjak pedal gas perlahan-lahan, melajukan kendaraan roda empat berwarna hitam itu dengan kecepatan sedang. Sementara Shaki, semakin tercengang mendengar sahutan dari lelaki di sampingnya itu. ‘Astagfirullah, Ki. Sabar. Tukang Es Balok emang kaya gitu. Kamu, kan, udah tahu, orang seperti apa atasan kamu ini. Kamu juga udah terbiasa, kan, denger perkataan menohok seperti itu. Yuk, sabar, yuk!’ ucapnya membatin, sembari membuang muka ke sisi lain, menatap jalanan kota yang tidak begitu padat pada siang hari ini. Sepanjang perjalanan menuju Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara, tak ada salah satu dari mereka yang berbicara. Ditemani oleh bisingnya suara kendaraan di luar sana, keduanya hanyut dengan pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba, suara notifikasi, memecah keheningan. Sang empunya ponsel pun segera merogoh benda pipih tersebut dari dalam tas yang berada di atas pangkuannya, lalu menyentuh logo sebuah aplikasi pesan singkat pada layar gawai tersebut. [Bang Delio] Bang Delio : De, kamu ikut Pak Rain kunjungan lapangan? Anda : Iya, Bang. :( Bang Delio : Direct? Anda : Enggak. Tukang Es Balok mau ketemu client dulu di Jakarta. Lagian, penerbangan ke Papua sekitar jam 00.40. Bang Delio : Ah … berarti ketemu pimpinan dari Maha Grup dulu. Pantes aja kalian pergi dari siang. Bang Delio : Abang cari kamu di kantor untuk makan siang bareng sama yang lain. Tapi kata Rara, kamu udah pergi sama Pak Rain kunjungan lapang. Kok, gak bilang Abang, sih, De? Anda : Ade lupa, Bang. Maaf. :( Bang Delio : Jadi, kamu belum makan siang? Atau makan siang di jalan? Anda : Rara tadi kasih kotak bekalnya buat Ade. Nanti di bandara, baru Ade makan. Bang Delio : Pak Rain gak ngajakin makan siang? Anda : Orang kikir kaya dia, mana mungkin ajak karyawan remahan kaya Ade makan bareng. Bang Delio : Hush!! Bang Delio : Jarinya minta diiket, De?! Gak boleh ngatain kaya gitu. Dia lebih tua dari Ade. Gak sopan! Anda : Ade bicarain fakta, loh, Bang. Bang Delio : Istigfar, Ade! Anda : Hish. Kenapa jadi Ade yang dimarahin, sih? Bang Delio : Abang cuma ngingetin Ade. Bukan marah! Anda : ‘Tanda seru’ itu untuk menegaskan sebuah kalimat. Lah, itu Abang pake tanda seru terus di tiap akhiran chat. Bang Delio : Abang gak marah. Abang cuma ngingetin Ade, kalau yang ade lakuin itu bukan hal baik. Ade udah dewasa. Selama tinggal di panti, Bunda Riani selalu mengajarkan tata krama pada kita. Masa Ade lupa. Ada : :( Bang Delio : Kamu udah bawa baju ganti? Membaca pesan terakhir yang dikirimkan Adelio, Shaki seketika teringat akan hal itu. Ia pun menoleh ke sisi kanan, menatap Rain yang tengah fokus berkendara, sembari mengusap, dan memijat keningnya. “Pak, bisa mampir ke kost-an dulu, gak? Saya mau bawa baju ganti,” pinta Shaki. Seakan tidak peduli dengan permintaan gadis itu, Rain hanya melirik sesaat, lalu kembali fokus pada jalanan di depan sana. “Gak bisa! Di sana, kita gak akan lama. Kamu bisa pakai jubah mandi yang disediakan oleh pihak hotel, kalau pakaian kamu belum selesai di laundry.” “Kita, kan, mau ke Jakarta dulu, Pak.” “Gak bisa! Kita udah gak ada waktu lagi. Gak usah ribut hal-hal kecil seperti itu!” Mendengar jawaban tidak masuk akal yang diberikan oleh Rain, membuat Shaki tanpa sadar berteriak, meluapkan kekesalannya. “PAK!! Saya perempuan! Apa setidak berharga itu seorang perempuan di mata Bapak? Apa setidak layak itu Saya sebagai seorang perempuan? Sampai Bapak tega memperlakukan Saya seperti ini? Saya juga manusia, Pak! Masa Saya tidak diizinkan mengambil pakaian ganti untuk Saya gunakan selama kunjungan lapangan? Bandung-Papua, itu jauh, Pak! Gak kaya Bandung-Jakarta. Apa masih belum cukup, jatah cuti akhir tahun Saya, dipakai untuk bekerja bareng Bapak ke Papua? Saya juga pengen liburan, Pak. Saya–“ “Anggap saja perjalanan ini, adalah liburan yang di akomodasi oleh kantor. Gak ada salahnya, kok. Gak usah dipersulit!” “Pak!!” “Pesawat take off pukul empat belas lebih tiga puluh menit. Otomatis, boarding pukul empat belas!” Pria tampan itu mengulurkan tangan kanan ke sisi kiri, memperlihatkan jam yang sedang dikenakannya pada Shaki. “Sekarang sudah pukul tiga belas lebih sepuluh menit. Perjalanan kita menuju bandara memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit, jika jalanan tidak macet. Kita akan sampai di bandara paling lambat pukul tiga belas lebih empat puluh lima menit. Walaupun kita sudah memegang boarding pass, kita gak bisa dadakan sampai di sana. Kamu mau, kita tidak diizinkan masuk pesawat, karena terlambat tiba di sana, hanya untuk mengambil pakaian ganti?” Rain berusaha menjelaskan pada karyawannya itu dengan tenang, namun bernada datar, dan menohok. Shaki yang tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Rain, akhirnya memilih diam, dan kembali menatap jalanan, untuk menahan kekesalannya. Ia tahu, ini adalah sebagian tugas dari pekerjaannya. Shaki juga mengerti, bagaimana prosedur yang harus ditaati. Tapi, cara Rain memperlakukannya seperti ini, sudah di luar batas kewajaran, walau semua alasan yang diberikan lelaki itu, amat sangat masuk akal. “Bukan hanya kamu yang tidak membawa pakaian ganti. Saya juga sama. Jadi, jangan terlalu merasa, bahwa kamu yang paling sengsara di sini! Saya, pun, sama sengsaranya. Kita bisa membeli semua barang keperluan selama tinggal di Papua, setelah tiba di Bandar Udara Domine Eduard Osok. Jadi, stop merengek hal-hal kecil seperti itu. Paham?” “Ya!” jawab Shaki, singkat, jelas, dan padat. *** Rupanya, perkiraan waktu yang menjadi bahan pertimbangan Rain, salah. Karena jalanan yang berangsur lengang, mereka bisa tiba di bandara Husein Sastranegara, lebih awal dua puluh menit dari jadwal boarding. Senang? Sudah pasti. Karena akhirnya, Shaki bisa memakan bekal yang sudah diberikan oleh Rara, untuk mengisi perut. Ia bahkan sudah tidak peduli, ke mana perginya lelaki menyebalkan yang datang bersamanya itu. Duduk di sofa lounge bandara memang hal paling membahagiakan, dari pada harus duduk di dalam mobil Porsche Macan milik atasannya. Walau kendaraan roda empat mewah itu sangat wangi dan nyaman, tapi semua itu dapat dirasakan jika orang yang membersamai bukan Rain. Di tempat ini, Shaki bahkan bisa bersikap leluasa, tanpa harus merasa takut dengan tatapan dingin dan tajam, yang diberikan oleh pria itu. Dengan perasaan senang, gadis itu segera membuka kotak bekal yang baru saja dia ambil dari dalam tas kecil miliknya, mengambil sepotong sandwich, kemudian memakannya. Namun sayang, kebahagiaannya tidak bertahan lama. Tepat, saat Shaki hendak menggigit roti lapis tersebut, Rain yang baru saja kembali dari suatu tempat, berdiri di hadapan gadis itu, lalu berkacak pinggang. “Kita pergi sekarang!” “Ke mana?” tanya Shaki, dengan pelafalan tidak jelas, karena sedang mengunyah makanan dalam mulut. “Gate! Urusan Saya di sini sudah selesai. Cepat!” sahut Rain, sembari berjalan lebih dulu meninggalkan gadis itu. Tanpa berdiam lebih lama lagi, Shaki kembali memasukkan sandwich yang sedang dinikmatinya itu, ke dalam kotak bekal, menutupnya, kemudian mengambil tas berisi berkas-berkas, dan berlari secepat mungkin. Sesekali, gadis itu terlihat meringis, seakan tengah menahan rasa sakit pada perut bagian atas. Tetapi, ia harus memaksakan diri untuk menyusul atasannya yang sudah berada cukup jauh dari posisinya saat ini. ‘Akhir tahun yang sangat si-al!’ gerutu Shaki dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN