"Mas, aku mohon jangan lakukan apa yang mama dan Mbak Rani katakan! Sungguh Mas, ini anak kita, buah cinta kita."
Faza tetap berusaha meyakinkan suaminya. Namun semakin ia mencoba meyakinkan, semakin gencar pula ibu mertua dan kakak-kakak iparnya meyakinkan Salman agar segera menceraikannya.
"Mas ... "
"Begini saja, aku memberikanmu dua pilihan, Za, pertama pilih gugurkan anak itu atau aku ceraikan!" Ucap Salman tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Mas, bagaimana bisa kau memberikan ku pilihan yang amat sangat sulit?" Ucap Faza yang benar-benar tidak habis pikir dengan pilihan yang suaminya berikan.
"Salman, kau apa-apaan sih? Untuk apa pula kau mempertahankan w************n itu? Perempuan kotor itu tidak pantas untukmu," seru Susi yang tidak habis pikir kenapa Salman memberikan dua pilihan yang aneh seperti itu. Bukankah seharusnya langsung ceraikan saja perempuan itu dan semuanya beres.
"Sudah, ini keputusanku. Bagaimana Faza, kau mau kan menggugurkan kandunganmu itu? Tenang saja, setelah ini aku takkan mengungkit-ungkit kesalahanmu lagi. Aku tetap akan menerimamu sama seperti aku menerimamu menjadi istriku. Aku akan memaafkan segala kesalahanmu dan kita akan memulai semuanya dari awal. Bukankah kau masih mencintaiku. Kau mau kan, Za?"
Sebenarnya Salman pun merasa serba salah. Tapi ia tidak menemukan pilihan lain. Kalau mempertahankan bayi itu, itu hanya akan membuatnya semakin sakit hati. Keluarganya pun pasti tidak akan menerima anak itu menjadi bagian dari keluarga mereka.
Selain itu, Salman pun sebenarnya masih sangat mencintai Faza. Oleh sebab itu, ia memberikan pilihan itu berharap Faza lebih memilih dirinya dibandingkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Bukankah Faza pun sangat mencintai dirinya? Sudah pasti ia akan lebih memilih dirinya dibandingkan dengan anak itu, bukan? Salman terlalu percaya diri.
"Apa kau gila, Mas? Kau memberikanku pilihan yang benar-benar gila. Tidakkah kau merasa bersalah dengan darah dagingmu sendiri?" Teriak Faza dengan wajah merah padam.
Faza berharap, Salman memiliki sedikit saja ikatan batin dengan anaknya sehingga menimbulkan rasa bersalah yang membuatnya membatalkan pilihan gilanya itu. Tapi yang dilakukan Salman sungguh di luar nalar.
"Ya, aku memang gila. Aku gila karena aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin melihat anak sialan yang kau kandung itu. Cepat katakan pilihanmu, Faza! Gugurkan kandunganmu itu atau bercerai?" Teriak Salman yang sudah nyaris kehilangan kesabarannya.
"Apa tidak ada pilihan lain selain itu?" Tanya Faza nelangsa.
Salman menggeleng tegas. Baginya, hanya itu pilihan yang terbaik. Sebab dalam pikirannya, Faza pasti lebih memilih dirinya dibandingkan anak yang entah siapa ayahnya itu.
Faza tergugu. Air matanya mengalir deras membasahi pipi. Rasa sakit menjalar dari hati hingga ke sekujur tubuh. Bahkan tubuhnya sudah bergetar hebat menandakan ia sudah diambang batas rasa sakit.
Faza menundukkan wajahnya sambil menyeka bulir-bulir bening yang terus mengalir deras. Ia menarik nafas dalam-dalam. Tak ada pilihan lain. Ia memang harus segera membuat keputusan. Ia tidak ingin, hanya karena mempertahankan seorang suami kejam dan tiada berperasaan lantas ia harus menyingkirkan nyawa yang tidak berdosa.
Salman masih terdiam, menanti keputusan Faza yang ia yakin Faza akan lebih memilih dirinya. Sementara itu, ibu mertua dan kedua kakak iparnya justru merasa kesal karena mengira Faza akan lebih memilih Salman dibanding kandungannya. Artinya mereka akan tetap bersama setelah ini.
"Bismillahirrahmanirrahim. Baiklah, kalau itu keputusanmu, Mas, maka aku lebih memilih ... bercerai. Aku tidak mungkin membunuh darah dagingku sendiri. Cukuplah ia tidak mendapatkan pengakuan dari ayah dan keluarga ayahnya. Ayo, Mas, silahkan talak aku!" Ucap Faza dengan raut wajah datar, namun justru terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Seakan ia sudah siap kehilangan segalanya.
Salman terkejut bukan main. Begitu pula ibu mertua dan kedua kakak iparnya. Bila raut wajah Salman terkejut dengan perasaan takut kehilangan, maka raut wajah ibu, Rani, dan Susi justru terlihat bahagia.
"Huh, pasti dia sudah berencana menikah dengan ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya itu. Dasar, jalaang tidak tahu malu."
"Sudah Salman, segera talak perempuan murahan itu! Untuk apa juga kau mempertahankannya. Apa kau tidak takut terkena penyakit menular karena masih berhubungan dengan perempuan murahan seperti dia," ucap Rani menggebu.
Faza tidak menghiraukan ucapan-ucapan keji dari para iparnya. Ia seakan menulikan telinganya dan hanya terfokus pada Salman yang mematung.
"Apa kau sudah pikirkan baik-baik?" Tanya Salman dengan jantung yang bergemuruh. Takut. Ia sungguh takut akan kehilangan Faza. Akan tetapi, ia tidak mungkin mempertahankannya bila ia tetap ingin mempertahankan kandungannya itu.
"Ya," jawab Faza singkat, padat, dan jelas.
"Pikirkan sekali lagi, Faza! Jangan terburu. Karena kalau kita sudah bercerai, otomatis kau akan kehilanganku." Salman masih berharap Faza lebih memilih dirinya.
"Aku lebih baik kehilangan kau daripada hati nuraniku."
Faza masih memiliki hati nurani. Meskipun masih berbentuk sebongkah daging yang belum bernyawa, tetapi tetap saja, yang ia kandung merupakan calon anaknya. Tidak sedikit orang-orang yang begitu mengharapkan dikaruniai seorang buah hati, lantas bagaimana mungkin ia melenyapkan calon buah hatinya begitu saja.
Tidak. Sampai kapanpun, ia takkan melakukannya. Meskipun ia harus mengorbankan seluruh jiwa dan raganya, ia rela. Ia akan mempertahankan calon anaknya bagaimanapun caranya.
Salman meraup kasar wajahnya. Dengan mengeraskan hati, Salman akhirnya menuruti kemauan Faza.
"Baiklah, kalau ini sudah menjadi pilihanmu. Semoga kelak kau tidak menyesal dengan keputusanmu itu," ucap Salman dengan perasaan tidak menentu.
"Fazalika Sauqiyah binti Ahmad Jauhari, hari ini aku jatuhkan talak satu padamu. Mulai hari ini, ku haramkan diriku atasmu. Silahkan kau habiskan masa iddahmu di sini. Aku akan segera mengurus perceraian kita," putus Salman pada akhirnya.
Faza tersenyum miris. Ia tidak menyangka, kabar yang ia sangkakan akan membawa kebahagiaan justru berakhir dengan perceraian.
Faza mengangguk. Ia sudah tidak memiliki alasan untuk mempertahankan rumah tangganya. Sementara itu, ibu Salman dan kedua anak perempuannya tersenyum bahagia penuh kemenangan. Akhirnya tanpa bersusah payah mereka bisa menyingkirkan Faza dari hidup Salman.
Salman yang merasa kacau, hendak segera pergi dari sana. Namun sebelum Salman keluar dari rumah itu, Faza memangil dirinya.
"Tunggu, Mas!" Sergah Faza membuat Salman dan ibu serta kakak-kakaknya menghentikan langkah mereka.
"Apa lagi sih? Jangan bilang kamu nyesel diceraikan Salman?" Ketus Rani.
"Mas, aku ingin bertanya satu hal padamu!"
"Katakan saja," jawab Salman ketus. Ia kesal karena Faza lebih memilih bercerai darinya dibandingkan mengugurkan kandungannya.
"Apa ... kau tidak sedikitpun merasa memiliki ikatan batin pada anak ini?"
"Tidak," ketus Salman. "Bagaimana mungkin aku memiliki ikatan batin pada anak yang jelas-jelas bukan anakku," imbuhnya sinis.
Mendengar kata-kata kejam itu, membuat Faza menggertakkan giginya.
"Mas, dengar ini, aku bersumpah, ini benar-benar anakmu. Dan aku juga berani bersumpah, kalau ini bukan anakmu, maka aku pasti akan mati mengenaskan. Tapi sebaliknya, bila ini benar anakmu, maka sampai kapanpun kau takkan bisa memiliki keturunan lain selain anak yang ku kandung ini. Camkan itu baik-baik!" Seru Faza dengan jantung yang bergemuruh. Dadanya naik turun, menunjukkan betapa ia begitu disulut emosi saat ini.
Tiba-tiba langit bergemuruh dan petir menyambar kencang. Padahal tak ada angin maupun hujan di luar sana. Namun, langit seolah mengaamiinkan sumpah yang Faza ucapkan dengan begitu lantang tersebut.
Salman, ibu, dan kedua kakak perempuannya terkejut bukan main.
"Dan kalian, ingat ini, setiap perbuatan itu akan ada balasannya. Tabur tuai itu ada. Kalian sudah memfitnahku dan anak dalam kandunganku. Aku pastikan, kalian akan mendapatkan balasan atas setiap fitnah yang kalian tujukan padaku dan anakku," seru Faza lagi dengan lantang. Matanya memerah. Sekuat tenaga ia menahan gejolak amarah yang hendak meledak.
Faza tahu, ini salah. Ia tidak boleh mengatakan kata-kata seperti itu. Namun hati Faza terlanjur sakit luar biasa. Karena ketiga orang itu, suaminya menceraikannya. Dan karena ketiga orang itu, calon anaknya bukan hanya mendapatkan penolakan dari ayahnya, tapi juga akan tumbuh tanpa kasih sayang sang ayah. Tanpa kasih sayang keluarga yang lengkap.
Usai mengucapkan itu, Faza pun segera berlalu dari keempat orang itu.
Ibu Salman, Rani, dan Susi mengumpat kesal mendengar kata-kata Faza yang menyumpahi mereka.
"Sialan. Berani-beraninya dia menyumpahi kita. Heh, berhenti kau jalaang!" Teriak Rani yang hendak menghentikan Faza dan memberinya pelajaran. Tapi Salman justru menghentikannya.
"Lepaskan aku, Salman! Aku harus memberi pelajaran pada perempuan murahan itu!" seru Rani seraya memberontak saat Salman menghalangi langkahnya.
"Sudahlah, Mbak! Berhenti membuat keributan. Ayo, aku antar pulang!" Ajak Salman membuat Rani kesal bukan main.
"Awas saja dia! Tunggu pembalasanku!" Desisnya dengan mata mendelik.