Amplop coklat

1283 Kata
Setelah kepergian Salman, ibu, dan kedua kakak perempuannya, Faza menjatuhkan tubuhnya di lantai. Ia bersandar di balik pintu seraya menumpahkan segala sesak di dadanya. Ia menangis dan tergugu hebat. Tubuhnya bergetar seiring bulir-bulir bening yang melaju deras. Ia sakit, ia sedih, ia kecewa. Ia sungguh menyesalkan, mengapa Salman bisa begitu keras kepala dan lebih mendengarkan kata-kata ibu serta kedua kakak perempuannya. Padahal Faza sudah mati-matian membujuk Salman agar tidak mengambil keputusan yang ia yakini akan laki-laki itu sesali kelak di kemudian hari. Tapi ternyata keputusannya sudah mutlak. Sekuat tenaga ia mencoba meyakinkan, nyatanya laki-laki itu lebih mempercayai keluarganya dibandingkan Faza selaku istrinya. Tapi ya sudahlah, tak ada lagi yang perlu ia sesali. Nasi telah menjadi bubur. Faza lekas menghapus bulir-bulir air mata yang masih membasahi pipi. Ia bertekad akan membesarkan anaknya seorang diri. Ia takkan membalas kedzaliman Salman dan keluarganya. Sebab ia yakin dan percaya, setiap perbuatan itu, baik maupun buruk pasti akan ada balasannya. "Tidak. Kau tidak boleh terpuruk, Faza. Kau bukanlah perempuan yang lemah. Kau perempuan yang kuat. Ikhlaskan semuanya. Insya Allah, akan ada pelangi setelah hujan badai. Yakin dan percayalah, Allah tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuanmu." Faza berusaha mengafirmasi dirinya sendiri agar tidak putus asa dan ikhlas dalam menghadapi setiap ujian dari Allah Subhanahu wa ta'ala. *** Hari berganti hari, tak terasa sudah satu Minggu Salman pergi dari rumah itu. Faza tidak peduli kemana laki-laki itu pergi. Toh ia sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi dengan laki-laki itu, pikirnya. "Aku tidak bisa terus begini. Setelah masa iddahku habis, aku harus segera keluar dari rumah ini. Tapi aku harus kemana? Pulang ke rumah bapak hanya akan menjadi beban bapak dan ibu. Aku juga tidak memiliki pekerjaan. Ya Allah, aku harus bagaimana?" Faza bingung. Ia tidak memiliki tabungan. Ia juga tidak memiliki pekerjaan. Sebulan sebelum ia menikah, Salman memang memintanya keluar dari pekerjaannya. Sementara sisa gajinya dulu saat bekerja tidak seberapa dan sudah banyak ia pergunakan untuk keperluannya sebelum menikah. Faza bukanlah perempuan yang suka menengadahkan tangan. Selagi mampu, ia akan memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi ia tidak ada meminta apapun pada Salman yang saat itu sudah menjadi calon suaminya. Bahkan saat saat Salman ingin memberinya uang, Faza memilih menolak dengan halus. Ia beranggapan sebelum menjadi istri, ia tidak mau membebani Salman. Ia tidak mau dianggap benalu hanya karena uang pemberian itu. Hingga hari menjelang siang, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Faza pun segera membuka pintu. Tampak seorang petugas pos yang mengantarkan sebuah amplop coklat padanya. "Pengadilan agama?" Faza tersenyum getir. Tanpa membuka amplopnya pun ia sudah menebak apa isinya. Isinya pasti surat panggilan sidang. Faza membuka amplop tersebut hanya untuk melihat kapan sidang pertama akan dilakukan. Setelah tahu, ia pun segera memasukkan kembali suratnya ke dalam amplop. Faza tidak berniat untuk datang sama sekali. Biarlah. Bukankah lebih cepat lebih baik. *** "Apa, Nak? Cerai? Kamu sudah diceraikan Salman? Memangnya kenapa? Kenapa Salman sampai tega menceraikan kamu?" Tanya ibu Faza penasaran. Setelah mendapatkan surat panggilan sidang, Faza pun berinisiatif pulang ke rumah orang tuanya untuk mengabarkan hal tersebut. Ia tidak ingin orang tuanya tahu dari orang lain. "Mereka mengira Faza hamil anak orang lain, Bu," ujar Faza setelah menghela nafas panjang. "Apa, Za? Kamu ... hamil?" Sama seperti Salman, mantan ibu mertua, dan kakak-kakak perempuan Salman, ibu Faza pun terkejut mendengar kabar dari Faza. Bagaimana tidak terkejut sebab Faza baru menikah selama 2 Minggu. Dan kedatangan Faza hari itu di Minggu ketiga. Mungkin bila Faza mengumumkan kehamilannya setelah 1 bulan menikah, orang-orang tidak akan begitu terkejut. Tapi Faza baru 2 Minggu menikah kala mengabarkan itu pada suami dan mertua serta iparnya. Minimnya edukasi mengenai masa kehamilan pada masyarakat umum memang kadang membuat masyarakat sering berasumsi negatif saat ada perempuan yang begitu cepat hamil. Padahal segala sesuatu bisa saja terjadi. Terutama saat sedang dalam masa subur. "Apa ibu juga meragukan kehamilanku?" Ucap Faza sedikit nelangsa mendengar nada ketidakpercayaan dari sang ibu. "Bukan begitu, Za, tapi kamu kan baru 2 Minggu menikah waktu itu, tapi kok sudah hamil. Biasanya kan orang-orang paling cepat hamil setelah 1 bulan menikah." Ibu Faza tidak ingin membuat anaknya menjadi semakin terluka karena kata-katanya yang terdengar seolah meragukan kehamilannya. "Bu, hamil itu bisa saja cepat terjadi kalau kita sedang dalam masa subur. Sementara 2 Minggu sebelum pernikahan ku, aku baru saja selesai haid. Jadi saat kami menikah, aku sedang dalam masa subur. Sementara kehamilan itu dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Dan 2 Minggu yang lalu aku telat. Memang baru terlambat satu hari, tapi karena aku tahu perihal ini jadi aku periksa dan hasilnya benar kalau aku hamil," jelas Faza membuat ibunya yang awalnya bingung, kini paham. "Jadi benar anak yang kamu kandung itu anak Salman?" "Astaghfirullah, ya iyalah, Bu. Memangnya anak siapa lagi?" "Maaf, Za, bukan maksud ibu meragukan anakmu itu. Maklumlah Za, ibumu ini cuma orang kampung yang nggak berpendidikan. Ibu mana paham soal begituan. Taunya hamil itu setelah satu atau dua bulan menikah." Faza terdiam. Ia memaklumi pemikiran ibunya. "Tapi seenggaknya ibu masih mau mendengarkan penjelasan aku. Nggak seperti keluarga Mas Salman, mereka sekeluarga nggak ada yang mau mendengar penjelasanku. Bahkan Mas Salman pun terpengaruh. Aku sudah mengajaknya ke dokter untuk mendapatkan penjelasan, tapi dia menolak. Faza juga sudah ajukan tes paternitas setelah usia kandungan Faza 4 bulan, eh dia tetap aja menolak," keluh Faza. "Tes apa? Tes pater-- pater apa? Apa itu?" "Tes paternitas, Bu. Tes DNA bayi untuk mengetahui Mas Salman benar ayah biologis dari bayi ini atau bukan." "Oalah, tes semacam itu ada toh?" "Sekarang kemajuan alat-alat kedokteran semakin canggih, Bu. Jadi semua bisa dites. Meskipun masih dalam kandungan, asal usianya sudah di atas 4 bulan, dia sudah bisa dites kecocokan genetiknya sama ayahnya. Tapi Mas Salman kekeuh dengan pemikirannya. Mau sekeras apapun Faza menjelaskan, Mas Salman tetap tutup mata tutup telinga. Dia tidak mempercayai anak ini sebagai anak kandungnya sama sekali. Mas Salman sempat memberikan pilihan, gugurkan kandungan ini atau cerai. Ya nggak mungkin kan Faza gugurin kandungan Faza. Daripada Faza jadi pembunuh darah daging Faza sendiri, lebih baik Faza cerai lah. Memang Allah tidak menyukai perceraian, tapi Allah kan lebih membenci membunuh. Apalagi anak ini nggak berdosa sama sekali." "Ya Allah, malang sekali nasibmu, Nak. Lantas sekarang kamu mau bagaimana?" "Ya mau bagaimana lagi, Bu, selain menerima segalanya dengan ikhlas. Satu hal yang pasti, Faza akan terus mempertahankan anak Faza dan Faza akan sekuat tenaga membesarnya. Dia adalah anugerah dalam hidup Faza. Faza akan jadi ayah sekaligus ibu baginya," ucap Faza penuh keteguhan dan ketegaran. "Ibu dan ayah pasti mendukungmu, Nak. Tenang saja, doa ayah dan ibu selalu untukmu." *** Hari persidangan akhirnya tiba. Seperti yang Faza katakan, ia takkan hadir di hari persidangan. Ia ingin proses perceraiannya berakhir dengan lancar. Berbeda dengan Salman, dia didampingi ibu dan kedua kakak perempuannya sudah berada di pengadilan agama. Sebentar lagi jadwal sidang perceraian Salman digelar. Sejak tadi, Salman tampak celingukan mencari sosok wanita yang sebenarnya masih dicintainya itu. "Awas ya, Man, kamu nggak boleh kasi dia harta gono-gini. Toh kamu baru 2 Minggu nikah. Anak nggak ada. Jadi dia nggak berhak atas harta kamu meski sedikitpun," ucap Rani. "Iya, iya, Mbak. Mau ngomong itu sampai berapa kali sih? Kuping aku sampai pengang mendengarnya," keluh Salman. "Ck, dikasi tau yang bener malah ngomel." "Iya nih. Eh, giliran kamu masuk tuh. Mana perempuan murahan itu ya? Apa dia nggak datang?" Ucap Susi yang ikut celingukan. "Kayaknya gitu sih, Sus. Malah bagus itu. Kalo perlu, nggak usah datang sama sekali. Muak kali aku liat muka sok polosnya itu." "Udah, udah, ayo buruan masuk. Setelah ini, kita langsung ke rumah Siska kan?" "Iya, Bu. Rasanya aku sudah nggak sabar ke rumah Siska." "Awas ya kamu, Man, sesampainya di sana, muka kamu jangan ditekuk kayak gini!" Salman hanya bisa menghela nafas panjang mendengar ancaman dari sang ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN