Saga bangkit dari duduknya, "Sudah dulu pembicaraannya. Aku juga harus mencari seseorang."
Tama tertawa, "Kita berlomba, siapa yang lebih dulu menemukan siapa.."
"Apa aku akan lebih dulu menemukan Disa? Atau kamu yang lebih dulu menemukan gadis kopi itu," Tama tergelak.
"Itu tantangan menarik. Deal! Kita berlomba!" Saga tertawa. Ia menghampiri Tama dan mengajaknya bersalaman. "Siapapun yang lebih dulu menemukannya, treat for a month!"
"We have a deal!" Tama menyambut uluran tangan Saga. "Perempuan itu jelas jelas ada di kantorku, seharusnya tidak susah Saga."
"Ribuan karyawan di gedung ini dan aku harus mencarinya secara manual. Tidak susah katamu?" Saga geleng geleng kepala.
Tama tersenyum lebar, "Kalau kamu menemukannya, aku yakin kalian jodoh. Kamu berhasil menemukan jarum di antara tumpukan jerami."
"Semoga saja. Ini sudah mau jam istirahat," Saga melihat jam tangannya.
"Aku turun dulu. Karyawan karyawan pasti sudah mulai bergerak keluar ruangan," Saga mengenakan maskernya.
Tama hanya mengangguk dan membiarkan sahabatnya itu pergi.
***
Arumi memutuskan untuk tidak menceritakan apapun dulu pada Manik.
Aku harus berpikir dengan tenang. Apakah semua ini nyata? Apa Bapak Ravindra serius? Sejauh ini tidak ada hal hal yang membuatku merasa dilecehkan.
"Ayo makan siang!" ajak Manik.
"Let's go! Arumi mengangguk setuju. "Makan dimana sekarang?"
"Mau coba ke kafetaria? Lokasi kafetaria karyawan ada di lantai basemen. Hanya saja, kita tidak bisa banyak mengobrol hal pribadi karena suasananya ramai. Padahal aku ingin tahu soal pertemuanmu tadi," jelas Manik.
"Kita coba saja kafetaria. Aku ingin tahu suasananya," Arumi merangkul tangan Manik.
"Ayo.." Manik membalas rangkulan Arumi.
"Soal pertemuan tadi, toh tidak banyak yang aku bisa ceritakan," Arumi membuka mulutnya.
"Masa? Dia tidak merayumu?" Manik memastikan.
Arumi berbohong dengan menggelengkan kepalanya.
"Lalu, apa yang dia bicarakan?" Manik semakin penasaran.
"Dia menanyakan soal pekerjaanku saja," jelas Arumi.
"Hmm.. Itu aneh. Apa dia tidak melanjutkan upayanya mendekatimu?" Manik mengerutkan keningnya. "Tapi, syukurlah. Meski begitu, tetap saja, kamu jaga diri baik baik ok?"
"Iya thanks," Arumi terdiam. Ada rasa tidak enak yang ia rasakan pada Manik.
Sedikit banyak, Arumi merasa bersalah karena tidak bercerita. Hanya saja, pembicaraan tadi antara Bapak Ravindra dan dirinya memang belum ingin ia ceritakan pada siapapun.
Arumi dan Manik pun menikmati makan siang itu sambil membicarakan hal hal lainnya.
***
Sagara membeli kopi sambil memperhatikan suasana sekitar. Karyawan lalu lalang tapi tidak ada sosok perempuan yang ia cari.
Aku harus lebih proaktif! Tidak bisa begini terus.
Ia memutuskan untuk bertanya pada staf coffee shop yang bertugas, "Maaf saya mau tanya, kalau karyawan karyawan di sini seringkali makan siang dimana?"
"Tergantung pak, kalau terdekat dan murah, biasanya mereka makan di pujasera yang ada di jalan belakang gedung ini. Atau bisa juga ke kafetaria di lantai basemen. Itu langganan karyawan di sini," jawabnya.
"Baiklah," Saga mengangguk.
Aku coba cari ke kafetaria basemen dulu.
Ia pun melangkah ke arah basemen dan mencari letak kafetaria. Matanya menangkap keramaian karyawan yang mengarah ke sisi kanan area basemen.
Saga mengikuti keramaian tersebut yang ternyata memang mengarah ke kafetaria.
Hmm.. Kafetaria ini cukup besar juga.
Ia memperhatikan situasi dan duduk di sebuah bangku panjang dekat toilet. Suasana kafetaria yang penuh membuatnya ragu untuk masuk. Meski masker menutupi wajahnya, tetap saja ia was was kalau ada yang mengenalinya.
Dari bangku panjang itu, ditemani segelas kopi, Saga mengawasi satu persatu orang yang masuk ke kafetaria. Sesekali ia menurunkan masker untuk meminum kopi di tangannya.
Tidak berapa lama, ia melihat dua orang perempuan keluar dari kafetaria.
Perempuan itu! Itu dia bukan?
Suasana basemen yang remang remang membuatnya tidak langsung yakin kalau perempuan itu orang yang dia cari. Apalagi Saga melihatnya secara sekilas.
Ia mengejarnya dan memperhatikan sambil menjaga jarak.
Iya betul! Itu perempuan yang aku cari.
Perempuan itu mengenakan setelan kantor berwarna kecoklatan. Rambut panjangnya terurai rapi. Penampilannya sederhana, tapi entah kenapa ada daya tarik khusus yang membuatnya ingin terus memperhatikannya. Tak hanya itu, guratan guratan wajah dan caranya tersenyum terasa tidak asing.
Saga mengerutkan keningnya.
Kenapa terasa familiar ya? Aku rasanya belum pernah ketemu sekalipun dengan perempuan ini kecuali hari itu dan hari ini.
Ia terus melamun hingga terlambat menyadari kalau perempuan itu sudah masuk ke dalam lift basemen untuk menuju lobi. Saga berlari ke lantai lobi menggunakan tangga darurat. Setibanya di lobi, ia memperhatikan kalau perempuan itu sudah keluar dari lift basemen dan sedang berada di depan lift lainnya.
Saga memutuskan untuk mendekat dan menyapanya. Namun, pintu lift di hadapan perempuan itu terbuka, dia dan temannya melangkah masuk. Saga berusaha berlari secepat mungkin dan menahan pintunya, tapi sayangnya terlambat. Lift sudah bergerak naik.
Ah damn! Aku kurang cepat!
Ia terengah engah sambil menenangkan diri.
Tenang, tenang.. Besok aku bisa kembali ke sini lagi..
Sagara, apa yang terjadi denganmu? Kenapa juga mengejar perempuan ini sebegitunya? Kamu aneh Saga.. Kelakuanmu sungguh aneh.
Ia memamerkan senyum mautnya di balik masker.
I found you!
***
Menjelang jam pulang kantor, Arumi mulai membereskan barang barangnya. Manik menghampirinya, "Tidak ada kabar apapun dari si pak bos? Aman?"
Arumi mengacungkan jempolnya, "Aman."
"Aku lihat juga si bapak tidak ada di ruangan, jadi situasi terkendali," ungkap Manik. "Tapi saranku, cepat saja pulang."
"Iya, ini mau. Tapi aku mau membereskan ini dulu ke ruang arsip," jelas Arumi. "Mungkin setengah jam lagi."
"Aku pulang duluan kalau begitu ok? Maafkan tidak bisa menunggumu. Mamaku agak kurang enak badan, tadi titip obat padaku. Jadi aku mau buru buru pulang," Manik menerangkan.
"Iya tidak apa apa. Semoga mamamu cepat sembuh ya.." ujar Arumi.
Manik mengangguk, "Bye.."
Arumi bergerak cepat ke ruang arsip dan membereskan segalanya. Ia tidak mau masih berada di kantor saat Bapak Ravindra muncul.
Namun, tepat saat ia kembali ke mejanya, ponselnya berbunyi. Arumi langsung berdebar tak menentu saat tahu yang meneleponnya adalah Bapak Ravindra.
Bagaimana ini? Aku angkat tidak? Tapi, bagaimana kalau pekerjaan. Ah, serba salah.
Arumi akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya. Belum sempat ia berkata "halo", Bapak Ravi sudah langsung bicara.
Ravi, "Aku tunggu di basemen. P5. B1."
Telepon pun tertutup.
Arumi terduduk lemas di kursi sambil meremas celana panjangnya.
Duh! Aku tidak suka situasi ini. Kenapa sih jadi begini?? Sepertinya aku harus tegaskan sekali lagi!
Setelah membereskan barang barangnya, Arumi pun turun ke basemen. Sesuai arahan Bapak Ravindra, ia menuju ke lantai B1 di posisi P5. Arumi langsung mengenali mobil Bapak Ravindra yang terparkir dalam posisi mesin menyala.
Bapak Ravindra terlihat melambaikan tangan dan memintanya masuk ke dalam mobil. Arumi tak lagi bisa menghindar. Ia pun duduk di kursi penumpang.
"Aku antar kamu pulang, jangan menolakku," Bapak Ravindra melirik ke arahnya.
Arumi hanya diam sambil memasang sabuk pengaman. Ia bingung tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya campur aduk. Ia teringat saat Bapak Ravindra menelepon seseorang dan menyebut kata "sayang". Lawan bicaranya di telepon itu pasti seseorang yang spesial. Tidak mungkin bilang "sayang" kalau bukan orang yang memiliki arti khusus.
Kalau Bapak Ravi mendekatiku, kenapa menyebut "sayang" pada seseorang di telepon itu? Siapa sosok di balik telepon itu? Apa yang sebetulnya terjadi antara aku dan Bapak Ravi?
Arumi menenangkan dirinya. Ia mencoba memikirkan banyak hal lain. Soal Bik Nara, soal masa lalunya, soal kehidupannya. Segala hal ia pikirkan agar bisa membuatnya tidak terlalu gugup dan cemas.
Mobil pun bergerak keluar dari basemen secara perlahan hingga membawanya semakin jauh dari Kantor Pusat Grup Kalingga. Mereka berdua hanya diam. Arumi pun tak tahu harus berkata apa. Ia lebih memilih tetap berada dalam kesunyian.
Tiba tiba Bapak Ravindra membuka mulutnya, "Saya serius, akhiri hubunganmu dengan pacarmu itu. Lupakan lelaki itu."
"Saya akan menikahimu," tambahnya lagi.
Arumi terkaget kaget.
A-apa? Apa Bapak Ravi serius???