Shaki Zainaya.
Serangkai nama indah yang diberikan oleh almarhum kedua orang tuanya, dengan sejuta harapan dan doa yang terselip untuk putri pertama mereka, agar memiliki kehidupan yang sangat baik ketika dewasa, kelak. Mereka tidak ingin, apa yang pernah dirasakan semasa kecil, harus kembali di rasakan oleh keturunan mereka. Harapan yang cukup klasik bagi seluruh orang tua.
Namun sayang, keinginan paling mulai dari dua insan bergelar orang tua itu, harus pupus di tengah jalan, karena sebuah takdir menyakitkan yang sudah tertulis. Mereka tinggalkan amanah yang sudah Tuhan titipkan, seorang diri di dunia, untuk kembali pada dekapan sang Ilahi.
Ya … Shaki adalah seorang gadis yatim piatu yang sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak berusia lima tahun. Usia emas bagi seorang anak, di mana orang tua masih berperan sangat penting untuk pertumbuhan, juga perkembangannya. Dan di usia itu juga, mereka seharusnya masih mendapat kasih sayang, dan perhatian dari Ayah dan Ibu.
Akan tetapi … karena kecelakaan bus yang terjadi saat itu, dengan berat hati, Shaki diharuskan untuk kuat, dan tegar di usianya. Ia bahkan kehilangan dua sosok penjaga-pelindung secara bersamaan, juga teman-teman satu sekolah, dan guru-guru panutannya. Karena dalam kejadian nahas itu, hanya Shaki-lah, satu-satunya korban selamat.
Dalam keadaan patah tulang kaki, dan luka-luka kecil di sekujur tubuh, ia harus mengantar kepergian kedua orang tuanya ke peristirahatan terakhir, mengucap salam perpisahan, beriring derai air mata.
Gadis kecil itu memang tidak histeris seperti kebanyakan orang. Namun, dalam diamnya, terlukis luka sangat dalam, yang bahkan dia sendiri masih tidak tahu, bagaimana cara mengungkapkannya.
Tak ada tawa. Tak ada keceriaan. Bahkan, Shaki kecil seakan sudah lupa, bagaimana caranya tersenyum, dan berbicara. Karena sejak kejadian nahas yang menimpanya, anak ceria itu, berubah pendiam. Seakan dunia yang biasanya penuh warna, berubah menjadi kelabu. Hingga para pengurus panti asuhan, harus lebih ekstra mengawasi gadis kecil itu.
Setiap kali ingatan masa lalunya kembali menghantui, tanpa sadar benteng tinggi yang sedari tadi dipertahankan untuk tetap berdiri kokoh, akhirnya roboh. Air mata pun berjatuhan di atas wajah, menandakan bahwa keadaan hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Menyadari hal itu, Adelio Bima Sakti–pria yang sudah dianggap sebagai Kakak kandung oleh Shaki sejak pertemuan pertamanya di panti asuhan–tiba-tiba memperlambat laju kendaraannya, membiarkan tangis gadis itu tersamarkan oleh suara gemuruh air hujan yang berjatuhan mengenai badan mobil.
Ini memang bukan kali pertama, Adelio melihat sang Adik seperti ini. Akan tetapi, setiap kali gadis itu sedang berada di titik terendah, ia pasti akan berpura-pura tidak mendengar tangis kepedihan Shaki, dengan membesarkan volume music yang tengah di putar dalam mobil, lalu bersikap seakan tidak terjadi apapun, sampai Shaki kembali tenang, dan mengajak Adelio berbicara terlebih dahulu.
Seperti sekarang. Setelah puas menangis selama hampir dua puluh menit, gadis cantik bermata sembab itu membuang lendir dari dalam hidung pada beberapa lembar tissue kering, yang baru saja ia ambil dari atas dashboard mobil, lalu memasukkannya ke dalam tempat sampah kecil di bawah sana. Setelah selesai, dengan wajah memelas, ia tatap lelaki tampan di sampingnya, sembari menarik kemeja bagian lengan Adelio, seperti seorang adik merengek pada sang Kakak.
Melihat tingkah gadis itu sudah kembali seperti sedia kala, dan tahu, apa yang diinginkan Shaki setiap kali selesai menangis, pria itu melirik sesaat, diikuti seulas senyum tipis tertampil di kedua sudut bibirnya.
“Ice cream strawberry?” Adelio menawarkan makanan favorite adiknya.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, Shaki menganggukkan kepala, sedangkan Adelio segera memutar stir mobil ke sisi kanan, hendak berputar arah, ketika ia melihat sebuah mini market di pinggir jalan berada tak jauh dari posisi mereka saat ini.
“Abang jangan tanya, kenapa Ade nangis, iya!”
“Iya, Abang udah tahu, kok.”
“Abang boleh tanya hal lain aja!” ujar Shaki lagi.
“Kok, Ade gak bilang, mau lamar kerja di PT. Loom?” Adelion benar-benar menepati janji, dan bertanya hal lain pada gadis itu.
“Kalau Ade bilang sama Abang, namanya bukan kejutan dong. Lagian, Ade juga gak nyangka, loh, Bang, bakal diterima oleh perusahaan besar seperti PT. Loom,” jawab Shaki antusias.
Pria tampan itu mengulurkan tangan kirinya, lalu mengacak puncak kepala gadis itu dengan penuh rasa kasih sayang. “Kamu mumpuni, dan layak untuk bekerja di perusahaan itu. Pengalaman bekerja kamu juga gak main-main. Bahkan, perusahaan-perusahaan besar lain, yang sebelumnya pernah kamu sambangi, ingin mempertahankan kamu untuk tetap bekerja di perusahaan mereka.”
“Ade nyari yang lingkungan kerjanya bikin nyaman. Sekiranya udah bikin gak nyaman, udah pasti Ade tinggalin, dan nyari kerjaan di perusahaan lain,” jawab Shaki, suara gadis itu masih terdengar parau, setelah berhasil melepas perasaannya beberapa saat lalu.
“Kalau di PT. Loom, kamu gak usah khawatirin apa-apa. Abang, adalah Manager divisi personalia. Kalau ada yang gangguin kamu kaya di perusahaan sebelumnya, apalagi sampai main fisik kaya Putra, Abang yang akan turun tangan. Abang gak akan biarin, siapapun, nyakitin Adik Abang.”
“Abang berusaha jagain Ade biar gak disakitin orang. Terus, apa kabar hati Abang yang baru diputusin Kak Nadin?”
“Gak usah bahas-bahas Nadin lagi! Dia udah bahagia dengan calon suaminya yang sekarang,” sahut Adelio, ketus.
“Self healing yang paling terbaik, adalah melepaskan masa lalu yang menyakitkan, dan mulai kembali bangkit tanpa menengok ke belakang.”
“Kamu yang duluan ingetin Abang soal dia, loh, De!” protes Adelion membela diri.
“Kalau Abang udah bener-bener lepasin Kak Nadin, Abang gak mungkin jawab pertanyaan Ade se-ketus itu. Ade, tuh, kenal sama Abang bukan setaun, dua tahun. Tapi, dua puluh dua tahun. Jadi, Abang gak bisa bohongin Ade!”
Tiba-tiba, suara helaan napas panjang terdengar, bersamaan dengan berhentinya laju mobil, di pelataran parkir sebuah mini market pinggir jalan raya. “Jujur, Abang masih belum bisa merelakan Nadin sepenuhnya. Dia, adalah luka terindah yang pernah Abang miliki.” Adelio melepas lock safety belt milik Shaki, lalu memberikan sebuah kartu debit pada gadis di sampingnya itu. “Dah, sana! Beli makanan yang banyak, yang bisa naikin mood kamu lagi! Abang gak mau, iya, nerima telepon tengah malem dari rumah sakit lagi, gara-gara stress pasca trauma kamu kembali kambuh,” ucap pria itu, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Mengerti, jika sang Kakak tidak ingin melanjutkan pembahasan sensitive barusan, Shaki pun mengalah, dan segera mengambil kartu debit berwarna gold dari tangan Adelio.
“Nanti, kalau Ade udah banyak duit, giliran Ade yang traktir Abang. Oke?” Shaki mengangkat tangan yang tengah memegang kartu tersebut, diikuti seulas senyum lebar tertampil di wajahnya.
“Hmm,” gumam Adelio sembari menganggukkan kepala.
***
Gadis cantik, yang tengah menjinjing keranjang belanjaan berisi beberapa makanan ringan, dan minuman di dalamnya, nampak tengah berjongkok, menghadap rak berisi bermacam-macam permen, juga cokelat kesukaannya. Sembari memilih beberapa kembang gula, ia masukkan sepuluh bungkus cokelat batang ke dalam keranjang, lalu bergeser ke sisi kanan.
Namun, tanpa ia sadari sebelumnya, seorang lelaki tampan, mengenakan kemeja putih yang bagian kedua lengannya terlipat hingga sikut, tiba-tiba saja berjongkok di samping Shaki, ikut memilih beberapa cokelat, dengan wajah kebingungan, seakan tengah menimbang-nimbang, cokelat mana yang seharusnya dibeli.
“Maaf, boleh saya bertanya?”
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari beberapa permen yang tersedia dalam rak, Shaki menjawab, “boleh.” Gadis itu masih belum menyadari, siapa gerangan yang tengah berjongkok di sampingnya.
“Di antara dua cokelat ini, yang aman dikonsumsi anak usia hampir tiga tahun, yang mana, iya?” tanya pria itu lagi, sembari memperlihatkan dua bungkus cokelat berbeda di tangannya.
Shaki menoleh ke sisi kanannya, hanya untuk melihat dua bungkus cokelat tersebut. “Selama dikonsumsinya tidak berlebihan, dua-duanya bisa untuk anak usia tiga tahun, kok, Mas.”
Namun, tepat setelah mengatakan hal itu, tanpa sadar, matanya justru bergerak, memperhatikan isi dalam keranjang belanjaan orang di depannya, lalu perlahan menatap wajah pria itu, hingga membuat kedua mata Shaki seketika membulat sempurna, saat mengetahui, siapa pria aneh yang tengah berhadapan dengannya.
“P-Pak Rain … itu ….”
Sementara Rain, yang juga tidak menyangka, jika gadis yang sedari tadi sibuk memilih kembang gula di sampingnya itu, adalah pelamar di perusahaannya siang tadi, tiba-tiba menoleh ke sisi kiri dan kanan, berusaha menetralkan keterkejutannya agar tidak terlalu kentara.
Setelah lebih tenang, Rain pun kembali menatap Shaki, lalu mengikuti, ke mana arah tatapan mata gadis yang nampak kebingungan dengan isi belanjaan Rain, yang terlalu girly itu. “Hm. Semua ini, untuk anak perempuan Saya.” Pria itu kembali menunjukkan dua bungkus cokelat di tangannya pada Shaki, lalu bertanya, “jadi, keduanya bisa dikonsumsi oleh anak-anak?”
“I-iya,” jawab Shaki gugup.
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya,” sahutnya, singkat, jelas, dan padat.
Setelah mengatakan hal itu, Rain pun segera bangkit dari posisinya, memasukkan dua cokelat di tangannya ke dalam keranjang belanjaan, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar.
“Saya pria tulen, iya, Mas. Bukan jadi-jadian. Bandana, boneka, ikat rambut, mainan make up perempuan ini, untuk anak saya!” ucap Rain, ketika tiba di depan meja kasir, dengan suara yang sengaja ditinggikan, agar gadis yang baru saja berdiri di belakangnya, ikut mendengar, dan berhenti berpikir hal yang tidak-tidak tentang dirinya.
***