Gue melenggang santai keluar dari kelas meninggalkan semua makhluk yang natap gue horor haus akan informasi sambil diikutin oleh dua makhluk yang katanya sahabat gue tapi kerjaannya nyusahin.
"Ra, Lo bisik - bisik apa sih tadi sama bu Yuni?" tanya Novi sambil nampang muka kepo sama halnya dengan Siska yang sibuk menggandeng tangan gue supaya gue gak bisa kabur.
"Iih... Pada kepo ya?" Gue tertawa licik ala - ala pemeran antagonis. Sumpah lucu banget lihat muka mereka.
"Sayangnya itu rahasia," imbuh gue meyakinkan, sembari mengingat obrolan antara gue dan bu Yuni.
"Ah.. Gak seru lo, pake rahasia - rahasiaan segala sama kita, katanya kita temen." Siska mendadak memasuki mode ngambek.
"Iya nih, kepo tahu, tiba - tiba bu Yuni yang mau marah sama Lo jadi kalem begitu," sambung Novi tak kalah kuat menggandeng tangan gue.
Gue natap horor ke arah kiri dan kanan, ke arah tangan gue yang dari tadi digandeng berasa tahanan.
"Kalian..." Gue natap ke arah muka mereka satu persatu, "Gue berasa suami yang lagi direbutin istri tua sama istri muda, Haha." Gue tertawa receh dan kalimat gue sukses membuat mereka kompak nyubit tangan gue.
"Sakit wooy, Lu kate tangan Gue kue cubit."
"Lo sih orang lagi serius juga." Novi ngelus tangan gue bekas kelakuan barbarnya.
"Iya ni kepo banget Kita," kata Siska gak kalah antusias.
"Lepas dulu tangan gue, berasa tahanan mau digiring ke KUA ini," canda gue gak jelas bodo amat yang penting lepas nih tangan mereka.
"Ngapain tahanan ke KUA?" Novi nampang muka polos, diikuti lirikan mata Siska.
"Hadeh, Lo gak usah ngalihin pembicaraan deh Ra." Siska memutar bola matanya jengah.
"Sumpah ya kalian mirip istri yang..."
"NARA." belom selesai gue ngomong mereka sudah kompak nyebut nama gue sambil teriak.
"Udah deh Ra serius nih, apaan?" tanya Siska masih setengah teriak.
"Kan udah Gue bilang ini itu rahasia antara Gue sama bu Yuni, bisa abis gue kalau sampe bocor," kata gue panjang lebar mengingat fakta bahwa bu Yuni yang terkenal killer naksir berat dengan pak Wawan, pustakawan di kampus ini dan masih punya hubungan saudara dengan keluarga gue. Dan tadi supaya gue gak kena amuk karena gak bisa jawab pertanyaan bu Yuni gue berdalih dengan menjual nama pak Wawan.
"Lo gak percaya sama kita?" Novi nampang muka sok sedih..
"Udah deh Nov, jangan nampang muka begitu, kelihatan kayak korban sinetron perebut suami orang, haha." Gue ketawa jijay.
"Ntar Gue ceritain, sekarang Gue mau ke tempat ayang Gue dulu."
"Janji ya?" Siska Natap gue horor. Gue tahu tatapan itu, kalau sampai gue bohong alamat dijambak rambut cucok gue.
"Iyee. Promise neng, lepasin dulu nih tangan tangan Gue nyentuh ono kalian, geli Gue." Mata gue natap ke arah bagian d**a mereka.
"Yee, Lo kan juga punya," jawab siska sewot.
"Eh Lo gak jadi ke kosan kita? Oleh - oleh nya gak mau Lo?" tanya Novi sambil merapikan jilbabnya.
"Besok aja, bawa ke kampus yes," kata gue sambil mengangkat jempol, kemudian berjalan cepat ke arah parkiran tempat motor gue diparkir.
"Pacaran mulu Lo," teriak Siska heboh.
Yang gue jawab dengan dadahan ala Miss Univers. Bodo amat yang penting gue ketemu kak Davi..
***
Gue memarkirkan Mochi, di depan sebuah rumah dan kalo Lo nanya siapa mochi? Lo pasti cukup cerdas buat nebak kalau itu nama motor yang udah gue tunggangi sejak 2 tahun lalu, motor matic gembul berwarna cream.
"Assalamualaikum. Anybady home? Spada? Yuhuuuu Uda ku sayang," teriak gue begitu pintu gue buka, bodo amat kalau ada orang lain yang dengar kehebohan gue.
Tapi kok ya gak ada yang ngejawab, padahal jelas - jelas ada mobil kak Davi terparkir cantik di halaman depan. Gue berinisiatif masuk sendiri tanpa izin secara kagak ada yang jawab.
Pantesan gak ada yang jawab wong ini penunggunya lagi molor ganteng di atas sofa depan tv. Gue duduk bersimpuh di depan sofa, menghadap ke arah wajah ciptaan Tuhan nan nyaris sempurna di mata gue, manusia yang memiliki status sebagai Pacar Kinara Saraswati.
"Ya Allah, Nara, nikmat tuhan mana lagi yang engkau dustakan," kata gue sok puitis sambil menahan dagu gue dengan tangan ala - ala girlband sembari memandangi keindahan ciptaan tuhan sebagai bentuk syukur.
Sampai gue ngerasa ada yang berbisik di telinga gue, "Mau Lo apain temen Gue?" bisiknya halus, sontak gue kaget dan menoleh ke arah sumber suara di samping kuping kanan gue.
"Astagfirullah."
Plak. gue refleks nepok jidak Bang Rama kaget jir.
"Bang Lo jalan kagak napak ya? tetiba nongol," ucap gue sewot bagimane coba kalau gue jantungan terus mati muda? gimana kalo nanti gue gak jadi kawin sama kak Davi hayoo siapa yang mau tanggung jawab.
"Kita masuk kayak biasa kok, dasar Lo aja kelewat fokus ngelihatin muka Davi," kata Bang Rafli yang entah muncul dari mana karna dia udah anteng duduk di belakang meja depan tv.
"Iya dong, mumpung orangnya molor hehee." Gue mengeluarkan Hp canggih merek lokal dari dalam kantong jaket, buat apa? buat apalagi kalau bukan buat mengambil foto keindahan ciptaan tuhan di hadapan gue yang lagi bobok ganteng.
Cekreek . . .
Lihat Ok.
Cekrek...
Lihat Ok
"Ya Ampun Ra, bisa abis itu memori buat foto dia doang," ucap Bang Rafli yang gue rasa dia lagi nyindir gue, tapi ya bodo amatlah ya.
"Syuuuut, woles nanti tinggal di cetak terus jadiin album," kata gue sok sibuk.
"Gila nih bocah, udah kayak paparazi aja."
"Bodo amat." Gue sudah terlalu malas meladeni ucapan Bang Rafli yang mukanya itu Loh lempeng mulu kayak gak punya ekspresi lain.
Sedetik kemudian suara tv menggelegar melalang buana ke seantero ruangan, membuat gue yang syukurnya dikaruniai telinga yang sempurna pendengarannya kaget.
"Bang Lomau bikin Gue budek ya? kudu amat full volumenya?"
"Sorry Ra salah pencet." Bang Rama nyengir kuda nampang muka tanpa dosa,nyebelin.
"Ganggu aja." Gue melanjutkan aktifitas gue mengambil foto kak Davi, lumayan buat nambah koleksi, eh tapi ada yang aneh.
"Eh kok kak Davi gak bangun ya?" tanya gue ke duo abang-abang jones di depan gue.
"Tuh orang mah mau ada geledek, petir dan kilat yang menyambar-nyambar juga gak akan bangun kaauo dia gak inisiatif buat bangun sendiri," ucap Bang Rama enteng.
"Kebo?" kata gue dan diangguki oleh mereka, Ya Salam satu lagi fakta soal kak Davi.
"Lo tumben main ke sini?" tanya Bang Rafli sembari memakan keripik singkong, heran juga sejak kapan ini di atas meja jadi banyak isi minimarket, banyak makanan ringan euy jadi ngiler, eh..
Gue mengingat tujuan awal gue datang ke sini. "Nih mau ngasihin anime yang kak Davi minta tolong downloadin." Gue mengeluarkan flashdisk dari dalam tas.
"Tadi udah chat kak Davi bilang mau ke sini tapi gak dibales, tahunya molor."
Bang Rafli membuka laptopnya dan mulai memindahkan isi flashdisk gue ke dalam storage laptopnya.
"Thanks," ucap Bang Rama antusias.
"Gue download buat kakang mas Gue, bukan buat abang-abang jones," kata gue sewot yang dibalas dengan tatapan horor akibat kata jones dari gue.
Oiya nih mau kenalan sama duo abang-abang jones di hadapan gue? mau? maulah ya mumpung mereka jomblo.
Yang berambut nan klimis berperawakan tinggi, kulit sawo matang dengan tatapan tajam tapi menghanyutkan itu namanya Bang Rafli. Dan yang bak model dari dubai ini namanya Bang Rama, ganteng sih tapi sayang suka jorok, pantesan jones. Ampun bang.
Mereka ini salah dua dari personel BBF ala kak Davi kalau kata gue. Pada tahu kan BBF? tahu lah ya, secara mereka ganteng-ganteng, gak tahu kenapa cowok ganteng ngumpulnya sama cowok ganteng juga? masih menjadi misteri. Dan satu lagi namanya bang Cello, cuma orangnya jarang nongol maklum si abang satu itu model yang udah merambah sampai ke Asia, gile ya udah sukses diusia muda, kapan-kapan minta foto bareng bisa kali ya, hehe tapi tetep Kak Davi yang paling spesial pake telor, eh.
Mata gue membelalak melihat penampakan di layar laptop, ya kali gak kaget ngelihat gambar cewek ,kartun dengan baju seksi dan berdada besar, bahkan saat dadanya berayun terdengar suara boing..boing .
"Weetssss. Apa-apaan ini? Dasar m***m," hujat gue ke arah abang-abang jones yang lagi khusuk melihat itu semua.
"Apa sih Dek, kan tadi Kamu yang ngasih file nya," jawab Bang Rafli enteng.
Eeh bujang kalau tahu itu anime isinya gambar begituan mending gak usah gue downloadin tadi.
"Hapus gak!" kata gue lantang membuat kedua makhluk yang sedang asik menonton menatap kompak ke arah gue.
"Hapus," kata gue sekali lagi sambil melotot
"Ya ampun Dek. Wajar kali cowok nonton beginian." Bang Rama membela diri.
"Apanya yang wajar, mata kalian sudah tidak suci," ucap gue sok galak dan mereka berdua malah ngakak ngetawain gue. Sampai gue merasakan ada sesuatu yang nemplok di bahu kanan gue.
"Apa sih ribut-ribut." Suara berat khas orang bangun tidur menggema di samping telinga gue.
"Kak Davi suka nonton begituan ya?" tunjuk gue ke arah monitor.
"Heeem..." Kak Davi bergumam, masih mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer belum kembali seutuhnya setelah bangun tidur dan itu muka dekat banget dong sama muka gue, baru bangun tidur aja wangi, cowok gue gitu loh.
"Makan yuk, Kakak laper, huuuah.." Kak Davi nguap gede untung pala gue gak kesedot.
"Yoook," ajak gue semangat, ya kali daripada kak Davi malah nonton begituan, apaan coba boing boing bagusan punya gue coba, eeh..
Sampailah sekarang gue duduk nangkring di samping tempat duduk kemudi mobil kak Davi, si Mochi? Yaah ditinggal dong, kata kak Davi biar besok dia yang jemput gue kuliah jadi motor gue ditinggal aja di basecame mereka besok gue ambil.
"Mau makan apa?" tanya gue was-was walaupun gue ada firasat kak Davi bakal ngajak gue makan di Bakery, Lagi, bosan eeey.
"Fast Food enak kali ya," kata kaka Davi, tumben.
"Bukan bakery ni?"
"Kenapa mau ke sana?"
"Ogah," jawab gue cepat dan disambut kekehan darinya.
Kami masuk restoran dengan logo kakek - kakek berjanggut, gue lagi pengen makan burger.
"Renoo," teriak gue begitu melihat itu orang yang tadi dengan seenaknya bolos mata kuliah perpajakan.
Reno mendongak mencari sumber suara siapa lagi kalo bukan gue. Gue berjalan ke arah meja Reno yang sedang duduk sendirian diikuti oleh kak Davi yang mengekor di belakang gue.
"Wooy enak- enakkan Lo makan di sini, Ngapain tadi bolos?" cecar gue sembari mendaratkan b****g seksi gue di kursi tepat di depan Reno. Dari arah pandangannya dia menatap ke arah kak Davi yang ikutan duduk di samping gue seolah bertanya.
"Tadi Gue telat masuk, tahu sendiri kan bu Yuni gimana kalo ada yang telat," sanggah Reno.
"Salah Lo sendiri bukannya masuk kelas malah ngeloyor ke basecame Mapala." gue sewot sendiri secara dia melewatkan matakuliah dosen killer yang nyaris membantai gue tadi.
"Lo sama siapa?" Mata Reno melirik ke arah kak Davi
"Oiya kenalin ini, Kak Davi, pacar Gue," terang gue semangat sambil menggandeng tangan kak Davi dan dihadiahi senyum dari si empunya tangan. Gue lihat Reno menaikkan sebelah alisnya.
"Ini Reno teman kelas Nara." Gue memperkenalkan mereka berdua dan merekapun berjabat tangan ala-ala orang baru kenalan.
"Ya udah deh Gue pesan dulu ya." Gue hendak berdiri sebelum kak Davi mencekal tangan gue.
"Gak usah biar Kakak aja."
"Biar Nara aja yang ngantri, Kakak cukup duduk ganteng di sini," kata gue gak kalah semangat secara kalau kak Davi yang ngantre ada-ada aja cabe yang ngajak kenalan kan bikin bete.
"Eh duduk biasa aja deh jangan ganteng-ganteng," ralat gue.
Kak Davi menyodorkan kartu saktinya, dia paling pantang makan dibayarin cewek. wiih gentleman bingitkan cowok gue dan dengan senang hati gue terima kartu tersebut lumayan makan banyak gratisan hehe..
"Kalian ngobrol aja ya, Kak mau Makan apa?" tanya gue sebelum gue lupa mesenin buat kak Davi.
"Samain aja."
"Ren Lo mau?"
"Gak ah, Gue udah kenyang."
Setelah hampir 15 menit gue mengantre gue kembali kemeja kami dengan nampan berisi makanan pesanan gue dan gue lihat Reno sudah gak tahu ke mana, meninggalkan kak Davi yang berwajah Datar dan terlihat tidak senang.
Eh ada apa?
why?