Ohisashiburi

1112 Kata
Takashi mencoba menelepon Jill, tetapi nomor ponsel si gadis bule tak aktif. Mata sipitnya terus memandang ke arah asrama Fitri, berharap ada seseorang yang keluar dari sana, sehingga ia bisa meminta bantuan untuk menghubungi Fitri atau Jill. Tak seorang pun yang muncul. Tentu saja karena salju yang masih tebal. Takashi sangat berharap akan ada seseorang yang tiba-tiba harus keluar. Namun, ia kurang beruntung, sudah dua jam berlalu tak ada yang datang. Dirinya mulai kedinginan dan bersin-bersin, tanda-tanda bahwa akan segera diserang flu. Dengan sangat kecewa, ia memutuskan untuk kembali ke Kyoto. Dadanya semakin terasa sesak saat ia kembali teringat dengan pesan dari Jill. Apa yang terjadi padaku? Kenapa tiba-tiba aku tak ingin kehilanganmu? Takashi membatin. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan apa yang dirasakannya saat ini. Ia tak mengerti. Bagaimana bisa tiba-tiba ia takut kehilangan seorang gadis? Bahkan gadis yang tak pernah masuk ke dalam kategori wanita idamannya. *** Besok harinya. Pagi-pagi sekali Takashi sudah berada di depan asrama Fitri. Dan beruntung, ia melihat Jill yang menggendong seorang bayi, buru-buru keluar dari gerbang asramanya. Gadis bule itu bersiap-siap masuk ke mobil. “Jill! Tunggu!” teriak Takashi. Pemuda itu berlari ke arah Jill. “Ume-san, what are you doing here?” “Akhirnya aku bisa bertemu kamu. Kemarin aku juga ke sini, tapi tak ada yang bisa dihubungi. Makanya hari ini aku coba lagi. Aku ingin menanyakan tentang Suada-chan padamu. Kenapa dia tiba-tiba menjauhiku?” “Maaf, Ume-san. Aku tidak tahu. Hari ini aku buru-buru. Aku akan ke rumah sakit. Sudah seminggu ini Fitri dirawat di rumah sakit.” Jill mengarahkan remot ke mobilnya dan menekan tombol yang membuat kendaraan itu berbunyi dan siap dioperasikan sang empunya. “Suada-chan sakit?! Sakit apa?” “Mungkin dia kelelahan karena sibuk mempersiapkan tesisnya.” “Kalo begitu saya ikut, boleh, ‘kan?” pinta Takashi. Jill bergeming sejenak. Ia terlihat sedang berpikir. “Ya sudah cepat masuk, bayiku sudah kedinginan. Ini kunci mobilku. Kamu yang setir, ya.” Jill segera masuk ke mobilnya. Takashi ikut masuk ke kendaraan berwarna silver tersebut. Ada kelegaan yang dirasakannya saat itu. “Bayimu imut sekali,” puji Takashi sekadar ingin membuka pembicaraan. “Terima kasih. Namanya Ken.” *** Fitri masih tertidur saat Takashi dan Jill sampai di ruangan tempat ia dirawat. Dua orang itu tak ingin mengganggu tidur Fitri, sehingga mereka memutuskan untuk menunggu di luar. “Jill, aku mohon beri tahu aku kenapa Suada-chan menjauhiku. Apa salahku? Benarkah dia akan menikah?” Takashi bertanya dengan nada mendesak. “Maaf, Ume-san, mungkin lebih baik kamu tanyakan langsung padanya. Kita tunggu dia bangun.” “Baiklah.” Mereka menunggu Fitri bangun tanpa saling berbicara, keduanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jill sibuk dengan Ken, sementara Takashi sibuk dengan ponsel. *** Fitri mengucek-ngucek mata, diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tetapi hanya ada dirinya di ruangan kamar yang di desain serba putih itu. Tenggorokan gadis itu terasa kering, ia mencoba memanggil seseorang untuk mengambilkannya air minum. “Jiil! Kamu di luar, ya? Bisa tolong ambilkan aku air minum?” Tak ada sahutan dari luar sana. Fitri berusaha memperkeras suaranya. “Jiiil, help me, please!” Sementara itu di luar, Takashi yang mendengar suara panggilan Fitri menyikut Jill yang masih asyik bercanda dengan Ken. “Jill, Suada-chan sudah bangun dan memanggilmu,” bisik Takashi. “Oh ya? Kalau begitu. Ayo kita masuk,” ajak Jill. “Kamu duluan saja. Aku takut Suada-chan kaget dan mengusirku.” “Kurasa Fitri tidak akan begitu. Tapi, ya sudah. Kamu tunggu di sini, ya. Aku titip Ken,” ujar Jill masuk ke ruangan Fitri dan melihat sahabatnya itu sedang duduk sambil terbatuk-batuk. “Kamu sudah bangun, ya? Sebentar kuambilkan minum, tenggorokanmu pasti kering,” ujar Jill mengambil air minum dan memberikan pada Fitri. “Terima kasih, Jill.” “Tadi kamu memanggilku?” tanya Jill sambil duduk di bibir tempat tidur. “Iya. Aku sangat haus. Tenggorokanku gatal sekali. Mmm ... jadi kamu masuk ke dalam ruangan ini bukan karena mendengar panggilanku, ya?” “Mmm … bukan. Tadi aku tidak mendengar panggilanmu. Aku sedang bermain dengan Ken.” “Oh ya, tadi aku dengar suara Ken, lalu mana Ken? Kamu tinggalkan Ken sendiri di luar?” “Mmm ... sebenarnya aku ke sini bersama seseorang.” “Siapa?” Fitri mengernyit. “Mmm ... U-ume-san, dia yang mendengar suaramu dan memberitahuku.” Fitri sangat kaget. “Takashi-san? Kalian bertemu di mana?” “Di depan asrama. Dia ingin bertemu denganmu. Sekarang dia ada di luar.” Jill menunjuk ke arah luar. Fitri terdiam sejenak. Ia sadar bahwa keputusan untuk menjauhi Takashi bukanlah pilihan yang tepat untuk menghilangkan rasa yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Ia sadar bahwa yang harus dibatasi adalah perasaannya sendiri, bukan menjauhi pemuda itu. Fitri meminta Takashi untuk masuk. Rasa yang tak terjelaskan itu kembali menyergap saat pemuda itu menghampirinya. Rasa rindu tak bisa dipungkiri terasa berdesir-desir bersama aliran darahnya. “Ohisashiburi desu, Takashi-san.” Fitri berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya. “Hai. Suada-chan, Saya senang sekali bisa bertemu lagi denganmu.” Pemuda itu membungkukkan badan dan tersenyum. “Saya juga senang bertemu denganmu.” Fitri ikut tersenyum. “Suada-chan, kenapa kamu tak ingin bertemu dengan saya? Apa ada yang salah dari sikap saya padamu?” “Tidak, kok. Kamu tidak salah apa-apa. Saya hanya ingin fokus kuliah,” jawab Fitri sekenanya. “Benarkah kamu akan menikah? Jill bilang begitu.” Takashi menyelidik. Fitri melirik Jill, mengisyaratkan agar membantu dirinya menjelaskan pada Takashi. Namun, Jill hanya mengangkat bahu. “Sebenarnya ... se-sebenarnya berita itu bohong, Takashi-san. Saya melakukannya agar saya bisa jauh dari kamu. Saya ... saya takut kedekatan kita menimbulkan fitnah ....” Fitri terlihat merasa bersalah. “Fitnah? Siapa yang memfitnah kamu?” Takashi tak mengerti. “Ma-maaf. Maksud saya, saya takut Hamasaki-san cemburu dan salah paham dengan kedekatan kita,” jawab Fitri sekenanya, tak berani mengatakan bahwa sebenarnya ia takut kedekatan mereka akan membuatnya jatuh cinta pada pemuda bermata sipit itu. Ia masih tak sepenuhnya jujur. Namun, untuk hal yang satu ini, hal yang berkenaan dengan perasaan lebih baik disimpan. “Jadi, begitu? Jika Akane adalah alasannya, maka sekarang kamu tidak perlu cemas. Saya sudah memutuskan untuk meninggalkannya. Sudah beberapa bulan ini saya tidak mengunjunginya.” “Kenapa?” Fitri terlihat bingung. “Saya hanya mengikuti ajaran Islam. Di dalam Islam laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak diperbolehkan tinggal serumah. Benar begitu, ‘kan?” tanya Takashi. Fitri sangat tersentuh mendengar jawaban Takashi. Pemuda itu benar-benar mengagumi Islam. Di dalam hati Fitri berdoa agar Takashi segera menemukan hidayah untuk memeluk Islam. Fitri meyakinkan hati untuk kembali menerima Takashi sebagai sahabat. Setidaknya ia bisa menuntun langkah Takashi untuk menemukan Islam. Begitulah niat dan harapannya saat ini. **** Ohisashiburi desu: lama tidak jumpa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN