Setelah mobil Elvan menghilang dipertigaan Zea kembali kedalam rumahnya untuk menemani tamu yang lainnya. Sesekali dia masuk kekamar melihat kondisi mamanya yang masih lemah karena terguncang dengan meninggalnya putra semata wayangnya.
"Mama lagi ngapain?" Tanya Zea ketika dia melihat Asri sedang membuka sebuah kotak album foto dan memandangi halaman demi halaman. Zea duduk dipinggir kasur dan ikut melihat album foto itu, dia melihat ternyata itu foto abangnya dari waktu bayi. Mamanya sangat telaten menyimpan semua kenangan mereka. Bukan hanya Zio yang memiliki album foto dari bayi tetapi Zea juga memilikinya.
"Dari bayi Zio adalah anak yang baik dan pintar, dia tidak pernah rewel dan menyusahkan mama. Sejak masuk sekolah dia selalu mendapat rangking satu dan beasiswa sampai dia kuliah," ucap Asri sembari mengusap foto demi foto Zio semasa kecil yang tersusun rapih pada album itu.
"Ketika tau adiknya lahir, dia sangat sayang sama kamu. Dia selalu berusaha menjadi abang yang baik, selalu menjagamu dan mengajakmu main. Zio selalu membantuku jika aku sibuk dia yang merawat Zea," Lanjutnya, Asri masih bersedih sampai air mata terus mengalir dan matanya bengkak, penglihatannya sampai buram tetapi dia langsung mengelap air matanya agar penglihatannya kembali terang dan dia dapat melihat kembali foto-foto masa kecil putranya.
"Ketika dia bekerja, gaji pertamanya dia berikan semuanya sama mama. Katanya uangnya buat mama semua. Gaji asisten dosen tidak besar tapi sangat besar artinya buat mama karena dia yang memberikannya." Asri terus bercerita tentang Zio pada Zea.
"Sebagai orang tua, Zio adalah harapan terbesar kami, semua cita-cita dan harapan yang tidak dapat kami raih dulu kami berharap dia dapat mencapai dan memenuhinya, tapi kini dia malah pergi untuk selamanya." Ucap Asri lirih dan dia terisak.
"Ma, mama masih ada Zea, aku akan menggantikan abang Zio sebagai anak kebanggaan mama sama papa. Zea yang akan melanjutkan perjuangan abang Zio membuat mama dan papa bahagia." Ucap Zea membesarkan hati mamanya.
Dengan mata bengkak dan merah Asri menatap wajah putrinya lalu dia memeluk erat Zea. Mereka berpelukan dan nangis bersama, keduanya merasa sangat kehilangan sosok orang yang mereka sayangi. Asri baru menyadari anaknya bukan hanya Zio, dia juga masih ada seorang putri yang harus dia jaga dan bimbing, masih ada Zea harapan terakhirnya.
Zea mengerti perasaan mamanya, tanpa banyak kata-kata lagi gadis itu mengajak mamanya keluar kamar agar lebih segar dengan suasana selain kamarnya, dia mengajak mamanya makan tapi sang mama enggan membuka mulutnya untuk makan walaupun sedikit, nafsu makannya hilang sejak dua hari yang lalu.
Dengan sabar Zea menemani mamanya dan merayunya agar mau makan walaupun sedikit, usaha Zea tidak sia-sia akhirnya sang mama mau makan walaupun hanya dua sendok makan saja yang masuk kedalam mulutnya, selebihnya dia menggelengkan kepalanya dan minta balik kekamar.
Galih juga sama dengan Asri, keduanya sama-sama kehilangan tapi sebagai kepala keluarga Galih harus lebih kuat dari istrinya. Dia meminta Zea agar menuruti keinginan Asri kembali kekamar.
Zea terus berusaha menghibur mamanya agar tidak berlarut dalam kesedihannya. Sebagai adik dari Zio dia juga merasa kehilangan sosok abang yang selalu menjaganya dan memanjakannya, tapi dia harus kuat untuk tetap menjalankan hidupnya, dia harus kuat untuk menjaga kedua orang tuanya khususnya sang mama.
Asri tertidur setelah beberapa jam ngobrol hati ke hati dengan putrinya, wanita setengah baya itu mencurahkan isi hatinya dan harapannya pada anak dan keluarganya.
***
Esok paginya Zea terbangun karena pantulan sinar matahari yang masuk kedalam kamarnya dan menyorot tepat di wajahnya seakan berniat membangunkan gadis itu.
Beberapa kali Zea mengedipkan matanya dan berusaha menutupnya dengan tangan karena silau. Ingin rasanya dia meneruskan tidurnya tapi sepertinya alam tidak berpihak padanya, selain sinar matahari yang membangunkannya hembusan angin pagi itu tiba-tiba berhembus dan membuat dirinya kedinginan.
Zea berdecak kesal ketika matanya terbuka dia melihat jendela kamarnya sudah sempurna terbuka lebar, pantas sinar matahari dan angin bebas masuk kedalam kamarnya.
Kening Zea menyernyit ketika dia sepenuhnya sadar bagaimana bisa jendela kamarnya terbuka, siapa yang membukanya, kapan. Gadis itu terus berfikir keras untuk hal yang sebenarnya tidak begitu penting.
***
"Selamat pagi, sayang. Kok kamu belum rapih? Gak kuliah?" Sapa Asri sekaligus bertanya ketika melihat Zea keluar dari kamarnya masih mengenakan pakaian tidur.
"Mama ..." Zea tidak dapat berkata-kata lagi karena dia sendiri bingung melihat mamanya sudah tampil segar dan kembali semangat, tidak seperti kemarin.
"Pagi ini mama sudah berniat akan melanjutkan hidup mama dan tidak berlarut dalam kesedihan," ucapnya dengan senyum yang membuat hati Zea atau siapapun yah melihatnya menjadi tenang dan damai.
"Mama kamu sudah bangun dari subuh, dia merapihkan rumah dan memasak semua ini, sekarang mari kita sarapan," ajak Galih.
Kini pertanyaan Zea terjawab sudah, siapa yang membuka jendela kamar gadis itu selain mamanya sendiri.
Pagi ini Zea bersyukur karena melihat kedua orangtuanya sudah tidak bersedih seperti hari-hari sebelumnya, mungkin mereka sudah merelakan, ikhlas atas kepergian selamanya putra mereka. Melihat orang tua seperti itu Zea tambah semangat ingin membuat keduanya bahagia, dia bertekad akan menjadi kebanggaan mereka. Gadis itu tau harapan kedua orangtuanya hanya tinggal kepada dirinya, putri satu-satunya dikeluarga itu.
Setelah sarapan Zea langsung bersiap diri, mandi dan sedikit berdandan tipis karena dia tidak mau terlihat menor saat ke kampus nanti bisa ditaksir om-om pikirnya, karena tidak sedikit mahasiswi sekarang merangkap agar kuliah mereka lancar dan tidak bermasalah dengan keuangan.
Pagi ini Zea kembali ke kampusnya menggunakan ojek online, karena mobil Zio masih dibengkel ditambah motornya ikutan masuk bengkel karena kecelakaan yang dialami abangnya itu membuat motor Zea rusak dan lecet dibeberapa sisi bagian tubuh motor.
***
Elvan memarkirkan mobilnya ditempat biasa dan ketika dia keluar mobil, dia melihat Zea turun dari motor yang dikendarai seorang pria berjaket hijau khas ojek online. Zea memberikan helm yang dipakai lalu dia mengeluarkan dompet dari tasnya dan mengambil beberapa lembar uang kemudian memberikannya kepada pengemudi motor itu. Dengan senyum dan sedikit membungkukkan badannya Zea mengucapkan terimakasih pada orang itu karena sudah mengantar dirinya sampai di tempat yang di tuju.
"Kenapa dia naik ojek online lagi, apa dia tidak punya kendaraan lain atau seseorang yang mengantarnya?" Elvan bermonolog. Dia mengambil tas kerjanya dan beberapa buku lalu menutup mobilnya dan pergi dari sana. Langkah kakinya sudah otomatis melangkah menuju ke dalam suatu gedung yang sama dengan Zea. Elvan berjalan tepat dibelakang mahasiswinya itu, tapi dia tidak bersuara atau menyapanya.
Zea berhenti tepat di depan lift yang akan dia gunakan untuk menuju kelasnya di lantai tiga, sedangkan Elvan terus berjalan menuju lift khusus dosen yang akan membawanya ke lantai dua, terkadang Elvan menggunakan tangga darurat menuju lantainya hitung-hitung olah raga. Tapi pagi ini dia memilih memakai lift karena kebetulan lift tersebut terbuka.