Biarkan Aku Merawatmu

889 Kata
Sheril menghela napas kasar. “Nekad lo. Kayak gak ada cewek lain lagi aja.” “Gak ada. Only Devya. Gue cuma mau Devya. Kalau gue punya banyak, ngapain gue iyain permintaan dia buat nikahin dia?” “Tapi, Devya masih punya masalah sama mantan suaminya. Lagian lo juga main iyain aja padahal Devya cuman bohongan. Kalau kayak gini, lo bakalan kena masalah, Daren.” Daren semakin dibuat gelisah dan frustasi oleh Sheril. Devya sedang tidak ingin bertemu dengannya tentu saja membuatnya semakin cemas. Sheril kemudian memotret wajah Daren yang tengah gelisah. Lalu dikirim ke nomor Devya yang entah kapan akan diaktifkan. Malam hari tiba. Devya tengah duduk di ruang makan sembari melahap bubur ayam yang dibuatkan oleh ART di sana. “Diminum obatnya, Non. Muka Non Devya masih pucat.” Devya mengangguk kemudian meneguh dua butir obat yang dibelikan oleh ART-nya di apotek. “Makasih ya, Bi. Daren nggak ada ke sini, kan?” tanyanya dengan pelan. “Nggak ada, Non. Kalau ada, saya pasti kasih Non Devya.” Devya manggut-manggut dengan pelan. “Ya udah, biarin aja. Aku masuk kamar lagi, Bi.” “Hati-hati, Non. Besok jangan dulu ke butik kalau memang belum begitu sehat.” Devya mengangguk sembari mengulas senyum tipisnya. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Untuk istirahat sejenak sebab kondisinya yang sudah dua hari ini mengalami demam. Suara bel rumah berbunyi. Bi Sari segera melangkahkan kakinya untuk membukakan pintu di mana bel berbunyi sedari tadi. “Ada yang bisa dibantu? Cari siapa, ya?” tanya Bi Sari usai membukakan pintu tersebut. “Devya-nya ada?” Daren—tetap nekad menemui Devya ke rumahnya. “Oh! Non Devya lagi istirahat, Mas. Sudah dua hari ini dia memang demam, makanya tidak ke butik. Mas-nya … Mas Daren, ya?” Daren mengangguk cepat. “Devya … sakit?” tanya Daren pelan. “Betul, Mas. Tapi, tadi Non Devya berpesan kalau ada Mas Daren, saya harus kasih tahu Non Devya dulu. Tunggu sebentar, Mas.” Bi Sari dengan cepat masuk ke dalam kamar Devya untuk memberi tahu jika di luar ada Daren. “Permisi, Non. Mas Daren ada di depan, Non.” Mata Devya sontak membola. ‘Astaga! Nekad sekali, dia datang ke sini.’ Devya kemudian beranjak dari duduknya dan keluar dari kamarnya. Ia lalu menyeret tangan Daren dan membawanya keluar dari rumah itu. “Masuk!” Daren masuk ke dalam mobilnya. Pun dengan Devya. “Jalan!” titah Devya lagi. Daren menurut. Ia kemudian melajukan mobilnya keluar dari rumah itu. “Gila kamu, ya. Kenapa sih, nekad banget datang ke rumahku?” ucap Devya kesal. “Kamu sakit? Mau ke rumah sakit? Aku temenin.” “Gak perlu! Aku masih bisa berdiri. Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” “Maaf, karena sudah berani datang ke rumah kamu. Aku tidak ingin kamu memutuskan untuk pergi dariku, Devya. Kita sudah menikah meskipun pernikahan itu rahasia. Kamu tahu kan, aku mencintaimu? Kamu adalah istriku saat ini, Devya.” Devya menelan salivanya dengan pelan. Apa yang dikatakan oleh Daren ada benarnya. Devya mengusap wajahnya dengan pelan. “Tapi, kehadiran kamu menemuiku hanya untuk memuaskan hasrat yang pernah kita lakukan dulu, kan? Kamu hanya menginginkan tubuhku! Aku tahu itu!” “No, Devya. Bukan hanya untuk itu saja. Believe me.” Daren menatap lekat wajah Devya. “Don’t go. Please,” ucapnya pelan. Devya menghela napasnya dengan panjang. “Kasih aku waktu, Daren. Aku belum bisa memilih mana yang harus aku pilih. Tapi, jangan menungguku. Cari, perempuan yang bisa buat kamu nyaman, lebih dari aku. Kita bisa bercerai kapan saja.” Daren hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh agar cepat sampai ke apartemennya. “Kamu mau bawa aku ke mana, Daren? Pulangkan aku ke rumah.” Daren terdiam. Tidak menjawab apa pun selain melajukan mobilnya. Devya tidak tahu apa yang akan Daren lakukan padanya. Membawanya ke mana bahkan ia tidak hafal dengan jalan yang dilalui oleh lelaki itu. Setelah tiba di apartemen, Daren meminta Devya agar tetap di sana. “Jangan ke mana-mana, tetap di sini!” titah Daren kepada Devya yang tengah duduk di tepi tempat tidur. Devya menoleh ke kanan dan kiri melihat ruangan yang maha luas itu. Apartemen mewah milik lelaki itu membuat Devya terperangah sendiri melihatnya. “Halo, Om. Bisa ke sini sekarang?” Daren menghubungi Beni—seorang dokter di rumah sakit milik sang mama. “Kamu sakit, Dar?” tanya Beni kemudian. “Udah, cepet ke sini. Gak usah banyak nanya.” Daren kemudian menutup panggilan tersebut dan masuk ke dalam dapur untuk membuatkan s**u hangat untuk perempuan itu. “Ini aku lagi disekap apa gimana sih? Kok malah nurut aja, suruh duduk di sini. Kayak anak TK diculik om-om,” ucap Devya dengan pelan. Tak lama kemudian, Daren datang dan membawakan segelas s**u hangat untuk Devya. “Muka kamu pucat. Aku sudah telepon Om Beni, dokter pribadi keluargaku. Nanti dia datang ke sini untuk cek keadaan kamu. Sekarang minum dulu susunya.” Devya mengambil gelas tersebut dan meneguknya. Ia menatap wajah Daren yang begitu telaten merawatnya. “Ada apa? Zion datang ke rumahmu lagi?” tanyanya ingin tahu. Devya mengangguk lemah. “Bukan hanya Zion, tapi juga maminya.” Daren menghela napasnya dengan panjang. “Kalau begitu, tidak perlu pulang ke rumah itu lagi. Di sini saja. Sampai kamu sembuh. Biar aku saja yang rawat kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN