Terpaksa

821 Kata
Pria itu tampak fokus menatap layar ponsel di tangannya hingga tidak menyadari keberadaan Dalman dan Ziva yang kini mematung di tengah-tengah ruangan luas. “Tuan muda, ini adalah gadis yang akan bekerja di sini,” tukas Dalman pada pria yang kini berdiri di hadapannya. “Hm.” Pria itu mengangguk, pandangannya masih tertuju ke ponsel. “Jadi, Neng Ziva bekerja di bagian apa, Tuan?” lanjut Dalman berhati-hati. Pria itu mengantongi ponselnya kemudian membeku di tempat saat pandangannya bertemu dengan mata Ziva. Cukup lama ia menatap wajah Ziva tanpa mengucapkan sepatah kata. “Kau gadis yang waktu itu bukan?” Tanya Ammar. Ziva tidak sanggup menjawab, dia hanya menelan dan rasanya ingin segera kabur dari sana. Dia tentu tidak mau bekerja di bawah aturan bos m***m. “Kau hampir diperkosa para preman jika aku telat menolongmu malam itu,” ucap Ammar tanpa berbasa-basi. Muka Ziva sontak memucat, menunduk malu. Eh, jadi dia salah sasaran? Dia malah menampar malaikat penyelamatnya? Dia ingin mengucapkan maaf, tapi gengsi. “Maaf Tuan, jadi bagaimana? Apakah Tuan Muda menerima Ziva?” tanya Dalman memecah keheningan yang sesaat tercipta. “Mm… Jadi gadis ini yang akan bekerja di rumah ini?” tanya Ammar seakan tak yakin. Manik matanya menyapu penampilan Ziva yang mengenakan pakaian bagus dan juga sandal mahal. Bahkan secara fisik, gadis di hadapannya itu tidak pantas jika bekerja di rumahnya. Jari-jarinya lentik, kulitnya halus, bersih dan terawat. Wajahnya sangat rupawan, bahkan pemahat terkenal di dunia pun tidak akan mungkin bisa membuat pahatan secantik dia. “Benar, Tuan muda. Namanya Ziva.” Dalman memberi kode lewat gerakan alis supaya Ziva memperkenalkan diri. “Eh Mm… iya, kenalkan saya Ziva. Om Dalman bilang ada pekerjaan di sini. Dan Om Dalman membawaku ke sini,” tukas Ziva sedikit gugup. Ia terbiasa berbicara asal nyeplos, dan kini disuruh berlagak patuh. Tapi ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa bersikap sopan. Ammar mengulurkan telapak tangannya ke arah Ziva. Dalman kembali memberi kode pada Ziva saat beberapa detik Ziva mengabaikan uluran tangan pria itu. Buru-buru Ziva menyambut uluran tangan itu. Ziva mengira uluran tangan itu ditujukan bukan untuknya. “Ammar Rafidan,” sebut pria itu memperkenalkan diri. “Ziva.” Ammar melepas jabatan tangannya. Sorot matanya menatap bola hitam mata Ziva, membuat Ziva gugup. “Apa kau pernah bekerja?” Suara Ammar mendominasi. “Belum.” “Apa kegiatanmu sekarang?” “Kuliah.” Ammar mengernyit. “Jika kau kuliah, lalu bagaimana kau bisa bekerja?” “Jika Tuan Muda mengijinkan, saya akan kuliah sambil bekerja.” Lama Ammar terdiam. Lalu bertanya, “Kau tinggal dimana?” “Mm… Tidak tahu. Saya lupa alamatnya, sebab saya baru tiga hari pindah rumah.” Ziva tidak begitu mengingat alamat rumah kontrakan yang menurutnya kumuh dan kotor. Ammar tidak tahu jika Ziva adalah model kampus, populer, dan selalu menjadi trending topik di kalangan pria. Kini gadis itu resmi menyandang status miskin semenjak kekayaan ayahnya runtuh hanya dalam seketika waktu, lalu pihak Bank menyita asset kekayaan ayahnya. Ziva memang model kampus, namun seisi kampus tidak ada yang tahu mengenai kebangkrutan yang ia derita, entah sampai kapan ia sanggup menutupi kenyataan itu dari semua orang. Ketiganya menoleh saat mendengar suara keras seseorang mengomel. Wanita berpakaian modis baru saja menyembul dari ruangan lain, dia sedang berbicara via telepon sambil mengomel-ngomel. Usianya kisaran empat puluh delapan tahun, namun wajahnya tampak jauh lebih muda dari usainya. “Ah, sudahlah. Mengurus itu saja kau tidak becus. Kalau tidak bisa bekerja, saya pecat kamu.” Wanita itu mematikan ponsel dan memasukkan benda pipih itu ke tas branded yang menggantung di pundaknya. “Pagi Nyonya Prity!” sapa Dalman pada wanita yang tak lain adalah ibunya Ammar. “Ya?” Wanita yang rambutnya dipilin-pilin ala salon itu mengangkat dagu, menatap Pak Dalman. “Ini Neng Ziva, Nyonya. Yang kemarin saya ceritakan itu.” Prity menatap Ziva. Jantung Ziva deg-degan menerima tatapan dari wanita sangar itu. Ya ampun, jangan-jangan kayak di sinetron-sinetron nih nasibku, jadi bulan-bulanan majikan galak. Noh, matanya saja sadis sekali, dandanannya sudah seperti ibu-ibu arisan yang kerjanya mengomel. Kutukan apa ini? Nasibku apes sekali. Ziva membatin dengan kulit meremang. Baru saja ia menyaksikan amarah si Nyonya, sekarang dia harus menerima kenyataan kalau si Nyonya akan menjadi majikannya. “Lho lhooo… Ini orangnya? Cantik sekali? Saya cari pembantu loh di sini. Masak model begini dijadikan pembantu?” Prity membelalak menatap kecantikan Ziva, bibirnya tersenyum lebar sembari menyentuh pundak Ziva. Dugaan Ziva salah, dikira bakalan menjadi bahan buli, ia malah dikagumi. “Apa kamu bersedia bekerja menjadi asisten rumah tangga di sini?” tanya Prity masih dengan tatapan tak yakin. Ziva mengangguk. Memang pekerjaan itulah yang ditawarkan Pak Dalman kepadanya dan dengan upah yang lumayan. Urusan makan, gratis lagi. Jika bukan demi melanjutkan kuliah, tentu ia tidak akan mau menerima tawaran itu. Kuliahnya sebentar lagi selesai, sayang sekali jika putus kuliah. Dan jika tidak mengingat gaji yang akan ia terima lumayan besar, tentu ia tidak akan sudi menginjakkan kaki ke sana sebagai pembokat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN