HAJIMEMASHITE SUADA-CHAN

2040 Kata
Siliran angin merontokkan bunga sakura, lalu menerbangkannya hingga membelai pipi Fitri lembut, menjemput kembali gadis itu dari lamunan. KLIK! Suara dan kilatan dari sebuah kamera melintas bersamaan dengan belaian bunga sakura tersebut. Sontak, Fitri membuka mata. Bayangan Afash yang tengah tersenyum menatapnya pun sirna dan kembali menuju masa lalu. Pemuda dengan kamera di tangan, yang berdiri tak begitu jauh itu telah memotretnya. Fitri memperhatikan sosok itu. Ia merasa mengenali orang itu. Ia mencoba mengingat-ingat di mana dirinya pernah melihat pemuda tersebut—yang penampilannya urakan dengan rambut sebahu terikat. “Hajimemashite. Excuse me. May i sit here?” tanya pemuda itu setelah berada di sebelah Fitri. “Okay, please.” Sosok di sebelahnya itu mengutak-atik kamera dan sesekali melirik Fitri. Fitri yang penasaran juga ikut mencuri kesempatan memperhatikan pemuda yang duduk di sampingnya tersebut, mencari tahu apakah ia mengenal pemuda itu atau tidak. Tak sengaja pandangan mata mereka beradu. Fitri segera membuang pandangan. Ia merasa sangat salah tingkah. *** Umehara Takashi memainkan kamera di tangannya. Pemuda itu sengaja datang ke taman tersebut untuk mencari objek bagus yang bisa difoto. Apalagi saat itu sakura sedang bermekaran. Tentu saja bunga indah tersebut akan menjadi objek utamanya. Dan keramaian orang yang sedang ber-hanami tentu akan menambah kualitas foto yang diambilnya. Shinjuku Gyoen—taman kota yang sangat indah. Ini bukan pertama kalinya ia ke sana. Namun, selalu saja ia menemukan hal-hal baru yang bisa difoto. Misalnya, ia berhasil mengabadikan foto seorang anak kecil yang sedang asyik mengejar bunga sakura yang diterbangkan angin. Indah sekali hasil potretannya itu. Takashi melanjutkan petualangannya mencari objek baru. Langkahnya terhenti. Ia melihat seorang gadis yang berpenampilan sangat tertutup, yang entah apa yang dikenakan si gadis—entah topi atau syal—sehingga pemuda Jepang itu sama sekali tak melihat rambut si gadis. Tiba-tiba ia teringat dengan gadis berpakaian unik yang tak sengaja ikut nimbrung di jepretannya. Ia merasa pakaian yang digunakan gadis di foto dengan sosok yang saat ini dilihatnya adalah pakaian dengan jenis yang sama. Ia sangat tertarik untuk memotret. Menurutnya, pose gadis berpakaian tak biasa yang sedang duduk dengan mata terpejam serta bunga sakura yang beterbangan itu akan memberikan hasil foto yang sangat indah. Dan ... KLIK! Suara kameranya membuat gadis itu tersentak. Ia berjalan mendekati sosok yang diyakini Takashi bukanlah orang Jepang. Pertama karena pakaiannya. Jarang sekali ia melihat ada kaum hawa di Jepang berpakaian seperti itu. Bukan jarang juga, bisa dibilang tak pernah. Jika pun ada, setidaknya ia akan merasa yakin. Namun, Takashi sangat percaya diri bahwa gadis itu memang bukan orang Jepang. Setelah didekatinya, bertambah yakin dirinya. Karena matanya tidak sipit, sebenarnya juga tak begitu besar dan jika pun si gadis adalah orang Jepang, itu masih ada kemungkinan. Namun, tetap saja ia yakin dengan tebakannya. Takashi membungkukkan badan dan tersenyum pada seorang dara yang masih terlihat bingung itu. “Excuse me. May i sit here?” tanya Takashi dengan ramah. “Okay, please.” Gadis itu tersenyum. Takashi mengutak-atik kamera dan sesekali melirik gadis yang menurutnya begitu misterius dengan benda penutup kepala berwarna hitam itu. Tak sengaja pandangan mata mereka beradu. Gadis itu terlihat salah tingkah dan mengalihkan pandangannya. “Hello, you are a tourist, aren’t you?” Takashi membuka pembicaraan. “Yes, i am.” “Where do you come from?” “Indonesia?" Takashi terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Hai, apa kabar?” tanya Takashi setelah berhasil mengingat bahasa Indonesia yang ia tahu. “Kamu bisa berbahasa Indonesia?” Gadis itu terlihat heran. “Tentu saja, saya adalah sarjana Sastra Indonesia dari Universitas Bahasa Asing Tokyo.” “Oh ya? Kalau begitu senang bisa bertemu denganmu.” Gadis itu semringah. “Nama saya Umehara Takashi. Boleh saya mengenalmu juga?” Pemuda itu menyodorkan tangan. “Nama saya Fitri Suada, biasa dipanggil Fitri, Umehara-san.” Gadis itu membungkukan badan dan mendekapkan tangannya ke d**a tanpa menjabat tangan Takashi. Pemuda itu menarik kembali tangannya. Di dalam hatinya terselip tanda tanya besar. Kenapa gadis tersebut tidak mau berjabat tangan dengannya? Padahal yang dirinya tahu adalah orang Indonesia sangat ramah dan suka bersalaman. Justru sebenarnya orang Jepanglah yang enggan bersalaman. Namun, kali ini semua terasa berbeda, tetapi Takashi tak ingin terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Ia mencoba mengeja senyum dan bersuara. “Nice name. Fi-Fi ... apa? Susah sekali mengatakannya.” Takashi mengernyitkan dahi. “F-I-T-R-I S-U-A-D-A.” Gadis bernama Fitri itu mengeja namanya. “Fffi ... Fi ... Fi ... susah sekali menyebutkan nama depanmu, saya panggil kamu Suada saja, ya? Suada-chan?” “Douzou.” Fitri tersenyum ramah. “Anata wa nihongo ga dekimasuka?” “Tidak terlalu lancar. Saya cuma mengerti yang umum-umum saja.” “Ngg ... oh ya, maaf sebelumnya. Tadi saya telah lancang mengambil fotomu tanpa permisi, Suada-chan.” “Oh ya? Boleh saya melihatnya?” Takashi memperlihatkan kameranya pada Fitri. Gadis itu menelusuri foto-foto di dalam kamera tersebut. Ia melihat dua orang gadis yang wajahnya familiar dengan latar tempat yang juga terasa tak asing. Otaknya berhasil memutar kejadian beberapa hari yang lalu. Teringatlah ia bahwa pemuda itu adalah fotografer yang ia lihat tengah mengambil foto dua orang gadis di kafe tempat Jill bertemu Kazuma. “Bagaimana, Suada-chan, bolehkah saya menyimpan fotomu?” tanya Takashi. “Ngg ....”Fitri terlihat ragu dan berpikir sejenak. “Ya, sudah. Silakan.” “Kamu juga punya kamera. Boleh saya lihat?” tanya Takashi saat melihat kamera yang menggantung di leher Fitri. Fitri memberikan kameranya pada pemuda tersebut. Takashi memperhatikan foto-foto yang muncul di layar kamera di tangannya dengan saksama. Betapa herannya pemuda itu saat melihat foto pintu toilet dan beberapa tombol yang ia yakini hanya ditemukan di tempat buang air itu, tersimpan di galeri kamera Fitri. Ia hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum-senyum tanpa berniat bertanya pada Fitri kenapa gadis itu memotret benda-benda ‘pertoiletan’. Jari Takashi terus menggeser layar kamera itu sampai ia menemukan foto sebuah tulisan “AFASH”. Sejenak ia bergeming dan terlihat berpikir. Tak ada foto dari kamera Fitri yang terlihat menarik baginya. Namun, foto tulisan “AFASH” itu cukup membuatnya bertanya dalam hati, tetapi ia tak ingin ambil pusing. Takashi mengembalikan kamera tersebut pada gadis yang duduk di sebelahnya itu. “Hasil potretan saya jelek, ya?” “Bagus, kok. Tapi mungkin kamu memotretnya kurang pede, makanya ada beberapa foto yang agak buram.” “Wah, senangnya bisa bertemu dengan fotografer hebat seperti kamu,” ujar Fitri terlihat senang. “Oh ya, Suada-chan. Pakaianmu unik sekali, kamu terlihat sangat cantik,” puji Takashi. “Oh. Terima kasih.” Fitri membungkukkan badan. “Oh ya, saya penasaran ingin melihatmu berpenampilan seksi,” ujar Takashi tanpa basa-basi. “HAH! Maksud kamu?” Mata Fitri melotot dan wajahnya memerah. Ia memperlihatkan bahwa dirinya tak suka dengan kalimat yang barusan keluar dari mulut Takashi, sekalipun dirinya menyadari bahwa pemuda itu adalah orang asing dan mungkin tak akan mengerti dengan ketidaksukaannya. “Apa saya salah bicara, Suada-chan?” tanya pemuda itu santai. “Saya tahu kita berbeda kebudayaan, tetapi menurut saya perkataanmu tadi tidak sopan!” “Ya ampun. Maafkan saya. Saya hanya berbicara seadanya. Maafkan saya jika itu tidak sopan.” Pemuda itu merasa bersalah dan membungkukkan badan. “Ya sudahlah. Untung kamu bukan orang Indonesia. Jika iya, sudah saya tampar kamu,” ujar Fitri tanpa basa-basi. “Sekali lagi saya minta maaf. Saya tidak menyangka bahwa kamu akan marah karena perkataan saya. Maaf, ya.” “Iya. Sudah saya maafkan,” jawab Fitri kemudian terdengar bijaksana. Ia mengerti bahwa ketidaksopanan Takashi hanyalah sebuah miss understanding antarbudaya yang berbeda. Ia yakin bahwa sebenarnya pemuda itu sangat sopan, terlihat dari kesungguhannya meminta maaf. *** Pohon kecil itu bergerak-gerak, rasa penasaran menuntun langkah Fitri untuk mencari tahu apakah penyebabnya. Didekatinya pohon tersebut. Ia mendapati sepasang kekasih tengah bermesraan tak peduli tempat. Sontak, Fitri segera menjauhi tempat itu. Berkecamuk perasaannya, antara rasa jijik, berdosa dan malu. Apalagi dirinya tengah bersama dengan seorang pemuda yang juga melihat hal tersebut. Tak henti mulutnya beristighfar. Ia sadar sedang tak berada di Indonesia dan hal seperti itu dianggap wajar terjadi di tempat umum. Selama ini Fitri mengetahui tentang hal itu dari teman atau pun dari artikel yang dibacanya. Namun, kali ini semua begitu nyata. Sebuah tontonan yang sangat tabu baginya, apalagi sebagai seorang muslimah, berjilbab pula. Dengan memasang wajah waswas, ia mempercepat langkah. Takashi yang berjalan di belakangnya mengerutkan dahi. “Suada-chan, ada apa?” teriak Takashi mengejar langkah Fitri. Gadis itu melambatkan langkah, tetapi ia masih saja memasang wajah cemas. “Suada-chan, apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat cemas?” “Tidak ada apa-apa, kok, Umehara-san.” “Apa karena mereka?” Takashi menebak sambil menunjuk tempat sepasang kekasih yang dilihat mereka tadi. “Mmm ... kita bahas yang lain saja, ya.” Fitri mencoba mengalihkan. Kening Takashi masih membentuk angka sebelas. Ia masih penasaran pada apa yang telah menyebabkan Fitri tiba-tiba terlihat cemas. “Kamu pasti cemas karena melihat mereka melakukan hal itu? Memangnya aneh, ya? Apa kamu tidak pernah melakukannya dengan pacarmu?” Takashi menelusuri. “Tidak, Umehara-san. Di dalam agama saya tidak diizinkan berpacaran. Apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan. Dan saya sangat mengimani itu.” Fitri memberi penjelasan. “Walau hanya berjabat tangan?” Fitri tak menjawab, ia hanya mengangguk. “Agamamu lugu sekali, ya. Jika kamu tidak keberatan, bolehkah saya tahu agama apakah itu?” “Islam.” Mendengar kata Islam, Takashi tiba-tiba terdiam. Ia merasa familiar dengan nama itu. Namun, ia tak berhasil mengingatnya, sehingga ia berusaha untuk tak memikirkannya. “Jadi, karena itu kamu tidak mau menjabat tangan saya tadi?” “Ya. Karena pria dan wanita yang bukan mahram, haram bersentuhan,” jawab Fitri mantap. “Mahram? Apa lagi itu?” Kening Takashi kembali mengedut. “Umehara-san, sepertinya saya harus pulang sekarang.” Fitri melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul dua lewat lima belas. “Tapi kamu belum jawab pertanyaan saya,” ujar Takashi. Gurat kecewa terlukis di wajah orientalnya. “Mudah-mudahan lain kali kita bertemu lagi dan saya akan jelaskan.” “Bagaimana jika saya antarkan kamu pulang?” Takashi menawarkan. “Tidak usah. Terima kasih untuk tawarannya, saya pulang dengan taksi saja.” “Kalau begitu, bolehkah saya tahu kamu tinggal di mana? “Saya tinggal di asrama Universitas Waseda. Sore ja, Umehara-san.” Fitri membungkukkan badan, kemudian bergerak meninggalkan Takashi. Namun, pemuda bermata sipit itu masih terus memandanginya seperti ada sesuatu yang masih ingin dikatakan. “Chotto matte, Suada-chan! Kamu sangat cantik dengan topi ... eh, maksud saya syal yang kamu pakai!” ungkap Takashi memuji dengan sedikit berteriak seakan berharap agar Fitri kembali melanjutkan pembicaraan dengannya. Fitri yang mendengar kata “topi dan syal” dalam kalimat yang barusan meloncat dari mulut Takashi tergelitiklah tawanya. Langkah yang sudah dieja kembali terhenti. Diputarnya arah penglihatan. “Terima kasih. Oh ya, ini bukan topi atau pun syal, Umehara-san.” Fitri memegang jilbab hitam yang ia kenakan. “Lalu?” “Kapan-kapan kita bercerita, ya. Sayonara.” Fitri melambaikan tangannya. “Janjiiii?” “Insyaallah!” Fitri berteriak dan mempercepat langkahnya meninggalkan tempat itu. “A ... Arr ... Arr ... raah? Apa yang tadi dia katakan, ya? Mungkin itu Bahasa Indonesianya selamat tinggal. Ah, tidak. Aku baru dengar,” gumam Takashi dengan berbahasa Jepang. Ia terlihat penasaran. Gadis yang baru saja berkenalan dengannya pergi meninggalkan begitu banyak pertanyaan. Sebuah senyuman kembali tersembul. Senyuman penasaran. Matanya terus menatap sampai sosok yang bergerak menjauh itu tak lagi muncul dari bola matanya. *** Sesampai di apartemen, Takashi segera menghidupkan laptop dan langsung membuka internet. Jari-jarinya mengetik kata “ISLAM” di laman pencarian. Islam? Aha ... aku ingat. Islam ini adalah agama yang dianut oleh Maretha, ujar Takashi di dalam hati. Ia teringat dengan mantan kekasihnya yang juga beragama Islam. Tapi gadis itu terlihat berbeda dengan Maretha, Takashi terlihat bingung. Laman pencarian menampilkan hasil pencarian tentang “ISLAM”. Takashi dengan saksama membaca informasi dari artikel yang dibukanya. Namun, ia sangat bingung dengan penjelasan tersebut. Seandainya aku bertemu dengan gadis bertopi unik itu lagi, aku akan menanyakan padanya. Mungkin aku juga bisa bertanya tentang Tuhan padanya. Takashi mematikan laptop. Ia mengganti aktivitasnya dengan mencatat daftar tempat yang akan dikunjunginya saat musim panas yang akan datang beberapa minggu lagi. ********** Sore ja : Kalo begitu Anata wa nihongo ga dekimasuka? : Kamu bisa berbahasa Jepang? Hanami : Melihat bunga sakura Sayonara : Sampai jumpa Hajimemashite : Halo
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN