CHAPTER 09

1818 Kata
"Noona!" Danie seperti mendengar panggilan seseorang saat ia melangkah menuju gerbang Mahardika. Suara yang begitu riang dan manis dalam waktu bersamaan. "Noona, masih kenal aku?" Orang itu menyapa. Yuggi menunjukan senyum merekah kepada Danie yang langsung membalas tak kalah ramah. "Yuggi, kan?" Danie bersyukur ia punya ingatan yang baik. Yuggi mengangguk, senang karena tak dilupakan. "Keren deh Noona jadi mayoret. Mantep!" Dia udah bisa bahasa gaul? Danie mengacungi jempol kecepatan Yuggi belajar. "Bahasa gaul kamu lumayan, Gi." "Biar aku bisa berkomunkasi lebih lancar, Noona. Ini juga masih belajar." "Bagus, kok." Dan soal jadi mayoret—ternyata Yuggi juga mengetahuinya. "Yuggi dapat info darimana?" tanya Danie. "Aku kan mulai sekolah dari hari Senin. Ramai banget semua temen-temen baruku ngomongin itu, seru!" Kedua mata Yuggi bersinar, ia menyukai bersekolah di sini. Ia juga bisa beradaptasi dengan cepat meski masih sedikit kesulitan dan terkadang masih diusuli teman sekelasnya. "Apa Danie-noona akan jadi mayoret?" Pemuda Korea itu bertanya lagi. Danie tak tahu jawabannya dan ia sedikit tidak yakin sehingga Danie hanya memberikan Yuggi sebuah bahu terangkat dan senyuman kecil. "Mau ke kelas sekarang nggak? Ayo bareng ke koridor." "Okey, Noona!" Lucu, setiap Yuggi memanggilnya seperti itu pasti Danie ingin tertawa. Asing, tapi gemas. Apalagi Yuggi punya pipi seperti anak bayi. Kelewat putih, mirip bakpia. Benar-benar visual orang Korea. "Danielle..." Pemuda bersurai coklat yang kali ini mengenakan jaket tipis berwarna dark blue memotong langkah Danie. Ekpersinya lurus hanya pada gadis itu. "Mama ngajak lo makan bareng." "Malam nanti?" Danie lupa menyapa Deenan, tak apalah karena sepertinya tunangan tampannya itu juga ingin to the point—seperti gayanya, selalu."Danie free. Jam berapa?" "Delapan," jawabnya singkat lalu kali ini Deenan menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di sebalah Danie. Pemuda asing—tapi sepertinya pernah Deenan lihat—melambaikan tangan padanya. Sok akrab atau apalah Deenan tak mau tahu, tak penting. Ia rela kehilangan sepuluh menit berharganya hanya untuk berbicara dengan Danie. Melanjutkan, "Tapi gue nggak akan bisa ikut dinner. Gue harus pergi sama Rhea dan Mama pasti nggak akan ngizinin gue." "Apa itu artinya Deenan minta Danie untuk—" Sekarang waktunya menahan napas? "—bohong sama Tante Ghea?" Jangan diperjelas, akan ada kecewa di akhir tapi Danie membutuhkannya. Deenan mengangkat sebelah alis, ia melirik pemuda sipit yang sekarang malah tersenyum kikuk lalu mencoba mengabaikan dan kembali memberikan fokus pada Danie. Deenan mengangguk. "Gue nggak bisa, bukan nggak mau, Danielle." Tak pernah ada beda. Tapi apa Danie bisa memaksa agar Deenan berada di sana nanti malam? Duduk di sebelahnya, mengobrol hangat dengan keluarga Argadhika? Mustahil. "Oke." Danie menyanggupi, seperti yang sudah-sudah. Jawaban dari gadis itu sudah cukup untuk Deenan membawa langkahnya pergi dan ketika dia sudah sangat jauh, Danie menghela napas gusar. Menggigit bibir bawahnya, menunduk, dan sesuatu terasa menyentuh bahu Danie. Yang jika tidak disadarkan—mungkin akan bergetar. "Are you okay, Noona?" Untuk sepagi ini, Yuggi tak ingin melihat ada orang yang bersedih. Danie langsung mengangguk, ia harus baik-baik saja. "Yang tadi itu tunangan Noona, kan? Aku tahu karena Rhea-noona bilang kaya gitu." Blepotan. Yuggi mencoba berbicara tanpa menggunakan bahasa baku. "Kenapa tunangan Noona lebih milih pergi sama Rhea-noona?" Danie tak tahu mengapa Yuggi mengetahui soal ini—Deenan adalah tunangannya— dan untuk apa Rhea mengatakan itu? Lebih memusingkan, mengapa Yuggi harus mendengar bahwa beberapa saat lalu Deenan membuat Danie sedikit tergores karena menyuruh berbohong pada Ghea? Untuk posisi orang asing, ah—orang baru dikenal, Yuggi terlalu banyak ingin tahu. Danie tak masalah, tapi ia tak ingin ada orang lain yang tahu betapa rumitnya hubungan Danie dengan Deenan. Danie tak mau terlihat lemah. "Apa aku lancang? Maaf, Noona." Yuggi merasa tidak enak, mulutnya tak bisa direm jika sudah penasaran. "Nggak, kok." Danie menggeleng cepat. "Aku nggak tahu apa yang udah diceritain Rhea sama kamu, tapi yang tadi itu emang tunangan aku, namanya Deenan. Dia sepupu Rhea." "Oh... pantas kalau mau pergi sama Rhea-noona. Mereka ternyata keluarga." Keluarga—iya, Danie akui itu. Seharusnya ia tak perlu tersinggung seperti ini, kan? Terlalu nethink, Danie. Benar kata Yuggi, pantas kok jika Deenan ingin pergi dengan Rhea. Tak ada yang salah, astaga. Perasaan cemburu milik Danie ini benar-benar menyebalkan. Pantas. Lalu, kapan giliran Danie menjadi pantas untuk Deenan? *** Sejak sepuluh menit lalu Rhea ditemani Yuggi dan cowok itu terus menyemangati Rhea yang akan kembali dilatih menjadi mayoret. Saat Danie datang, Yuggi lebih bersemangat lagi. Katamya dia mendukung dua-duanya. Rhea dan Danie sangat cantik, punya pesona tersendiri. Siapa pun yang nanti jadi mayoret, semuanya keren. Feela membawa satu tongkat mayoret. Rhea dan Danie diminta memperhatikan Feela yang mulai mengajarkan mereka teknik-teknik dasar. "Pegang bagian tengah tongkat dengan lurus di tangan kanan," ujarnya sambil memperagakan. Setelah itu, kedua kandidat bergantian melakukan hal yang sama. Feela menunjukan teknik mulai dari fase mudah sampai akhirnya sampai pada gerakan memutar. "Tangan kanan di atas, tangan kiri di bawah. Putar tongkatnya ke kanan, perlahan, lakukan gerakan silang butterfly, putar lima kali. Secara berulang-ulang." "Oh, God! Seriously?!" Rhea sudah mengeluh bahkan di saat ia belum mencoba mempraktikan gerakan yang lumayan sulit. "Apa step-stepnya harus detail kaya gitu, Kak? Yang gue liat, mayoret cuma muter-muter tongkat doang sambil jalan classy." "Ada polanya, Rhe. Kalo lo salah megang atau kurang ngitung pas muterin tongkat, nanti tongkatnya bisa jatuh dan tangan lo bahkan mungkin keseleo," jelas Feela. Bukan menakut-nakuti tapi memang itu kenyataannya. "Ini masih teknik muter tongkat lho, belum pola lempar." Danie berdeham, "Maksud Kak Feela lemparin tongkat ke udara?" Kini Feela melirik Danie yang barusan mengangkat tangan, mungkin maksudnya bertanya. Sangat sopan. "Iya, Danie. Lima kali lempar tongkat." "Lima kali? Gila!" Rhea tidak bisa membayangkan jika tongkat itu jatuh mengenai wajahnya. "Banyak banget!" "Rhe, santai. Gue sama Miss Saphire bakal latih kalian berdua sampai mahir. Oh iya, Kepsek mau kalian setuju jadi mayoret tetap. Karena dua-duanya akan kepake, tapi yang satu cadangan dan satunya lagi jadi mayoret utama. Kalian bakal gantiin gue." Kepsek akan menerapkan sistem voting, mayoret dipilih oleh seluruh murid Mahardika. Mereka bisa menilai sendiri siapa yang lebih pantas mendapatkan posisi itu. Dan terkesan adil. Feela memberikan tongkat mayoret pada Rhea, gadis dengan tubuh semampai itu menerima dengan wajah sedikit tertekan lalu mendengarkan arahan Feela bagaimana caranya memutar tongkat yang benar. Empat kali mencoba dan Rhea belum cukup bagus. Saat tiba giliran Danie, gadis itu memusatkan seluruh perhatiannya pada ucapan Feela. Menerapkan apa yang ia dengar, mewujudkannya dengan gerakan benar. "Lumayan, Danie," puji Feela, tulus. Setidaknya Danie mau berusaha. Cukup latihan memutar tongkat, kali ini Feela menutupnya dengan mengenalkan seluruh anggota drum band Mahardika kepada Rhea dan Danie. Mereka akan menjadi tim, menjaga komunikasi itu wajib hukumnya. "Jane?" Fokus Rhea tertuju pada seorang gadis yang pernah ia temui di kantor agensi. Jane berada di barisan murid yang membawa terompet, gadis itu tak menyangka Rhea mengenalinya. "Lo anak Mahardika? Kenapa nggak bilang?" Jane hanya terkekeh, ia senang disapa Rhea. "Iya, aku anak Mahardika, Kak. Dan janji bakal pilih Kak Rhea!" "Hei, santai aja." Rhea menepuk bahu Jane. Ia menyapa gadis itu karena satu agensi, bukan untuk meminta dukungan. Lagian Rhea bukan calon presiden. "Lo-gue aja elah, nggak usah formal." "Oke, Kak Rhea. Pokoknya semangat ya, Kak! Marching band Mahardika bakal keren banget kalau mayoret-nya itu Kakak!" Rhea hanya bisa tertawa karena orang lain begitu semangat, ingin dirinya jadi mayoret, sedangkan ia sendiri tidak mempermasalahkan jika nanti yang terpilih adalah Danie. Dan Rhea harus melakukan sesuatu jika hal itu benar terjadi. Memastikan bahwa Deenan akan tetap jadi photographer. *** "Deen, lo dipanggil Kepsek! Disuruh ke kantor!" Suara dari salah satu anggota mading membuat Deenan berhenti membaca artikel di laptop. Ia sedang memeriksa pekerjaan anggotanya karena setiap Jum'at wajib ada artikel baru di mading. Dan panggilan dari Kepsek pasti menambah pekerjaannya. Setelah mengetuk pintu dengan sopan dan dipersilakan, Deenan membawala langkahnya masuk. Kepsek menghela napas ketika melihatnya. Masalah jaket—tentu saja. "Sudah lari di lapangan, Deen?" Sepertinya sudah bukan pertanyaan lagi melainkan kalimat meminta kepastian. Deenan mengangguk datar. "Setiap pagi, Pak." "Kalau kamu tidak pintar dan bukan cucu Tuan Javier, sudah pasti saya akan dapat masalah karena selalu membiarkan kamu pakai jaket di area sekolah." "Terima kasih, Pak." Untuk keringanan yang Deenan dapatkan. Ia bukan menyalahgunakan statusnya sebagai cucu pemilik saham terbesar di yayasan, Deenan hanya tidak nyaman jika melepas jaket karena itu artinya ia hanya akan memakai lengan seragam sebatas bisep. Deenan tak mau menunjukan tangannya—bekas lukanya. "Saya memanggil kamu untuk membicarakan hal yang kemarin, Deenan. Apa kamu berminat jadi photographer?" Kepsek menjelaskan tujuan utamanya. Deenan tak langsung menjawab karena masih ragu. "Siapa yang jadi mayoret-nya, Pak?" "Bisa siapa saja. Kita akan buka sistem vote." "Maksud Bapak seperti pemilihan Ketos?" Kepsek mengangguk dan Deenan kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun keheningan itu berubah menjadi suara tepuk tangan dari Kepsek ketika Deenan akhirnya menyanggupi posisi sebagai photographer. Menurut Deenan, Rhea punya kemungkinan yang sangat tinggi untuk menang dari Danie. *** Setelah menghabiskan dua es krim coklat dan membersihkan mulutnya, Rhea menarik tangan Deenan untuk segera pergi menuju pemakaman umum di ujung kota. Hari ini ulang tahun Gansa—mereka berdua selalu merayakannya dengan cara mengunjungi makam, membawa beberapa bunga lily dan meniup lilin sesuai angka dari umur Gansa. Meski umur pemuda itu sudah berhenti sejak empat tahun lalu, genap hari ini. Rhea membersihkan daun kering yang berguguran dari pohon setengah besar agar tempat pengistirahatan Gansa menjadi bersih dan cantik. Hari ini hari spesial, bukan? "Selamat ulang tahun, Jagoan," ujar Rhea ketika ia berhasil menaruh buket bunga. "Maaf ya kita datang cuma berdua lagi. Gavin sama Shaen udah baikan kok tapi mereka punya cara sendiri ngucapin ultah ke Kakak." Deenan ikut berjongkok, ia mengacak-acak rambut Rhea karena gadis itu sangat cerewet. "Gue ditunjuk jadi mayoret, Kak. Capek, mesti latihan tiap hari." Jika datang ke sini, Rhea akan curhat di depan makam Gansa, membicarakan apa saja. "Deenan juga dipilih jadi photographer, tapi si bodoh ini nggak mau. Very stupid kan, Kak?" "Gue ada di sini lho," sindir Deenan, semakin mengacak-acak rambut Rhea. Bisa-bisanya ia dihina. Setelah meniup lilin, mereka berdua meninggalkan makam. Senja sudah menjemput, sebentar lagi langit berubah gelap tanda bahwa malam ingin disapa. "Kalau lo diizinkan ketemu Kak Gansa sekali lagi, lo mau ngomong apa sama dia?" Rhea tahu itu tak mungkin, namun ia ingin tahu jawaban Deenan. Deenan hanya diam, entah memikirkan apa yang ingin ia ucapkan untuk Gansa atau enggan dengan obrolan ini. "Kalau gue sih..." Rhea memilih bicara sendiri karena Deenan malah berubah menjadi patung. "Gue mau bilang sama dia kalau dia nggak usah merasa bersalah karena ninggalin kita semua. Kita sedih, marah, terluka, tapi semuanya berangsur membaik." Mereka berdua menghentikan langkah tepat di depan mobil Deenan. Pemuda itu memperhatikan Rhea yang menundukkan wajah. Lalu Deenan berkata, "Kalau gue bisa ketemu sama Kak Gansa lagi, gue mau bilang—" Rhea menatap Deenan,penasaran. "Gue bakal berhenti..." Deenan menaikan lengan jaketnya, "nyakitin diri sendiri." "Lo bisa berhenti bahkan tanpa harus ketemu dia lagi, Deen." Suara Rhea bergetar, ia benci mengetahui bahwa bekas luka di tangan Deenan tak memudar. "Kenapa lo harus nyakitn diri lo sendiri?" Deenan menjawab telak, "Karena gue benci kenyataan bahwa Kak Gansa meninggal dan Danie masih hidup."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN