EPISODE 8 (DAVI POV)

1469 Kata
Queen : kak, Nara telat Haaah? Serius? Kok bisa? Kapan pula gue nganu sama dia? Arka Davi : Eh kok bisa? Eh sumpah demi apa gue deg degan nunggu balasan dari dia, seingat gue, gue gak pernah bikin dosa laknat sama dia. Masa iya cium kening doang bisa jadi? Queen : Tadi bangun kesiangan Pyuuuh. . . ni anak ya bisa aja bikin orang jantungan kirain kan? Eh atau emang dasar otak gue yang absurd? Mikirnya kelewatan. Arka Davi : Mangkanya ditawarin dijemput gak mau, sekarang dimana? Queen : kelasnya kosong melompong jir. . . Arka Davi : eh mulut! Kok bisa? Gak salah jadwal? Queen : maapkeun. . katanya jamnya diganti Arka Davi : kasiaan . . Queen : Arka Davi : terus sekarang dimana? Queen : di hatimu kakang Mas Lucu? Iya dia lucu, menggemaskan? Apa lagi, hanya membaca chat darinya saja sudah bikin gue senyum-senyum sendiri. Queen : balas woooy Tuh kan. . . Arka Davi : apanya yang mau dibalas? Dan lebih lucu lagi saat bisa menjahilinya Queen : cinta Iya entah kenapa gue susah banget cuma bilang i love you doang ke dia, padahal dia dengan entengnya mengatakan 3 kalimat itu but why? Kenapa gue payah banget kayak gini. Arka Davi : downloadin anime kakak semalam yak Queen : iya iya. . . Maaf lagi-lagi gue menghindar dan terkesan tidak peduli. *** Gue tiduran di sofa kosan Rama, kalau kata Nara kosan Rama ini basecame kami. "Assalamualaikum... Anybady home? Spada? Yuhuuuu Uda ku sayang" tuhkan akhirnya dia muncul dengan segala kehebohannya dan apa yang harus gue lakukan sekarang? yups gue pura-pura tidur. sampai gue ngerasa dia mendekat dan menghadap ke arah wajah gue. "Ya Allah Nara, nikmat tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan." Rasanya gue pengen ketawa dengar dia ngomong kayak gitu. Salah satu hal yang bikin gue suka sama dia ya ini dia gak pernah malu ngungkapkan apa yang dia rasakan, dan yang pasti kalau gue bangun sekarang mukanya bakal merah karna malu. Sesaat kesadaran gue benar-benar hilang, gue mulai tidur beneran. mungkin karna dari tadi kepala gue memang terasa pusing. sampai telinga gue mendengar suara dia yang setengah berteriak. "Hapus gak!" Apanya coba yang dihapus? kesadaran gue belum sepenuhnya berkumpul sampai gue ngelihat dia di samping gue sambil membelakangin, rambutnya dikuncir kuda entah kenapa gue suka melihat lehernya, jangan mikir m***m ya kalian. Dan beginilah akhirnya, gue nemplok di bahu dia, gue gak begitu fokus mendengar apa yang mereka bicarakan. "Makan yuk?" ajak gue ke Nara "Kakak laper." Dan langsung diiyakan. Sampailah di sini, kami makan di salah satu Restoran cepat saji, karna dari perjalanan tadi dia sibuk berkoar-koar mau makan burger, yah terserahlah. "Renoooo." Gue kaget cewek di samping gue ini dengan PD nya teriak di dalam restoran yang ramai. Sontak gue melihat ke arah lambaian tangannya dan nyusul dia yang jalan duluan meninggalkan gue. Mereka berbicara sebentar, gue gak terlalu fokus karna kepala gue masih terasa berat. Sampai Nara memperkenalkan kami. Reno namanya sepertinya mereka dekat. pertemanan laki-laki dan perempuan? bulshit. "Ya udah deh Gue pesen dulu ya." Nara sudah hendak berdiri, lagi-lagi dia yang mau ngantri, padahal gue yang cowok. "Gak usah biar Kakak aja." "Biar Nara aja yang ngantri. Kakak cukup duduk ganteng di sini, ogey." Tapi gak papa juga sih daripada nanti gue ngantri dia malah enak-enakan ngobrol sama teman cowoknya ini, eh apa gue cemburu? masa? Bagaimanapun gue cowo jadi gue yang harus bayar, inilah prinsip gue. Selagi gue mampu gue yang bakal bayar, gue menyodorkan kartu debit ke arahnya yang disambut dengan senyum riang darinya. Dia selalu begitu setiap kali gue nyodorin kartu gue. Tapi pas gue bilang biar kartunya di dia aja, dia gak mau katanya takut khilaf, padahal gue malah senang kalau dia mau memakainya. Setelah itu Nara pergi mengantre memesan makanan. Jadilah gue berdua dengan temannya yang bernama Reno ini. Rasa-rasanya gue pernah melihat dia di mana ya? tapi masa bodo lah kepala gue makin nyut-nyutan. Gue merasa Reno mengatakan sesuatu, tapi jujur gue gak begitu ngeh dia ngomong apa karena telinga gue serasa berdengung. Sampai akhirnya dia pamit pergi dan tidak lama Nara datang membawa nampan berisi makanan. "Loh tadi baik-baik aja," katanya setelah gue bilang kalau gue gak enak badan. Nara memegangi kening gue, "Tapi gak panas?" sambungnya. "Emang sakit harus panas ya badannya?" Gue menoleh ke arahnya yang masih fokus melihat gue dengan tatapan khawatir. "Yah enggak sih." Lucu banget ngelihat dia kayak orang kena penyakit gatal- gatal gini, menggaruki lehernya yang gue yakin gak gatal sama sekali. "Ya udah makan dulu siapa tahu nanti enakkan, mungkin Kakak lapar ? Jangan sampe sakit maag, uuughhh menyakitkan." Gue selalu merasa sesenang saat dia mulai masuk ke mode perhatian. Sampai dia maksa gue buat makan "Kalau Kakak gak kuat nyetir biar nanti Nara aja yang nyetir ya." Kalimat ini terdengar mengerikan. "Kakak masih pengin hidup." Ia mencebik. "Nara bisa nyetir kok," rengeknya. "Terakhir Kamu menyetir mobil Kakak nginap di bengkel dua hari." Iya itu benar, Gue ingat beberapa bulan yang lalu gue sempat mengajari ia nyetir, dia bingung harus menginjak yang mana, ia belum fasih mengenali yang mana gas yang mana Rem dan berakhirlah ki beserta mobil gue nambrak pohon pinggir jalan untung gak makan korban jiwa. Seperti biasa jarang ada obrolan saat di perjalanan, berdua kayak gini di gak ngomong apapun dan gue gak tau harus ngomong apa ditambah sakit di kepala gue belum hilang juga. Gue cuma berharap gue masih bisa fokus kejalan dan gak membahayakan kami. Gue melambai ke arah Nara yang sudah keluar dari mobil dan menghadapkan wajahnya ke dalam mobil, kemudian dia berjalan masuk ke rumahnya. Dia sudah tahu kebiasaan gue yang mau pergi kalau dia sudah masuk ke dalam rumah. Tadi dia sebenarnya heboh nyuruh gue mampir dulu karna tadi gue bilang kalau gue merasa pusing, tapi gue its oke walaupun masih agak sakit tapi gue masih bisa nyetir. Gue menepikan mobil. Sumpah kepala gue sakit banget sampai mau buka mata aja susah. Akhirnya gue nelpon Rafli minta tolong dia menjemput gue. Gue langsung pindah ke kursi sebelah kursi kemudi memasang seat belt dan memejamkan mata. "Dav, Davi." Samar-samar gue mendengar suara seseorang manggil nama gue dan badan gue terasa bergoyang, gue bisa lihat suasana di luar kaca mobil. ini parkiran apartemen gue. "Kalau masih sakit ke rumah sakit aja." Rafli natap gue khawatir. Gue langsung membuka pintu mobil, dan bergegas ke lift yang jelas sekarang gue mau tidur. Walau terkesan menyebalkan Rafli ini orang yang sangat care apalagi kalau gue lagi sakit. Dia bahkan menyiapkan bubur dan membelikan obat. Walau ya itu buburnya terasa seperti air laut. Gue bersiap buat tidur hari memang sudah mulai gelap. "Besok jemput Nara ya." Rafli menoleh ke arah gue dan mengangguk kecil. Dia memang kadang irit bicara, mungkin ia penganut kepercayaaan diam adalah emas. Kalau pepatah itu nyata mungkin saat ini Rafli sudah menjadi sultan. Sayang emasnya gak bisa dijual. Drrttt.... Drrttt.... Drrttt.... Entah sudah berapakali hp gue berdering, tapi gue masih enggan untuk melihatnya. Dari nada deringnya jelas itu dari satu orang, Nara, pacar gue. Rasanya segar setelah tidur nyenyak semalaman, walau masih agak lemas sedikit. Gue berjalan ke arah dapur, di meja makan sudah ada bubur yang gue yakin buatan Rafli bubur rasa air lautnya itu. Yang ada gue darah tinggi kalau keseringan memakannya, tapi bersyukur juga dia perhatian sama gue. Di samping bubur ada note dari siapa? dari Rafli tentunya. [Buburnya dimakan, abis itu minum obat. Gue jemput cewek Lo dulu. Kalau masih pusing kabarin Gue, hari ini Gue ada rapat BEM.] Yah dia memang teman terbaik. Gue menatap tumpukan file dan laptop yang masih terbuka di atas meja ruang tengah. Ini sumber sakit kepala gue, setelah beberapa hari ini gue begadang untuk meriksa berkas dan file keuangan yang dilimpahkan ke gue. Hp masih setia berdering sejak tadi dan gue masih enggan untuk menjawab ataupun membalas chat yang sudah berpuluh-puluh yang masuk. Nanti aja gue jelasin ke Nara sekarang gue benar-benar butuh istirahat total. Setelah mandi gue berbaring di kursi sembari memandangi langit-langit. Gue gak mau membuat Nara khawatir tapi nyatanya gue yakin sekarang dia khawatir banget sama gue. Ting...tung Ini telinga gue yang salah dengar atau memang ada keajaiban? Kok bisa bel apartemen gue berbunyi? Seingat gue, gue gak mesan makanan atau apapun, dan dua makhluk itu gak mungkin mencet bel dulu karena biasanya mereka nyelonong aja masuk. Gue berjalan ke arah monitor memastikan siapa yang datang, tapi anehnya kameranya seperti ada yang menutupi, tangankah? "Siapa?" Gue bertanya was-was, takutnya orang jahat, tapi masa iya. "Moster," ucapnya setelah hening sesaat. Suara yang setengah berbisik ini, sangat gue hapal. "Nara?" Ngapain dia di sini? gue memegangi kepala frustasi semoga dia gak banyak tanya. Gue berjalan tergesa-gesa ke arah pintu dan binggo... Nara berdiri di depan pintu apartemen gue sambil melipat tangan dan menatap gue penuh selidik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN