Insya Aaraa

1621 Kata
Fitri menyesap satu teguk lemon tea yang sudah tinggal separuh sebelum memulai penjelasannya. Setelah meletakkan gelas di tangannya ke atas meja ia menghela dan mengembuskan napas, kemudian mulai merangkai kalimat jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan Takashi. “Oke. Tentang jilbab, aurat, dan mahram, ketiganya memiliki hubungan yang dekat sekali. Seluruh tubuh wanita adalah aurat, selain muka dan telapak tangan, sehingga wanita harus menutup aurat tersebut bagi orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram itu adalah orang-orang yang boleh melihat atau menyentuh seorang pria atau pun wanita. Dan mahram bagi wanita terdiri dari suami dan keluarga kandung. Dan hal itu juga berlaku untuk laki-laki. Oh ya, saya lupa, sebagai sesama wanita atau pun sesama lelaki juga tidak diharamkan,” ungkap Fitri panjang lebar. “Memangnya kenapa harus ditutup? Bukankah wanita itu adalah makhluk yang indah? Dan akan terlihat lebih indah dengan rambutnya?” tanya Takashi sambil mengunyah udon pesanannya dengan lahap. Ia makan dengan santai tanpa basa-basi seakan sudah akrab dengan sosok berjilbab yang duduk berhadap-hadapan dengannya itu. Penuturan Takashi membuat Fitri tersenyum simpul. Pemuda itu sama sekali tak mengetahui alasan mengapa wanita harus menggunakan jilbab dan menutup aurat. Hal tersebut menjadi tantangan baginya untuk bisa memberi penjelasan yang membuat Takashi paham. “Justru karena keindahan itulah wanita diwajibkan untuk menjaganya. Kamu tahu, kan, bahwa sesuatu yang indah itu harganya mahal?” “Tentu.” Takashi mengangguk-angguk sambil memberi ekspresi bingung. Ia tak mengerti kenapa Fitri memberikan pertanyaan yang siapa pun tak mungkin tak mengetahuinya. “Menurutmu apakah yang akan terjadi bila sebuah berlian yang indah, berkilau, dan mahal tercecer di jalan?” “Jika saya yang menemukannya, maka akan saya antarkan ke Lost and Found,” jawab Takashi sekenanya. Fitri tertawa mendengar penuturan polos pemuda Jepang itu. Takashi sama sekali tak paham dengan perumpamaan yang diberikannya. Ia mencoba memikirkan jawaban yang tepat dan bisa membuat pemuda Jepang itu paham. Belum sempat Fitri melanjutkan penjelasannya, Takashi kembali memberikan argumennya. “Oh ya, kemarin kamu bilang bahwa agamamu melarang pacaran, melarang bersentuhan dengan lawan jenis, dan menyuruh para wanita memakai penutup kepala seperti yang kamu kenakan ini, tapi sekarang saya teringat seseorang. Saya pernah berpacaran dengan gadis yang mengatakan bahwa dia beragama Islam. Tapi dia tidak mengenakan penutup kepala. Kami tinggal serumah dan hampir setiap hari kami melakukan ....” Belum selesai pemuda bermata sipit itu bercerita, Fitri yang sudah menduga apa yang akan dikatakannya segera memotong pembicaraan. "Maaf. Saya memotong pembicaraan. Lebih baik tidak usah ceritakan apa yang kamu lakukan dengan pacarmu. Saya mengerti, kok,” ujar Fitri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab. “Oh gitu. Kalo memang kamu sudah mengerti, bisakah kamu menjelaskan kenapa mantan pacar saya tidak sepertimu? Padahal kalian memiliki agama yang sama?” Takashi tetap melanjutkan pertanyaannya tanpa memedulikan Fitri yang salah tingkah. “Mmm, begini, coba kamu bayangkan ada dua ikan segar. Ikan yang satu disimpan di dalam lemari dan yang satu lagi dibiarkan di luar tanpa penjagaan. Datanglah seekor kucing yang sangat lapar dan melihat ikan-ikan tersebut. Kira-kira, menurut kamu ikan mana yang akan mudah ia ambil?” Fitri mencoba membuat sebuah filosofi. “Tentu saja yang ada di luar. Tapi maksudnya apa, ya? Ini teka-teki?” Takashi menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Aduuh! Maksud saya ....” “Eh. Tu-tunggu. Jangan dijelaskan dulu. Sepertinya saya sudah mengerti. Maksud kamu ikan yang di dalam lemari itu ibarat perempuan berjilbab dan yang di luar itu ibarat perempuan yang tidak berjilbab, ‘kan? Mmm ... dan ... kucing itu ....?” Takashi mengernyit. “Kucing itu ... kamu.” Fitri cekikikan. Ia berusaha menutupi mulut dengan kedua tangan. “Saya?” Takashi kembali menggaruk-garuk kepalanya, kemudian kembali bertanya. “ Laki-laki?” Ia melirik Fitri setelah mengerti dengan perumpamaan Fitri. “Dan, tentang mantan pacar kamu yang memiliki agama yang sama dengan saya, tetapi tak memiliki sikap yang sama juga, itu adalah urusan masing-masing, tak ada hubungan dengan agama yang dianutnya. Semua bergantung pada pilihan, ingin mengimani aturan agama atau tidak.” “Oke baiklah, wakatta. Terima kasih sudah menjelaskan, Suada-chan.” Takashi mengangguk-angguk, kemudian membungkukkan badan. Fitri sangat senang karena akhirnya pemuda itu paham dengan penjelasannya. Ia pun menceritakan bahwa jilbab menjadi identitas diri dan penjelas betapa wanita yang mengenakannya sangat terhormat dan tinggi derajatnya. "Oh ya, kamu pernah mendengar berita bahwa wanita sering dilecehkan, bukan? Hal itu juga menjadi alasan kenapa wanita harus menutup auratnya. Dan itulah yang diajarkan oleh Islam. Jika ada yang mengaku Islam. Namun, tidak melaksanakan seperti yang diajarkan Islam, itu berarti dia hanya menjadikan Islam sebagai status, tetapi mereka tidak mengimani itu,” sambung Fitri. “Oh. Sekarang saya mengerti. Dan saya juga sudah paham kenapa kamu tidak mau menjabat tangan saya saat berkenalan kemarin. Karena saya bukan mahrammu. Untuk menjadi mahrammu berarti saya harus menjadi suamimu dulu, ya?” Takashi melirik Fitri dengan tatapan menggoda. Pemuda itu tersenyum-senyum. “Kamu ini ada-ada saja.” Fitri berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. “Mmm , ada satu lagi dari kata-katamu kemarin yang membuat saya penasaran dan tadi kamu juga menyebutnya.” “Kata yang mana, ya?” “Aduuh, susah sekali menyebutnya. Apa, ya? A-araa ... ya, begitulah,” ujar pemuda itu susah melafaskan huruf “L”. “Allah?” Fitri memastikan. “Ya ... itu. Tapi ada kata lain sebelumnya.” Fitri mencoba memutar kembali memorinya tentang kata yang dipertanyakan Takashi. “Oh, maksud kamu. Alhamdulillah, ya?” “Mungkin itu, tapiii , mmm ... bukan yang itu sepertinya.” Takashi masih berusaha mengingat. “Yang mana?” “Kemarin kamu mengatakannya saat kamu berjanji jika kita bertemu lagi, kamu akan bercerita banyak dengan saya.” “Oh itu. Insya Allah, ya?” Fitri menelusuri. “Ya ... yang itu.” Takashi sangat bersemangat saat Fitri menyebut kata yang tepat. Kata yang cukup membuatnya penasaran. “Oh. Insya Allah itu artinya, jika Allah menghendaki. Allah adalah Tuhan yang dipercayai oleh umat Islam. Kata “Insya Allah” itu diucapkan saat berjanji atau pun meyakinkan seseorang.” Fitri menjelaskan cukup terperinci. “Mmm ... begitu, ya? Sepertinya kamu sangat memercayai Tuhan, ya?” “Tentu saja. Memangnya kamu tidak percaya?” Kening Fitri mengedut, alis matanya terangkat dan matanya menyipit. Ia sangat heran ketika membayangkan bahwa pemuda yang berada di dekatnya itu tak percaya Tuhan. Pemuda itu tak menjawab, ia hanya mengangkat bahu. Allahuakbar! Allahuakbar! Suara azan berkumandang dari ponsel Fitri yang menandakan waktu Salat Asar telah masuk. “Takashi-san, sudah azan. Saya pulang dulu, ya.” “Azan?” Pemuda itu kembali terlihat bingung. “Azan adalah panggilan untuk melaksanakan salat. Oh ya, salat adalah ibadah wajib orang Islam.” Takashi mengangguk, ia sudah mulai paham. Rasa penasarannya berangsur-angsur terjawab. Namun, sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan. Entah kenapa pemuda itu merasa dirinya sangat ingin tahu. Untuk pertama kalinya ia bersemangat untuk membahas sesuatu yang sebelum ini tak pernah menarik hati. Sebagai seorang ateis, Takashi tak pernah peduli dengan apa itu agama dan siapa Tuhannya. Namun, setelah bertemu dengan Fitri, ia sangat penasaran dan sangat tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang agama yang dianut gadis itu. Agama yang masih sangat asing baginya—Islam. “Kalau begitu, terima kasih banyak untuk penjelasannya, Suada-chan. Kapan-kapan kenalkan saya pada agama dan Tuhanmu, ya,” pinta Takashi. “Iya sama-sama. Saya juga berterima kasih karena kamu sudah mentraktir saya. Mmm, kamu yakin ingin mengenal agama dan Tuhan dari saya?” Fitri meyakinkan. “Tentu saja. Saya yakin gadis sepertimu memercayai hal yang benar. Ng, sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan. Boleh saya tahu nomor ponselmu?” “Benarkah?” Fitri bergeming sejenak. Perasaannya sangat tersanjung mendengar penuturan Takashi. Takashi bingung karena gadis itu tiba-tiba terlihat melamun. “Excuse me, Suada-chan. Are you okay? Bolehkah saya tahu nomor ponselmu?” Takashi melambaikan tangannya di pandangan Fitri. “Eh ... i-iya. Tunggu sebentar.” Fitri mengambil secarik kertas dari tas dan menulis nomor ponselnya. “Ini nomor ponsel saya.” Fitri menyerahkan kertas itu pada Takashi. “Wah, terima kasih. Ngomong-ngomong. Besok boleh saya bertemu kamu lagi?” “Besok? Mmm,boleh.” “Janji?” “Insya Allah.” Fitri mengangguk yakin. “Baiklah. Besok saya tunggu kamu di depan kampusmu. Mmm, jam pulangmu masih sama?” Takashi memastikan. Fitri mengangguk. "Kalau begitu saya juga pamit pulang dulu. Saya lupa hari ini pacar saya pulang cepat. Pasti dia sudah menunggu sendirian di apartemen. Padahal saya berjanji akan pulang lebih awal.” Takashi buru-buru menuju mobilnya. “Ya sudah. Sampaikan salam saya pada pacarmu, ya.” Fitri sedikit berteriak karena Takashi sudah bergerak menjauh darinya. Eh ... pa-pacar?! Takashi tinggal dengan pacarnya? Fitri sangat kaget setelah sadar dengan pernyataan Takashi. “Baiklah, Insyaa-Aaraa,” jawab pemuda itu sambil mengedipkan matanya. Fitri bertambah kaget mendengar jawaban Takashi yang, meskipun tidak jelas, menyebut kata Insya Allah tanpa ragu. Pemuda urakan itu tersenyum dan melambai ke arahnya. Fitri masih tercengang, sehingga tanpa sadar tak membalas lambaian Takashi, membuat sosok bermata sipit itu bingung, kemudian berteriak. “Suada-chan, kamu baik-baik saja, ‘kan?!” “Ya ampun. Kok, aku jadi bengong gini?” gumam Fitri pelan. “I-iya ... a-aku baik-baik saja, U-ume, eh ... Takashi-san.” Fitri gelagapan. “Kalau begitu aku pamit, ya. Sampai ketemu lagi.” Sebelum masuk ke mobil, Takashi kembali mengedipkan mata tanpa ragu. Entah kenapa Fitri tak mempermasalahkan seperti saat melihat kedipan genit kazuma, justru malah membuat dirinya bertambah salah tingkah. Mobil sedan berwarna hitam itu melaju meninggalkan Fitri yang masih bergeming karena terbius kedipan pemuda playboy yang barusan mentraktirnya makan siang. Kata “Insya Allah” yang diucapkan pemuda bermata sipit itu masih jelas terngiang-ngiang di telinga Fitri, begitu pun kedipan itu. Tiba-tiba, senyuman terbit di bibirnya. Entah kenapa ia merasa pemuda itu sangat lucu. ******* Udon : Makanan Jepang Lost and Found : Tempat melaporkan barang hilang. Wakatta : Saya sudah mengerti
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN