Nara menempelkan wajahnya di atas meja kantin sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di bawah meja.
"Wooooy...." Siska menggebarak meja, mengagetkan Nara yang sedang asik dengan lamunannya.
"Apa?" jawab Nara malas sambil sedikit mendongakkan kepalanya.
"Kok Lo gak kaget sih?" Siska menatap heran, temannya ini biasanya akan bekoar - koar kalau dikagetkan tapi ini malah biasa saja.
"Lagi gak mood kaget Gue." Nara kembali menempelkan wajahnya ke atas meja.
Siska meraba kening Nara dengan punggung tangannya.
"Lo sakit?"
Spontan Nara menepis tangan Siska membuat Siska terkekeh geli.
"Gue gak sakit tapi separuh jiwa Gue yang lagi sakit." Nara masih melanjutkan adegan mengetuk-ngetuk mejanya.
"Maksud Lo? Lagi kena penyakit alay?" Siska tertawa renyah, menatap ke arah Nara yang sedang masuk ke fase drama galau ala - ala.
"Kak Davi sakit."
Byuuuur. . .
Siska menyemburkan Jus jeruk yang sedang diminumnya ke arah Nara membuat gadis itu berteriak jijik.
"Wooooy Gue kagak kesurupan gak mesti Lo sembur juga." Nara ngelap kepalanya yang terasa basah terkena semburan jus jeruk Siska.
"Kak Davi sakit? serius?" Siska menatap tidak percaya ke arah Nara, Nara mengangguk kecil membenarkan.
"Kok bisa?"
"Segitu anehkah mendengar seorang Arka Davi sakit? sampe segitu hebohnya." Nara menatap Malas.
"Lah Lo kan tahu kak D gak pernah bolong absen sekolahnya, selama tiga tahun SMA dia gak ada sekalipun bolos karna sakit," ucap Siska si ratu gosip sekolah.
"Gue juga gak tahu kenapa, padahal kemarin dia kelihatan baik-baik aja, walaupun rasanya ada yang aneh." Nara berpikir sejenak memegangi dagunya ala - ala detective conan.
"Aneh kenapa?" Siska mendekatkan wajahnya ke arah Nara.
"Kemaren Gue ke base kak Davi, abis itu dia ngajak Gue makan, terus kan Gue yang ngantri beli makannya, pas Gue balik kemeja muka kak Davi aneh banget, datar dan kelihatan kesal." Nara mulai bercerita.
"Terus ?" Siska penasaran.
"Terus." Nara mendekatkan kepalanya ke arah Siska dan refleks Siska mulai fokus ingin mendengarkan kelanjutan ceritanya.
"Terus... teruss... kiri pak kiri balek."
"Yeeey si anak kuda." Siska menoyor kepala Nara menjauh.
"Lo kate tukang parkir? lagi serius juga." Nara terkekeh geli.
"Bentar gue Flashback dulu."
Flashback. . .
Nara membawa nampan penuh makanan ke meja tempat duduknya, dilihatnya Reno sudah pergi entah ke mana dan Davi mematung wajahnya terlihat tanpa ekspresi.
"Kak? Kenapa?" Nara menaruh nampan ke atas meja.
Davi menoleh ke arah Nara seolah-olah tatapan itu menyelidik.
"Kakak gak enak badan." Davi tersenyum tipis.
"Loh tadi baik-baik aja?" Nara menaruh tangannya persis di dahi Davi membuat Davi tersenyum senang dengan perlakuan Nara.
"Tapi gak panas?" tanya Nara menyelidik.
"Emang sakit harus panas ya badannya?"
"Yah enggak sih." Nara menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal entah kenapa rasanya canggung.
"Ya udah makan dulu siapa tahu nanti enakkan mungkin kakak lapar? Jangan sampai sakit maag, uuughhh menyakitkan." Nara menyerjitkan keningnya seolah-olah sedang merasakan sakitnya, Davi senang Nara khawatir padanya.
Nara menyodorkan burger ke arah mulut Davi secara laki-laki itu sama sekali belum menyentuh makanannya.
"Kalau Kakak gak kuat nyetir biar nanti Nara yang nyetir." Nara tersenyum riang sembari menggigit burgernya.
"Kakak masih mau hidup." Davi mengunyah makanannya santai sementara Nara memanyunkan bibirnya kesal. "
Nara bisa nyetir kok," ucap Nara meyakinkan walau dalam hatinya masih tetap ada rasa ragu.
"Terakhir Kamu nyetir mobil Kakak nginap di bengkel dua hari," ucap Davi santai.
Nara semakin memanyunkan bibirnya ."Daripada Kakak yang lagi sakit nyetir, kan bahaya."
"Bukannya lebih bahaya lagi kalau Kamu yang mnyetir? Aaauuu." Nara mendaratkan cubitan ke lengan Davi, Davi meringis mengusap bekas cubitan Nara sambil tertawa.
"Reno kok pergi gak bilang - bilang." Nara menatap ke arah tempat duduk Reno tadi, Davi hanya mengangkat bahunya acuh.
"Nah gitu ceritanya sis." Siska meniup sedotannya ke arah wajah Nara.
"Lo tu ya, cerita itu diomongin, diucapin bukan cuma di pikirin dalam otak Lo doang. Lo kate Gue cenayang bisa baca pikiran Lo." Nara terkekeh geli, memang benar dia hanya flashback di dalam pikirannya sendiri.
"Reno." Lagi - lagi Nara berteriak keras di tengah keramaian hanya untuk memanggil Reno dan si empunya nama sontak menoleh dan berjalan menuju arah suara.
"Ada apa?" Reno menoleh ke arah Nara dan Siska bergantian.
"Lo kok kemarin ngilang gak bilang-bilang." Mendengar ucapan Nara, Siska mendongakkan wajahnya ke arah Nara kemudian Reno menerawang.
"Eh sorry, Gue udah pamit kok ke cowok Lo." Reno mengulas senyum sementara Siska masih sedia mendengarkan dengan bingung.
"Hm, oiya Lo ngobrol apa aja sama cowok Gue?" tanya Nara antusias.
Reno berpikir sesaat seolah-olah sedang mengingat-ngingat.
"Gak ada kok cuma obrolan singkat, soalnya abis itu Gue langsung cabut ada urusan."
Nara manggut-manggut. "Ya udah, kalau gitu Gue mau melanjutkan perjalanan."
"Cih. Gaya Lo." Nara tertawa garing. Reno melengos pergi dan ada satu hal yang hanya siska yang menyadari sesaat tadi Reno tersenyum aneh, senyum yang sama seperti sebelum kejadian itu saat SMA.
"Lo kemarin ketemu Reno?" Nara mengangguk kecil.
"Pas Lo jalan sama kak D?" Nara mengangguk lagi.
"Gue heran Lo demen amat manggil cowok Gue kak D, sekalian aja KD biar jadi Diva," celetuk Nara asal.
"Kan panggilan sayang Gue." Siska nyengir kuda.
"Waseeem, cowok Gue tapi malah Lo yang punya panggilan sayang." Nara memanyunkan bibirnya, kembali menempelkan wajahnya ke atas meja sembari menunggu Davi membalas pesan yang sudah berpuluh-puluh kali Nara kirim tapi tak satupun yang dibalas membuat Nara merasa khawatir.
"Lo gak nyoba nelpon abang-abang BBF aja?" tanya Siska mencoba memberi pencerahan karena tanpa Siska tanyakan pun dia sudah tahu dari wajah Nara kalau Davi tidak mengangkat telpon ataupun membalas pesan dari sahabatnya itu.
"Udah tapi gak diangkat semua, bahkan Gue nekat nelpon bang Cello, diangkat sih cuma dianya lagi di Hongkong." Nara memutar wajahnya yang tadinya menghadap ke kiri sekarang menghadap ke kanan menghadap Siska.
"Gak ke rumahnya aja?"
"Gak tahu alamatnya." Siska mencebikkan bibirnya.
"Pacaran setahun alamat rumahnya aja gak tahu." Siska lanjut menenggak habis jus jeruknya, Nara terlihat lebih memelas sampai kemudian hpnya bergetar.
Bang Rama tamah Calling . . . .
Sontak Nara menegakkan kepalanya dan langsung menggeser layar hpnya menjawab panggilan tersebut.
"HALOOO BANG KENAPA DARI TADI DI TELPON GAK DIANGKAT," teriak Nara membuat nya sukses menjadi pusat perhatian di kantin. Siska bergedik ngeri melihat orang yang duduk di sebelahnya sambil berteriak ke hpnya.
Rama menjauhkan hpnya dari telingan. "Buseeet bisa bolong nih gendang telinga Gue."
"Bang, kak Davi mana dari tadi di telpon gak diangkat di chat gak dibales, di read pun kagak." Nara memelas.
"Katanya dia lagi gak enak badan," ucap Rama enteng.
Nara mendengus kesal, dia sudah tahu Davi sakit dari Rafli tadi pagi, karena seharusnya Davi yang menjemputnya tetapi justru Rafli yang datang menjemputnya.
Dan saat ditanya Davi ke mana Rafli hanya bilang Davi sedang tidak enak badan dan setelah itu berapa banyakpun Nara berkoar Rafli tetap diam dan fokus ke arah jalan dan buruknya Nara lupa menanyakan alamat rumah Davi.
"Lo ke rumahnya aja Ra entar Gue kirim alamatnya." Tanpa Nara tanya Rama sudah lebih dulu menjawab pertanyaan di dalam benak Nara.
"Tapi semoga aja dia di situ, soalnya dia jarang di rumah, tadi sih Gue ke base dia gak ada, oiya kalau mau ambil motor, langsung aja minta sama satpam yaah.. byeee." Rama bicara panjang lebar tanpa membiarkan Nara bersuara dan berakhir dengan bunyi tuuut...tuuuttt tanda telpon terputus.
"Nyebelin." Nara mendelik kesal.
Tak lama kemudian Nara sudah mendapat alamat rumah Davi dan mulai beranjak dari duduknya.
"Gue cau belo dulu ya."
"Wokeeh semangat ngerawat kak Davi," ucap Siska yang dibalas senyuman malu-malu dari Nara.
"Lo gak apa - apa sendiri?"
"Gue udah biasa sendiri." Siska memanyunkan bibirnya kesal dengan pertanyaan Nara, dan berikutnya Nara pergi mengambil sepeda motornya.
***
Nara berdiri mematung di depan sebuah gedung pencakar langit, matanya menyelisik heran sejak dari parkiran motor tadi, begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.
"Ini serius bang Rama kagak salah kasih alamat?" Nara kembali memperhatikan chat dari Rama.
"Berapa miliar yang harus dibayar supaya bisa tinggal di sini?"
"Mbak Nara ya?" tanya seorang bapak - bapak berseragam, Nara mengangguk membenarkan.
"Saya Pak Yanto." Pria setengah baya itu mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Nara.
"Kok Bapak kenal Saya?" Tatap Nara menyelidik.
"Tadi Mas Rama bilang kalau pacar Mas Davi mau datang ke sini jadi minta saya ngantar Mbak," jelasnya , Nara cuma mengangguk masih bingung siapa gerangan sebenarnya sang pacar sehingga bisa tinggal di tempat elit seperti ini.
Nara dan Pak Yanto masuk ke dalam Lift. Pak Yanto menekan angka 20, Nara terkesima melihat begitu banyak angka pada lift tersebut. Gila sampai puluhan pikirnya dalam hati. Memang Nara tinggal di ibu kota tapi dia belum pernah masuk ke gedung pencakar langit begini paling tinggi dia naik sampai lantai 10 itupun di hotel.
Mereka keluar dari lift. "Ini beneran lantai 20?" tanya Nara ngeri dan di iyakan oleh pak Yanto.
'Wow kak Davi tinggal di lantai 20, bukannya dia takut ketinggian? ucap Nara dalam hati bertanya-tanya.
"Ini tempatnya Mbak."
Nara cengo bagaimana caranya dia masuk? ya kali dia bisa nembus dinding, Nara menatap kembali ke arah pak Yanto seolah mengerti Pak Yanto menekan bel.
Sementara Davi sedang berbaring di kursi sambil melipat tangannya, dengan hanya menggunakan celana training berwarna abu-abu sambil bertelanjang d**a. Dia sedang malas melihat hp. Dia tahu ada begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab hanya saja dia sedang dalam mood yang buruk untuk membalas maupun mengangkat telpon, walaupun dia tahu resikonya mungkin Nara akan mengomel nanti.
Ting..tung...
Davi melihat ke arah monitor melihat siapa yang datang, karna seingatnya tidak ada yang pernah berkunjung ke tempatnya ini selain ketiga teman baiknya itu, tapi biasanya mereka bertiga akan langsung masuk tanpa membunyikan bel.
Davi keheranan, Bel terus berbunyi tapi layar monitornya seolah ada yang menutupi
"Siapa?"
"Monster," ucap seseorang di seberang sana.