Pembokat yang Istimewa

777 Kata
“Ya sudah, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Tidak repot kok bekerja di sini, masing-masing ada bagiannya. Kamu tukang cuci dan setrika baju saja. Soal masak, beres-beres rumah, dan yang lain-lain sudah ada yang handle,” kata Prity pada Ziva. Kemudian tatapan matanya beralih kea rah Pak Dalman. “Dalman, antar Ziva ke belakang, suruh Aisa menunjukkan kamarnya. Setelah itu itu kamu langsung ke depan, antar aku ke kantor. Oke?” “Baik, Nya.” “Semoga kamu betah ya, cantik!” Prity mengusap singkat pipi halus Ziva dengan jempol yang kukunya runcing berkutek ungu kemudian melenggang pergi. Ziva melepas nafas lega, syukurlah ia aman. Ketakutannya tidak terjadi. “Pak Dalman, pergilah ke depan, temui Mama! Biar aku yang antar Ziva ke belakang,” titah Ammar yang langsung dipatuhi Pak Dalman dengan mengangguk. Pak Dalman menatap Ziva, lalu berbisik, “Seperti yang saya katakana, ini adalah rumah majikan saya. Ingat Neng, kita orang kecil harus menjaga sikap. Saya hanya supir di sini,” ujar Dalman, pria berusia empat puluh tahun yang dulunya adalah tetangga Ziva. Semenjak Ziva pindah rumah, Pak Dalman tidak lagi menjadi tetangga. Dulu pria di itu adalah korban manis tempat Ziva sering membuli, pria itu sering mendapat hinaan dan cacian dari Ziva. Namun lihatlah, sekarang pria itu tetap bersedia membantu. Ziva malu sendiri jadinya. Dulu ia menjadi orang kaya yang angkuh dan tak tahu diri. Sekarang, Tuhan begitu cepat mengambil segala yang ia miliki hanya sekedip mata. “Saya permisi, Tuan Muda!” Pak Dalman berlalu pergi. Kini hanya tinggal Ziva dan Ammar yang berhadapan dan bertukar pandang. Keduanya membisu. Ziva menunggu Ammar mengajaknya beranjak dari sana, namun pria itu hanya diam dengan manik mata terfokus ke mata Ziva. Tatapan Ammar membuat Ziva bertanya-tanya dalam hati. Apakah ada yang salah dengan dirinya? “Ikut denganku!” titah Ammar setelah cukup lama hanya berdiam. “Oke, Tuan muda!” Ziva mengangguk dan mengikuti Ammar menuju ke ruangan lain. Kepala Ziva menoleh ke kiri kanan, menatap setiap sisi ruangan yang ia lintasi. Rumah itu benar-benar megah dan luas, persis seperti rumah Ziva yang dulu. Ziva ingin menangis setiap kali melihat rumah mewah, sebab hal itu hanya akan membuatnya terkenang dengan rumah lamanya. Sampai detik ini, ia masih tidak yakin jika hidupnya kini berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu. Rasanya seperti mimpi. Bruk! “Aw!” Ziva memegang dadanya saat tanpa sengaja menabrak sesuatu di depannya. Ia membelalak menatap Ammar yang berdiri mematung menghadap ke arahnya. Ya ampun, kepala Ziva asik memperhatikan ke kanan kiri sampai-sampai ia tidak sadar kalau Ammar yang berjalan di hadapannya itu ternyata sudah berhenti. Ziva menggigit bibir bawah. Astaga, apa yang Ammar rasakan saat tadi Ziva menubruk d**a bidang itu? Ammar pasti merasakan sesuatu yang menonjol dan kenyal. Buru-buru Ziva menurunkan tangannya yang mengelus d**a akibat nyeri sesaat setelah menabrak d**a bidang Ammar. Sorot mata Ammar menatap Ziva sementara mulutnya membungkam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ziva jadi salah tingkah, tatapan Ammar ditambah suasana sepi membuatnya jadi semakin gugup. “Kamar saya mana, Tuan Muda?” Ziva mencoba memecah keheningan. “Ini!” Ammar menunjuk pintu di dekat mereka berdiri. “Masuklah dan lihat ke dalam. Katakan saja kalau ada yang kurang.” “Baik.” Ziva membuka pintu kamar lalu memasukinya. Eit, tidak salah nih kamar pembokat seistimewa ini? Ranjangnya besar, spring bed king size, ada Ac, televisi nempel di dinding, lemari empat pintu, rak sepatu, bahkan ada kamar mandinya. Ziva mengernyit sembari membatin bingung. Ia tidak menyangka fasilitas asisten rumah tangga seistimewa itu, berbanding terbalik dengannya yang dulu memberikan kamar khusus pembantu dengan fasilitas sederhana. Ziva meletakkan tas lalu mengecek kamar mandi. Ada bathtub, shower, dan perlengkapan lainnya. Ziva tersenyum sambil bertepuk tangan kecil. Ia pikir, hidupnya akan semakin runyam dan menyedihkan setelah menjadi miskin, fasilitas hidupnya akan sulit dan hidupnya pun susah. Tapi dengan menumpang hidup di rumah itu, Ziva kembali mendapatkan apa yang telah hilang dari hidupnya. Ziva melempar tasnya begitu saja, lalu berlari menghambur dan melempar tubuhnya ke atas ranjang. “Thank you, God!” jeritnya sambil tersenyum lebar dengan mata terpejam. “Apa ada yang kamu butuhkan untuk melengkapi kamar ini?” Ziva membuka mata dan membelalak menatap Ammar yang sudah berdiri di hadapannya. Ia sampai lupa masih ada Ammar di sana. Cepat-cepat ia bangun dan duduk. Bibirnya tersenyum rancu lalu berdiri sambil garuk-garuk caruk leher yang tidak gatal. “Tidak ada. Semuanya komplit,” jawab Ziva cengar-cengir. “Ini kunci kamarmu.” Ammar meletakkan kunci ke telapak tangan Ziva. “Terimakasih, Tuan Muda.” Ziva membungkukkan tubuhnya tanda hormat seperti yang diajarkan pak Dalman. Ammar balik badan lalu pergi dan menutup pintu kamar. Ia melangkah memasuki mobil yang sudah terparkir di halaman luas rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN