"I-itu sepertina milik perempuan yang aku ceritakan. Kamu sudah tahu kalau aku mengantarkannya pulang bukan?" terang Ravi.
"Oh iya, ya sudah," Citta menyimpan gelang itu di console tengah antara kursi penumpang dan pengemudi. Ia pun turun dari mobil.
Ravi hanya mengelus d**a saat melihat Citta memasuki gedung kantornya.
"Syukurlah," ia menatap gelang tersebut sambil menggumam.
Setelahnya ia pun bergerak ke kantor.
Ravi memperhatikan suasana bagian keuangan dan akuntansi yang masih sepi, namun perempuan bernama Arumi itu sudah ada. Ia melihat kalau Arumi sedang membaca baca laporan entah apa. Tapi ada tumpukan kertas di samping mejanya.
Ia mengepalkan tangannya.
Aku harus bergerak cepat. Yang penting bisa membuat anak itu keluar kerja.
Ravindra masuk ke ruangan dan menutup pintunya.
***
"Kamu selalu datang paling pagi," Manik duduk di samping Arumi.
"Bagaimana si bapak semalam apa menghubungimu lagi?" tanyanya.
'Tidak. Aduh aku bingung," Arumi mengelus d**a. "Semoga saja hari ini berhenti menghubungiku. Aku tidak tahu harus bagiamana."
"Banyak perempuan lain, kenapa aku coba?" Arumi geleng geleng kepala.
"Kamu manis juga Arumi.. Jangan tidak percaya diri begitu," Manik memujinya. "Tapi meski begitu, aku juga berharap dia berhenti melancarkan rayuan rayuan atau apapun pada dirimu. "
"Tapi memang aneh sih ya.. Padahal kamu juga baru bekerja di sini. Ada apa dengan sikap pak bos?" Manik berbisik pelan.
"Apalagi aku.." Arumi menggumam.
Tiba tiba ada pesan masuk ke ponselnya. Arumi langsung membukanya.
Ravindra : Ke ruanganku.
Arumi langsung takut takut sendiri.
"Ba-bagaimana ini?" Ia menunjukkan pesan itu pada Manik.
Manik ikut terkaget kaget, "Tenang, tenang Arumi. Ya sudah datangi saja.. Toh ini di kantor. Dia bisa apa?"
"Iya ya.." Arumi mengangguk. Ia pun berjalan ke arah ruangan Ravindra.
Tok, tok, tok..
"Masuk," suara Ravindra menjawab ketukannya.
Arumi pun membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya, "Iya pak."
"Duduk," Ravindra menunjuk agar menempati kursi di hadapannya.
Arumi pun menurut.
"Saya mau bicara empat mata. Urusan pribadi," ucapnya.
Jantung Arumi seperti berhenti berdetak. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa.
"Tenang saja, saya tidak akan menggigitmu atau apa," Ravindra tersenyum.
Arumi memperhatikan kalau senyumnya itu memang menawan. Wajahnya tampan dan menarik.
"I-iya pak," Arumi menunduk.
"Saya terpaksa memanggilmu ke sini, agar bisa bicara," Ravi kembali berkata kata.
"Jujur, kamu menarik perhatian saya," Ravindra mulai menggencarkan rayuannya. "Itu sebabnya saya menawarkan untuk mengantarkanmu pulang."
Arumi menunduk sambil meremas jari jemarinya.
Bagaimana ini? Aku bingung.
"Apa yang dimiliki pacarmu tapi tidak dimiliki saya?" Ravindra tiba tiba bertanya.
Dug! Jantung Arumi seperti mau lepas.
"Sa-saya.." Arumi terdiam.
"Jawab saja.." Ravindra berkata dengan lembut. "Saya tidak akan marah."
Ia yang belum pernah pacaran bahkan tidak mengerti apapun soal menjalani hubungan dengan laki laki. Akhirnya, Arumi hanya mengungkapkan apa yang terlintas di benaknya. Toh Bapak Ravi juga bertanya baik baik.
"Se-sejujurnya.. Sa-saya tidak pernah mau pacaran. Pacar saya itu serius. I-itu sebabnya saya mau," Arumi menjawabnya.
"Serius apa maksudnya? Menikah?" Ravindra memastikan.
""I-iya.."Arumi mengangguk.
"Tapi kalau dia mau menikahimu, kenapa kamu bekerja?" tanya Ravi lagi. "Seharusnya menikah saja dan dia harus membiayai hidupmu."
"Sa-saya tidak mau.. Saya ingin bekerja dulu," Arumi tambah bingung.
Ah, sudah terlanjur, aku sudah terlanjur berbohong. Jalani saja...
Ravindra menatapnya, "Apa lelaki itu belum mapan? Jawab jujur."
Arumi yang merasa gugup hanya mengangguk.
Diam diam Ravindra menyeringai, "Kalau seperti itu, saya jauh lebih baik darinya. Saya mapan dan memiliki pekerjaan tetap."
"Soal menikah, saya juga bisa menikahimu. Pertimbangkan itu semua.." ucapnya.
Arumi langsung kaget. Ia terhenyak.
Apa rumor yang disampaikan Manik itu salah? Ba-bapak Ravi tidak menyentuhku sama sekali, bahkan tiba tiba secara serius bicara pernikahan.
"Pembicaraan ini rahasia. Jangan kamu ceritakan pada siapapun. Urusan ini hanya saya dan kamu saja yang tahu," ucap Ravi. "Pertimbangkan secara diam diam."
"Ba-baik pak," Arumi mengangguk. "Sa-saya permisi dulu."
Arumi berdiri hendak melangkah ke luar ruangan. Namun tiba tiba, Ravi kembali memanggilnya, "Arumi."
"Ya pak," Arumi menoleh.
"Satu lagi, kemarin saya lihat kamu bicara dengan Bapak Yudhistira, apa yang kalian bicarakan?" tanyanya dengan perlahan.
"Oh, itu, soal pekerjaan, mmm.." Arumi menjawab pendek.
Ravi mengangguk dan tersenyum, "Ba-baiklah.. Kamu bisa pergi."
Diam diam tangannya mengepal.
Apa yang anak ini bicarakan dengan Yudhistira? Aku harus pelan pelan mengambil hatinya untuk mengetahui lebih jauh yang dia ketahui.
***
Arumi pun kembali ke meja kerjanya. Manik langsung berbisik, "Ada apa?"
"Nanti, aku cerita," Arumi fokus menatap layar komputernya.
Manik hanya menepuk nepuk punggungnya.
Sepanjang pagi itu, pikiran Arumi melayang kemana mana. Ia tidak bisa konsentrasi bekerja.
Apa ucapan Manik benar? Soal rumor itu.. Ataukah itu hanya rumor? Sikap Bapak Ravindra padaku tadi cukup baik. Ia bahkan tidak menyentuhku sama sekali. Selama perjalanan pulang malam itupun, tidak ada perlakukan perlakukan yang membuatku merasa dilecehkan.
Lalu, soal pembicaraan tadi, apa aku rahasiakan dari Manik? Atau bicarakan apa adanya? Aku bingung, sungguh bingung... Ini hal besar, aku tidak bisa sembarangan bicara.
Ah sudah, kembali bekerja Arumi!
***
Sagara memutuskan untuk kembali ke Gedung Kantor Pusat Grup Kalingga sekaligus mengunjungi sahabatnya.
"Ada apa?" Tama tersenyum melihat sahabatnya itu. Ia sudah mendengar perjuangan Saga untuk menemukan gadis yang mentraktirnya kopi tapi belum juga membuahkan hasil.
"Aku mencari gadis itu.. Tapi belum juga ketemu. Tama, please data karyawan!" Saga membujuk sahabatnya agar bisa memberikannya.
"NO.." Tama tergelak. "Itu terlalu mudah. Kalau kamu menyukai perempuan itu, usahalah lebih keras."
"Ini bukan soal usaha, ini soal waktu. Aku seperti pengangguran bulak balik ke sini menanti perempuan itu melintas. Tiga kali sudah aku berdiam diri berjam jam menunggu datangnya perempuan itu, tapi nihil.." Saga menggelengkan kepalanya.
Tama tertawa, "Berusahalah lebih keras lagi."
"Hari ini, aku bertekad untuk bisa menemukannya!" Saga mengepalkan tangannya.
"Oh ya, bagaimana dengan Disa?" Saga ingin tahu perkembangannya.
"Yang paling penting, Disa masih hidup. Kedua, aku mendapatkan kabar terbaru kalau Disa ternyata berkuliah. Dia alumni Universitas Pancasila. Aku merasa tenang dan lega," Tama menarik nafas panjang, "Disa ternyata baik baik saja."
"Hidupnya tidak menyedihkan. Dia struggle dan berhasil," tambahnya. "She's a real fighter! Aku kagum."
"Kalau begitu, cari saja di Universitas Pancasila. Data alumni pasti ada bukan?" Saga mengerutkan keningnya.
"Ini persoalan nama.. Identitas," Tama mengetuk ngetukkan pulpen ke mejanya. "Kita mengetahui Disa sebagai Ayudisa Kalingga. Tapi, orang orang di sekitarnya, memanggilnya dengan sebutan Prisca."
"Saat tim penyelidik mencari tahu mahasiswi Universitas Pancasila dengan nama Prisca, itu ada ratusan, bahkan lebih. Aku tidak tahu Disa masuk kuliah tahun berapa, lulus tahun berapa dan jurusan apa," tambah Tama lagi.
"Kerabat Bik Nana juga tidak terlalu tahu banyak," jelas Tama. "Satu satunya harapan adalah foto. Saat ini, kerabatnya sedang mencari fotonya. Beberapa bulan sebelum Bik Nana meninggal dunia, mereka sempat mengunjungi Disa dan Bik Nana. Saat pertemuan itu, mereka sempat berfoto bersama."
"Kalau foto itu sudah ketemu, akan lebih mudah menelusuri semuanya. Ada foto dan identitas visual yang tidak terelakkan," ungkap Tama lagi.
"Ya, ya.. Semoga saja.. Tapi, ini tinggal selangkah lagi. Artinya, saat foto itu kamu dapatkan, mencari Disa tak lagi sulit. Aku rasanya jadi ikut optimis," Saga tersenyum lebar.
"Saga, sekarang ini, ada hal yang mengganggu pikiranku," Tama menggumam.
"Apa?" tanya Saga.
"Aku menduga kalau sosok Bik Nana mengetahui apa yang terjadi pada Disa. Itu sebabnya dia merawatnya," Tama menatap sahabatnya.
"Kenapa kamu berpikiran begitu?" Saga keheranan.
"Ini terkait legalitas dokumen identitas," Tama menarik nafas panjang. "Bik Nana merawatnya, bahkan membuat Disa bisa berkuliah. Artinya, Disa tentu sudah memiliki identitas legal sehingga bisa mendaftar kuliah, dengan nama yang entah siapa."
"Tapi kenapa tidak bergabung datanya dengan Bik Nana? Aku merasa, kalau Bik Nana dengan sengaja menyembunyikan Disa," Tama menceritakan pemikirannya.
"Itu masuk akal," Saga mengangguk setuju.
Saga langsung berdiri dan menggebrak meja Tama, "Ka-kamu benar Tama!"
Ia mengerutkan keningnya dan bicara pada dirinya sendiri, "Ini semua seperti terkalkulasi. Disa tidak tercatat menggunakan nama Prisca, padahal itu nama panggilan kecilnya selama di panti asuhan. Lalu, kenapa membuat dokumen terpisah untuk Disa kalau tidak ada apa apa? Kamu benar. Bik Nana memang sengaja menyembunyikan Disa."
Tama menarik nafas panjang, "Sayangnya, saksi hidup satu satunya itu telah tiada."
Saga kembali duduk di kursinya, "Tapi, semua akan terbuka Tama. Semua akan terungkap pada waktunya nanti.."