Rasa yang Menyusup Tiba-tiba

1768 Kata
Jill, yang sudah merasa sehat, mengambil alat lukisnya. Ia segera memainkan kuas di atas kanvas. Namun, hasrat melukisnya ternyata belum sepenuhnya kembali. Ia menghentikan aktivitas itu, kemudian mengambil ponsel dari atas meja, mengenyakkan tubuh di atas kursi, dan memutar video yang sebenarnya sudah lama diunduh, tetapi belum sempat ditonton. Beberapa menit berlalu, tiba-tiba pintu kamar berderik. Pandangannya terarah ke pintu masuk dan melihat Fitri masuk ke kamar dengan tersenyum. Jill melirik jam dinding. Fitri baru pulang? Tumben sekali dia pulang lebih lama. Kenapa dia senyum-senyum begitu, ya? “Fitri, kamu kenapa terlihat berseri-seri begitu?” “Eh, Jill." Fitri tersentak, menyadari bahwa dirinya telah melamun, sebab terbawa suasana pertemuannya dengan Takashi. "Ti-tidak Jill. Aku tidak apa-apa. Kupikir kamu sedang tidur. Kamu sudah sehat?” Fitri balik bertanya. Ia menjadi kikuk dan merasakan pipinya panas karena Jill sudah memperhatikannya sejak ia masuk ke kamar dan melihatnya sedang tersenyum. Ia sendiri pun sebenarnya bingung kenapa ia sebegitu senang bertemu dengan pemuda Jepang itu. Untuk menutupi rasa salah tingkah, Fitri mencoba mencari-cari alasan untuk mengalihkan suasana. Ia menghampiri Jill yang sedang menonton sebuah video dari ponselnya. "Kamu sedang menonton apa, Jill?" Jill tak menyangka Fitri akan tiba-tiba menghampirinya. Ia lupa menutup ponselnya yang masih menayangkan tontonan yang sudah ia putar sejak beberapa menit yang lalu. Fitri sangat kaget saat mendapati ponsel Jill menayangkan video tak pantas. Tadinya ia hanya bermaksud mengalihkan pembicaraan, tetapi sesuatu yang menjadi pengalihannya justru mengundang ketidaknyamanan besar. "Ya ampun, Jill. Apa yang kamu tonton?" Fitri sadar bahwa dirinya tak berhak mencampuri urusan pribadi Jill. Namun, dirinya yang sudah menganggap gadis bule itu sebagai sahabat, meskipun belum terlalu lama kenal, tetap berusaha menasihati. "Jill, aku tak tahu bagaimana aturan agamamu, tapi kurasa setiap agama mengharamkan tontonan seperti itu. Lagi pula tak baik untuk kesehatanmu." Jill tak nyaman dengan keikutcampuran Fitri dengan hal paling pribadi baginya. Ia bangkit dari tempat tidur dan mulai menyampaikan rasa keberatan atas sikap Fitri. "Kemarin aku baru saja mengira bahwa kita bisa berteman. Ternyata aku salah. Kita tidak cocok Fitri. Kamu terlalu hobi mencampuri urusan orang lain. Apa semua orang Indonesia seperti ini? Benar-benar mengganggu." Lagi-lagi Jill mengambil kunci mobil dengan sangat emosi, kemudian meninggalkan tempat itu. "Jill, tunggu! Kamu baru saja sembuh!" Fitri berusaha mengejar langkah Jill, tetapi ia mengurungkan niat saat gadis bule itu membanting pintu kamar. Menurut Fitri percuma saja jika ia memohon pengertian pada orang yang sedang emosi. Ia berharap saat Jill pulang nanti dirinya bisa meminta maaf dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya disebabkan rasa peduli. *** Takashi begitu serius mematut diri di cermin, hingga tak menyadari jika Hamasaki Akane sejak tadi memperhatikan. Kekasihnya itu tiba-tiba memeluk dari belakang. “Hmm ... kamu wangi sekali. Ngomong-ngomong kamu mau pergi ke mana? Rapi sekali?” Akane menelusuk. Takashi mengerti maksud pertanyaan itu. Akane pasti heran dengan penampilannya hari ini. Ini yang diinginkan Akane sejak lama, tetapi entah mengapa baru kali ini dia tergerak untuk melakukannya. Ia memutar tubuh, sehingga wajah cantik gadis itu kini tepat di hadapannya.“Aku hanya ingin bertemu temanku, Sayang,” ujar Takashi sambil mengecup kening Akane. “Temanmu perempuan, ya? Selingkuhanmu?” Akane memasang raut curiga. “Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti itu. Saat ini tidak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku.” Takashi memeluk mesra Akane. “Saat ini saja?” Akane cemberut. Takashi tak menjawab. Ia hanya menatap Akane lekat-lekat kemudian mendekatkan bibir ke telinga Akane. “I LOVE YOU,” ungkapnya sambil membelai rambut Akane dan memperbaiki letak kacamata gadis itu. *** Mobil Takashi melaju kencang. Ia terlihat begitu bersemangat. Sepertinya pemuda itu sangat berniat untuk berpenampilan rapi. Padahal tak biasanya ia seperti itu. Jangankan untuk memangkas rambut, untuk merapikan kumis saja ia sangat enggan. Padahal Akane selalu memintanya. Takashi memarkir mobil di tempat parkir Universitas Waseda dan menuju gerbang untuk menunggu Fitri. Ia memperhatikan setiap mahasiswi yang keluar dari gerbang kampus tersebut. Pemuda itu melirik jam di tangannya, sudah menunjukkan waktu yang sama saat ia melihat gadis berjilbab itu keluar dari sana kemarin. “Apa aku telepon saja, ya?” gumamnya. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan nomor ponsel Fitri di layar panggilan. Tidak begitu lama. Orang yang ditunggu pun muncul. Gadis berjilbab biru itu terlihat tengah mencari-cari. Meskipun sudah melihat Fitri, Takashi dengan iseng menelepon gadis itu. “Halo, Takashi-san. Apa kamu jadi ingin bertemu dengan saya?” “Suada-chan, coba balikkan badanmu.” Fitri menuruti perkataan Takashi dan ia melihat seorang pemuda tengah melambaikan tangan ke arahnya. Ia berjalan mendekati pemuda yang memanggilnya tersebut. “Takashi-san. Ini kamu?” Fitri sangat pangling melihat pemuda yang berada di hadapannya. Takashi terlihat sangat rapi. Rambutnya sudah tak panjang. Tak ada kumis lagi. Takashi terlihat lebih “fresh” dari yang ia temui kemarin. Dan tentu saja pemuda itu terlihat sangat tampan. “Astagfirullah’aladzim,” gumam Fitri mengalihkan pandangan saat ia menyadari bahwa dirinya telah menatap pemuda itu dan merasakan darahnya berdesir. “Sudah lama menunggu, Takashi-san?” “Baru lima belas menit yang lalu, kok.” “Maaf, ya. Membuatmu menunggu.” “Tidak apa-apa. Untuk menunggu gadis sepertimu, selama apa pun saya mau.” Takashi kembali merayu Fitri, membuat wajah gadis itu lagi-lagi merona. “Kamu ini hobinya menggombal saja.” Takashi hanya tertawa. Fitri mengajak Takashi untuk bercerita di taman Universitas Waseda, Okuma Teien. Taman yang tak cukup luas, tetapi sangat menarik perhatian, yang tak diragukan lagi kebersihannya. Pohon-pohon ditanam dengan posisi sangat rapi. Fitri sangat menikmati suasana musim gugur yang hampir berakhir ini. Dan yang membuat netranya semakin terpuaskan adalah saat berjalan di bawah pohon momiji yang sudah tak berdaun, tetapi tetap tak berkurang keindahannya, malah membuatnya sangat takjub. Tumpukan daun berwarna oranye itu sangat indah berkumpul di bawah masing-masing pohon yang berjajar rapi. “Bagaimana jika kita duduk di tepi kolam itu?” Takashi menunjuk sebuah kolam kecil yang berada di tengah rimbunnya pepohonan di Okuma Teien. “Ayo, di sana ada ikan-ikan kecil berwarna hitam dan saya suka sekali memberi makan mereka, tapi sayang hari ini tidak bawa makanan.” Mereka berjalan mendekati kolam tersebut. Baru saja mengenyakkan diri di bibir kolam dan akan memulai pembicaraan. Sebuah panggilan masuk dari nomor ponsel Jill. Ternyata yang menelepon Fitri bukan Jill, tetapi salah seorang teman asramanya yang mengabarkan bahwa teman bulenya itu baru kembali ke asrama dalam perdarahan. “Takashi-san, teman sekamar saya perdarahan, saya harus ke rumah sakit.” Fitri sangat cemas. “Kalau begitu saya antar kamu, ya?” Pemuda Jepang itu kembali menawarkan. “Baiklah.” Dalam kondisi seperti itu tak ada alasan Fitri untuk menolak tawaran Takashi. Ia sangat mencemaskan Jill. Mulutnya tak henti-henti berdoa agar Jill dan bayinya selamat. “Kamu tenang, ya, Suada-chan. Tuhan pasti mengabulkan doa orang baik sepertimu,” ujar Takashi sambil terus menyetir. “Iya, aamiin. Terima kasih, Takashi-san.” Fitri menghela napas. Ia berusaha menenangkan perasaan. *** Sesampai mereka di rumah sakit, ternyata Jill sudah siuman dan bayi di rahimnya juga selamat. Kondisi Jill sudah mulai kembali stabil. Fitri yang sangat mengkhawatirkannya segera memeluk gadis bule itu dengan haru. “Kamu tahu Fitri. Ini adalah pertama kalinya aku takut kehilangan bayiku. Aku hampir saja membunuhnya. Sejak kemarin aku menghabiskan banyak minuman hingga pingsan di bar. Tadi aku baru siuman dan saat sampai asrama perutku sangat sakit dan darah mengalir banyak sekali. Aku tiba-tiba sangat takut kehilangannya.” Jill terisak di pelukan Fitri. “Sudah. Kamu tenang, ya. Bayimu baik-baik saja. Mulai hari ini berjanjilah bahwa kamu tidak akan minum lagi. Lagi pula kondisimu juga belum begitu sehat, ‘kan?” “Aku berjanji, Fitri. Maafkan aku telah membuatmu cemas. Maafkan juga kesalahanku kemarin, ya.” Jill menghapus bulir kesedihan yang terus mengalir dari mata birunya. "Aku juga minta maaf, ya. Kamu jadi marah dan mabuk-mabukkan juga gara-gara kesalahanku. Kemarin aku terus menghubungimu, ingin meminta maaf. Tapi, nomor ponselmu tidak aktif dan kamu tidak kunjung kembali. Aku bersyukur melihatmu baik-baik saja." Dua orang yang tanpa sadar telah bersahabat itu pun mengencangkan pelukan. Bertambah kebahagiaan di hati Fitri. Jill mulai merasakan cinta pada bayinya. Betapa cinta itu indah bila datang dengan cara yang tepat. “Siapa yang di belakangmu itu, Fitri? Apakah dia pacarmu?” Jill melepaskan pelukan mereka dan menunjuk Takashi. “Bukan. Ini temanku, namanya Umehara Takashi-san.” Jill memandangi Takashi cukup lama, begitu pun sebaliknya. “Haloo! Ada apa, ya? Kenapa kalian berdua saling pandang?” Fitri bingung melihat dua orang itu berpandangan. Ia melambaikan tangan di wajah Jill dan Takashi secara bergantian. “Ti-tidak. Aku merasa mengenalnya. Tapi sudahlah mungkin pernah bertemu di jalan. Halo Umehara-san,” sapa Jill ramah dengan menggunakan bahasa Jepang. Kawat yang terpasang di giginya membuat Jill susah untuk tersenyum. “Hai juga, Jill. Aku juga merasa mengenalmu. Tapi kurasa kamu benar, mungkin kita pernah bertemu di jalan.” Takashi menjawab sapaan Jill sambil ikut tersenyum dan membungkukkan badan. Tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk dari pacarnya. “Moshi-moshi. Sayang, aku sedang berada di rumah sakit. Ada temanku yang sakit,” ujar Takashi menjawab telepon di seberang sana. Meskipun Fitri tak mengerti secara keseluruhan dengan apa yang dikatakan Takashi dengan lawan bicaranya, tetapi ia paham dengan sapaan mesra yang diungkapkan Takashi saat menjawab telepon tersebut. Entah kenapa ia merasa hatinya seperti teriris. Pedih sekali. “Suada-chan, Jill. Pacar saya meminta saya menjemputnya, dia ingin berkenalan dengan kalian,” Takashi memasukkan ponsel ke dalam sakunya. “Silakan, Takashi-san,” ungkap Fitri dengan senyuman yang terasa dipaksakan. Entah apa yang sedang terjadi, ia sendiri tak mengerti. *** Takashi kembali bersama seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian dokter. Dengan tubuh semampai, gadis berambut pendek yang memakai kacamata bulat itu terlihat sangat sepadan dengan Takashi. “Teman-teman, perkenalkan ini pacarku, Hamasaki Akane.” Takashi memperkenalkan pacarnya. “Hajimemashite, Hamasaki-san. Watashi wa Fitri desu,” sapa Fitri memperkenalkan diri. “Hajimemashite, Fit ... Fitri-san.” Gadis Jepang itu membungkukkan badannya. Jill juga memperkenalkan diri. Hamasaki Akane bersikap sangat ramah pada mereka. Ia sangat menghargai mereka sebagai teman-teman Takashi. Ternyata Akane adalah seorang dokter di rumah sakit itu. Ia dan Takashi bertemu di Kyoto saat sedang berlibur di kampung halaman Takashi. Ia terlihat sangat senang menceritakan tentang hubungan mereka. Selain cantik, ia juga terlihat sangat pintar dan berwawasan. Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Kira-kira setengah jam berlalu, Akane meminta Takashi untuk mengantarkannya pulang. “Suada-chan, Jill. Saya dan Akane pamit pulang dulu, ya.” “Oh iya, silakan. Terima kasih, ya. Kalian sudah menjengukku.” Jill tersenyum ramah. Takashi dan Akane meninggalkan mereka, berjalan sambil bergandengan mesra. Ada rasa yang menyusup tiba-tiba ingin mencabik-cabik dinding hati Fitri. Ia tak mengerti. Namun, dirinya merasa bahwa kebahagiaannya sedang terusik. Entah kebahagiaan yang mana? ******* Okuma Teien : Taman Okuma Momiji : Maple Watashi wa Fitri desu : Saya adalah Fitri
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN