Setelah kepergian Salman, Faza masuk ke dalam kamarnya. Faza meluruhkan tubuhnya di samping ranjang kecil miliknya dan mulai menangis. Tangisannya terdengar memilukan. Mengapa ia harus mengalami kehilangan di saat seperti ini? Kehilangan seorang ayah karena tak kuasa menahan beban pikiran akibat pernikahannya yang kandas membuat Faza benar-benar merasa bersalah. Hatinya hancur lebur. Bara sakit hati semakin menjadi-jadi
"Bapak, maafin Faza, Pak. Padahal Faza belum sempat membahagiakan bapak, tapi Bapak sudah pergi lebih dulu. Dan semua terjadi karena Faza. Faza hanya menjadi beban bagi bapak dan ibu. Maafkan Faza, Pak."
Faza tergugu seraya memeluk kakinya sendiri. Dibenamkannya wajahnya di lipatan tangan. Hatinya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Hancur lebur, itu yang Faza rasakan saat ini.
"Za, sabar, Nak. Semua sudah garis dari yang di atas. Ini bukan salah kamu, Nak. Semua sudah takdir," ucap ibunya lirih.
"Tapi Bu, setidaknya bapak nggak akan meninggalkan kita dengan cara seperti ini. Semua salah Faza, Bu. Faza merupakan sumber kemalangan bagi bapak dan ibu. Pantas saja Faza dicerai Mas Salman karena memang Faza hanya membawa kesialan bagi semua orang."
"Hust, kamu ngomong apaan sih, Za. Nggak baik. Setiap yang kita jalani ini sudah ditakdirkan sejak zaman azali. Dan nggak ada yang namanya orang pembawa sial. Apalagi seorang anak. Anak itu anugerah. Kamu tahu, kamu itu anugerah luar biasa bagi ibu dan bapak. Tanpa kamu berusaha membahagiakan kami, kami sudah lebih dulu bahagia saat melihat kelahiranmu," tukas ibu Faza yang sudah berjongkok di hadapan Faza yang terisak-isak.
Faza mengangkat wajahnya. Ibu Faza lantas mengusap air mata yang membasahi pipi Faza yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya.
"Ibu ... " lirih Faza dengan nafas tercekat. Bu Ratmi lantas merentangkan tangan, kemudian mendekap erat tubuh Faza yang masih bergetar.
Sebagai seorang ibu, Bu Ratmi pun ikut merasa hancur atas apa yang anaknya alami saat ini. Padahal dalam hati ia pun sedang berduka atas kepergian suami tercinta. Tapi Bu Ratmi mencoba menguatkan diri. Ia tidak ingin putrinya kian hancur bila melihatnya terpuruk.
"Mulai sekarang, jadilah perempuan yang tangguh ya, Nak. Ingat ini, apapun yang terjadi, semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Bersedih boleh, tapi jangan berlarut apalagi sampai terpuruk. Ingat selalu, ada buah hatimu yang sedang tumbuh dan berkembang di sini. Berhusnudzon-lah pada Allah. Insya Allah, kebahagiaan sejati akan menghampirimu."
Bu Ratmi terus mengusap punggung Faza. Ia tersenyum saat merasakan punggung Faza sudah tidak lagi bergetar.
"Kita makan dulu ya, Nak. Kau kan belum makan sejak tadi. Kasihan cucu ibu pasti kelaparan," ujar Bu Ratmi.
Para tetangga yang tadi membantu pemakaman sudah mulai pulang ke rumah masing-masing. Mereka akan kembali lagi selepas Maghrib untuk melakukan tahlilan bersama.
Menjelang sore, beberapa tetangga yang didominasi ibu-ibu sudah mulai berdatangan. Mereka membawa rantang dari rumah masing-masing yang berisi makanan. Makanan itu akan dihidangkan sebagai suguhan selesai melakukan tahlilan.
Beruntung di tempat tinggal orang tua Faza memiliki kebiasaan untuk membawakan makanan khusus tamu yang ingin melakukan tahlilan. Jadi mereka tidak akan memberatkan pihak keluarga yang sedang berduka untuk menyediakan makanan bagi mereka.
"Nak Faza, kamu udah cerai sama suamimu ya, Nak?" Tanya salah satu ibu-ibu tetangga yang sudah kadung penasaran dengan berita perceraian Faza dan suaminya. Bukan tanpa alasan, mereka semua tahu, Faza belum lama menikah, tapi kok sudah bercerai begitu saja.
Dapat mereka lihat bagaimana kemarahan Bu Ratmi siang tadi saat melihat kedatangan Salman. Mereka berspekulasi kalau Salman lah yang bertingkah sehingga perceraian pun terjadi. Namun tetap saja, mereka masih penasaran sebelum Faza sendiri yang memvalidasi.
Faza tersenyum getir. Beberapa ibu-ibu yang sedang menyiapkan makanan ke dalam piring-piring pun menoleh ke arahnya. Seakan ikut menunggu jawaban darinya.
"Iya, Bude. Itu benar."
"Ya Allah, Nak. Kamu kan belum lama nikah, toh? Malah masih termasuk pengantin baru. Memangnya apa masalahnya sampai kalian justru memilih bercerai? Memangnya tidak bisa dengan cara lain apa? Apa masalah kalian itu tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik sampai bercerai gini?" Cecar ibu itu membuat Faza yang sedang pusing semakin sakit kepala. Ia lantas memijat pelipisnya karena matanya sudah berkunang-kunang.
"Za, kamu istirahat aja gih! Biar di sini ibu sama yang lain yang urus," sergah Bu Ratmi.
Faza mengangguk, "baik, Bu. Permisi, Bude, Faza istirahat dulu ya!"
Tetangga Faza tadi hanya bisa mengangguk. Mereka pun tidak bisa memaksa Faza untuk menjelaskan alasan perceraiannya. Apalagi saat ini Faza dan ibunya sedang berduka.
Lepas Maghrib, tahlilan pun dimulai. Tak sampai 1 jam kemudian, tahlilan pun selesai. Dilanjut dengan makan-makan untuk para tamu yang ikut mendoakan. Setelah segalanya usai, Bu Ratmi pun segera menutup pintu dan menghampiri sang anak yang sedang terduduk lesu sambil bersandar di dinding.
"Za, shalat isya dulu gih! Setelah itu baru tidur."
Faza mengangguk dan melaksanakan apa yang ibunya katakan tadi.
Pukul 10 malam, Faza tak kunjung bisa menutup matanya. Entah mengapa, dadanya terus berdegup dengan kencang. Seakan ada sesuatu yang akan terjadi. Faza lantas duduk di tepi ranjang. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu membuat Faza tersentak dari lamunannya.
"Ibu."
"Za, ibu mau tidur sama kamu, boleh?"
Faza melebarkan senyumnya lalu menjawab, "tentu, Bu. Faza juga dari tadi nggak bisa tidur."
Bu Ratmi pun segera masuk dan merebahkan tubuhnya di salah satu sisi tempat tidur. Setelah menutup pintu, Faza pun ikut menyusul dan berbaring di samping sang ibu. Lalu Faza memeluk ibunya dari samping. Menghidu dalam-dalam aroma sang ibu yang memang selalu menenangkan.
Entah sudah berapa lama ia tidak tidur sambil memeluk ibunya. Terkadang ia rindu tidur seperti ini, hanya saja Faza malu untuk mengungkapkannya.
"Za, kamu tahu kan kalau ibu dan bapak itu sayang banget sama kamu?" Ucap Bu Ratmi tiba-tiba.
"Iya, Bu. Faza juga sayang banget sama bapak dan ibu. Jangan tinggalin Faza, ya Bu. Faza nggak ingin kehilangan lagi. Kalau ibu nggak ada, terus Faza sama siapa? Faza nggak mau sendiri."
Bu Ratmi mengusap puncak kepala putrinya yang tidak terbalut hijab.
"Siapa bilang kamu sendiri? Ingat, kamu tidak pernah sendiri. Ada Allah yang akan selalu menjagamu di manapun kau berada. Selain itu, bukankah kau sedang hamil sekarang? Anakmu pasti sedih saat mendengar kamu bilang gitu, Za."
"Astaghfirullah. Iya ya, Bu. Maafin bunda ya, Sayang." Faza lantas mengusap perutnya yang masih terlihat rata.
"Za, bagaimanapun keadaannya, ibu harap kamu jadi perempuan tangguh. Ibu percaya, akan ada pelangi setelah badai. Ibu percaya, anak ibu perempuan yang hebat. Dimana pun kau berada, terus jaga diri. Minta perlindungan sama Gusti Allah. Dan selalu ingat ini, dimana pun bapak dan ibu berada, doa kami akan selalu menyertaimu."
Faza mengangguk terus tersenyum.
"Ikhlaskan setiap jalan takdirmu. Ingat, Allah takkan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Setiap apa yang kamu jalani pasti ada hikmahnya. Termasuk ikhlaskan setiap orang yang pergi dari sisimu. Semoga Allah nanti memberi gantinya yang lebih baik lagi."
Perlahan, mata Faza akhirnya mulai terpejam. Tak butuh waktu lama, akhirnya Faza pun terlelap dalam tidurnya. Faza yang tadi kesulitan tidur seakan menemukan obatnya saat berada di pelukan sang ibu. Debar-debar yang tadi mengusik pun perlahan hilang seiring rasa nyaman yang menyeruak di hati dan jiwanya.
***
Adzan subuh berkumandang, perlahan mata Faza pun mengerjap lalu terbuka. Faza menguap seraya mengucek kedua matanya untuk mengusir kantuk yang tadi menggelayut.
Ditolehnya ke sisi kanan, ternyata sang ibu masih tertidur dengan pulasnya. Mungkin karena terlalu lelah membuat sang ibu masih tertidur saat adzan sudah berkumandang seperti saat ini. Padahal biasanya ibunya selalu bangun lebih awal bahkan sebelum Adzan subuh berkumandang.
Wajah ibunya tapak teduh membuat Faza betah berlama-lama menatapnya.
"Bahkan saat tidur pun ibu tersenyum. Apa ibu bertemu bapak di dalam mimpi ya?" Gumam Faza sambil menatap lekat wajah sang ibu.
Namun Faza merasa ada yang janggal. Wajah ibunya terlihat pucat. Bahkan kaki ibunya yang bersentuhan dengan kaki Faza terasa dingin.
Jantung Faza lagi-lagi berdebar kencang. Rasa takut, was-was, cemas, dan khawatir bercampur aduk menjadi satu.
Dengan perlahan Faza mencoba membangunkan ibunya. Ia menggoyang pelan lengannya sambil memanggil nama sang ibu.
"Bu, bangun. Sudah subuh."
Namun tubuh Bu Ratmi tidak bergeming. Jangankan bergerak, justru tubuh itu terasa dingin dan kaku membuat sekujur tubuh Faza dihantam ketakutan luar biasa.
"Bu, bangun, Bu. Bu ... Bangun. Sudah subuh, bu. Yuk, kita sholat berjamaah berdua!"
"Bu ... Bangun, Bu!"
"Ibu ... "
"Ibu, bangun, Bu!"
"Ibuuuuu ... "
"Ibuuuuuuuuu ... "
Tangis Faza tumpah. Tubuhnya seketika berguncang hebat setelah ia memeriksa nafas sang ibu yang ternyata sudah tidak ada lagi.
"Ibu .... Jangan tinggalin Faza, Bu! Ibu, Faza mohon jangan tinggalin Faza! Ibu ... "