Sebuah Upaya Pencarian

1114 Kata
Fitri memungut sehelai daun ginkgo yang sudah berwarna kuning kecokelatan—bertumpuk di sepanjang perjalanan keluar dari kampus. Ia berhenti sejenak dan mendongak ke arah pohon ginkgo yang masih tersisa sedikit daun. “Sebentar lagi musim salju akan datang, semoga aku masih bisa menikmatinya seperti aku sudah menikmati musim semi, musim panas, dan musim gugur,” gumamnya. Dengan refleks air matanya terbit karena saking bahagianya saat itu. Kemudian Fitri kembali bergerak menjauh. Sayup-sayup Fitri mendengar suara seseorang memanggil namanya. Ia tertegun dan mencoba mematut arah dan mencari sumber suara. “Suada-chan, Suada-chan!” “Suada-chan? Kok, aku merasa enggak asing dengan panggilan Itu, ya? Tapi aku tidak melihat siapa pun yang mendekat ke arah sini. Ah, mungkin perasaanku saja? Atau mungkin ada orang lain yang bernama Suada.” Fitri segera melanjutkan perjalanan. Sudah seminggu ini ia pulang sendiri karena Jill sedang sakit, sementara Ayumi—teman sebangku Fitri—sibuk mencari informasi tentang pustakawan idamannya itu. *** Takashi tak menyangka akan bertemu kembali dengan gadis yang sudah hampir delapan bulan yang lalu bertemu dengannya di Shinjuku Gyoen. Sosok yang membuatnya penasaran itu keluar dari Universitas Waseda. Sosok lugu—begitulah kesan pertama diberikannya pada gadis yang ia panggil “Suada-chan” itu—yang meninggalkan banyak pertanyaan. Gadis tersebut berjalan ke arah berlawanan dengannya. Ia mencoba memanggil sosok yang saat itu masih menggunakan benda penutup kepala yang menurutnya adalah topi atau syal itu. Kali ini berwarna cokelat. “Sepertinya gadis itu menyukai warna-warna gelap,” gumam Takashi. “Suada-chan… Suada-chan!” panggilnya. Gadis itu terlihat mencari-cari. Takashi melambaikan tangan. Namun, perempuan berjilbab tersebut tak melihatnya. Kemudian, si gadis melanjutkan perjalanan. Pemuda bertubuh jangkung itu segera masuk ke mobil untuk mengejar. Mendadak lampu jalanan berubah merah. Terpaksa ia harus menunggu. Mobil Takashi kembali melaju saat lampu lalu lintas itu sudah berwarna hijau. Namun, ia sangat kecewa karena sudah kehilangan jejak. Tiba-tiba, dirinya teringat bahwa Fitri pernah mengatakan bahwa ia tinggal di asrama Universitas Waseda. Takashi berencana akan menuju tempat itu, tetapi diurungkannya. “Bagaimana aku akan menemukannya? Aku, kan, tidak tahu dia tinggal di asrama bagian mana. Lebih baik aku pulang saja.” Takashi menggumam. Baru saja dirinya akan memutar arah, seseorang memanggil. “Excuse me. Umehara-san, ‘kan? Lama tidak bertemu, ya. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya sosok berjilbab cokelat itu tersenyum. Gadis tersebut telah berdiri di samping pintu mobilnya. “Wah, syukurlah, Suada-chan melihat saya. Sebenarnya saya memang mencari kamu. Tadi saya melihat kamu keluar dari Universitas Waseda dan memanggilmu, tapi kamu tidak melihat saya. Rencananya ingin pulang saja. Namun, ternyata kamu yang lebih dahulu melihat saya di sini,” jelas Takashi panjang lebar. “Ya ampun. Kamu niat sekali. Tadi saya dengar suara kamu, kok. Tapi, saya pikir cuma perasaan saja, makanya saya pergi. Maaf telah merepotkanmu,” ujar Fitri membungkukkan badan. Ia merasa tak enak hati pada Takashi. “Tidak repot, kok. Ngomong-ngomong kamu mau ke mana?” “Saya mau pulang ke asrama, Umehara-san.” “Bagaimana kalau saya antar?” Takashi menawarkan. “Terima kasih untuk tawarannya, tapi asrama saya tidak jauh dari sini. Itu gerbangnya. Jalan kaki sedikit saja sudah sampai.” Fitri menunjuk gerbang yang dimaksudnya. “Ngomong-ngomong kamu sudah makan siang, Suada-chan?” “Belum. Nanti saya makan siang di asrama. Saya barusan dari minimarket beli ini,” Fitri menunjukkan plastik yang terlihat berisi mi instan tersebut. “Itu ada kafe. Kita makan siang di sana dulu, yuk. Kamu pasti sudah lapar. Saya yang traktir,” ajak Takashi. “Tidak usah repot-repot, Umehara-san.” “Sama sekali tidak repot. Ayolah Suada-chan. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan padamu.” “Mm, apa itu?” Kening Fitri mengguratkan tanda tanya. “Ee-to. Akan saya katakan nanti sambil makan, ya.” Fitri terdiam sejenak. “Baiklah.” Kepribadian playboy yang melekat pada diri Takashi membuat ia bersikap sangat manis pada gadis berdarah Indonesia itu. Ia mengambilkan kursi untuk Fitri dan membersihkan tempat duduk terlebih dahulu. “Silakan duduk, Tuan Putri,” ujarnya sambil membungkukkan badan. Fitri hanya menyunggingkan senyuman sambil duduk di kursi tersebut. “Oh, saya ingat. Kemarin saya berjanji akan memberi tahu tentang benda yang saya pakai di kepala saya ini, ‘kan?” tanya Fitri memulai pembicaraan. “Hai, sou desu. Tapi bukan hanya itu. Masih banyak yang ingin saya tanyakan. Apakah kamu bersedia menjawabnya?” “Tentu saja. Jika saya tahu insyaallah pasti akan saya jawab.” Fitri meneguk minuman yang dipesannya, segelas lemon tea dingin. “Alhamdulillah, segar sekali minuman ini,“ ucap Fitri setelah minuman itu berhasil menyembuhkannya dari rasa dahaga. Ponsel Fitri berdering. Ia pun meletakkan minuman yang masih berada di genggamannya itu ke atas meja dan meminta izin pada Takashi untuk mengangkat telepon. “Assalamualaikum, Mas King. Syutingnya sudah selesai, ya? Waduh, Mas King mau pulang ke Indonesia, ya? Padahal kita, kan, belum sempat ketemu lagi di Jepang.” Fitri menjawab panggilan yang berasal dari King. Takashi yang berada di dekatnya hanya bersabar menunggu sampai Fitri selesai menelepon. “Nanti kalo Mas King ke Jepang lagi. Kabari saya, ya. Oke, waalaikumussalam.” Fitri menutup teleponnya. “Maaf, Umehara-san. Kamu jadi menunggu saya lagi,” ujar Fitri. “Tidak apa, kok. Oh ya, yang menelepon barusan, pacarmu?” “Kemarin, kan, saya sudah bilang. Saya tidak pacaran, Umehara-san. Tadi itu teman saya yang bertemu di bandara saat saya pertama kali ke Jepang. Ia pamit mau kembali ke Indonesia.” Fitri menjelaskan. “Saya mengira itu pacar kamu karena tadi saya lihat ekspresi kamu sangat senang.” “Begitukah ekspresi saya? Masa, sih? Saya rasa itu karena dia juga orang Indonesia dan dia sangat baik, karena itu saja.” “Apa dia tampan?” “Kok, kita malah membahas teman saya? Oh iya, lebih baik saya mulai cerita, ya. Ini namanya jilbab. Jilbab adalah pakaian wajib untuk wanita sesuai ajaran agama Islam yang berfungsi untuk menutup rambut, karena rambut adalah aurat,” jelas Fitri sambil memegang jilbab cokelatnya. “Aurat? Apa lagi itu?” “Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang-orang yang bukan mahram kita, Umehara-san.” “Mahram, aurat ... wah, banyak sekali kata-kata asing yang kamu sebutkan dan membuat saya penasaran, Suada-chan.” Takashi terlihat bersemangat. Ekspresinya memperlihatkan rasa penasaran yang tinggi. “Semakin saya ceritakan, akan semakin banyak kata-kata asing yang tidak kamu pahami, Umehara-san.” “Ee- to, panggil saya Takashi saja, Suada-chan. Kita sekarang berteman, ‘kan? Jadi jangan sungkan, ya.” “Baiklah. Mmm ... kamu ingin saya menceritakannya dimulai dari mana dulu, Takashi-san?” “Terserah padamu.” ******* Eto : anu So desu : Oh gitu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN