Luka yang Terulang

1242 Kata
Setelah perjuangan yang hampir dua tahun mereka lalui bersama-sama, hari ini baik Fitri atau pun Ayumi terlihat sangat bahagia. Kedua gadis itu sedang menunggu giliran untuk melaksanakan sidang tesis. “Fitri-san sebentar lagi kita akan diwisuda, ya. Nanti aku akan memberi kamu kado. Ingatkan aku jika lupa.” Ayumi tersenyum. “Arigatou. Nanti jika aku tak lupa aku juga akan memberimu kado. Terima kasih sudah mau berteman denganku.” Fitri membalas senyuman Ayumi dan menatap kedua mata sipit gadis Jepang itu. Binar matanya menjelaskan bahwa ia benar-benar bersyukur karena dari sekian banyak teman-teman sekelasnya yang lain bersikap kurang ramah dan itu sangat berbeda dengan Ayumi. “My pleasure, Dear.” Ayumi merangkul Fitri. *** Fitri menghubungi akun Line adiknya, Aisyah, dengan panggilan video. Terlihat ibunya sudah siap untuk memulai percakapan. “Assalamualaikum, Bu, hari ini Fitri akan diwisuda. Sedih banget enggak ada Ibu,” ujar Fitri memulai percakapan. “Waalaikumussalam. Selamat ya, Nak. Sayang sekali kami enggak bisa hadir di hari bahagiamu. Semoga kamu semakin sukses, ya.” “Aisyah mana, Bu?” “Unii!” teriak sang adik berlari mendekati ibunya. “Adek, Uni kangen.” Fitri menatap wajah Aisyah yang muncul di layar ponselnya dalam-dalam. “Uni, sih, kuliahnya jauh banget!” gerutu Aisyah. “Jangan cemberut, dong, ntar enggak dibawain oleh-oleh, loh,” goda Fitri. “Uni, kapan pulang?” “Nanti Uni kabarin lagi. Uni mau coba cari kerja dulu di sini biar bisa beliin oleh-oleh buat kamu,” canda Fitri. “Uni di Jepang lagi musim salju, ya?” tanya Aisyah. “Iya, tapi udah hampir selesai. Oh ya, Uni mau kenalin temen-temen Uni. Jill, Takashi-san, ayo, ke sini!” panggil Fitri. Kedua sahabatnya itu segera mendekati Fitri. “Ini Jill, teman sekamar Uni dan ini Takashi,” Fitri mengarahkan ponsel pada Jill dan Takashi. “Halo!” Jill dan Takashi menyapa ibunya dan Aisyah sambil melambaikan tangan. Aisyah dan ibunya membalas sapaan mereka. “Uni, Takashi itu calon uda ipar Adek, ya, Ni? Ganteng banget, mirip seiyuu favorit Adek.” Aisyah tersenyum-senyum. “Hussh, sembarangan kamu.” “Emangnya kenapa? Kalo Uni nggak mau, ya udah sini buat Adek.” Aisyah tersenyum-senyum. “Au! Ibu, kok, Adek dicubit?” “Adekmu ini, Fit, genit banget sekarang,” ujar Ibu gemas. “Nggak, kok. Ibu, mah!” Aisyah cemberut. “Emang kamu pikir Takashi itu permen dikasih-kasih gitu. Oh ya, yang penting Adek tahu, kan, batas antara laki-laki dan perempuan. Uni cuma ngingatin aja, jangan pacaran, ya. HARAM!” “Iya-iya, Uni bawel.” Aisyah mencibir. “Oh ya, nanti Uni hubungi lagi, ya. Acara wisudanya udah mau dimulai. Assalamualaikum.” Fitri menutup panggilannya. *** Hari ini Fitri sudah mengukuhkan gelar magister. Memakai toga wisuda sebagai seorang sarjana saja sudah sangat membuatnya terharu, apalagi hari ini toga sebagai lulusan magister telah bertengger manis di kepalanya, ditambah lagi saat mendengar nilai yudisium yang coumlaude dan ia dinobatkan sebagai salah satu wisudawan terbaik di fakultas. Dengan perasaan girang Fitri menghampiri dua sahabat yang sudah tak sabar ingin berfoto dengannya. Takashi yang selalu siaga dengan kamera sudah memosisikan benda tersebut dan mengatur timer-nya. “One ... two ... three ... cheseeeee.” Mereka menghitung serentak dan segera mengatur gaya. Gelak tawa meriuhkan suasana berfoto mereka. Tak ketinggalan bayi berusia satu tahun itu—Ken—ikut berfoto di dalam gendongan Jill. Di tengah-tengah kebahagiaan itu. Seseorang yang tak diundang ikut hadir di sana. Hamasaki Akane. Gadis itu mengenakan jaket tebal. Namun, jaket tebal itu tak bisa menyembunyikan perutnya. Terlihat bagian perutnya membuncit seperti tengah hamil tua. Gadis itu menarik tangan Takashi dan membawanya menjauh dari Fitri dan Jill. Tawa yang menggurat di wajah mereka segera berganti dengan ekspresi bingung. “Taka, maaf mengganggu sebentar. Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba kamu meninggalkanku begitu saja. Kamu tidak pernah menemui atau mengabariku. Kamu jahat sekali.” Akane terisak dan memeluk Takashi. “Dari mana kamu tahu aku sedang berada di sini?” tanya Takashi seraya melepaskan pelukan Akane. “Dari foto-foto yang barusan kamu unggah di **. Ke mana saja kamu, Sayang? Aku sedang hamil anak kita. Lihatlah perutku, sudah sembilan bulan. Aku ingin kita membesarkannya bersama,” ujar Akane manja. Seperti tersengat listrik, Takashi sangat syok mendengar berita itu. Ia tak menyangka bahwa Akane tengah mengandung anaknya. Di dalam hati ia mengutuk diri. “Ka-kamu hamil? Anakku?” Takashi memasang ekspresi skeptis. “Iya, Sayang. Anak siapa lagi?” Akane terlihat sedih karena sikap sang kekasih yang terlihat meragukannya. “Kenapa ini bisa terjadi?” “Tentu saja ini bisa terjadi! Kamu tidak menyukainya?!” Pertanyaan Takashi yang terdengar konyol membuat alis mata Akane naik. Gadis itu terlihat sangat emosi. “Bukan begitu. Aku ... aku tidak bisa menikahimu Akane.” Takashi mengatakan kalimatnya seakan tanpa rasa bersalah. “Apa kamu bilang? Kurang ajar!” PLAK! Akane menampar Takashi. Gadis itu sangat marah. Melihat kejadian itu Fitri tak tahan ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, tetapi Jill menahannya. Namun, Fitri yang sudah mulai menebak-nebak apa yang sedang terjadi bersikeras ingin memastikan. Ia berlari mendekati Takashi dan Akane. “Maaf, Hamasaki-san. Aku tahu ini adalah masalah pribadi kalian, tapi aku mohon kamu menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi?” “Baiklah, sebagai sahabatnya Taka. Aku rasa kamu pun harus tahu. Aku sedang mengandung bayi Taka dan dia tidak mau bertanggung jawab.” Gadis itu terisak. Sementara itu Takashi hanya sanggup menunduk. Ia tak tahu harus berbuat apa saat itu. Sama seperti yang dirasakan Takashi barusan dan mungkin lebih parah, petir dan kilat menyambar-nyambar di hati Fitri. Hujan pun turun berduyun-duyun dari matanya. Perih sekali. Bunga-bunga di taman hati mati seketika. “Dasar pengecut kamu Takashi! BERENGSEK!” Fitri berlari meninggalkan mereka dengan air mata berderai. Hatinya benar-benar terluka. Luka yang ia rasakan saat itu adalah yang paling menyakitkan. Jill mencoba mencegat, tetapi ia tak mengindahkan. Takashi yang merasa sangat menyesal dan bersalah ikut mengejar Fitri, meninggalkan Akane yang saat itu juga sedang menangis. Jill mencari Fitri ke asrama. Namun, Fitri tak di sana. Ia mencoba menghubungi ponsel Fitri, tetapi tak ada jawaban. Jill sangat khawatir. Dirinya pun menghubungi Takashi, ternyata pemuda itu juga belum menemukan sahabatnya itu. *** Tak ada sakura sore itu, yang ada hanya butiran-butir salju berjatuhan. Dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Fitri yang baru selesai salat Asar melihat ponselnya. Tujuh puluh lima panggilan tak terjawab dari Jill dan Takashi. Ia mencoba menghubungi Jill. “Where are you, Fitri?” tanya Jill di seberang sana. “Aku di Shinjuku Gyoen, Jill. Maaf tadi aku sedang salat saat kamu meneleponku.” “Syukurlah kalau begitu. Oh ya, kalau begitu segera pulang, ya.” “Sebentar lagi aku pulang. Aku mau memberi salam perpisahan dulu pada Shinjuku Gyoen karena rencananya aku akan segera pulang ke Indonesia, Jill,” jawab Fitri masih dengan suara serak. “Pu-pulang ke Indonesia?! Kenapa tiba-tiba Fitri?” Jill tercengang. Fitri tak menjawab pertanyaan Jill, ia segera mengakhiri pembicaraan mereka. Tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Kali ini Jill mengirimkan pesan. Sahabatnya itu tak puas dengan jawaban Fitri. [Kamu benar-benar ingin kembali ke Indonesia] [ya tentu saja, Jill] [Ayolah Fitri jangan begitu.Oh ya, ayo pulang ke asrama sekarang] [Ya segera, Jill] [Shinjuku Gyoen akan tutup] [Iya, aku akan pergi dari sini dan pergi ke tempat lain] [Kamu tidak pernah pulang malam. Ayo pulang sekarang] [Aku sedang mencobanya, Jill] [Bukankah salju masih tebal?] [Iya, tapi aku bawa jaket, kok.] [Oh oke baiklah. Jaga diri,ya. Aku tidak bisa jemput, Ken sudah tidur] [Ok, tidak masalah, Jill] *** Arigatou : terima kasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN