Siapapun pasti akan mengalami yang namanya kehilangan. Tak ada terkecuali. Setiap yang bernyawa pasti akan berpulang ke pemilik asalnya, yaitu Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta'ala.
Faza masih terpaku seorang diri sembari menatap nisan yang terpancang di atas gundukan tanah merah. Nisan yang bertuliskan nama sang ibu kini bersanding dengan nisan sang ayah. Faza memang memilih memakamkan keduanya secara berdampingan.
Tatapan Faza kosong. Ia tidak menyangka ditinggalkan secepat ini dan dalam waktu hampir bersamaan. Kedua orang tuanya ternyata berjodoh sehidup semati. Dalam diam, Faza tersenyum kagum. Ia begitu mengagumi kedua orang tuanya yang bahkan menghadap sang pencipta pun di waktu hampir bersamaan.
"Ibu, bapak, pasti kalian bahagia bisa kembali bersama. Ibu, bapak, Faza pulang ya! Seperti kata ibu, Faza akan jadi anak bapak dan ibu yang kuat. Semoga Faza dapat melewati semua ujian ini dengan penuh kesabaran dan keikhlasan," lirihnya sebelum pergi dari sana.
***
Tak terasa 2 Minggu telah berlalu semenjak kepergian kedua orang tuanya. Faza kini benar-benar sendirian di dunia ini. Hanya calon buah hatinya saja yang menjadi penyemangat hidupnya yang lara.
Pagi ini Faza sedang menyiram bunga-bunga yang bermekaran di taman rumah calon mantan suaminya. Kegiatan yang mungkin tak lama lagi akan ia tinggalkan.
Ya, Faza masih bertahan di rumah itu. Bukan tanpa alasan, selain karena masih dalam masa Iddah, Faza juga sedang menanti akta cerai miliknya. Bagaimanapun, ia membutuhkan surat itu sebagai bukti legalitas statusnya. Jangan sampai anaknya kelak dikira anak tidak jelas asal-usulnya atau yang kerap disebut anak haram hanya karena status jandanya yang tidak jelas. Meskipun menyesakkan, Faza tetap berusaha bertahan di rumah itu. Rumah yang tidak lama lagi akan ia tinggalkan.
Sang Surya perlahan meninggi. Teriknya mulai terasa di kulit Faza yang kuning langsat. Menimpa wajahnya hingga terlihat berkilau.
Faza menyeka keringat yang mulai bercucuran di dahi. Meskipun rasa sesak akibat rentetan peristiwa menyedihkan masih terasa di kalbu, tapi sebisa mungkin Faza berusaha tegar dan mengikhlaskan.
Saat Faza hendak menyimpan gembor ke tempatnya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di depan pagar rumah. Faza pun meletakkan terlebih dahulu gembor ke dekat kursi untuk melihat siapakah orang yang sepertinya hendak bertamu itu.
Saat Faza melihat 3 orang perempuan yang amat sangat ia kenali, ekspresi Faza berubah datar. Kemudian dari sisi kemudi, seorang perempuan yang cukup cantik dan berpenampilan modis ikut turun membuat dahi Faza mengernyit.
"Heh, buka pagarnya, bodoh!" Sentak Rani membuat Faza mendengus. Dengan perasaan dongkol, Faza pun membukakan pintu pagar. Seandainya rumah ini merupakan rumah miliknya sendiri, maka Faza akan memilih masuk ke dalam rumah. Mengabaikan kedatangan orang-orang yang hanya akan membuat hatinya tidak baik-baik saja itu.
Kemudian keempat perempuan itupun masuk, melewati Faza begitu saja.
"Kamu, cepat bereskan barang-barangmu sebab mulai hari ini Siska dan Salman akan tinggal di sini!" Titah Rani membuat dahi Faza berkerut bingung.
"Apa maksudmu, Mbak?"
"Kau masih tanya maksudku?"
Ibu Salman lantas menepuk pundak Rani membuat wanita itu menoleh.
Lalu ibu Salman menggandeng perempuan yang tak lain adalah Siska itu hingga berdiri di depan Faza.
"Perkenalkan, ini Siska dan dia adalah istri Salman. Menantuku sekarang. Bagaimana? Cantik kan? Ah, bukan sekedar cantik, dia juga memiliki pekerjaan yang bagus dan berasal dari keluarga yang berada. Tidak seperti kamu yang ... " ibu Salman tersenyum mengejek ke arah Faza yang hanya mengenakan baju tidur murahan. Menelisik dengan senyum meremehkan.
Mata Faza sontak membeliak. Tungkainya seketika melemas. Ia tidak pernah menyangka kalau suaminya sudah menikah lagi dengan perempuan lain. Padahal akta nikahnya saja belum keluar, tapi Salman sepertinya sudah tidak sabar lagi untuk menikah.
Rani dan Susi terbahak melihat ekspresi Faza yang sudah mulai memucat akibat rasa terkejut yang luar biasa.
"Ma, jadi ini mantan istri Mas Salman?" Tanya Siska dengan nada suara mengejek membuat hati Faza kian sakit.
"Huh, sebenarnya mama malas mengakuinya. Tapi ya mau bagaimana lagi. Entah pakai pelet apa perempuan miskin ini bisa membuat Salman sampai jatuh hati padanya. Tapi untung saja kebusukannya terbongkar. Kalau nggak, kasihan sekali Salman harus mengurus anak yang nggak jelas siapa bapaknya," tukas ibu Salman membuat d**a Faza bergemuruh.
"Berhenti menyebut anakku anak tidak jelas, Ma. Sudah berkali-kali aku katakan kalau anak yang aku kandung ini anak Mas Salman. Jangan hanya karena aku hamil dua Minggu setelah menikah, jadi kalian bisa menuduhku sembarangan. Ingat, fitnah itu lebih kejam dari membunuh. Jangan sampai kalian menanggung akibat atas tuduhan tidak berdasar kalian ini!" Sembur Faza kesal karena selalu saja disudutkan oleh calon mantan ibu mertua dan ipar-iparnya.
"Liat itu, Sis, sudah miskin, nggak ada akhlak lagi. Sama orang tua aja dilawan. Untung saja sekarang dia bukan adik iparku lagi. Benar-benar nggak punya etika."
"Namanya juga orang nggak berpendidikan, Mbak. Jadi harap maklum." Siska bicara sambil tersenyum mengejek ke arah Faza.
"Kau, tutup mulutmu itu! Yang tidak memiliki etika itu sebenarnya siapa? Aku apa kalian? Tiba-tiba saja datang dan membuat kekacauan di sini!"
"Memangnya kenapa kami ke sini? Kau lupa, rumah ini milik siapa? Ingat, kau itu hanya menumpang di sini. Dasar perempuan murahan!"
"Mbak Rani, sebenarnya apa salah dan dosaku sampai mbak tega sama aku seperti ini?" Tanya Faza nelangsa.
"Salah kamu nikah sama adik aku. Salah kamu karena miskin dan tidak berpendidikan. Makanya, ngaca, kamu itu siapa? Jangan mimpi ketinggian. Sekarang rasakan sendiri bagaimana rasanya dibuang. Sudah miskin, tidak berpendidikan, hamil anak orang lain pula. Ih, amit-amit!"
"Bener. Lebih baik kau segera ambil barang-barang mu dan pergi dari sini. Kau sudah tidak memiliki hak untuk tinggal di sini." Susi ikut menimpali.
"Nggak. Aku nggak mau. Sesuai kesepakatan, aku akan pergi setelah masa iddah-ku habis. Mas Salman sendiri yang mengatakannya jadi kalian jangan semena-mena denganku."
"Maaf, bu-ibu, ini ada apa ya? Perkenalkan, saya RT di sini." Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang berusaha melerai. Para warga yang khawatir terjadi kekacauan di area tempat tinggal mereka lantas memanggil ketua RT di sana.
"Pak, Pak RT, tolong bantu saya. Mereka ingin mengusir saya dari rumah ini. Saya ... "
"Heh, perempuan murahan. Kau jangan lupa kalau kau itu sudah diceraikan Salman jadi sudah sepantasnya kau keluar dari rumah ini."
Sontak saja apa yang Rani katakan membuat warga yang sudah mulai berkerumun membelalakkan mata mereka.
"Pak RT, Anda harus tahu kalau perempuan ini bukanlah perempuan baik-baik. Padahal dia baru menikah, tapi ia sudah hamil yang entah anak siapa," ucap Rani tanpa rasa bersalah.
Seketika terdengar keributan di sana. Orang-orang mulai membicarakan Faza dan menuduhnya hamil sebelum menikah.
"Karena adik kami, Salman sudah menikah lagi, maka wajar kan kalau kami mengusir perempuan murahan ini. Apa ibu-ibu tidak takut kalau suami ibu-ibu digoda perempuan murahan ini?"
"Tidak. Usir perempuan murahan itu."
"Dasar lon*te!"
"Dasar perempuan bi*nal!"
"Usir dia dari sini!"
"Usir!" Teriak warga sambil menatap Faza sinis.
"Nggak. Jangan dengar kata mereka! Aku nggak seperti itu. Itu semua fitnah. Mbak, kenapa Mbak tega memfitnahku? Aku bukan perempuan murahan. Anak ini anak Mas Salman. Bukan anak tidak jelas seperti yang kalian tuduhkan!"
"Berhenti berdusta, Faza! Kalau kau tidak ingin semakin malu, segera pergi dari sini. Bahkan warga pun sudah tidak ingin melihatmu lagi!" Usir mama Salman.
"Tapi Ma ... "
"Pergi atau perlu aku seret kau ke tengah jalan?" Sentak Rani kesal.
Dengan menahan gemuruh di dalam d**a, Faza pun segera masuk untuk mengambil barang-barangnya. Untung saja barang-barangnya sudah ia masukkan ke dalam tas sehingga sewaktu-waktu tinggal ia angkat bila ia harus segera pergi.
"Uuu ... dasar lont*e! Rasakan itu!" Tiba-tiba seseorang melempar Faza dengan telur mentah.
Hari Faza benar-benar sakit. Padahal ia tidak memiliki salah sama sekali, tapi hanya karena kata-kata fitnah yang ketiga perempuan itu lontarkan, ia jadi mendapatkan perlakuan yang miris seperti ini.
Saat berjalan sambil membawa tasnya, ia menoleh ke arah Siska yang berdiri angkuh di sana.
"Kau ... Padahal kau seorang perempuan, tapi kau bisa berbuat tega seperti ini. Apa kau tidak takut karma?"
"Karma? Apaan tuh? Aku nggak takut," jawabnya pongah.
Faza mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau kau tidak takut. Tapi ingatlah, setiap perbuatan itu akan ada timbal baliknya. Apa yang kau perbuat sekarang, bisa berbalik kepada dirimu. Sungguh, sampai kapanpun, aku takkan pernah ridho dengan apa yang kalian lakukan padaku dan anakku. Semoga kalian tidak menyesali setiap perbuatan yang telah kalian lakukan padaku. Permisi."
Bahkan untuk mengucap salam pun Faza merasa enggan.
Saat keluar dari pagar rumah, Faza kembali mendapatkan serangan. Siraman air kotor, lemparan telur, bahkan kulit pisang pun orang-orang lemparkan padanya.
Beginilah bahaya fitnah di zaman sekarang. Orang-orang terlalu mudah percaya dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar tanpa mau mencari tahu kebenarannya. Padahal Faza tidak bersalah, tapi hanya karena beberapa kata yang Rani, Susi, dan ibunya katakan, mereka langsung saja percaya dan menyerang Faza.
"Dasar, lon*te! Pergi sana!"
"Hhhuuu ... "
Dengan langkah gontai dan perasaan sakit luar biasa, Faza akhirnya meninggalkan rumah yang belum lama ditinggalinya itu. Dulu ia berpikir ia akan tinggal di sana dengan anak-anak dan suaminya. Tapi ternyata semuanya hanya ilusi yang takkan pernah menjadi nyata.