CHAPTER 11

3657 Kata
"Aku punya ide. Kita harus main game manito, Rhea-noona!" Gadis yang baru saja memakai seragamnya lagi—selesai melakukan serangkaian pemotretan—menaikkan sebelah alis kepada Yuggi. Minta dijelaskan. "Manito itu cara kerjanya kita diem-diem jadi malaikat seseorang. Membahagiakan seseorang, misalnya dalam waktu sejam, sehari atau seminggu secara rahasia." "Terus hubungannya biar Danie sama Deenan deket lagi itu apa?" Rhea masih belum konek. Yuggi berdecak, membuat Rhea berpikir apakah dia sebego itu sampai tidak paham. "Kalau Deenan-hyung jadi manitonya Danie-noona, mereka berdua bakal deket. Deenan-hyung mau nggak mau harus menjaga, merawat, berbuat baik sama Danie-noona!" jelas Yuggi, panjang lebar. "Pinter juga lo." Rhea tidak kepikiran sampai ke sana. "Tapi Deenan pasti curiga kalau ini rencana kita. Deenan tuh pinter." Ini yang menjadi masalah. "Kita juga ikut lakuin game ini biar mereka berdua nggak ada yang curiga. Ajak aja temen Rhea-noona." "Gue ajak siapa, ya?" Yuggi malah senyum-senyum sendiri, lalu katanya, "Kirey-noona?" "Tahu dari mana lo kalau gue punya temen yang namanya Kirey?" Rhea melipat kedua tangannya di depan d**a serta memasang wajah seperti orang yang sedang menginterogasi pembunuh bayaran. "She is cute, hehehe," jawab Yuggi sambil menggaruk tengkuknya, entah kenapa seperti ketahuan berbuat hal yang salah. "Ah, gue paham. Lo suka sama Kirey, ya?!" Rhea tidak perlu menjadi juara umum untuk bisa menebak tepat. "Ayo ngaku!" "Cewek-cewek menggemaskan adalah tipeku." Yuggi semakin terkekeh dan Rhea berjanji akan mengajak Kirey, mungkin juga Maxon. Cowok itu akan senang diajak main game—Maxon tertarik pada hal-hal baru. "Gue balik duluan ya, Deenan udah jemput." Layar ponselnya ditunjukkan Rhea kepada Yuggi, ada sebuah pesan yang meminta Rhea segera keluar dari gedung agensi. Deenan menunggu. Rhea mengucapkan sapaan ketika dirinya berhasil membuka pintu depan mobil khusus penumpang. Deenan bertanya bagaimana hari yang dilalui Rhea, sebuah perhatian kecil yang bahkan jarang Deenan berikan pada adik kembarnya sendiri. Rhea selalu membalas dengan rinci, tidak ada yang ditutup-tutupi, membuat Deenan merasa menjadi satu-satunya orang yang bisa membuat Rhea megeluhkan segala hal. Tanpa terkecuali. Deenan suka, dia berguna untuk Rhea. "Lo ngajarin orang Korea itu bahasa gaul Jakarta? Dia fasih banget pas ngobrol sama Danie." Deenan mengucapkan itu sambil menyetir sehingga Rhea meliriknya, bertanya apa mereka berdua sedang membicarakan Yuggi dan Deenan mengangguk. "Gue nggak selalu ngajarin dia, kayanya temen-temen sekelas Yuggi ngebantuin deh biar dia bisa berbaur." Rhea juga tidak yakin, bahunya terangkat. Untung saja Yuggi mau belajar sehingga cowok itu dimudahkan mencerna cepat. "Atau mungkin cewek lo yang ngajarin dia?" "Siapa cewek gue?" tanya Deenan, tanpa nada. "Danie lah, oon!" Rhea jadi emosi pada sepupunya ini. "Oh iya, Yuggi minta gue buat ngundang lo di acaranya." "Acara apa?" "Debut jadi model di Indonesia." "Gue nggak suka pesta meriah, lo tahu itu." "Ini bukan pesta, cuma makan pizza aja, kok." Rhea langsung meralat. "Pokoknya lo harus dateng." "Kenapa gue harus dateng?" "Karena gue mau lo dateng. Setahu gue, lo bakal merealisasikan apa yang gue mau, kan?" Deenan kini melirik Rhea, kebingungan. "Sejak kapan gue tanda tangan di atas matrai untuk menyetujui semua keinginan lo?" "Jadi, lo nolak?" Ada penekanan di setiap bait kata yang Rhea ucapkan, gadis itu juga mengatupkan giginya. Tersinggung. Maka jawaban Deenan adalah, "Iya, iya. Nanti gue dateng, Rhealine." Mana bisa dia menolak. "Dan jangan cemberut, sumpah, lo jelek." "Yeaaay, asyik!" Kedua tangan Rhea langsung terlingkar pada bahu Deenan, cowok itu tetap duduk di tempatnya. Menyetir dengan tenang. "That's my Deenan! Thank you!" *** Ban mobil Deenan bocor, dan untung saja ada bengkel kecil di pinggir jalan yang terjangkau oleh pandangan mata sehingga Deenan tidak perlu menelepon bengkel khusus untuk menderek mobilnya. Abang bengkel berkata bahwa bocor di area ban Deenan tidak terlalu parah, pemuda itu bisa menunggu. Deenan meminta agar Rhea pulang naik taksi saja, tapi gadis itu menolak. Besok sekolah libur, dia juga tidak ingin cepat-cepat pulang. Di rumah tidak ada siapa-siapa kecuali pembantu. Akhirnya sambil menunggu ban selesai ditangani, Deenan mengajak Rhea untuk berjalan-jalan kecil, Deenan ingin memotret apa saja yang ia temukan. "Deen, itu anak kucing masuk got nggak bisa keluar ya?" Rhea menepuk bahu sepupunya yang sedang asyik memotret dinding sebuah g**g sempit yang dihiasi lukisan tangan. Pemuda itu membawa fokusnya pada apa yang ditunjuk Rhea, lantas menemukan suara kucing yang terdengar meminta pertolongan. "Deen, got itu kotor," ujar Rhea ketika Deenan menyuruh gadis itu memegang kamera profesional miliknya. "Got semuanya kotor." Deenan menjawab datar dan langsung turun pada selokan berair—penuh lumpur untuk mengeluarkan seekor anak kucing berwarna hitam. Untung saja kucing kecil itu tidak terluka. "Bisa pulang sendiri, kan? Jangan jatuh lagi." Deenan mengusap bulu kucing itu, melepaskannya ke tempat yang lebih aman. Wajahnya berubah cerah layaknya lampu kota saat senja. Senyum Deenan itu luar biasa dan saat ditambah dengan ketulusan, itu bagai s*****a mematikan. Rhea memeluk kamera Deenan, sambil memperhatikan betapa pemuda cuek itu bisa sangat lembut pada binatang. Deenan hanya tidak mau mengakui bahwa hatinya gampang luluh pada hal-hal menggemaskan. Tidak menunjukkan emosi saat menonton adegan menyedihakan sepasang kekasih di film romantis, tapi Deenan pernah ketahuan menitikkan air mata saat menonton film Hachiko—kisah anjing setia dari Jepang. Jika ingat itu, Rhea suka geli sendiri. Deenan gengsinya selangit. "Gue mau cuci tangan di masjid," tunjuk Deenan pada tempat ibadah di ujung g**g, dan Rhea mengangguk untuk mengikuti pemuda itu. Deenan pergi ke toilet khusus pria sedangkan Rhea menunggu di tangga-tangga pendek yang menjadi jalan memasuki pintu utama masjid dengan cat berwarna cream. Suasana masjid sepi, mungkin karena bukan jamnya beribadah. Hanya ada beberapa orang seperti Deenan. Mampir untuk beristirahat atau hanya ingin menggunakan toilet. Deenan melangkah kembali untuk menemui Rhea, dan dia mengangkat sebelah alis saat ada seorang bapak-bapak berbicara pada Rhea namun nadanya kurang pantas didengar. "Ada apa ya, Pak?" Deenan langsung menghampiri dua orang di depan tangga, dan Rhea tidak seperti biasanya. Gadis itu tak pernah membiarkan orang membentaknya dan sekarang Rhea hanya diam saja. "Saya mau gadis ini pergi. Masjid ini untuk muslim." Orang itu menunjuk Rhea, penuh penakanan, mengusir dengan nyata. "Orang-orang nggak akan mau ibadah di sini kalau ada simbol-simbol agama lain di tempat ibadah kami!" Deenan melihat Rhea mengenakan kalung dengan liontin salib, bahkan ukurannya kecil—sekilas tak akan ada yang menyadari. Lalu, apa salahnya? "Tapi dia hanya duduk, Pak." Deenan mencoba menjelaskan. "Mana mungkin seorang gadis yang duduk diam tanpa mengganggu siapa pun, kebetulan mengenakan simbol agamanya—itu kata bapak—membuat orang-orang tidak mau ibadah? Tidak masuk akal." "Kamu muslim bukan? Kamu tidak takut kaum minoritas ini mencuci otak kamu, hah?" Orang dewasa bisa mengatakan kalimat penuh lelucon seperti ini? Deenan tidak percaya. "Teman saya hanya duduk, Pak. Dia tidak ada niatan melakukan apa yang ada di pikiran negatif Bapak. Mengapa sangat rasis?" "Rasis?" Bapak berumur lima puluh tahunan itu semakin emosi. "Selalu merasa bahwa orang-orang di luar negeri rasis pada muslim, padahal di negara sendiri kalian rasis pada umat yang kalian cap minoritas." Deenan khawatir pada keadaan nyata di negerinya, dia sangat iba. Masih banyak yang tidak bisa menjalankan sila pertama pada Pancasila. "Jaga ucapan—" "Mereka bebas memakai simbol, atau melakukan apa pun sesuai kepercayaan mereka asal tidak menganggu umat lain. Tuhan tidak mengajarkan untung saling membenci, kan? Ketakutan Bapak adalah milik Bapak, jangan membawa-bawa agama. Cetek sekali ya iman Bapak jika melihat simbol agama lain saja langsung takut?" "Deen..., cukup." Rhea menarik tangan kanan Deenan, tidak ingin membuat suasana semakin runyam. Gadis itu memasukan kalungnya ke dalam kemeja sekolah dan meminta pergi dari sana. Deenan masih ingin mendengar kalimat-kalimat pembelaan seperti apalagi yang akan dilontarkan si Bapak namun dia hanya bisa menurut saat Rhea mengajaknya pergi. "Nggak baik berantem sesama umat agama lo, Deen." Tentu saja Rhea merasa tidak enak karena tadi Deenan terkesan seperti membelanya. "Jangan salah paham, Rhea, muslim yang sejati contohnya bukan seperti itu. Mereka takut sama Allah, bukan simbol agama lain. Nggak masuk akal, masa lihat orang pakai salib harus diusir dari masjid? Ajaran siapa itu?" "I know...." Rhea sejak kecil sudah hidup dengan keluarganya yang lain, mereka pemeluk agama Islam dan selalu memperlakukan keluarga Rhea dengan baik. Perbedaan apa pun tetap bisa membuat rukun. "Gue masih jauh dari predikat umat yang baik dan taat, tapi gue bener-bener nggak suka lihat orang yang semena-seman sama agama orang lain. Kepercayaan itu sifatnya rahasia, antara seseorang dengan Tuhannya, nggak boleh ada yang ikut campur." "Gue tadinya nggak mau nyebut tuh bapak-bapak rasis, tapi omongannya kaya bocah." Apa yang dilakukan orang itu kepada Rhea memang salah, tapi Deenan juga merasa sedikit keterlaluan. Tadi Deenan lumayan terpancing ketika dihadapkan dengan orang-orang seperti itu. Minta dihormati, tapi senangnya mengucilkan orang lain. Melupakan nilai kesinambungan bahwa apa yang ditanam, maka itulah yang dipetik. Jangan berharap diperlakukan layak jika tidak mau berbuat baik. Hormatilah orang lain layaknya manusia. Karena kita makhluk sosial, saling membutuhkan. Rhea memberikan jempol pada sifat tenang dan betapa dewasanya seorang Deenan Jevino Argadhika. Apa yang dia ucapkan jarang meleset, meski kenyataan penuh hiruk pikuk namun pemuda itu tak pernah takut mengutarakan argumen. Deenan berani mengakui jika salah—karena dia manusia—tapi bisa sangat teguh pada pendirian yang dia anggap benar. "Manusia lain harus punya jalan pikir seperti lo, Deen." Rhea menyetujui kalimatnya, Deenan benar-benar memiliki pikiran yang terbuka, luas, namun tidak asal-asalan. "Rhe, tadi lo nggak salah. Lo cuma duduk." Deenan tidak mau jika Rhea kepikiran terlalu lama, pasti gadis itu cukup terkejut karena ada yang memperlakukannya sangat kasar. "Dan jangan sembunyiin kalung lo." "Gue paham...," Rhea tersenyum, menepuk-nepuk bahu sepapunya. "Makasih ya, Jevino, untuk hari ini." *** Setelah upacara wajib di hari Senin, kepala sekolah memberi tahu pengumuman penting bahwa pemungutan suara untuk memilih mayoret akan dilaksanakan hari Rabu saat jam istirahat. Kedua kandidat diwajibkan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya agar bisa keluar menjadi pemenang. Pengumuman akan diberitahu hari itu juga agar tidak terjadi kecurangan. Semua aman terkendali, karena masing-masing sudah punya jagoan siapa yang akan mereka pilih untuk menjadi mayoret. Para murid sengaja diperbolehkan menonton kedua kandidat latihan setiap sore. Mereka bisa menilai siapa yang lebih pantas. Danie baru saja akan masuk ke kelas sebelum tangannya ditahan oleh seorang gadis dengan bintang tiga pada kerah seragamnya. Kakak kelas itu tidak sendirian, ada empat gadis lain di belakangnya. "Hai, Danielle," sapa seorang gadis dengan name tag Canmy Respati. "Lo kenal gue? Gue Canmy, kelas 12 unggulan." Danie mengetahui tentang kelas unggulan itu dan Canmy pernah menjadi cheers sehingga Danie sedikit hapal wajahnya. Gadis itu mengangguk. "Halo, Kak Canmy. Ada apa, ya?" "Gue berencana milih lo untuk jadi mayoret." Canmy tidak basa-basi. "Oh..., m-makasih, Kak." Danie tidak tahu bagaimana menanggapinya. "Lo bakal kesulitan menang ngelawan Rhea, gue ngasih tahu aja sama lo," ujar gadis yang kini menepuk bahu Danie dengan santai. "Rhea anggota The Barbie's, dan semua orang bakal milih dia. Lo butuh ngalihin perhatian para siswa supaya mau milih lo. Gue di sini buat bantu lo." "Tapi, kenapa kakak mau bantu saya?" Jika memang Danie tidak akan menang atas Rhea, seharusnya bantuan Canmy juga tidak akan berdampak banyak, kan? "Gue mau jujur sama lo ya, Danie. Kalau Rhea jadi mayoret, harga diri kelas 12 bakal makin diinjek-injek. Selama masih ada The Barbie's, kelas 12 nggak bakal bisa berkuasa. Bahkan senior sebelum gue takut sama The Barbie's." Canmy menjelaskan keadaan yang dia rasakan, betapa Canmy muak dan kesal. "Gue tahu lo gadis baik, dan lo menghormati gue sebagai kakak kelas. Gue cuma mau ngerasain jadi senior sebelum keluar dari Mahardika. Gue dan geng gue nggak mau jadi keset The Barbie's sampai lulus." "Lo bukan The Barbie's, kan?" Salah satu teman Canmy bertanya dan Danie tidak tahu jawabannya. Dia sekelas dengan Shaen, juga selalu pergi ke kantin bersama namun tidak ada omongan apakah dia termasuk ke dalam geng populer itu. "Nope." Canmy menggeleng pada teman-temannya. "Gue udah jelasin kalau The Barbie's itu cuma 4 orang, sesuai bio i********: mereka." lantas melirik Danie, "Iya, kan? lo bukan The Barbie's, Danielle?" "Bukan, Kak," jawab Danie dengan suara kecil. "Gue bisa nyuruh anak kelas 12 buat milih lo. Gampang untuk gue melakukan hal itu karena gue anak kelas unggulan dan gue famous. Gue bener-bener nggak mau Rhea jadi mayoret," jujur Canmy. Mungkin Danie memang ingin menang, tapi dia tidak berambisi. Canmy punya urusan dengan harga dirinya sebagai senior dan Danie merasa semuanya tidak benar jika dia ikut campur. "Gue juga bisa masukin lo ke kelas unggulan pas nanti lo kelas 12." Canmy mengangkat alisnya, menawarkan hal yang lebih masuk akal. "Semua orang dari kelas unggulan bisa masuk universitas bagus dan diperlakukan baik di tahun terakhir sekolah. Cuma murid pinter dan mau bayar mahal yang bisa masuk kelas unggulan. Gue denger-denger, Deenan sama Max udah otomatis bakal masuk kelas unggulan karena mereka jenius. Lo nggak mau sekelas sama pacar lo?" Danie langsung menatap seniornya ketika Canmy menyebutkan nama Deenan. Gadis itu kini merasa umpannya dilahap dengan baik. "Deenan mungkin bilang kalau dia single. Tapi gue tahu lo sama dia ada hubungan, kan?" Canmy terus berbicara dan Danie tidak mengerti mengapa seniornya bisa berpikir seperti itu. Karena Danie kira, semua akan percaya pada pengakuan Deenan bahwa pemuda itu tidak punya pacar. "Deenan bakal bangga banget kalau lo terpilih jadi mayoret. Tapi kalau Rhea yang jadi mayoret, bukannya Deenan malah bakal bangga sama Rhea? Pikirin itu, Danie." Canmy meremas bahu Danie, sedikit memanipulasi setiap sisi positif milik adik kelasnya. "Ini cuma pikiran gue atau kedekatan Deenan sama Rhea agak aneh, ya? Jangan-jangan sepupu jadi cinta?" "Mereka nggak ada hubungan apa-apa!" Danie langsung menyanggah, karena dia percaya pada Deenan. Pada tunangannya. Pada cintanya. "Calm down, girl." Canmy mengangkat kedua tangannya ke udara, tidak bermaksud membuat Danie tersinggung. "Gue cuma menawarkan bantuan yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Itu aja. Gue nggak maksa." Danie tidak menjawab, dia perlu berpikir panjang dan logis. Apa dia benar-benar Ingin menjadi mayoret, atau karena dia hanya membutuhkan perhatian Deenan? Danie tidak tahu. Bolehkah dia serakah? Menginginkan dua hal bersamaan? Apa—akan baik-baik saja? "Jadi, apa rencana kakak?" tanya Danie, dengan ekspresi datar namun serius. Canmy tersenyum lebar. "Menjadikan lo pemenang, dan menjadikan Rhealine pecundang." *** Deenan menyiapkan lensa kameranya karena dia akan memotret dua kandidat mayoret. Menempelkan foto mereka di mading dan juga sekolah akan membuat banner besar—layaknya pemilihan Ketos. Mahardika memang paling total, tak pernah pelit mengeluarkan biaya untuk kepuasan setiap murid. Mungkin beberapa menit lagi kedua kandidat itu akan datang ke ruang mading, sehingga Deenan berencana untuk pergi sebentar membeli minum. Kantin tidak jauh, waktu akan terasa efisien. Deenan melihat Rhea, berjalan bersama ibunya. Kedua wanita itu melambaikan tangan pada Deenan dan dia tidak tahu mengapa ibunda Rhea ada di sini. Mungkin karena Rhea anak tunggal maka dari itu Adina memberikan dukungan penuh pada apa yang dilakukan putrinya. Meski terkadang Adina membatasi makanan yang bisa dilahap Rhea, namun bagi Deenan wanita itu adalah ibu yang baik. "Gue mau nganter nyokap ke parkiran bentar," ujar Rhea, takut Deenan mencarinya untuk pemotretan kandidat. Deenan berkata bahwa Rhea bisa melakukan apa saja yang dia mau karena Deenan juga akan pergi ke kantin dulu. Deenan sudah kembali, dan mendapati Danie yang tengah asyik menggunakan kamera profesional milik Deenan. Gadis itu berdiri membelakangi, mencoba memotret sesuatu sehingga tidak sadar bahwa Deenan ada di sini. "Lo nggak akan dapet angle yang tepat kalau kaya gitu." Deenan berdiri di belakang Danie, menyentuh tangan kanan gadis itu yang berada pada badan kamera. " Danie terperajat, sehingga Deenan mundur beberapa langkah. "Jantung Danie deg-degan!" katanya. "Kaget gue dateng?" tanya Deenan. Seketika gadis itu menggeleng. "Karena Deenan deket banget sama Danie! Nggak baik buat kesehatan hati dan jantung Danie." Deenan malah membawa langkahnya untuk mendekati Danie dan gadis itu pipinya memerah. "Lo kenapa?" perasaan Deenan tidak melakukan hal yang salah. "Sini balikin kamera gue." Danie konek, dia memberikan apa yang Deenan mau. Merasa bodoh karena berpikir hal-hal di luar nalar. Seperti berciuman? Ya ampun, Danie. Apa-apaan?Ayo fokus! "Rhea kayanya masih lama. Lo mau difoto duluan?" Deenan tidak mau waktunya terbuang sia-sia dan untung saja Danie setuju. Gadis itu langsung berdiri di depan tembok putih agar hasil fotonya bagus. Danie tahu bahwa dia melihat pada lensa kamera, namun merasa saat ini sedang bersitatap dengan pemilik mata indah bernama Deenan. Sehingga senyum merekahnya terbit, dan merasa bersalah saat Deenan berkata bahwa Danie tidak bisa serius. Mengajaknya bercanda terus. "Deenan mau milih siapa buat jadi mayoret?" Danie akan menyesal jika keluar dari ruangan ini tanpa bertanya seperti itu. Deenan menurunkan kameranya, tapi tidak menatap Danie. Dia mengecek hasil jepretannya beberapa saat lalu. "Milih yang paling pantes," jawabnya. Memang masuk akal. "Apa Danie pantes, Deen?" "Lo boleh keluar, foto lo bakal gue tempel besok di mading." Deenan membalikan tubuhnya, berjalan menjauh dari Danie yang langsung menundukkan kepala. Gadis itu menghela napas panjang, lalu melangkah menuju pintu. "Lo pantes, kok," —jangan khawatir. Mengatakan itu tanpa berbalik. Deenan membuat alibi, masih mengecek kamera meski fokusnya pada hal lain. "Lo pantes jadi mayoret Mahardika, Danielle." *** Yuggi merasa senang karena rencananya dan Rhea akan berjalan mulus. Mereka kini ada di apartemen Yuggi untuk menghabiskan pizza dan melaksanakan game manito, tentu saja. Ada Kirey dan juga Maxon, agar tidak ada yang curiga. Yuggi sudah menjelaskan panjang lebar tentang ketentuan game dan mereka memodifikasinya sedikit—atau mungkin banyak, ya siapa peduli. Jika biasanya manito dilakukan diam-diam, kini mereka berniat untuk menjadikannya sepasang-sepasang saja agar mudah. Yuggi yang memimpin, dia sudah menaruh nama-nama di dalam gelas plastik dan ada kecurangan di sana. Danie sengaja dipilih menjadi manito Deenan begitu juga sebaliknya. Mereka berdua harus care pada satu sama lain, sesuai peraturan game selama tiga jam dan menuliskan apa saja yang mereka lakukan bersama manito masing-masing. Yuggi memasangkan dirinya sendiri dengan Kirey—memanfaatkan kesempatan—dan Rhea akan menjadi manito Maxon. Mereka berdua sih santai, Maxon sudah diberi tahu soal rencana sesat milik Rhea dan dedek gemes; Yuggi. Deenan ingin menyanggah mengapa mereka harus melakukan permainan tidak masuk akal ini. Masih banyak game lain yang lebih mudah. Namun protes Deenan terpatahkan oleh kalimat nyeleneh khas Maxon, "Mas Deen, laki-laki sejati nggak boleh banyak ngeluh atuh," sindirnya tepat sasaran. Deenan super keki, tapi sialnya dia akan kalah jika berdebat dengan Maxon. Namun tetap, bagi Deenan ini bukan permainan. Seolah seperti jebakan 'kencan dengan Danie selama tiga jam' yang sudah dirancang dengan apik. Dan dia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Danie sejak tadi diam, merasa bahwa tunangannya risi. Mungkin sangat buruk bersama Danie selama tiga jam sehingga Deenan tidak suka ide manito ini? Deenan bukan lelaki bodoh, dia bisa melihat bahwa Danie tidak ceria—jauh dari kata nyaman—padahal dia kira Danie akan bersemangat. "Lo mau mulai game ini, Danie?" Deenan sendiri tidak yakin, namun permainan sudah berjalan. Mereka tidak mungkin diam saja di apartemen Yuggi selama tiga jam tanpa melakukan apa-apa. Artinya mereka kalah dan ucapkan selamat datang pada hukuman. Maxon ikut main game, cowok itu akan membuat hukuman gila dan Deenan ngeri. "Kalau lo berpikir gue nggak mau main game ini karena malas jalan sama lo, itu kurang tepat." Membiarkan salah paham menjalar, bukan sesuatu yang benar. Deenan butuh menjelaskan. "Gue malas gerak, dan pasif dalam memperlihatkan rasa care. Takutnya lo nggak nyaman jalan sama gue." Deenan selalu terasa superior jika berbicara dengannya, dan Danie tidak menyangka bahwa pemuda itu merasa tidak percaya diri. Gemas sekali, Deenan takut Danie tidak nyaman! "Danie bakal merawat Deenan," gadis itu menggengam tangan tunangannya, "Deenan tinggal nyontek dari Danie aja." "Oke?" Secara sadar Deenan membalas genggaman itu. "Lo mau kencan—sorry, maksud gue, menghabiskan waktu tiga jam ini ke mana?" Tunggu, Deenan menyebut ini kencan? Sudah tidak terhitung berapa banyak kupu-kupu menari di perut Danie. Ini akan menjadi tiga jam terbaik dalam hidupnya! Sesuai usul Danie, mereka akhirnya pergi ke pasar malam. Gadis itu mentraktir Deenan gulali meski tidak nyaman karena seharusnya cowok yang membayar. Danie tidak mau ditolak karena mereka sedang main game. Harus care, ingat? "Danielle...," Menghentikan langkah Danie dengan cara menyentuh bahunya agar mendekat, Deenan meminta gadis itu berdiri di depan cermin sebuah stand. "Gue mau beliin lo bando," kata Deenan, sambil memilih beberapa hiasan kepala yang terlihat begitu cantik. "Bunny?" tanya Danie saat tunangannya itu memakaikan sebuah bando berwarna pink berbentuk telinga panjang kelinci di atas rambutnya. Deenan berada di belakang Danie, melihat penampilan gadis itu pada kaca. Deenan menggeleng, beralih pada bando hijau dengan motif mata kodok. Memakaikannya lagi pada Danie dan langsung tak bisa menahan tawanya. Begitu kegelian, seperti melihat mainan. "Yang ini lucu banget! Cocok dipake kamu, D!" D....? Danie tidak mau mengahancurkan momen, dia senang sekali mendengar tawa yang keluar dari bibir Deenan, sangat natural dan tidak dibuat-buat. Danie rela terlihat bodoh jika itu membuat hati Deenan senang. "Danie mau pake bando ini!" ujarnya, semangat. Deenan setuju, dia membayar kepada si penjual bando lalu mereka berdua melanjutkan berkeliling pasar malam dengan kedua tangan saling mengenggam, dan mentertawakan apa saja, tanpa beban. Seolah mesin waktu memang diciptakan hanya untuk Danie dan Deenan. *** "Sejak kapan lo kenal Canmy?" Pertanyaan dari Shaen membuat Danie yang sejak tadi sedang membagikan brosur—agar para murid memilihnya—berhenti, dan melirik. Danie baru sadar bahwa Shaen tidak menambahkan embel-embel Kak saat menyebutkan nama Canmy. Mungkin benar ujar seniornya itu bahwa The Barbie's sudah punya kuasa sebelum waktunya. Danie segera menjawab, "Kak Canmy baik, dia mau bantuin gue bagiin brosur." "Oh gitu... Btw, lo sama Rhea adalah temen gue, dan gue masih belum tahu mau pilih siapa ntar pas istirahat nanti." Shaen tidak masalah siapa yang akan jadi mayoret karena dia tidak tertarik, namun dia enggan jika sampai Danie berpikir Shaen tidak adil. "Kepsek bikin susah aja pake pemungutan suara segala!" Hanya sebuah senyuman kecil yang Danie tunjukkan. Beberapa jam kemudian, bel istirahat akhirnya berbunyi. Semua murid bersiap untuk memberikan suara mereka. Dimulai dari murid berbintang satu sampai tiga, tumpah ruah di lapangan sepak bola. Marching band mengiringi acara pemungutan suara, mereka juga mengenalkan Maxon sebagai anggota baru yang akan memainkan biola saat pembukaan HOJ. Cukup cepat karena para murid bisa diajak bekerja sama, pemilihan mayoret itu sudah selesai. Para osis membawa kotak suara ke kantor untuk dihitung, dan kepala sekolah bersiap mengumumkan hasilnya. Para murid yang berada di lapangan terbagi menjadi dua kubu—pendukung Danie dan Rhea. Menunggu hasil, harap-harap cemas. Kepsek sudah punya nama pemenang yang tertulis di kertas, beliau menatap satu persatu muridnya. Menggapai mikrofon lalu berkata dengan tenang, "Yang akan menjadi mayoret Mahardika pada pembukaan HOJ adalah...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN