EPISODE 18

2665 Kata
Vote ? *** Author POV. . . Davi keluar dari kamar mandi sambil mengusapkan handuk kecil kekepalanya, mandi membuat pikirannya sedikit lebih ringan. Matanya menyelusuri setiap sudut kamar entah kenapa dia merasa rindu Nara berada didalam kamarnya. Pandangannya terhenti disatu benda diatas nakas samping tempat tidurnya, sebuah map berwarna coklat dan didalamnya terdapat amplop bewarna coklat pula. Davi duduk ditepi ranjang tangannya terulur mengambil amplop coklat tersebut, dibukanya amplop itu dan memunculkan beberapa carik kertas dan beberapa foto, ingatan kembali ke beberapa hari yang lalu saat Rafli dan Rama menunggunya pulang setelah mengantar Nara pulang. Davi masuk ke apartement nya, bisa dia lihat dari wajah kedua sahabatnya itu, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin mereka beritahukan. Setelah mengambil air mineral dari dalam kulkas Davi duduk di sofa dihadapan mereka. Rama melemparkan sebuah map berwarna coklat. "Ini apa?" tanya nya bingung Davi mulai membuka amplop coklat tersebut memamerkan beberapa carik kertas dengan foto seseorang yang terklip di atas kirinya. "Lo harus hati-hati mulai sekarang" Peringat Rafli, pandangan memancarkan aura kekhawatiran. "Leonardo Wijaya, Tobi Abimayu? Siapa? Gue gak kenal?" "Kalau yang ini? Lo kenal?" Rama membuka salah satu amplop coklat lain, memang didalam map coklat itu ada 3 buah amplop coklat. Davi terdiam sesaat dia tidak begitu familiar dengan nama itu tapi dia kenal atau lebih tepatnya tahu wajah orang didalam foto yang terklip di disudut kiri kertas itu. " Moreno anggara?" Rafli memperhatikan ada perubahan pada raut wajah Davi "Lo kenal?" "Temennya Nara, apa masalahnya dengan orang ini?" "Jadi lo udah pernah ketemu sama dia?" Davi menganggukan kepalanya saat mendengar pertanyaan Rama. "Gue pernah ketemu dia sekali, seingat gue sih kemarin" "Dimana?" Rafli menyandarkan tubuhnya disandaran kursi. "Di Restoran, Nara ngenalin gue sama dia, yah tapi kami gak sengaja ketemu, jadi kenapa dia nyari tau soal gue, ada hubungannya dengan perusahaan? Lagi?" Rama menggeleng "sejauh informasi yang gue dapat ini berhubungan dengan Nara" Davi yang tadinya terlihat santai sesaat menegang, sorot matanya seolah bertanya kenapa? Kenapa bisa ada hubungannya dengan Nara, pacarnya. "Nara? Kenapa?" "Lo banyak banget ngomong kenapa dari tadi" Refleks Davi melempar bantal sofa kearah Rama, "karna gue gak ngerti poin pentingnya dimana? Kenapa bisa dihubungkan dengan Nara" kesal Davi. "Menurut gue, karna orang ini tans fanatiknya Nara" ucap Rafli enteng. "Fans fanatik? Nara? Kalian lagi main drama?" "Gue gak becanda Arka Davi, lihat amplop berikutnya" Davi membuka amplop coklat terakhir, terdapat 3 buah kertas berisi foto dan informasi tentang tiga orang. "Siapa pula ini?" Davi mendongak, jelas dia sangat bingung ada apa? Kenapa banyak sekali foto lelaki yang ditunjukkan kedua temannya itu. "Itu tiga orang korban ke fanatikan Si Moreno itu" Rama berdiri dari duduknya berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral karna memang hanya ada minuman berwarna bening itu didalam kulkas Davi. "Maksudnya Reno nyingkirin mereka? Atas dasar apa?" Rafli menaikkan bahunya, tanda dia sendiri pun tidak tau. "Itu yang mau kita cari tau, paling enggak kita harus ketemu salah satu dari mereka, masalahnya mereka bertiga ada diluar kota semua" Rama berjalan kembali mendekati sofa dan mendaratkan tubuhnya tepat disamping Rafli. "Kalian udah ngurus semuanya kan?" Davi menatap lurus kearah kedua sahabatnya itu, walau dia sendiri masih bingung dengan ini semua namun sebisa mungkin dia ingin menjauhi masalah atau lebih tepatnya menjauhkan Nara dari masalah. "Kita bakal pancing yang namanya Anwar Fauzi itu buat datang kejakarta, gue udah atur semuanya, gue bisa jamin lo bisa ketemu dia dibazar kampus" Ucap Rama enteng. "Kadang gue ngerasa ngeri sama kerja kalian, dalam sehari bahkan dalam beberapa jam kalian sudah sampai sejauh ini" Davi menggeleng tidak percaya, tidak percaya bahwa dua orang sahabatnya ini sangat luar biasa saat mencari informasi dan menyusun rencana. "Mau gimana lagi tuntutannya begitu, bisa berabe kalo cucu kesayangan orang itu sampe lecet" Rama memasang wajah malasnya, membuat Rafli yang sejak tadi diam refleks menoyor kepalanya. Davi menghembuskan nafasnya pelan "ya udahlah, kayak biasa, kalian bisakan beresin ini semua? Gue gak mau Nara kemapa-napa, dan gue butuh info lebih banyak" "Oke, oke, kita akan dapat titik terang kalau udah ketemu si Anwar itu" "Tempatin orang buat jagain Nara" "Itu urusan dia" Rama menggerakkan kepalanya kekanan menunjuk kearah Rafli. "Beres" ucap Rafli terlihat malas, walau sebenarnya dia sendiri sudah merasa bosan harus mengurus hal seperti ini karna memang sejak kecil Davi selalu terseret masalah yang bahkan kadang tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Davi menegakkan tubuhnya saat dilihatnya pintu kamar terbuka memunculkan dua orang dari balik pintu. "Kita mau balik kekampus, lo ikut?" tanya Rafli, jelas terlihat wajah kelelahannya, mengurus BEM dan mengurus masalahnya mungkin sudah menguras tenaga lelaki itu. "Gak, gue mau istirahat, dan juga kalian kayaknya juga butuh istirahat" Kedua orang diambang pintu bersamaan menghembuskan nafas "maunya begitu, apa daya tanggung jawab menanti" ucap Rama aok dramatis. Davi tertawa kecil "ya udahlah, see you, selamat berlelah lelahan" "Temen mah gitu" Rama siap menutup kembali pintu kamar sebelum dia kembali mendongakkan kepalanya di dari balik pintu. "Tadi sih gue udah ngasih ancaman secara gak langsung pas ketemu Reno" "Ancaman?" Davi menatap bingung, kadang memang kedua temannya ini suka berlebihan pikirnya. "Tadi anak buah gue kasih tau katanya Reno lagi ketemuan sama kedua antek²nya jadilah setelah dengar curhatan Anwar gue ketempat mereka ngumpul, pas gue sampe sana pas²an sama Reno yang baru keluar, yah gitu" "Makasih, sekarang mereka tau kalau kita tau" ucap Davi mendramatisir. "Mereka harus tau, sekarang mereka main sama siapa?" Rafli yang tadi tidak terlihat lagi kembali muncul dari balik pintu yang setengah terbuka. "Ya sudahlah, gue mau cepat tidur besok mau jalan sama Nara" "Ini dia ni tipe temen lucknut, kita sibuk ngurus masalah lo, dianya sibuk pacaran" Rama memincingkan matanya. "Itulah gunanya teman" Davi tertawa mengejek "udah sono, balik kampus gih" usir Davi, membuat Rama dengan semangat menutup pintu dengan kasar. Davi membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Drrr...drrrt Sebuah pesan masuk. Davi mengambil HP nya diata Nakas, namun bukan HP itu yqng bergetar namun HP yang berada didalam laci. 1 pesan masuk Dibukanya pesan itu, pesan dari Rama, Rama mengirim rekaman tadi. Davi mengambil headsetnya dan mendengarkan ulang isi rekaman tersebut, membuatnya ingat kejadian tadi siang. Davi berjalan keliling bazar melihat-lihat stand yang sudah mulai ramai pengunjung. Matanya mencari-cari sosok perempuan yang sudah mengambil hatinya, Nara. Matanya tertuju kearah Nara yang duduk disebuah stand yang menjual kaos-kaos, sambil memijit kaki nya, sontak Davi menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Hayoo kenapa senyum sendiri?" Davi menoleh kearah suara, Alona sudah berdiri disampingnya sambil tersenyum manis. Davi tidak menanggapi omongan Alona, bagaimanapun dia tidak mau Nara ngambek lagi, walau begitu dia membiarkan Alona berada didekatnya mencoba menarik perhatian Nara di sebrang sana. Sampai benar dugaannya Nara mendekatinya dengan wajah penuh cemburu, membuat Davi tersenyum kecil. Setelah berhasil mengusir Alona, Davi berjalan kebeberapa Stand beraama Nara, mengulur waktu. Rama : si A msk gerbang. setelah membaca pesan Rama, Davi menggiring Nara mencari sosok Anwar yang dia tau lewat foto, beruntungnya Nara lebih dulu memanggil nama orang tersebut, dan sejauh itu semua berjalan lancar, walau akhirnya lagi-lagi Rama lah yang harus turun tangan menggali informasi dari Anwar. Drrt...drrt Kali ini HP pribadi Davi yang bergetar memperlihatkan sebuah pesan dari seseorang yang seharian ini memenuhi pikirannya. Queen : besok jmput jam 9, Nara udah tau mau kemana. Tak menunggu waktu lama Davi membalas pesan Nara. Arka Davi : kemana? Queen : Rahasia ? Davi tersenyum kecil, tanpa membalas pesan itu mata Davi mulai tertutup membiarkan dirinya terlelap melepas rasa lelah. *** *** Author POV. . . Davi menyerjitkan dahinya mencoba mengembalikan kesadarannya setelah pulas tertidur, saat mendengar suara Adzan subuh dari HP nya, matanya menyerjap beberapa kali. Kemudian duduk ditepi ranjang sambil sedikit merenggangkan otot-otot nya yang terasa kaku lalu berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dan mengambil wudhu. Selesai sholat subuh dia kembali menghempaskan tubuhnya keatas ranjang mencoba terlelap kembali sebelum nanti harus menjemput Nara, Davi mengambil HP pribadinya diatas nakas berniat memasang alarm tepat jam 7 pagi agar nanti tidak terlambat karna sepengalamannya Nara itu tipe perempuan yang tidak suka ditunggu apalagi menunggu. Matanya tertuju pada layar HP, sudah ada beberapa chat dan panggilan tidak terjawab sengaja memang semalam dia men-silent benda pipih itu agar tidak mengganggu tidurnya. Queen: perubahan rencana, jemput jam 7, on time, kita otw pantai ? Davi menyipitkan matanya saat membaca chat dari Nara, bukan apa-apa seharusnya Nara tau dirinya tidak suka air, atau lebih tepatnya air dengan jumlah banyak, dan setahu dan seingatnya dipantai pasti amat sangat banyak air. Davi : kenapa pantai? setelah membalas pesan Nara, Davi mengecek beberapa chat dari Rafli. Rafli Raditiya Zeroun : udah gue ganti, dijamin yang ini gak bakal ketahuan. Davi tersenyum kecil, bagaimanapun aneh saja rasanya dia meminta seseorang untuk mengawasi pacarnya, yah walaupun itu untuk keselamatan gadis itu sendiri. Tidak sampai satu menit Davi membalas pesan Nara, sekarang Nara malah menelponnya. Davi menyentuh layar HPnya dan menggesernya kekanan, mengangkat telpon tersebut. "HALOO" teriak nyaring Nara membuat Davi menjauhkan telinganya "Assalamualaikum sayang, jangan teriak-teriak yah, bisa budek ni kakak, gak maukan punya pacar budek?" ucap davi lembut, membuat Nara terkekeh disebrang sana. "Waalaikumsalam kakang mas Davi ku sayang, udah baca pesan Nara kan?" Davi terdiam sesaat. "Iya udah, kita mau kepantai mana?" "Nanti Nara yang jadi penunjuk jalannya, yang pasti bukan pantai Ancol, haha" tawa Nara menggema dari sebrang sana lagi-lagi membuat Davi menjauhkan telinganya dari HP yang menempel ditelinganya "Oiya jangan lupa bawa baju ganti, takutnya nanti kita basah-basahan, sampai sini kalau bisa sepagi mungkin" ucap Nara terdengar memaksa. "Kakak masih pengen tidur, gak kepagian itu jam 7? Jam 9 aja ya?" rengek Davi, benar saja matanya masih ingin mengatup rapat. "Pokoknya sebelum jam 7 harus udah sampe sini, TITIK, Kakak jangan banyak t***k bengek deh, punya t***k juga enggak" tegas Nara membuat Davi menghembuskan nafasnya pelan, sampai otaknya menyadari satu kalimat janggal dari mulut Nara. "Apa kau bilang? Nara kau minta di . . ." belum selesai Davi bicara telpon sudah ditutup meninggalkan suara Tut....tut.. Tanda panggilan berakhir, davi menatap cengo kearah HPnya benar saja panggilannya benar-benar terputus. Mau tidak mau Davi harua segera beranjak kekamar mandi untuk membersihkan dirinya, bagaimanapun dia tidak ingin Nara murka, bisa dibilang Davi akan kebingungan kalau-kalau Nara ngambek lagi dan tidak mau jalan berdua lagi dengannya. *** Nara POV. . . "Ma, bantuin Nara bikin bekal" ngerengek dikit sama mama gue gak pa-pa kali yah, mama yang dari tadi asik baca majalah sambil senderan di papa gue noleh seketika kompakan. "Bekal ? Gak salah denger ni papa? Biasa beli nasi bungkus juga sok-sokan mau bawa bekal" gue mendengus kesal, cih bokap gue mah gitu, bapak gue sukanya bikin gemes, gemes pengen nyakar, eh ampun pah.. "Besok mau jalan sama kak Davi ke taman, kan asik tu duduk-duduk dibawah pohon rindang sambil makan bekal buatan Nara" gue nyengir lebar mujuk mama gue yang masih asik sama majalahnya. "Ma" gue menggoyang-goyangkan tangan mama. "Katanya bekal buatan Nara? Ya kamu dong yang bikin, kan yang Nara itu kamu" ketua nyokap gue, mulai deh ni mama gue gak mau dipiaah sama papa, heran kayak anak abege aja. "Nara kan bilang bantu mama, bukan mama semua yang bikin" gue diam sesaat, ahaa gue tau gimana cara mujuk mama gue yang lagi kasmaran ini. "Ya udah kalau gitu, jangan salahin Nara ya kalau dapur baby kesayangan mama itu Nara porak porandakan?" gue senyum mengancam membuat mau gak mau mama gue bangkit dari posisi nyamannya dan meletakkan majalahnyabkembali keatas meja. "Mau bikin apa?" mama menatap gue serius, mama mah suka bikin anaknya beringsutan gaje. "Gak tau" kata gue bingung "Pikirin dulu mau bikin apa, setelah itu baru minta bantuan mama" mama kembali mengambil majalah diatas meja, majalah yang berbeda. Gue diam mikir baiknya bikin apa? Tapi lah iya otak gue buntu baru kali ini gue dapat karomah buat mau bikin bekal, biasanya dari zaman sekolah gue lebih milih makan dikantin daripada bawa bekal. "Bento aja gimana ma?" ucap gue antusias, keingat cara buat bento yang pernah gue tonton disalah satu stasiun tv. Mama menghela napas sesaat sebelum mengalihkan pandangannya dari majalah "Bento yang dibentuk gambar-gambar kartun ya?" Gue ngangguk antusias, "anak siapa yang mau kamu bekalin ke TK" papa tertawa ngejek, eh ini mah dua lawan satu, cih. . . "Bukannya ngasih solusi, malah mau ngasih polusi, papa ih" gue ngambek aah bodo amat. "Habis kamu tu yah, mau pergi sama calon mantu papa, tapi bikin bekal aja gak bisa" ejek papa gue, iya ni papa yang lembe banget, et dah lebih mikirin calon mantunya daripada anak gadisnya yang unyu ini. "Mama kamu tuh ya, dulu kalau mau jalan sama papa, selalu siap sedia bekal buatannya sendiri, setahu papa mama kamu ini dari kecil udah mandiri udah bisa masak, lah kamu masak nasi di rice cooker aja gosong" ya Allah Nara gak mau jadi anak durhaka dan khilaf getok kepala papa sendiri. "Yah gimana mau belajar kalau gak ada yang ngajarin" gue ngelipat tangan tepat didada gue dan merengsot di sandaran sofa depan tv. Iya benar banget gak ada yang ngajarin gue gimana gue mau bisa? Dan dari kecil baru mau nyentuh kompor aja udah diteriakin sama mama, apa lagi noh si Vino dia bakal teriak 8 oktaf kalau udah mulai lihat gue megang wajan mau nyalain kompor, dih segitunya. "Ya udah, besok mama bantu bikin" mama ngusap kepala gue lembut. "Memangnya mau ketaman mana?" "Taman kota kayaknya ma" jawab gue malas, iya mood gue mendadak bobrok. "Kalau gitu bawa anti nyamuk, entar tambah ngembang badan kamu" et daah khilaf juga ni lama-lama ngelempar papa gue pake bantalan sofa, sabar-sabar. "Gak ketaman lain aja?" gue mikir bentar, why? "Kenapa memangnya ma?" "Yah kalian tu yah kalau kencan tempatnya aneh-aneh" ucap mama gue enteng buat gue nekuk muka gue sebel. "Sekali-kali itu kepantai, iya kan pah" mama tambah bersandar-sandar manja sama papa gue, ealah gak sadar apa ni ada anaknya disini. Mesra mulu bikin baper. "Iya iya, eh kok papa jadi nostalgia gini ya, keingat kencan pertama kita" kata papa gue antusias. Gue diam aja ngelihat kelakuan orang tua gue yang selalu lengket tiap kali ketemu, yah itulah cinta, kalo kata papa gue dia makin cinta sama mama gue setiap kali mereka ketemu. Emang iya sih dalah setahun papa gue cuma beberapa bulan doang dirumah selebihnya beliau ngambang dilaut. Mama sama papa maaih sibuk bernostalgia ria, lumayanlah gue bisa ikutan dengar bagian dari kebahagiaan mereka sebelum berojolin gue sama Vino. Pikiran gue terinstrupsi saat tiba-tiba gue jadi kepingin pergi kepantai juga, kan gue juga belom pernah pergi kepantai bareng kak Davi. Tapi apa gak apa-apa ya ngajak kak Davi kepantai? Dia kan gak suka air, kecuali buat mandi sama minum. "Kenapa kalian gak ke pantai aja? Seeu tu main air" ucap mama mebuyarkan lamunan gue. "Iya bagus itu kalian kepantai aja, tapi jangan lupa pake sunblock nanti gosong kulit kamu" sambung mama santai. "Tapi pantai mana?" "Pulau seribu" papa menaik turunkan alisnya. "Butuh dana" gue nadahin tangan gue, "Kalian yang mau jalan, kalian yang keluar modal" papa gue tersenyum mengejek sembari mengambil remot tv dan mengganti chanelnya. Gue mendengus sebel "loh kalau kesana berarti meati nginap dong?" gue menaik turunkan alis gue sambil tersenyum lebar. "Papa sih oke-oke aja" papa menaikkan bahunya dan kemudian mengaduh saat tangan mama mendarat dipinggangnya mencubit kecil membuat papa meringis. "Anak gadis kita itu, mama gak mau ya spot jantung gara-gara dapat cucu dadakan" mama melotot kearah papa dan gue bergantian. "Papa sih percaya-percaya aja sama calon mantu papa itu, tapi gak tau deh kalau yang ini" papa nunjuk gue pake dagunya, heran ini yang anaknya yang mana? Yang anak gadis yang mana? Cih.. "Bodo amat" gue berdiri melelengos, berjalan menuju kamar gue. "Eh berani ya ngomong gitu sama orang tua" teriak papa gue, namun dibarengi dengan kekehan mengejek. "Besok bangun subuh, biar gak keteteran bikin bekalnya" teriak mama membuat gue yang tadinya siap buka pintu kamar ikutan berteriak mengiyakan. Gue hempaskan badan gue keatas tempat tidur, siap buat tidur, oh iya gue lupa. Gue merogoh kantung piyama gue, mengambil benda pipih yang disebut smartphone ini. Nara : perubahan rencana, jemput jam 7, on time, kita otw pantai ? Abis ini tinggal tidur nyenyak, gak sabar mau besok . ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN