Tak mau Bertemu

926 Kata
Plak! Zion menampar wajah Devya begitu keras, melayang di pipi perempuan itu. Kini, tangan kekar itu mencengkeram dagu Devya dengan sorot mata tajam menatap istrinya itu. “Kamu pikir, setelah dariku kamu sudah bebas? Itu salah besar, Devya! Kamu tahu kan, tujuan mereka menginginkan cucu itu untuk apa? Agar pernikahan kita langgeng!” Devya menarik tangan Zion dan mengempaskan dengan kasar. “I don’t care! Itu hanya asumsi kamu saja, Mas. Sebenarnya bukan itu tujuan mereka ingin punya cucu. Mereka tidak ingin perusahaannya jatuh ke tangan orang lain. Kamu harus paham itu!” “Kamu, yang sok tahu! Mami dan Papi belum bisa mengikhlaskan kepergian Kak Eros. Dia ingin mereka hidup kembali dengan lahir di rahim kamu! Bahwa penerus The Future akan turun pada cucunya, yang lahir dari rahim kamu.” “Kalau kamu tidak terima anak kamu lahir di rahim aku, hamili saja Agatha. Hampir setiap hari bercinta dengan Agatha, tapi tidak ada hasil. Kamu suruh dia buat di-KB juga, iya?” teriak Devya tak mau kalah. “Aku udah muak, Mas! Setiap hari mami kamu nyuruh aku berhenti kerja di butik, mau tutup butik dan sebagainya. Padahal semua kesalahan ini ada di tangan kamu. Aku udah gak peduli ya, Mas. Sekarang pergi dari rumahku!” Plak! Tamparan itu kembali melayang di pipi Devya. Sekuat hati ia menahan semua kesakitan itu hingga dua kali tamparan melayang dalam satu waktu. “Sekali lagi kamu bahas anak, aku gak akan segan-segan buat kamu menderita setiap hari!” ancamnya kemudian pergi dari kamar itu. Sebelum benar-benar keluar, Zion mengatakan hal yang membuat Devya semakin emosi dibuatnya. “Hhh! Pria gila itu benar-benar membuatku muak!” ucapnya setelah melihat Zion keluar dari kamarnya. Dua hari kemudian …. Daren menepati janjinya. Setelah pulang dari Jerman, ia langsung menghampiri butik Devya padahal baru dua jam yang lalu baru sampai di Indonesia. “Hi. Devya-nya ada?” tanya Daren kepada Fira yang yang tengah memasukan baju ke dalam manekin. “Mbak Devya udah dua hari ini gak masuk butik, Mas. Ada yang bisa dibantu?” “Ke mana, ya? kok gak datang-datang? Biasanya selalu datang ke sini.” Fira mengendikan bahunya. “Kurang tahu, Mas. Dia gak ngasih kabar juga ke saya dan Ami. Biasanya ngasih tahu. Apa sakit, ya? Coba Mas-nya telepon.” Daren semakin gelisah. Ia kemudian menghubungi nomor Devya. Akan tetapi ponselnya dimatikan oleh perempuan itu. “Nomornya tidak aktif,” ucapnya pelan. “Waduh! Apa jangan-jangan lagi ada problem, sama mantan suaminya? Dengar-dengar, mertuanya Mbak Devya kan tidak terima mereka berpisah.” “Biasanya begitu atau bagaimana?” tanya Daren. Fira menghela napasnya dengan panjang. “Mbak Devya gak pernah cerita soal rumah tangganya. Tapi, saya tahu kalau rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja dan akhirnya mereka berpisah. Karena saya juga tahu, kalau Mbak Devya tidak pernah terlihat bahagia dalam pernikahannya itu.” Daren menelan salivanya dengan pelan. “Kalian tidak pernah tahu satu pun masalah yang Devya hadapi selama menjadi karyawannya?” Fira menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Karena Mbak Devya gak pernah mau cerita ke kami. Mungkin juga gak perlu dikasih tahu ke kita. Yang tahu itu Mbak Sheril.” Daren menganggukkan kepalanya. Ia pun pergi kembali dari butik tersebut dan langsung melajukan mobilnya menuju toko kue Sheril. “Ril. Nomor Devya gak aktif! Dia ke mana?” Sesampainya di toko, Daren langsung menanyakan Devya kepada Sheril. “Wowowoo! Selow, Daren. Mentang-mentang udah jadi suaminya, lo. Kalem, jangan panik.” “Ya udah, di mana Devya? Nomornya gak aktif!” ucap Daren lagi. “Iya, gue tahu. Devya lagi gak mau ketemu sama siapa pun termasuk lo. Meskipun lo suaminya.” “What?” Daren mengerutkan keningnya sebab bingung dengan ucapan Sheril. “Tapi, kenapa?” Perempuan itu menghela napasnya dengan panjang. “Entahlah. Mungkin dia masih kecewa sama lo. Langsung pergi gitu aja. Dan dia juga lagi ada problem sama mantan mertua dan mantan suaminya. “Selama ini, selalu Devya yang disalahkan. Kalau Devya masih fokus sama karirnya dan melupakan kehamilan dia buat ngasih cucu ke keluarga Zion. Devya selalu salah di mata mereka berdua.” Daren menelan salivanya dengan pelan. “Sampai kapan, dia menjauh dari gue? Kenapa jadi begini?” “Nggak tahu. Sampai urusan dia sama mantan suaminya selesai mungkin. Itu pun kalau selesai. Kalau nggak?” Daren menghela napas kasar. “Nggak. Gue udah janji bakal kasih dia bahagia. Kenapa malah begini?” “Ya mana gue tahu, Daren. Intinya, dia lagi gak mau ketemu sama lo lagi. Sumpah, gak bohong. Itu, yang Devya sampaikan ke gue.” “Yaa tapi kenapa? Gue harus ketemu sama Devya sekarang juga. Apa dia di rumahnya? Tapi, gue gak boleh datang ke sana karena pernikahan kami masih rahasia.” “Ya itu sih derita lo, Daren. Nikah kok di bawah tangan? Itula risikonya,” ucapnya sembari memutar bola matanya. Daren kemudian duduk di sofa sembari menundukan kepalanya. Menjambak rambutnya—frustasi sebab Devya tak ingin lagi bertemu dengannya. “Bukannya Zion gak pernah ada di rumah itu?” tanya Daren lagi. “Iya. Tapi maminya sering ke rumah itu.” Daren menghela napasnya dengan panjang. Ia kemudian beranjak lagi dari duduknya dan menatap memohon kepada Sheril. “Ril. Gue mohon, minta Devya datang ke sini. Gue pengen ngomong sama dia. Kalau dia udah denger penjelasan gue, terserah dia. Apa yang akan dia pilih. Gue mohon, Sheril. Please. “Nanti karyawan gue suruh beli kue di tempat lo aja. Sumpah! Gue gak akan bohong, kalau lo mau bawa Devya ke sini. Atau nggak, kasih tahu alamat rumah Devya. Biar gue aja yang ke sana.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN