"Zea, gue sama teman-teman mengucapkan turut berdukacita yah, sabar dan ikhlas. Semoga abang Zio mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya." Ucap Jojo sebagai teman dekat Zea dia mewakili teman-temannya mengucapkan belasungkawa.
"AMIN ... makasih yah kalian mau hadir dan mendoakan abang gue." Balas Zea.
Satu persatu beberapa teman-teman sekelas Zea yang datang menyalami Zea dan kedua orang tuanya mengucapkan belasungkawa dan ikut ke pemakaman.
"Loe kenapa gak ijinin kita ngasih tau pak Elvan sih, Ze?" Tanya Jojo setelah mereka kembali ke rumah setelah pemakaman Zio.
"Percuma, Jo. Bilang gak bilang nilai gue juga gak akan masuk karena bolos kelas dia. Loe tau sendiri kan dia pernah bilang gak mau tahu urusan mahasiswanya apa, kalau gak masuk kelas dia nilai kita langsung nol." Jawab Zea.
"Ya masa kali orang sedang berduka gak di kasih dispensasi sama dia," balas Jojo dibalas dengan kedikan bahu Zea menandakan gadis itu tidak perduli. Jojo menghela nafasnya kala melihat respon Zea yang keras kepala.
"Besok gue juga belum bisa masuk ke kampus, Jo." Ucap Zea memberi tahu temanya.
"Iya gue ngerti, nanti gue bilangin sama dosen lain kalau loe ijin tiga hari ini gak bisa masuk kuliah karena sedang dukacita." Jojo sangat pengertian dengan kondisi teman baiknya itu. Zea harus menjaga kedua orang tuanya yang masih bersedih karena kehilangan anak pertamanya.
***
Esok paginya Elvan dibuat kecewa lagi ketika dia mengetahui kalau Zea kembali tidak masuk kuliah. Hari ini Elvan tidak ada kelas mengajar tapi dia mencari Zea karena mau memulangkan rubik yang dipinjamkan pada putranya.
Tanpa sengaja Elvan melihat karangan bunga dukacita berukuran besar ada di depan pintu ruang kerja rekan sesama dosen. Matanya membola saat dia melihat tulisan di sana ucapan turut berduka cita untuk Zea dan keluarganya atas meninggalnya Zio kakak dari Zea. Karangan bunga itu diberikan dari kampus karena Zio juga alumni dan asisten dosen di sana yang berprestasi.
Pertanyaannya terjawab sudah selama dua hari ini kenapa Zea tidak masuk kuliah. Bukan karena kehujanan lalu sakit tapi karena mahasiswinya itu sedang berduka.
Karena tidak ada kelas, Elvan langsung pergi dari kampus menuju rumah Zea. Di tengah jalan dia mampir ke toko bunga untuk membeli buket bunga dukacita untuk dia bawa kesana.
Mobil Elvan berhenti beberapa meter dari rumah Zea, pria itu memarkir mobilnya tepat di belakang mobil tamu lainnya. Sudah dua hari tapi tamu mereka masih banyak. Langkah kaki Elvan terhenti ketika dia masuk kedalam rumah dan langsung bertemu dengan mahasiswinya itu, melihat dosennya datang Zea langsung berdiri dan menghampiri Elvan yang masih berdiri di depan pintu masuk.
Kini dosen dan mahasiswinya itu berhadapan muka temu muka. Elvan melihat kedalam mata Zea yang masih bengkak dan memerah karena duka yang mendalam.
"Saya ucapkan turut berdukacita atas meninggalnya abang kamu - Zio Baskara - semoga dia mendapatkan tempat terbaik disana." Ucap Elvan.
"AMIN ... makasih, Pak." Hanya itu yang bisa Ada katakan karena ternggorokannya serasa tercekik, air matanya sudah kembali keluar tapi dengan cepat dia mengusapnya dengan jemarinya yang lentik.
"Ini siapa, Ze? Kenapa gak di suruh masuk dan duduk." Tanya Galih pada putrinya.
"Saya dosennya Zea, Pak. Dan sebentar lagi beberapa dosen perwakilan dari kampus akan datang, mereka sedang dalam perjalanan kesini." Elvan memperkenalkan dirinya sendiri karena orang yang ditanya tidak menjawab karena sibuk mengelap air mata yang terus mengalir.
"Makasih bapak sudah datang, silahkan masuk Pak." Ajak Galih.
Galih mengajak Elvan duduk lesehan disebelahnya hanya beralas tikar dan karpet karena semua kursi di bawa keluar rumah agar rumah itu menjadi lega dan menampung banyak tamu.
Pria yang sudah tidak muda lagi itu menceritakan kronologis kejadian kecelakaan maut yang merengut nyawa putra satu-satunya pada Elvan.
Zea dari dapur membawa satu piring kue basah dan secangkir teh untuk disuguhkan kepada dosennya itu. Elvan melihat wajah Zea yang masih mendung, tidak ada tawa ataupun senyum sama sekali dibibirnya. Setelah menyuguhkan cemilan dan minuman Zea duduk di sebelah papanya. Dia mendengarkan percakapan papanya dengan dosennya.
Satu hal yang baru Zea ketahui ternyata abangnya adalah junior dari dosennya itu, Zio adik kelas Elvan semasa di Sekolah Menengah Atas. Karena Zio mengikuti kelas akselerasi makanya abangnya itu bisa menjadi adik kelas Elvan walaupun terpaut jauh usianya.
"Loh, Pak Elvan sudah datang duluan rupanya. Pantas tadi dikampus kami cari-cari tapi gak ketemu." Ucap salah satu dosen yang baru saja datang.
"Maaf, saya duluan kesini karena saya sudah tidak ada kelas lagi saya pikir kalian sore pulang dari ngajar baru kesini, saya juga gak bisa lama-lama. Putra saya dirumah pasti nungguin." Balas Elvan. Tidak lama dia pamit pulang dan Zea mengantar dosennya itu sampai ke mobil.
Sebelum masuk mobil, Elvan merogoh saku jasnya dan langsung menyerahkan rubik yang di titip putranya itu.
"Yuza," ucap Zea ketika dia melihat ternyata rubik yang Elvan kembalikan kepadanya. Padahal dia sudah bilang pada Yuza kalau rubik itu untuknya saja, mainkan sampai dia puas. Tapi ternyata dia mengembalikannya.
"Kata Yuza kamu juga pasti mau main rubik ini untuk menghilangkan stress setelah perkuliahan selesai." Ucap Elvan. Zea terkesima dengan ucapan Elvan karena sebagian ucapannya dia itu benar, rubik itu selalu ada ditas Zea dan selalu dia mainkan ketika selesai kuliah saat makanan siang atau saat dia menunggu kelas selanjutnya.
"Sampaikan salam saya untuk Yuza, makasih." Ucap Zea lirih.
Elvan hendak masuk kedalam mobilnya tapi tidak jadi, dia berbalik badan sampai Zea kaget karena hampir saja mereka bertabrakan.
"Sekali lagi saya ucapkan turut berdukacita. Kamu harus sabar dan ikhlas. Saya tahu terkadang mudah diucapkan tapi sulit bagi yang mengalaminya, tapi saya percaya kamu gadis yang kuat pasti bisa lewati ini semua. Oh iya, untuk nilai kamu akan saya beri dispensasi tapi jangan bilang sama teman-teman yang lain." Ucap Elvan.
"Tidak usah, Pak. Saya gak enak sama teman-teman yang lain. Biar nilai saya kosong gak apa-apa." Balas Zea, kepalanya menggeleng menolak niat baik sang Dosen.
"Terserah!" Ucap Elvan sarkas lalu dia masuk kedalam mobilnya dan langsung pergi dari sana meninggalkan Zea yang masih terpaku karena mencoba menelaah ucapan terakhir dosennya itu.
Dari kaca spion di dalam mobil, Elvan dapat melihat Zea masih berdiri memandangi kearahnya sampai mobilnya berbelok dipertigaan. Elvan kesal karena niat baiknya di tolak mentah-mentah oleh mahasiswinya padahal di kampus banyak yang mohon-mohon padanya minta nilai tapi tidak dia berikan. Giliran dia berbalik hati malah di tolak. Tapi dalam hati kecilnya dia merasa bersalah dengan kata-kata terakhirnya agak sedikit ketus terlontar dari mulutnya, padahal mahasiswinya itu sedang berkabung.
'Haruskah aku putar balik dan meminta maaf padanya?' bathin Elvan.