CHAPTER 10

2416 Kata
Adalah banyak kebodohan ketika Deenan menunda-nuda waktu pulang. Langit di atas kepalanya sudah memberi kode jelas akan menumpahkan tangis pada permukaan bumi dan Deenan masih saja berpikir hujan akan datang lebih lambat. Atau mungkin tidak menyapa daratan sama sekali, awan-awan gelap itu hanya mempermainkan rasa khawatir manusia. Jika sudah begini jadinya—dia terjebak hujan—kan Deenan repot. Hal yang paling ia tidak sukai selain terjebak hujan adalah sore sudah menjemput dan keadaan akan gelap. Jalanan licin, tanpa penerangan. Bagaimana Deenan bisa pulang dan minta dibuatkan s**u coklat oleh mama Ghea? "Harusnya tadi kita pulang." Suara di sebelah Deenan membuat anak lelaki kelas 2 sekolah dasar itu melirik. "Biar nggak kehujanan." "Danie yang minta Deenan nemenin nangkap kupu-kupu," balasnya, tak mau disalahkan sendirian. "Iya, dan kupu-kupunya nggak dapet." Danie menunjukkan jaring kosongnya kepada Deenan. Mereka berada di dalam rumah pohon yang untungnya tidak bocor meski air mata langit datang cukup lebat. "Cookies tadi siang masih ada sisa nih." Danie menyodorkan satu toples berisi beberapa kue kering rasa cokelat. "Deenan mau?" Tubuh Deenan menggigil dan perutnya sedang meraung, sehingga ia langsung mengambil beberapa cookies untuk mengganjal lapar. "Deenan harus menikah sama cookies deh kayanya soalnya Deenan cinta banget sama cookies." Danie terkekeh melihat sahabatnya menikmati kue dengan ekskpresi yang tidak biasa. Terlalu menikmati. "Masa menikah sama kue?" Deenan menampilkan raut bingung khas anak-anak. "Deenan suka cookies. Papa Danie bilang, kita bisa menikahi orang yang kita suka," lalu Danie tertegun, "oh iya, cookies bukan orang!"dan tertawa lebar setelahnya. "Cookies bisa abis kalau terus dimakan. Mending menikah sama orang yang bisa buatin Deenan cookies. Gitu kata mama Deenan." Danie mencerna ucapan Deenan, untuk anak seumurannya kalimat itu tentu saja masih sulit dipahami. "Jadi Deenan mau menikah sama siapa?" "Danie bisa buat cookies, kan?" tanya Deenan sambil terus mengunyah. Gadis itu mengangguk. "Oke. Deenan udah punya calon pengantin!" Seperti berhasil memasangkan seluruh warna pada rubrik, Deenan berkata dengan bangga. "Siapa?" "Rahasia! " sebuah lidah terjulur iseng, "Danie nggak boleh tahu!" Seketika Danie merengek di tempatnya. "Deenan nyebelin!!" (*) Astaga, terlalu sentimental rasanya jika hanya melihat cookies saja bisa mengingat pembicaraan ngaur beberapa tahun lalu. Tidak masuk akal. Deenan segera meninggalkan jauh kenangannya pada hari itu dan memberikan fokus untuk seorang kasir yang tengah membungkus cake yang ia beli. Deenan pulang telat, itu artinya dia tidak ikut makan malam yang dijanjikan Mama. Lebih tepatnya, sengaja tidak mau menghadiri sehingga dia sekarang merasa bersalah. Membeli cheese cake sebagai permintaan maaf. Memarkirkan mobil dan melangkah menuju pintu utama, Deenan menemukan orangtuanya berada di ruang tengah. Menonton sesuatu dan pemuda itu berkata bahwa ia sudah pulang, dengan suara kecil. Nyaris berbisik. "Deenan, apa alasan kamu pulang telat?" Ghea langsung bertanya, bahkan Deenan belum menaruh cake pada meja atau yang lainnya. "Kita punya janji makan malam. Ingat?" Deenan bisa melihat sorot kecewa dari mata ibunya dan dia paling tidak suka itu. "Deenan minta maaf, Ma." "Bukan Mama yang harus kamu beri maaf," Ghea mendesah, "tapi Danielle." "....." Deenan tak menjawab. "Deenan-nya Mama tidak pernah ingkar janji," ujar Ghea, telak. Setiap katanya penuh penekanan. "Lain kali kalau nggak bisa, jangan buat janji. Nggak semua orang bisa tahan dengan sebuah pembatalan janji, Tuan Jevino." Ghea menghampiri putranya, merapikan rambut Deenan yang sudah tidak berbentuk. "Sana mandi, dan kalau kamu belum makan, di dapur masih ada ayam goreng. Abis itu istirahat." Deenan tidak beranjak, membuat Ghea bingung. "Kamu mau Mama kasih ceramah lagi?" "Deenan mau...," pemuda itu menunjuk pintu utama, "ke rumah Danie, minta maaf dulu sama dia." "Besok aja. Pasti Danie udah tidur." Deenan hanya bisa mengangguk, ia memberikan cheese cake pada ibunya lalu naik ke kamar. Tidak langsung mandi, melainkan mencolokan charger pada ponselnya yang kehilangan daya. Ketika sudah Deenan hidupkan, ada beberapa pesan masuk dari grup chat para sahabatnya dan sama sekali tidak ada pesan dari Danie. Deenan kira, Danie akan menghubunginya. Merecoki hidupnya. Tidak peduli akan hal itu, Deenan segera mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Berdiri di bawah guyuran shower, menutup kedua mata. Rasanya seperti hari saat hujan kala itu. Bedanya, tidak ada senyum sumringah seperti saat dulu Deenan memakan cookies enak buatan Danie. Danie, dan segala hal tentang gadis itu, sudah Deenan hapus dari hidupnya. *** "Itu siapa?" Pertanyaan yang dilontarkan ibunya membuat Rhea langsung mengunyah sereal yang tadinya hanya berada di sendok karena dia sibuk melihat layar ponsel. "Ini Yuggi, model baru di agensi Rhea," jawabnya. Adina mengangguk mengerti, meminta Rhea segera menghabiskan sarapan agar bisa pergi sekolah. "Kamu dijemput Deenan, ya?" tanyanya. Tak sengaja Adina tadi pergi keluar, ada mobil Deenan terparkir. Kepala Rhea memberikan kode bahwa itu tidak benar. "Rhea dianterin supir, kok." "Tapi itu dia nungguin, Mama ajak sarapan bareng katanya udah makan di rumah." Sereal itu dihabiskan dengan cepat, tak lupa segelas s**u putih pun ikut raib, pergi melewati tenggorokan. Rhea mengelap bibirnya menggunakan tangan kanan sehingga langsung dimarahi sang Mama. Oh jelas, Rhea dididik sangat baik. Harus berperilaku sebagai gadis yang punya good manner. Rhea hanya terkekeh ketika ibunya mengatakan bahwa dia jorok, lantas bergegas keluar rumah. Benar, ada Deenan di depan gerbang. "Gue nggak minta dijemput!" teriak Rhea langsung saat Deenan sibuk mengetuk-ngetukkan sepatunya. Ciri khas orang yang sedang menunggu. Wajah itu terangkat sehingga sepasang netra dari dua remaja saling menatap. Deenan dan ekspresi tenangnya hanya menjawab, "Gue kepengen bareng aja." "Oke, deh." Rhea mengangguk, berlari ke arah Deenan lalu masuk ke mobil. Cowok itu juga sudah duduk di kursi kemudi, siap menjalankan mobil. "Rhe, menurut lo gue harus minta maaf?" Deenan tiba-tiba berkata seperti itu membuat Rhea melirik. "Ke gue?" tanya Rhea dengan telunjuk terarah pada d**a, dan Deenan menggeleng. "Terus minta maaf sama siapa? Emang salah lo gede? Lo ngambil duit jajan Shaen ya?" "Nggak ada sangkut pautnya sama uang jajan." Deenan seharusnya tahu bawa Rhea pasti berisik. "Ini..." kenapa jadi sulit sekali? "Danie, Rhe." "Ohh...," Fokus Rhea dibuang ke jendela, kini suasana jadi hening dan seharusnya Deenan jangan mencuri lirik karena sedang menyetir. "Emang lo ngapain, kali ini?" Kali ini? Sebanyak itu salah gue ke Danie? Deenan membatin sendiri. "Gue ada janji makan malem sama-sama kemaren, dan malah ke makam Kak Gansa." "Dasar blo'on!" Rhea kembali berisik. "Ya harus minta maaf lah, Jevino! Lo udah ingkar janji!" "Itu kan—" "Cowok tukang ingkar janji itu udah salah, jangan bikin tambah salah lagi dengan nyari alasan." Memotong dan mendengus, adalah yang sedang Rhea lakukan. "Minta maaf, sana. Kesalahan lo jadi bertambah sekarang." "Kenapa jadi bertambah?" "Karena seharusnya lo jemput Danie, minta maaf pagi ini. Jelasin kenapa lo sampe nggak ikut makan malam." Bukan malah jemput gue. Tapi, Rhea tidak mengatakan kalimat yang terakhir. Deenan tidak menjawab, sibuk membelokkan setir mobil karena sudah masuk ke gerbang Mahardika. Dia juga tidak tahu kalimat apa yang harus diucapkan. "Lo pikir Danie bakal terus stay buat lo, Deen? Lo merasa Danie bakal terus ngejar lo kaya gini dan dia nggak capek?" Rhea serius ketika mengatakan itu. Dia bahkan memilih menghidar, menjauh dari tatapan Deenan. Bukan urusannya untuk ikut campur pada hubungan orang lain, tapi Deenan butuh disadarkan. Dan jika pemuda itu sudah sadar, maka Rhea hanya perlu mengingatkan. Menunjukkan, memperlihatkan sesuatu yang Deenan punya. Yang bahwa mungkin itu tidak bisa bertahan selamanya. Rhea menambahkan sebelum keluar dari mobil Deenan, "Nggak ada yang jamin orang betah kalo di-treat kurang baik. Dia bisa pergi kapan aja dan lo pasti nggak mau say hello sama yang namanya kehilangan, kan? Jadi, cepet sana minta maaf, Jevino....." *** Senyum Danie merekah ketika dia melihat cup cake yang ia buat dinikmati oleh Yuggi. Pemuda itu mengeluarkan segala kalimat pujian yang ia milikki. Jempolnya terus digoyangkan saat mulutnya sibuk mengunyah. Yuggi bertanya apakah cup cake cantik nan enak ini akan Danie jual di internet, dan gadis itu berkata bahwa untuk saat ini dia belum percaya diri. Hanya senang membuatnya, meski ada keinginan untuk membuat toko kue di masa depan. Ketika nanti dia jadi istrinya Deenan? Pipi Danie berubah merah memikirkannya. "Semua orang harus ngerasain cup cake buatan Noona! Ayo, Noona! Kita bagiin!" Yuggi menyuruh Danie bangkit dari duduknya untuk membawa kue buatannya ke koridor. Awalnya Danie tidak menyukai ide Yuggi namun melihat banyak murid yang menerima cup cake, Danie jadi berpikir mungkin ide Yuggi lumayan bagus. Sampai, ada beberapa anak berbintang satu—seperti Yuggi, kelas sepuluh—satu persatu menolak cup cake. Danie tak paham. "Ummm, ini dalam rangka apa?" Salah satu siswi melirik curiga pada tangan Yuggi yang menawarkan cup cake gratis. "Dari Kak Danie, ya?" Siswi yang lain ikut bereaksi. Yuggi mengangguk. "Iya! Enak banget, kalian harus nyobain!" "Aduh, tapi...," mereka berpandangan, "kita pilih Kak Rhea buat jadi mayoret." Tentu saja Yuggi memasang wajah bingung karena kue gratis ini tidak ada kaitannya pada Rhea. Berbeda dengan Danie yang langsung sadar dengan keganjilan ini. Para adik kelasnya pasti mengira Danie membagikan kue agar mereka pro Danie saat acara pemilihan mayoret. Dalam kata lain—menyogok. Jelas itu tidak benar. "Gue ngasih bukan buat main curang, kok." Senyum mengembang datang dari bibir Danie, mencoba memberikan penjelasan. "Gue kebetulan suka bikin cup cake, dan mau banyak yang nyicip. Kalau adek-adek nggak mau, it's okay." Para adik kelas itu saling lirik-lirikkan lagi namun kini ekspresi mereka menjadi serba salah. "Maaf, Kak, bukan gitu maksud kita." "Iya, ngerti, kok." Danie pergi begitu saja setelah mengatakan itu sehingga Yuggi langsung melirik jajaran siswi berbintang satu. Katanya, "Lain kali jangan punya pikiran negatif ya, Temen-temen!" lantas lari mengejar Danie. "Mereka rugi banget nggak bisa nyicipin cup cake buatan Noona." Yuggi mencoba membalikan mood milik Danie karena kakak kelasnya itu jadi murung. Nggak enak diliat. Ketika dia ingin mengucapkan ocehan lain lagi, seseorang datang menghampiri mereka berdua—sebenarnya hanya pada Danie. Yuggi merasa bingung karena gadis itu tiba-tiba tersenyum merekah padahal tadi seperti tumbuhan layu yang lupa disiram. "Deenan! Udah makan siang?!" Oh... Yuggi tahu siapa. Itu adalah kakak kelas yang katanya adalah tunangan Danie. Tapi. Menurut Yuggi, orang bernama Deenan itu seperti bukan tunangan, melainkan orang yang kurang menyukai Danie. Hanya pikiran ngaur Yuggi saja. "Ikut gue." Deenan hanya menyampaikan dua kata, berbalik, lalu pergi tanpa peduli Danie mau atau tidak. Sayangnya, Danie pasti akan terus menuruti kemauan cowok itu. Dia memberikan lambaian tangan untuk Yuggi, kode bahwa mereka tidak bisa melanjutkan memakan kue. Yuggi hanya mengangguk lalu pergi mencari Rhea yang dia ketahui sedang dihukum BP. "Ada apa, Deen?" Danie berinisiatif untuk bertanya duluan ketika mereka sudah berada di lorong sepi perpustakan. "Deenan kangen Danie, ya?" sempat juga memberi lelucon meski dia tahu Deenan tidak menyukainya. Kedua tangan Deenan berada di saku celana, menatap Danie yang terlihat tidak punya kesedihan apa pun. Sedikit berdeham, netranya menjauh dari manik Danie lalu berkata, "Sorry." Danie hanya diam, karena bukan itu yang ada di pikirannya saat Deenan memintanya untuk berbicara berdua. "Buat apa?" tanya Danie, pelan. "Semalem." Deenan tidak seperti sedang mengingat-ingat sehingga Danie yakin bahwa cowok itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Karena Deenan nggak ikut makan malem?" tebak Danie. Pemuda dengan surai coklat itu mengangangguk dan hanya ada ulasan senyum yang diberikan Danie. "Iya, nggak pa-pa, kok." Deenan punya keinginan untuk menatap Danie, ingin tahu ekspresi gadis itu tapi dia masih saja melirik pada deretan buku pelajaran yang disediakan Mahardika pada rak-rak perpus. "Itu aja?" Barulah, Deenan tidak bisa menahan untuk tidak menatap Danie. Gadis itu masih sama saja, dengan bibir pink alaminya yang tak segan-segan mengukir senyum polos nan sumringah. Juga kekehan manis yang seharusnya tidak terlalu sering dia berikan pada Deenan. Deenan mengangguk, ditambah dia tidak punya apa pun lagi untuk dikatakan. "Okay, Danie mau ke kelas ya!" Membiarkan Danie melangkah pergi, dan Deenan merasa lidahnya gatal padahal sudah yakin tidak punya kalimat lain. "Danielle...," Langkah Danie terhenti, gadis itu membalikan tubuhnya. "Ya, Deen?" "Lain kali, lo boleh ngucapin selain kalimat 'nggak pa-pa' ketika gue berbuat salah." Deenan perlu mengkoreksi bahwa apa yang dilakukan Danie sudah menyakiti egonya. Dia manusia, bisa salah. Danie tidak perlu membuatnya merasa sangat spesial. "Lo boleh marah," katanya. "Dan, apakah marah Danie bisa ngebuat Deenan sayang sama Danie?" "...." Berbeda dengan senyum yang beberapa saat lalu, lengkungan cantik milik Danie itu sekarang terlihat dipaksakan. "Daripada bilang yang lain selain 'nggak pa-pa', Danie lebih suka nggak ada lain kali. Danie berharap, Deenan nggak membuat Danie terpaksa bilang 'semua baik-baik aja' di saat keadannya berbanding terbalik." Mereka berdua hanya bersitatap, begitu hening dan sulit untuk mengabaikan bahwa memang ada jarak yang nyata pada mereka. Sebuah hubungan terikat serius tapi tak bisa leluasa berkata kau milikku, "Duh, Danie ngomong apa, sih?!" Gadis itu langsung tertawa, merasa bodoh karena meminta Deenan mewujudkan keinginannya. Dia menatap langit-langit agar bulir air dari celah matanya tidak punya kesempatan lolos. s**l, Danie seharusnya tidak boleh menangis di depan Deenan untuk suatu hal yang kurang penting. "Oke." Terdengar serius, sehingga Danie langsung menatap si pemberi kata. Dengan suara datarnya Deenan menambahkan, "Gue berusaha nurutin apa yang lo mau." Kali ini Deenan yang melangkah lebih dulu. Baru saja Danie ingin berbicara, pemuda itu sudah memotong, "Satu lagi," ada jeda, "semangat buat latihan mayoret-nya, Danielle." *** Rhea mendesah saat dirinya sudah boleh istirahat setelah membersihkan ruang guru. Hukumannya benar-benar tidak nanggung. Padahal Rhea pakai make-up hanya untuk mengetes beberapa produk yang dia harus endorse. Sayang sekali guru BP tidak bisa mengerti pekerjaan Rhea dan salah dia sendiri belum menghapus riasan tapi sudah berani jajan di kantin. "Tangan gue lama-lama bengkak!" keluhnya, sambil minum air. Awas saja jika tangan berharganya sakit karena Rhea memerlukannya untuk latihan mayoret. Ada Yuggi di sebelah Rhea dan cowok itu malah tertawa sambil asyik makan cup cake yang katanya dibuat Danie. Berbicara tentang Danie, Rhea jadi ingin tahu apakah sepupunya yang bodoh—bernama Deenan—sudah meminta maaf atau belum? "Heh, lo tahu Deenan, kan?" Bahu Yuggi dtepuk sembarangan oleh Rhea. "Tunangannya Danie-noona? Tapi kaya nggak sayang sama Danie-noona." Yuggi menjawab secara tidak sadar. Touche. Bahkan orang asing yang melihat bagaimana perlakuan Deenan pada Danie saja bisa tahu bahwa pemuda itu terlihat bukan seperti seorang tunangan. "Dulu mereka lengket," kata Rhea sambil mengambil satu cup cake, menikmatinya. "Ada satu hal yang bikin Deenan jadi salah paham. Jadilah sekarang begiu. Menurut lo, mereka bisa lengket kaya dulu lagi nggak?" "Tergantung, Noona." Yuggi mengangkat bahu. "Aku sih kasian sama Danie-noona." "Hei, Deenan nggak jahat!" Rhea ingin sekali menggetok kepala Yuggi tapi cowok Korea itu langsung menjauh. "Gue yakin, jauh di lubuk hati Deenan, dia tuh sayang banget sama Danie." tatapannya menerawang, "Deenan cuma belum bisa berdamai aja sama kekecewaannya." Yuggi masih belajar bahasa Indonesia sehingga hanya beberapa kalimat yang bisa ia cerna namun tetap mendengarkan Rhea, demi kesopanan. "Noona kepengen mereka deket kaya dulu?" "Maunya sih gitu..," Rhea mengangguk, "tapi, gimana?" "Calm down, Rhea-noona." Yuggi menepuk dadanya dengan senyum misterius. "Aku punya ide!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN