Sepulangnya dari persidangan, Salman diajak ibunya ke rumah salah satu teman ibunya. Tujuannya tak lain adalah mengenalkan Salman dengan seorang gadis bernama Siska yang menurut Rani dan Susi ia merupakan salah seorang guru di salah satu sekolah swasta.
Ternyata Rani dan Susi sudah lebih dulu mengenal Siska dari sosial media. Menurut mereka Siska begitu cocok dengan Salman. Selain cantik dan modis, Siska juga memiliki pekerjaan yang dapat dibanggakan, tidak seperti Faza yang kini hanya seorang pengangguran. Bahkan kalaupun masih bekerja, pekerjaan mereka tidak sebanding sebab Faza hanyalah seorang karyawan pabrik konveksi.
Salman yang sudah tidak memiliki pilihan untuk menolak pun hanya bisa pasrah. Dulu ia menikahi Faza dengan restu terpaksa. Ibu dan kedua kakak perempuannya terpaksa menerima Faza sebab Salman mengancam akan menghentikan uang bulanan sang ibu. Padahal ibunya sendiri sudah mendapatkan uang bulanan dari sang ayah. Tapi sang ibu tetap menuntut haknya dari anak-anaknya. Apalagi Salman merupakan anak laki-laki jadi menurutnya sudah menjadi kewajiban Salman untuk menafkahi sang ibu. Berbeda dengan anak perempuan, mereka tidak memiliki kewajiban tersebut. Jadi ibu Salman tidak menuntut nafkah dari Rani dan Susi meskipun keduanya pun sebenarnya bekerja. Oleh sebab itu, untuk kali ini ia pasrah dijodohkan dengan perempuan yang tidak dikenalnya. Ia menganggap kehancuran rumah tangganya karena tidak adanya restu yang tulus dari sang ibu. Ia harap dengan begini pernikahannya kelak akan berjalan lancar dan baik-baik saja.
"Nah, kita sudah sampai," seru Rani girang. Ia sudah tidak sabar memiliki ipar seperti Siska. Terserah Salman yang belum resmi bercerai dengan Faza, yang penting baginya agar Salman segera menikahi Siska. Seorang perempuan cantik yang menurutnya sepadan dengan adik maupun keluarganya.
"Assalamu'alaikum," ucap Salma, Rani, dan Susi bersamaan. Sementara Salman hanya bungkam. Ia hanya manut saja apa yang diperintahkan padanya.
"Wa'alaikumussalam. Eh, jeng Salma, akhirnya datang juga. Wah, cah bagus ini pasti Nak Salman kan? Sesuai kata jeng Salma, anak lakimu gantengnya poll. Ayo, ayo, silahkan masuk! Anggap saja rumah sendiri!" Ujar ibu dari Siska bernama Bu Yuni.
Bu Yuni pun mempersilahkan Salman masuk ke dalam rumahnya. Rani dan Susi tak henti-hentinya memamerkan siapa itu Siska. Apalagi saat Siska mulai diperkenalkan pada Salman. Bu Salma pun tak henti-hentinya memuji Siska dan membanding-bandingkannya dengan Faza.
Sementara itu, di rumah, Faza tampak sedang mencari-cari informasi lowongan pekerjaan. Ia juga menghubungi temannya sesama karyawan pabrik berharap masih ada lowongan di sana.
"Maaf, Za, tadi aku udah nanya ke supervisor, tapi untuk sementara waktu ini belum ada lowongan. Nanti deh, kalo ada kabar lowongan pekerjaan, pasti aku kabarin ke kamu," ujar Ratih, rekan kerjanya di pabrik konveksi dulu.
Faza menghela nafas pasrah, kemudian mengangguk padahal Ratih pasti tidak bisa melihat anggukannya. Saat sadar, Faza pun segera menjawab.
"Iya, Tih, nggak papa. Makasih ya atas bantuannya. Maaf udah ngerepotin."
"Ih kamu ini, Za, kayak sama siapa aja."
Mereka pun berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya panggilan pun ditutup.
"Ya Allah, aku harus cari kerja kemana lagi? Aku nggak bisa terus begini?"
Faza memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Akhir-akhir ini tekanan darahnya memang sedikit rendah. Mana ia juga kesulitan makan, alhasil tekanan darahnya menurun drastis mengakibatkan rasa pusing di kepalanya.
Menjelang sore, tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring. Dilihatnya nama pemanggil adalah sang ibu.
"Halo, Bu. Assalamu'alaikum," ucap Faza.
"Wa'alaikumussalam, Za."
Faza yang mendengar suara serak disertai isakan sang ibu pun sontak khawatir.
"Bu, ibu kenapa? Ibu sakit?" Tanyanya panik.
"Za, bapak, Za, bapak ... huhuhu ..."
"Bapak? Bapak kenapa, Bu?"
Bagaikan disambar petir di sore yang cerah saat ibunya menyampaikan kabar bahwa sang ayah sudah tiada. Ia meninggal dunia dalam kecelakaan kerja. Sang ayah tertimpa reruntuhan bangunan yang ternyata tidak terlalu kokoh. Kecelakaan itu memakan beberapa korban, tapi yang meninggal dunia hanya ayah Faza saja.
Ponsel Faza seketika terjatuh ke lantai. Faza tergugu sambil meringkuk memeluk kedua lututnya.
"Ya Allah, bapaaak ... Kenapa bapak tinggalin Faza, Pak?"
Faza meraung. Tangisnya kembali pecah. Setelah beberapa hari yang lalu ia bertekad untuk tidak menangis lagi dan kali ini Faza akhirnya terpaksa kembali menangis. Anak mana yang tidak menitikkan air mata saat kehilangan salah satu orang tuanya. Apalagi ayahnya adalah cinta pertamanya. Bahkan ayahnya juga yang dulu pertama kali mengajarkannya berjalan. Lalu kini, cinta pertamanya telah tiada. Bagaimana Faza tidak merasa hancur. Ia masih bisa berdiri kokoh saat suaminya menceraikan dirinya, tapi saat ia dihadapkan pada kenyataan kalau ayahnya telah tiada, pertahankan diri Faza akhirnya tumbang.
Keesokan paginya, akhirnya ayah Faza pun dimakamkan. Karena jenazah dipulangkan dari rumah sakit saat hari sudah menjelang Maghrib jadi jenazah ayah Faza baru dimakamkan keesokan paginya.
Salman yang mencari keberadaan Faza untuk menanyakan kenapa ia tidak hadir di persidangan pun mencoba mencari ke rumah mantan mertuanya setelah tidak menemukan Faza di rumah mereka. Saat melihat bendera kuning terpancang di depan rumah orang tua Faza, Salman terperanjat. Ia pun segera masuk untuk melihat siapa yang meninggal. Melihat kondisi Faza yang tampak kacau membuat hati Salman bagai diremas. Ia ingin menghampiri Faza sebelum tiba-tiba ibu Faza menghadang dirinya.
"Mau apa lagi kau datang ke mari? Belum puas kah engkau menyakiti Faza?" Sergah Bu Ratmi.
Melihat keberadaan ibu Faza, Salman meyakini kalau yang meninggal adalah mantan ayah mertuanya.
"Bu, saya hanya ingin ... "
"Jangan panggil saya ibu karena aku bukan ibumu! Lebih baik kau segera pergi dari sini sebelum sapu ini mengenai tubuhmu." Usir Bu Ratmi sambil mengangkat sapu di tangannya tinggi-tinggi.
"Tapi Bu ... "
"Tidak ada tapi-tapi. Kau tahu, kekacauan yang menimpa kami ini semua berawal dari kau. Gara-gara kau, suamiku tidak bisa fokus bekerja sehingga nasib malang akhirnya menimpanya. Sudah pergi sana. Aku sudah tidak sudi lagi melihat wajahmu," usir Bu Ratmi lagi. Mata yang belum lama kering itu akhirnya basah lagi. Ia benar-benar marah sekaligus kecewa dengan Salman.
Bu Ratmi tahu, yang namanya ajal itu bisa datang kapan saja dan dimana saja. Tapi ia bukanlah seorang nabi yang bisa dengan ikhlas begitu saja menganggap kematian suaminya karena memang sudah waktunya sebab setelah mendengar cerita para pekerja di sana, suaminya akhir-akhir ini sering melamun saat bekerja. Ia kerap kehilangan konsentrasi. Bahkan sudah beberapa kali ia hampir celaka saat bekerja. Namun puncaknya ternyata kemarin. Karena sibuk dengan pikirannya sendiri, ayah Faza sampai tidak sadar kalau bangunan yang baru setengah jadi ia dan rekannya kerjakan mengalami keretakan parah secara tiba-tiba. Orang-orang sudah berteriak agar ayah Faza menyelamatkan diri, tapi ia tidak mendengar sama sekali hingga akhirnya bangunan pun tiba-tiba roboh.
Memang robohnya bangunan berasal dari beberapa faktor. Salah satunya material yang digunakan ternyata berkualitas rendah. Ini merupakan permainan dari mandor dan penyedia bahan bangunan. Tapi bagi ibu Faza, tetap saja semua berawal dari perbuatan Salman. Seandainya ia tidak menceraikan Faza, seandainya ia mau sedikit saja mendengarkan Faza dan membiarkan ia membuktikan kalau bayi yang ia kandung benar-benar anaknya, suaminya pasti tidak akan kepikiran terus seperti ini. Dan suaminya pasti tidak akan mengalami kecelakaan kerja seperti ini.
"Faza, ini aku Salman. Aku ingin bicara sebentar denganmu, aku mohon!" Pekik Salman yang pada akhirnya membuat Faza menoleh. Faza menatap Salman dengan tatapan kosong. Salman sampai terperanjat dibuatnya.
"Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mas. Lebih baik Mas Salman pergi dari sini. Karena aku sudah tidak sudi berbicara denganmu lagi," ucap Faza dingin.
Salman terperanjat kaku. Kini ia akhirnya sadar, Faza sudah berubah. Dan akhirnya semua sudah benar-benar berakhir.