CHAPTER 12

2799 Kata
Permainan manito berjalan sesuai rencana—sejauh ini—Rhea merasa berhasil menuntaskan misinya dengan Yuggi. Berharap tiga jam ke depan menjadi awal yang baik untuk Deenan dan Danie. Mungkin bukan sesuatu yang akan berubah manis dalam sekejap, namun berharap pada kesempatan itu sangat patut dicoba. Ada satu yang pasti jadi nyata dari sekian juta atau milyaran kemungkinan. Yuggi pergi dengan Kirey entah ke mana sedangkan Rhea membawa Maxon ke rumahnya, ada Inge juga karena gadis itu bilang kolam renang di rumahnya sedang dikuras sehingga tidak bisa latihan. "Max, lo mau jus atau cola?" Rhea bertanya ketika bangkit berdiri, menuju dapur. Maxon yang sedang duduk di kolam renang dengan kedua kaki terendam langsung menjawab, "Jus jeruk kayanya seger. Banyak vitamin." "Nge, kalau lo mau apa?" "Sama."Inge menyembulkan kepala dari air kolam. Kembali dari dapur dengan sebuah nampan berisi tiga gelas jus jeruk dan setoples biskuit rasa coklat, Rhea disambut Maxon yang langsung berseru heboh. "Kita perlu nulis kegiatan apa aja yang kita lakukan untuk game, Rhe," ujar pemuda itu. "Hal yang pertama adalah lo nge-treat gue pake jus jeruk. Mantap." Rhea tertawa. "Okay," lalu menulis kalimat sedikit rapi pada kertas yang sudah mereka sediakan. "Kita harus selca juga." "Orang Korea kenalan lo bikin susah, ye." "Itu biar ada bukti kalau Deenan beneran baik sama Danie selama tiga jam." Mereka berdua berfoto menggunakan ponsel keluaran terbaru milik Rhea. Maxon menampilkan dua jari andalan sebagai pose dan gadis itu memeletkan lidah. Inge mengambil gelas pada nampan setelah keluar dari kolam. Katanya, "Rhe, lo masih usaha biar Deenan suka sama Danie?" "Deenan udah suka sama Danie," jawab Rhea, yakin. "Dia tsundere as hell. Gemes gue, pengen jitak!" "Tapi kayanya Danie nganggep Deenan suka sama lo." Ucapan Maxon membuat Rhea tidak jadi mengunyah biskuit. Pemuda itu berdeham, "Sorry, gue nggak tahu boleh ceritain ini atau nggak. Tapi waktu itu—sebulan yang lalu kayanya—Deenan nyuruh gue jemput Danie di mall. Mereka janji nonton, Deenan nggak bisa dateng." "Danie ngomong sesuatu sama lo?" tanya Rhea. Maxon mengangguk. "Dia nanyain apa lo deket banget sama Deenan. Yang gue tahu kalian sahabatan dari kecil jadi gue bilang; iya, deket. Layaknya sodara. Gue bener, kan?" "For real?" Inge membuka suara karena Rhea diam saja. "Satu Mahardika tahu tentang itu, malah." "Cinta segitiga?" celetuk Maxon sekenanya. Plak! Inge sengaja mendaratkan telapak tangannya cukup keras pada punggung Maxon sehingga cowok itu mengaduh. Memunculkan sebuah drama klasik, "Alien, lo galak banget buset! Kalau gue berubah jadi jelek karena lo pukul, gimana?" "Udah gue bilang, mereka berdua sepupuan, Max!" Inge mulai galak, baginya ini tidak masuk akal. "Dan jangan lebay." "Lo nggak suka sama Deenan kan, princess LinLin?" Maxon tetap ingin memastikan meski takut dipukul Inge lagi. Rhealine sejak tadi diam, kini memulai untuk mengunyah biskuit sambil menggeleng cepat. Ditambah tawa sarkas. "Nggak lah. Deenan bukan tipe gue." *** Dua jam berlalu mengelilingi pasar malam, perut mereka berdua akhirnya meminta diperhatikan. Danie yang pertama kali mengajak Deenan untuk mencari makanan. Ada banyak stand, hanya tinggal memilih. Masalahnya Danie takut Deenan tidak suka dengan beragam menu yang dijual. "Gimana kalau kita beli sosis bakar aja?" Danie hanya melihat tunangannya ini makan gulali dan satu cup es krim. Setidaknya Deenan harus makan yang lumayan mengenyangkan. Deenan setuju saja ketika tangannya ditarik Danie menuju stand yang ramai dikunjungi oleh anak-anak. Mereka mengantri untuk memilih sosis atau cemilan mana yang ingin dibeli. Ada juga yang mengganggu pedagangnya sambil meminta diskon padahal hanya memesan satu tusuk. Deenan membiarkan Danie mengontrol makanan apa yang akan masuk ke perutnya. Dia berdiri cukup jauh dari stand, memperhatikan bagaimana gadis itu bercengkrama dengan anak-anak dan menepuk-nepuk pipi saat dipuji sangat cantik. Dua tusuk sosis berukuran cukup mengenyangkan diberikan Danie pada Deenan. Sedangkan dirinya sendiri memesan otak-otak yang juga berukuran lumayan. Mengunyah itu tanpa peduli jika sausnya bercecran di sekitar mulutnya. "Deen, sini Danie fotoin," usulnya ketika melihat Deenan membuka mulut setelah meniup sosisnya selama beberapa detik. Danie meminta ponsel pemuda itu lalu meminta Deenan untuk tersenyum sambil mengangkat sosis. Dia terkekeh sedikit melihat lengkungan canggung dari Deenan. Disuruh senyum saja susah! Danie mengambil beberapa foto, Deenan mulai tidak nyaman sehingga dia mengalihkan fokus matanya dari kamera. Menikmati sosis, membiarkan Danie sibuk dengan ponselnya. Tidak mau tahu sedang apa dan setelahnya mengembalikan ponsel Deenan pada saku jaket. "Apa kita balik ke apartemen Yuggi sekarang?" tanya Danie yang kini sudah duduk di sebelah Deenan. Pada kursi panjang dekat komedi putar yang disedikan pihak pasar malam. Deenan mengangguk singkat. "Abisin aja dulu makanan lo." "Kita ngelakuin banyak hal dan juga ngambil cukup selca di HP Danie. Kita nggak akan dihukum!" Danie mengangkat jempolnya dengan senyum lebar. Pemuda dengan jaket berwarna hitam itu tidak menjawab. Makanan sudah habis, seperti rencana mereka akan kembali ke apartemen Yuggi karena yang lain juga bersiap berkumpul lagi setelah menyelesaikan permainan. Menggunakan jasa taksi online, Deenan duduk di depan seolah tidak mau tahu ada Danie yang duduk di kursi penumpang belakang. Terserah supir mau berpikir apa padanya, yang jelas Deenan tidak peduli. Badannya terasa capek, ingin melemparkan diri pada kasur. Waktunya terbuang untuk hal-hal yang tidak penting—menyebalkan. "Deenan nggak turun?" Danie kebingungan ketika tidak ada tanda-tanda bahwa pintu depan akan terbuka. Perlahan kaca mobil menurun, memperlihatkan betapa terganggunya seorang Deenan Jevino Argadhika. Dan Danie berpikir mungkin itu karena dirinya yang rewel. "Bisa bilangin sama mereka kalau gue capek? Gue mau balik," jawab Deenan tanpa nada. Beralih melirik pada supir, minta diantar ke alamat baru dan berjanji akan menambah tarif. "Oh—okey." Akhirnya Danie hanya bisa menampilkan sebuah senyuman yang tidak dibalas Deenan karena pemuda itu sudah menaikkan kaca mobil lalu perhi dari sana. "Mas, lagi berantem sama pacarnya, ya?" Supir taksi online mengajak mengobrol—agar disangka ramah meski sepertinya kalimat yang keluar jadi agak salah. Deenan menjawab pelan, "Nggak kok, Pak." "Saya juga punya istri yang kadang nyebelin, Mas. Mau kesel tapi juga kangen. Kayanya perempuan emang gitu." Ada tawa sekilas yang diberikan Deenan. Mengobrol ringan bisa sedikit melonggarkan syarafnya. "Semoga bapaknya langgeng sama istri." "Amin. Mas-nya juga." Entahlah? Deenan tidak tahu bagaimana menanggapi hal seperti ini. Bahkan tidak paham apa yang sedang dia lakukan bersama gadis bernama Danielle Fegaya. Keluarganya berkata mereka bertunangan. Awalnya berniat mengecek ponsel untuk melihat biaya yang harus dibayar pada supir, Deenan malah membawa jarinya untuk menklik galeri dan menemukan fotonya yang diambil beberapa waktu lalu oleh Danie. Dia tidak menyangka bahwa gadis itu juga sempat selca di ponselnya. Ada tiga foto Danie dengan senyum lebar menampilkan pipi kembungnya. Deenan sudah menandai semua foto Danie, hanya tinggal menklik tanda 'hapus' lalu beres. Namun—dia tidak melakukannya. Memilih mengetik pesan pada seseorang, meminta agar Danie diantar pulang. Maxon : Aduh Mas ganteng, kalau khawatir itu anterin sendiri dong Deenan : Bacot lo. Gue kan minta tolong. Maxon : Iyee iyee. Terus apa bayarannya buat Anaresh Maxon yg baik hati ini? (0.0) Deenan : Semua ikan cupang yg lo mau gue bayarin Maxon : DEAL DONG COOOY!! Deenan : Dasar bisa disogok Maxon : Cogan mah bebas, bosquee??? *** Hari ini pemilihan mayoret untuk HOJ dan Deenan menunggu namanya dipanggil oleh anggota Osis untuk menyalurkan hak suara. Siapa yang akan dia pilih setelah masuk ke bilik? Deenan belum bisa memastikan. Semalaman tidak bisa tidur, juga belum bertemu Danie maupun Rhea selain detik ini—di lapangan, tanpa sebuah obrolan. Rhea terlihat seperti biasa; superior dengan embel-embelnya sebagai anggota geng populer, sedangkan Danie lebih santai dan tampak manis menggunakan pita berwarna biru tua yang mengikat rambutnya seperti buntut kuda. Rhea tidak membalas pesan Deenan meski gadis itu online, sepertinya sengaja—bentuk protes—karena semalam Deenan memilih pulang begitu saja. Membiarkan permainan berakhir tanpa dirinya. Deenan punya alasan, dan berharap Rhea mengerti tetapi gadis itu terasa jauh sekarang. "Deenan Jevino Argadhika." Namanya sudah dipanggil dengan beberapa teman sekelasnya yang lain, Deenan segera membawa langkah untuk mengambil kertas dari tangan anggota Osis lalu pergi ke salah satu bilik yang tersedia. Di sana ada spidol merah yang bisa dipakai untuk memberi tanda ceklis pada mayoret yang dipilih. Rasanya jauh lebih sulit ketika saat dulu Deenan diberi pilihan oleh Papa untuk sekolah di Garuda atau Mahardika. Deenan tahu Rhea punya potensi besar untuk jadi mayoret—bukan karena dia model, melainkan Rhea memang pantas. Tidak ada lagi calon yang lebih populer di sekolahnya selain Rhealine dan itu akan membuat Mahardika mendapat keuntungan saat HOJ. Berbicara tentang Danie, rasanya gadis itu masih harus berlatih lebih lama lagi untuk mendapatkan posisi utama menggantikan Feela sebagai senior. Mayoret yang terpilih tidak berhenti setelah HOJ selesai, melainkan akan dipakai untuk event-event mendatang. Deenan berpikir bahwa Danie mungkin saja tidak akan kuat mengemban tanggungjawab itu. Kertas sudah Deenan buka, juga spidol merah di sela-sela jarinya. Siap membuat tanda ceklis pada calon mayoret yang dia inginkan dan Deenan yakin sekali dengan pilihannya. *** Para murid yang berada di lapangan terbagi menjadi dua kubu—pendukung Danie dan Rhea. Menunggu hasil, harap-harap cemas. Kepsek sudah punya nama pemenang yang tertulis di kertas, beliau menatap satu persatu muridnya. Menggapai mikrofon lalu berkata dengan tenang, "Yang akan menjadi mayoret Mahardika pada pembukaan HOJ adalah—Rhealine Netteri Gideon, dari kelas 11-3." Tentu saja pendukung Rhea bersorak, berbeda dengan pendukung Danie yang meminta jumlah berapa persen perbedaan suara. Kepsek berkata bahwa bedanya tipis yaitu hanya 10% saja. "Danie dan Rhea sama-sama punya bakat. Dan selamat untuk Rhea karena terpilih menggantikan Feela," ujar Kepsek yang langsung dihadiahi tepuk tangan dari murid. Danie terdiam ketika Rhea diminta untuk berjalan ke tempat Kepsek; di mana dia akan mendapatkan tongkat mayoret yang diserahkan langsung oleh Feela sebagai tanda bahwa siswi kelas duabelas itu tidak punya tanggungjawab lagi sebagai mayoret karena digantikan Rhea. "Gue nggak ngerti kenapa lo kalah." Canmy berbisik pelan, menyentuh bahu Danie yang terasa tegang. "Gue udah pastiin 10% sisa suara itu milik lo." "Mungkin murid yang lain berpikir Rhea lebih deserve, kak. Nggak pa-pa." Danie hanya memberikan senyum kecil, tidak merasa kesal karena gagal jadi mayoret. Canmy masih bersikeras. "Tapi aneh. Anak kelas duabelas milih lo semua, Danie!" Danie meminta izin pada kakak kelasnya itu untuk pergi ke toilet. Rasanya wajah Danie panas karena harus berada di luar ruangan cukup lama. Belum lagi memasang senyum eksotis seperti istri presiden saat upacara tujuh belasan. Mentalnya sungguh diacak-acak hari ini. Danie capek. Setelah membasuh wajah, Danie keluar dari toilet dan menemukan sosok Anaresh Maxon berdiri sambil mengulurkan sebotol air mineral padanya. "Buat lo nih." Tak banyak berpikir karena haus, gadis itu langsung menerima dan meneguk setengah cairan dari isi botol. Mengucapkan terima kasih. "Dari Deenan," ujar Maxon, lebih jelas. Bagi Danie, begini saja—dia sudah senang. *** "Congrats." Gadis yang baru saja resmi menjadi mayoret Mahardika itu menghentikan langkahnya untuk berbalik melihat sang sepupu yang berdiri dengan jaket favoritnya. "Thank you?" balas Rhea tidak yakin. "Posisi itu emang cocok buat lo." Deenan melangkah untuk berdiri tepat di hadapan Rhea. "Gue tahu." Mengibaskan rambut, seolah waktunya terbuang. "Gue mau latihan nih, Jevino." Deenan mengangguk paham, tidak berniat memboikot segala kegiatan sepupunya. Rhea langsung pergi dari sana namun berbalik untuk menyindir Deenan, "Lain kali kalau lo nggak mau melakukan sesuatu, bilang dari awal. Lo cupu karena nggak nyelesain game." "Gue udah bilang kan di chat, kalau gue capek?" "Semua orang juga capek," Rhea menghela napas, "jangan mau dimengerti terus, Deen. Semesta nggak berputar sama lo doang." Deenan tidak menjawab. "Selamat ya, Deen. Lo mendapatkan apa yang lo mau; motret gue sebagai mayoret. Happy?" sindir Rhea dengan dengusan, berharap pemuda itu paham bahwa dia kesal. Deenan lantas membalas sarkas, "Lalu apa yang lo mau?" "Berhenti bawa-bawa gue." —dalam urusan lo, urusan asmara lo. Jeda panjang, Rhea menatap Deenan dengan serius, "karena di dalam hidup gue, lo nggak pernah gue sertakan sedikit pun, Jevino." "Apa yang lo maksud, Rhealine?" "Gue nggak butuh lo," gadis itu memalingkan wajahnya, "begitu juga lo." *** Hendak masuk ke kelas, lengan Danie ditahan oleh Canmy. Ekspresi wajah kakak kelasnya itu mengeras dan seperti menahan sesuatu. "Rhea curang!" ujarnya langsung. "Jangan semabarangan, kak." Danie tidak suka ketika Canmy menjadi terlalu ambisus soal siapa yang menjadi mayoret. "Gue udah nanya sama anak Osis yang ngitung suara kemaren. Lo unggul, Danie! Anak Osis bahkan nggak paham kenapa Kepsek jadiin Rhea mayoret!" "Maksudnya gimana?" "Ada anak Osis yang denger bahwa nyokapnya Rhea minta langsung ke Kepsek buat jadiin Rhea mayoret." Canmy mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan isi chat dengan anak-anak Osis; tentang mama Rhea yang sengaja menjadikan putrinya sebagai mayoret untuk kualifikasi pribadi Rhea yang pastinya akan baik. "Nyokapnya Rhea berniat buat debutin Rhea jadi model di Paris!" Canmy merasa emosi. "Apa Rhea dan nyokapnya perlu pake cara kotor kaya gini?" "Ini bener?" Danie tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. "Kongkrit. Lagian kenapa coba perhitungan suaranya harus di kantor? Karena biasanya murid bisa liat, tapi kali ini aneh. Pemilihan cuma buat formalitas doang, gila sih!" Danie perlu waktu mencerna, pikirannya buntu. Jika memang Rhea curang, berarti seharusnya yang menjadi mayoret itu Danie, kan? Dia sudah rela, tak apa kalah. Tapi jika begini caranya, Danie merasa kesal. Bahkan jika Rhea tidak menjadi mayoret, gadis itu masih punya jalan lurus untuk menjadi model sedangkan ini satu-satunya kesempatan Danie untuk dipotret oleh Deenan. Rhea keterlaluan. "Yang lain udah tahu masalah ini?" tanya Danie, dengan tangan terkepal. "Gue rasa belom," Canmy juga tidak yakin, "tapi gue bisa bantu biar Rhea dipecat jadi mayoret. Enak aja main curang! Lo harus berbuat sesuatu, Danie!" Danie merasa kepalanya pusing dan perutnya mual mendengar berita ini. Dadanya sakit sekali, tidak mengerti mengapa Rhea melakukan ini padanya. "Rhea ada di mana, kak?" "Tadi gue liat di kantin sama temen-temennya—dan ada Deenan juga." "Deen—an?" Danie semakin sentimental karena merasa tidak ada yang peduli padanya, semua orang hanyut dengan kecurangan yang dibuat Rhea. Hanya karena dia populer, bukan berarti bebas berbuat jahat, kan? Ego Danie tidak bisa menerima. Danie selalu diam saat Deenan menjadikan Rhea di atas segalanya. Selalu mendapatkan posisi nomor satu bahkan mungkin Deenan rela mati untuk gadis itu. Danie tidak pernah protes. Menangis sendirian, sesak ditahan, dan mengobati lukanya tanpa bantuan siapa-siapa. Berharap semesta akan adil jika dia berbuat baik namun kenyatannya berbanding terbalik. Langkahnya dibawa cepat menuju kantin. Pelupuk mata Danie sudah panas, sebentar lagi pipinya mungkin basah—terlihat cengeng serta menyebalkan—namun dirinya tidak peduli. Danie hanya merasa marah untuk segala hal yang tidak bisa dia dapatkan. Kantin ramai, seperti biasa. Di meja pojok sana Danie bisa melihat Rhea bersama geng-nya sedang mengobrol asyik sambil menikmati waktu istirahat. Mungkin semua orang merasa terkejut karena mendengar suara tamparan cukup keras, tapi Rhea yang paling tidak bisa menerima kenapa pipinya sampai diberi kejutan oleh telapak tangan Danie. "Maksud lo apa?!" Rhea tidak pernah sedikit pun ingin menyakiti Danie meski mereka tidak akur. Masa lalu mereka memang kurang baik, bukan berarti Rhea ingin bermusuhan selamanya. Tapi detik ini, dia sangat tersinggung pada Danie karena menamparnya. Suara Danie bergetar saat mengatakan, "Kenapa lo selalu ngambil semuanya dari gue, Rhealine?!" berteriak, seperti bukan sosok Danielle Fegaya yang dikenal oleh murid Mahardika. "Lo gila?!" Tentu saja Rhea juga tersulut emosi, tapi dia masih mencoba meladeni Danie setenang mungkin. Persetan ketika mereka berdua sekarang sudah menjadi tontonan sekantin. Rhea paling benci jika kehidupan nyatanya berubah seperti sinetron. Hidupnya terlalu berharga untuk mewujudkan adegan fiksi dramatis-menyebalkan. Dan Rhea paling tidak suka ditatap seolah dirinya adalah tokoh antagonis! Deenan hendak menarik Danie keluar dari kantin namun gadis itu menepis. Dia masih ingin berbicara dengan Rhea. "Lo nyuruh ibu lo ngomong ke kepsek buat jadi mayoret demi kualifikasi lo, kan? Lo pengen jadi model di Paris! Lo curang!" "Danielle, stop. Omong kosong apa yang lo bicarain?" Deenan masih berusaha menenangkan Danie namun gadis itu malah semakin keras menangis. Satu kantin mulai berbisik-bisik, dan Rhea terpatung di tempatnya, tidak bisa mengatakan apa pun. Saat Kirey mencoba menyentuh bahunya—bertanya apakah rumor ini benar—Rhea langsung pergi dari sana dan kantin semakin heboh. "Ayo keluar dari sini." Deenan membawa Danie pergi ke UKS, membiarkan gadis yang tubuhnya gemetaran itu untuk beristirahat di atas tempat tidur khusus jika ada siswa yang sakit. "Deenan pasti benci sama Danie, kan?" Gadis itu terisak, merasa menyesal dengan kelakuanya beberapa menit lalu. Bertingkah seperti perempuan gila, tidak beretika—bahkan berani menampar temannya sendiri. Danie hanya sedih, sudah banyak racun yang dia nikmati sendiri sehingga kini berubah menjadi egois. Membuang citra baik yang dia bangun selama ini. Danie hanya ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa marah jika sudah disakiti terlalu banyak. Deenan tidak berkomentar, hanya membiarkan Danie meremas kedua tangan hangatnya agar gadis itu merasa lebih tenang. Danie terus menangis sambil meracau, "Deenan pasti mau ninggalin Danie habis ini. Danie emang bodoh. Deenan pantes benci Danie karena udah nampar Rhea." "Ssshh," dipeluklah tubuh gemetar Danie olehnya. Deenan tidak pandai mengucapkan kalimat baik, dia juga terbatas menunjukkan sebuah empati apalagi menebar janji. Posisi ini membuatnya serba salah. Ingin sekali tahu keadaan Rhea, tapi Danie memblokir akses pikirannya. Bercabang, berantakan. Hanya dekapan kecil, berharap sedikit meringankan sesak yang terasa menyedihkan pada diri gadis itu. "Gue di sini," kata Deenan perlahan, dan terdengar memberikan rasa nyaman. "Jangan nangis, Danie."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN