Sepanjang penerbangan dari Bandung menuju Jakarta, hingga tiba di Bandara Soekarno-Hatta, tak ada percakapan apapun yang terjadi antara Shaki dan Rain. Bahkan, tempat duduk mereka dalam pesan pun berjarak cukup jauh. Keduanya terlihat bagai dua orang asing, yang tidak saling mengenal satu sama lain.
Namun, ketika mereka bertemu dengan seorang client, sikap Rain pun berubah. Pria itu mulai banyak melakukan interaksi dengan Shaki, saat membahas jobdesk perusahaan.
Seperti saat ini. Ketika Rain tengah berbincang dengan pemimpin Maha Grup, di salah satu restaurant Bandara kota Jakarta, pria itu sesekali meminta pendapat dari Shaki, tentang kinerja kerja PT. Loom. Inc, selama ini. Bagaimana mereka membuat, dan menyusun job analysis, job description, dan job specification, lalu bagaimana mereka menyusun anggaran tenaga kerja yang diperlukan, selama para penambang bekerja, dan tinggal di provinsi lain.
Hingga tanpa terasa, sudah hampir tiga jam mereka berbincang. Dari mulai pembahasan utama yang sangat serius, sampai obrolan santai yang dilakukan oleh dua pemimpin tersebut. Tak jarang, keduanya tertawa bersama ketika menceritakan kejadian lucu selama menjabat sebagai Direktur.
Tetapi kesenangan mereka tidak dirasakan oleh Shaki. Gadis berwajah pucat, yang sedang duduk bersandar di atas kursi itu, hanya bisa meringis, ketika rasa melilit kembali menyapa perut bagian atasnya. Keringat sebesar biji jagung, pun, mulai membasahi kening dan sekujur tubuh Shaki.
Saking tidak kuatnya menahan sakit, tanpa sadar, tangan gadis itu meraih lengan Rain untuk diremas, hingga membuat fokus lelaki tampan itu seketika teralihkan, dan menoleh ke sisi kanan.
“Ada apa, Bu Shaki?” tanya Raka, pemimpin dari Maha Grup, yang sebelumnya sedang berbincang dengan Rain.
“S-Sakit. Pak, t-tolong ….” Dengan terbata-bata, karena menahan rasa sakit yang luar biasa, Shaki pun akhirnya memberanikan diri meminta pertolongan pada Rain.
Diam. Awalnya, lelaki itu hanya menatap pada Shaki dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan. Sampai pada akhirnya, ketika Rain mulai tersadar dari lamunan singkat akan masa lalu-nya, pria itu segera berlari ke luar dari restaurant yang sudah terlihat sepi, menuju salah satu petugas bandara yang sedang berjalan membawa beberapa berkas, lalu menghentikan langkah kaki wanita itu.
“Nona, maaf, bisa panggilkan petugas medis? Rekan kerja Saya sedang kesakitan di sana,” pinta Rain, sembari menunjuk ke dalam restaurant.
“Baik, Pak, akan Saya panggilkan. Mohon untuk tetap tenang.” Setelah mengatakan hal itu, petugas bandara itu pun berlari hendak menuju sebuah klinik kecil, untuk memanggil salah seorang petugas medis yang sedang bertugas malam ini.
Sementara Rain, bergegas kembali ke dalam restaurant tersebut, dan memposisikan diri setengah berlutut di samping Shaki, yang sedang memejamkan mata, menahan rasa sakit pada perut bagian atas.
“Sepertinya, asam lambung Ibu Shaki, meningkat, jika dilihat dari posisi tangan beliau yang memegang perut bagian atas,” tebak Raka. Sejak Rain pergi ke luar dari restaurant untuk meminta bantuan, pria itu segera beralih, dan duduk di samping Shaki, menjaganya.
Hanya berselang beberapa menit, seorang lelaki bersneli, dengan sebuah stetoskop menggantung di lehernya, membawa kotak kecil, berlari menghampiri mereka. Ia taruh barang bawaannya di atas meja, lalu memulai pekerjaannya, untuk memeriksa keadaan gadis itu.
“Bagaimana, Dok?” tanya Rain, setelah melihat petugas medis itu selesai memeriksa keadaan Shaki.
“Asam lambungnya meningkat,” jawab pria bersneli itu.
“Apa karena terlambat makan?” tanya Raka, penasaran. Karena sejak meeting dimulai, ia tidak melihat Shaki menyantap makanan untuk mengisi perutnya.
Dan tanpa terduga, petugas medis itu menganggukkan kepala. “Ya, benar.”
“Lalu, apa yang harus kami lakukan sekarang?” Rain melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan, sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, lalu kembali menatap pada pria bersneli itu. “Pukul dua belas lewat empat puluh menit, kami harus melakukan penerbangan menuju Sorong, Papua. Saya tidak ingin mengambil resiko yang lebih besar. Apa karyawan Saya bisa ikut penerbangan?” tanya Rain melanjutkan.
“Bisa. Saya akan memberi obat antasida dan beberapa obat lain, untuk menurunkan asam lambung,” jawabnya dengan yakin.
*** (Antasida, adalah jenis obat penetral asam lambung).
Pria bersneli itu pun membuka kotak kecil berisi obat-obatan yang dibawanya, mengambil beberapa jenis obat, kemudian memasukkannya ke dalam plastik ziplock. “Ini, obat untuk persediaan selama melakukan penerbangan. Dan, ini …,” pria tampan itu menaruh beberapa butir obat di atas selembar tissue. “… untuk diminum sekarang, satu jam sebelum makan,” lanjutnya.
“Baik, Dok,” jawab Rain.
Pria bersneli itu segera membereskan kotak obat, lalu kembali menjinjingnya. “Saya mohon undur diri, Pak. Ada beberapa pasien yang masih harus Saya tangani.”
“Terima kasih atas bantuannya, Dok,” ucap Rain sembari memposisikan diri setengah membungkuk, sesaat sebelum petugas medis itu berjalan pergi meninggalkan restaurant.
Sementara Raka yang cukup iba melihat keadaan Shaki, mencoba membantu membangunkan gadis itu dari posisi bersandarnya, kemudian memberikan beberapa butir obat yang diberikan oleh Dokter.
Setelah obat-obat itu berada dalam mulut Shaki, Raka mengambilkan air mineral dalam gelas tinggi di atas meja, kemudian dengan telaten membantu Shaki untuk meminum air tersebut.
“Sambil menunggu penerbangan, sebaiknya Bu Shaki beristirahat,” cetus Raka pada Rain.
“Ya, setelah Shaki membaik, kami akan menunggu di lounge, sambil beristirahat,” jawab Rain, sembari mengulas senyum tipis.
***
Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul 23:35. Dan sudah lebih dari satu jam, gadis bertubuh kecil itu tertidur di atas kursi, lounge terminal tiga, karena pengaruh obat yang dikonsumsinya, juga faktor kelelahan setelah seharian bekerja bersama Rain.
Sembari menikmati secangkir coklat panas yang disediakan oleh pihak bandara, Rain pun membaca beberapa portal berita online melalui ponsel yang digunakannya. Sesekali, pria itu melirik ke sisi kanan, ketika dari ekor mata, Rain bisa melihat pergerakan yang dilakukan Shaki dalam tidurnya.
Hingga tiba-tiba, sebuah notifikasi pesan singkat menghias layar gawai tersebut.
[Gilang Tua]
Gilang Tua : Gue lagi di rumah Mama dan Papa.
Anda : Anak gue lagi ngapain?
Gilang Tua : (Foto)
Gilang Tua : Lagi tidur sama Letisha. Kalian take off jam berapa?
Anda : 00.40
Gilang Tua : Masih ada waktu kurang lebih setengah jam sebelum boarding.
Anda : Gue tahu.
Gilang Tua : Dah ah, gue mau tidur. Bini gue udah manggil-manggil. Bhay!
Anda : Hmmm, kentang! -_-
Tepat setelah mengirim pesan tersebut, Shaki yang baru saja terbangun, terlihat menguap cukup lebar di tempatnya. Gadis itu menggeliat, berusaha menghilangkan rasa pegal pada persendiannya, kemudian menatap sekeliling.
“Gimana perutnya? Masih sakit?” tanya Rain.
Shaki segera menggelengkan kepala. “Sudah lebih baik, Pak,” jawabnya.
Tiba-tiba, pria itu menjentikkan jari. Hingga hanya berselang beberapa menit, seorang waiter datang menghampiri meja mereka, membawa satu porsi makanan, dan menaruh pesanan tersebut di atas bidang datar.
“Apa ini?” tanya Shaki, ketika melihat satu piring makanan berat tersaji di hadapannya.
Rain yang sudah kembali mambaca portal berita online, hanya melirik sesaat, lalu kembali fokus pada layar benda pipi di tangannya.
“Makan malam,” jawabnya singkat.
“Untuk Saya? Bapak yakin?” tanya Shaki meyakinkan.
Rain mengangguk. “Hmmm.”
“Pak, ini bukan makanan sebagai salam perpisahan, kan?” Shaki yang masih belum mempercayai hal itu, kembali mengajukan pertanyaan.
“Saya belum tergerak hatinya untuk meninggalkan kamu di sini. Saya masih membutuhkan kamu di Papua nanti, untuk menjelaskan pada penduduk sekitar perihal penambangan batu bara milik PT. Loom,” jawab Rain, santai.
Mendengar jawaban Rain, Shaki yang belum sepenuhnya sadar, mendengkus sebal. “Baikin Saya, karena ada maunya, “ gerutu gadis itu sangat pelan, sembari membuka tutup plastik yang menutupi makanannya.
Walau Rain mendengar gerutuan tersebut, pria itu bersikap acuh tak acuh, lalu berkata, “sama-sama. Saya tahu, Saya ganteng dan baik. Gak usah dipuji,” jawabnya melantur.
“PEDE!” sahut Shaki, spontan.
***