CHAPTER 08

1646 Kata
Ajaib karena semuanya tiba-tiba bersemangat. Mahardika langsung berisik hanya karena pemilihan mayoret, atau lebih tepatnya sibuk menghebohkan dua kandidat yang dipilih pihak sekolah. Mereka membenci tugas dan PR tapi tanggap jika masalah bersenang-senang. Danie dan Rhea, mereka berdua punya fans club masing-masing. Sebelumnya, Rhea memang sudah famous duluan karena dia termasuk ke dalam geng Shaen, The Barbie's. Semua angkatan memuji visual Rhea, banyak siswi berbintang satu di kerah mereka---alias junior, mengidolakan Rhea. Ingin menjadi seperti gadis itu. Role model, holy. That's right. Berbeda dengan Rhea yang punya squad dari kalangan siswi, Danie terkenal antara para siswa di Mahardika. Mempunyai status anak pindahan dari Belanda membuat nama Danielle Fegaya menjadi sosok paling dicari. Sekejab, siswa di Mahardika menjadikan Danie crush. Sopan, ramah dan cantik natural membuatnya menjadi sosok idaman untuk dijadikan pacar atau iseng-iseng diajak kenalan. Belum ada kejelasan bagaimana memilih mayoret yang tepat, tapi sudah banyak spekulasi bertebaran. Menebak-nebak, mereka semua penasaran. Kedua kubu penggemar juga sindir-sindiran seolah pick mereka lebih cocok menjadi mayoret. Kini kedua kandidat duduk di kursi khusus penonton---lapangan sepak bola, bersama Feela sebagai senior yang menjadi mayoret Mahardika dua tahun berturut-turut. Menantikan kedatangan pelatih khusus yang katanya adalah alumni Mahardika. Tak ada murid yang menonton karena hari sudah sore mendekati Maghrib. Sengaja, biar mereka tidak heboh. "Kak, pelatih itu angkatan berapa?" Rhea bertanya kepada Feela karena tidak suka suasana yang sangat sepi. Danie duduk hanya beberapa kursi dari dirinya dan sejak tadi hanya meremas-remas jari. Entah apa yang dipikirkan teman masa kecilnya itu. Feela menjawab, "Angkatan lumayan lama. Namanya---" "Halooo..." Orang yang mereka bicarakan kini sudah datang, memotong pembicaraan. Memakai pakaian khusus olahraga dengan topi putih yang menutupi rambut lebatnya. "Saya Saphire, pelatih mayoret kalian. Salam kenal!" "Tante Pire?!" Wah, Rhea lumayan terkejut melihat siapa yang menjadi pelatih mayoret. Saphire, ibunda Maxon. "Tante punya waktu? Tante kan dokter!" Saphire terkekeh sedikit. "Punya dong. Tante mayoret pertama Mahardika, Rhea. Tentu aja Tante harus melatih the next mayoret. Feela juga dulu dilatih sama Tante." Feela tersenyum saat Saphire mencolek pipinya. "So..." Kedua tangan Saphire kini berada di pinggang, menatap lekat-lekat dua kandidat yang wajahnya sudah tak asing lagi. Sepertinya menyenangkan. "Rhea dan Danie? Kalian dipilih Kepsek? Well, akan semenarik apa perebutan posisi mayoret kali ini, ya?" ❄ Memutar-mutar kunci mobilnya, bersenandung kecil sambil melangkah menuju koridor sekolah, pergerakan Rhea terhenti saat ia melihat Deenan berdiri di hadapannya menghalangi jalan. "Jevino? Move," ujar Rhea, terdengar bossy. Ada beberapa tugas yang harus ia salin pada Kirey. Enggan membuang-buang waktu untuk ini. "Lo ngirim buket bunga waktu malam itu, kan?" Deenan punya tujuan mengapa ia memboikot langkah Rhea dan ia tak akan membiarkan gadis itu kabur lebih lama setelah dua hari tak bisa ditemui. Padahal mereka satu sekolah. Satu keluarga. "Yap." Akurat, jelas dan padat. "Kenapa lo pergi gitu aja? Kenapa nggak nunggu atau nelepon gue?" "Hei, Deen..." Rhea berdecak, kini ia menatap saudaranya dengan tampang bingung. "Itu cuma masalah buket bunga. Dan malem itu gue lagi ogah aja ketemu lo." "Kenapa?" Deenan maju beberapa langkah, membuat Rhea bekedip. "Kalau lo nggak mau ketemu gue, kenapa lo anterin buket bunga itu? Lo bisa nyuruh orang lain. Lo bisa nyuruh ojek online." Benar, Deenan. Ayo, buat Rhea mengaku bahwa ucapan gadis itu bohong. "Karena gue mau nganterin buket itu tapi nggak mau ketemu sama lo," ujar Rhea sambil mengetuk d**a Deenan menggunakan telunjuk. Bohong. Deenan mundur lagi, memberikan Rhea ruang. "Apa sekarang lo mau ketemu gue? Karena dua hari ini lo ngilang." "Lo kangen gue?" Rhea tertawa, dengan ekpresi geli namun balasan Deenan hanya alis yang naik sebelah. Pernyataan bahwa cowok itu tak mengerti arti dari tawa Rhea. "Gue lagi sibuk jadi mayoret. Tapi tenang, Jevino. Pulang sekolah nanti kita makan es krim. Okey?" Deenan tidak menanggapi tentang membeli es krim bersama Rhealine, ia punya yang lebih penting untuk dibahas. "Gue ditunjuk Kepsek jadi photographer khusus mayoret dan drum band di hari pembukaan OHJ nanti." "Cool!" Rhea langsung mengangkat jempol,  kemampuan Deenan dalam memotret memang tak usah diragukan lagi. Kepsek memilih orang yang tepat. "Gue belum setuju." Tapi kenapa? "Lo kan suka motret, Deen," kata Rhea. Terdengar seperti pernyataan. Deenan menghela napas begitu panjang, entah untuk apa. Lalu bertanya, "Apa lo bakal jadi mayoret sekolah?" Rhea sendiri belum tahu dan entahlah ia sebenarnya menginginkan posisi ini atau tidak. Kepsek memberi pilihan kepadanya dan Danie, mereka berdua bebas mundur jika tidak berminat. "Gue suka jadi center di setiap suasana." Ya, Rhea memang seperti itu. Ia senang saat semua mata hanya tertuju padanya. Fokus pada dirinya saja. Tapi memutar-mutar tongkat berbeda dengan berjalan di atas catwalk. Menjadi mayoret dan model bukan satu hal yang sama meski keduanya terlihat menyenangkan. "Kalau gitu, jadilah mayoret." Deenan berkata dengan nada pelan, mendekati lembut. Memohon? "Gue bakal setuju jadi photograhper kalau yang jadi mayoret-nya lo," tambahnya. Rhea bertanya, "Tapi kenapa harus gue, Jevino?" "Karena gue nggak mau motret orang lain, Rhealine. Gue cuma mau lo." Dan di sini, 'orang lain' yang lo maksud itu hanya Danie, Deenan Jevino Argadhika. ❄ Mahardika tidak pernah setengah-setengah jika menyiapkan sesuatu. Contohnya sekarang, pihak sekolah sudah menjahitkan dua seragam mayoret yang akan dicoba oleh Rhea dan Danie. "Kalian berdua cocok pakai baju ini. Andai mayoret boleh dua orang." Saphire berkomentar setelah ia berhasil membantu dua kandidat mengenakan kostum khusus. Rhea dan Danie punya tubuh yang bagus sehingga kostum ini cocok. Saphire membawa dua kandidat keluar dari ruang khusus. Mereka pergi menuju lapangan bola di mana semua murid hampir berada di sana karena penasaran seberapa cocok Rhea dan Danie menjadi face of Mahardika dalam acara OHJ nanti. "Dua-duanya gorgeous banget ya ampun!" "Kak Rhea cocok ih pake kostum mayoret. Badannya bagus!" "Emang dasarnya Danie cantik. Gila!" Dan komentar-komentar lainnya. Mereka tidak berbohong tentang kecocokan dua kandidat saat memakai kostum. Tapi keduanya belum dilatih memutar tongkat, alias masih menjadi rahasia siapa yang lebih berbakat dan cocok menjadi mayoret. Untuk materi kali ini, Saphire melatih mereka berdua untuk berjalan seanggun mungkin. Langkah seorang mayoret harus bisa menyihir siapa pun yang melihat. Tentu saja bagi Rhea berjalan classy serta elegant sangat mudah karena ia seorang model. Berbeda dengan Danie yang terlihat kaku, ditambah ia termasuk ke dalam orang yang cukup kurang percaya diri. Para murid berbisik, tak sedikit yang mulai membandingkan bahwa Danie terlihat seperti robot, berbeda dengan Rhea yang mendapat tepuk tangan manis. "Danie, ini latihan pertama. It's okay." Saphire memberi semangat. "Dan untuk Rhea, good job. As always." Danie melihat itu, bagaimana orang-orang menatap Rhea saat berjalan. Sangat keren, padahal gadis itu belum memutar tongkat. Danie rasa, ia tak akan bisa seperti Rhea. Sesi latihan 'berjalan' selesai, Saphire memberikan tips pada Danie agar lebih percaya diri dan memberikan ajaran pada Rhea agar lebih pintar mengunci ekpresi wajah saat berjalan. Memegang kendali penuh sehingga siapa saja yang melihat akan terpukau. Mereka berdua kembali ke ruangan khusus untuk mengganti baju. Saphire sudah pamit karena ada jadwal di rumah sakit sehingga hanya ada Rhea dan Danie. Berdiam diri, sibuk dengan kostum masing-masing. "Boleh gue minta tolong bukain ritsleting belakang? Gue bakal bukain punya lo juga," ujar Rhea, meminta penawaran yang akan mempermudah mereka berdua. Danie mengangguk, dengan perlahan menyentuh ritsleting pada kostum Rhea dan menurunkannya ke bawah. Ia pakai kesempatan ini untuk mengutarakan sesuatu yang bersarang di otaknya sejak tadi. "Lo aja yang jadi mayoret," katanya. "Lo juga kandidat keleus." Tipikal Rhea, bicara dengan niat biasa saja tapi selalu terdengar judes. "Lo lebih cocok---" Danie terkesiap saat Rhea berbalik, lalu meminta agar Danie membelakanginya. Sekarang gantian Rhea membuka ritsleting kostum milik Danie. Ia berkata, "Darimana lo tahu gue lebih cocok jadi mayoret? Apa cuma karena tadi lo liat cara gue jalan?" "..." Hening. "Main adil aja, lah. Lo coba ambil posisi itu, dan gue juga," tambah Rhea setelah ia selesai membantu Danie dengan urusan ritsleting. "Lagian, Deenan ditunjuk Kepsek jadi photographer pribadi buat mayoret dan drum band. Lo pasti mau kan Deenan motret lo?" Danie hanya memasang wajah terkejut dan Rhea mengamsusikan bahwa teman kecilnya itu tak tahu jika Deenan mendapatkan tawaran dari Kepsek. Saat Rhea hendak keluar dari ruangan karena sudah selesai berganti pakaian menjadi kemeja sekolah, Danie menahan langkahnya dengan berbicara, "Kenapa lo tahu Deenan dapat tawaran itu? Kenapa dia selalu mudah ngasih tahu lo apa pun? Kenapa dia nggak bisa gitu sama gue?" Posisi Rhea membelakangi Danie saat gadis itu berbicara dan ia enggan berbalik, tak mau---melihat ekpresi Danie. Yang bisa Rhea katakan hanya, "Kalau gitu, jadilah mayoret. Gue udah merasa sangat buruk lo tuduh kaya gini seakan-akan gue antagonis dan lo yang paling tersakiti." "Rhe---" "Go get your man, Danielle." Kekanak-kanakan. Rhea tak pernah merasa Deenan meingistimewakannya. Atau hal aneh lain yang ada di pikiran Danie. Karena itu memang tak akan pernah terjadi padanya. • • Ghea tersenyum ketika melihat putrinya membawa seseorang masuk ke kamar dengan selimut pink yang terlihat sangat nyaman. Shaen berkata bahwa Rhea akan menginap dan mereka memang sangat dekat satu sama lain. "Rhea ada ya, Mam?" Si kecil Deenan yang kemarin baru saja meniup lilin angka lima---bersama dengan Shaen---menarik-narik daster yang digunakan Ghea. "Iya, mau nginep katanya." "Kalau udah besar nanti Rhea nggak boleh tidur di sini lagi." "Loh, kenapa?" Ghea jadi bingung. Apa mungkin Deenan sedang marahan dengan Rhea? Soalnya mereka berdua gampang cek-cok. "Kan nanti yang nginep di sini Danie, Mam," ujar Deenan, tak jelas. "Danie sama Rhea boleh nginep di sini, Sayang." "Nggak boleh. Kata Papa, Deenan cuma bisa menikah sama satu perempuan aja dan perempuan itu Danie. Rhea nggak bisa nikah sama Deenan." Ghea tak bisa menahan tawanya mendengar celotehan Deenan. Suaminya pasti sudah membicarakan hal-hal yang aneh pada putra manisnya ini. Ghea membungkuk untuk mengusap pipi gemas Deenan. "Jadi nanti kalau sudah besar Deenan mau menikah sama Danie? Terus Rhea gimana dong? Katanya Deenan sayang dua-duanya?" "Deenan harus pilih satu, Mam. Kata Papa begitu." Ghea tahu ucapan Jason benar, tapi suaminya itu membuat anak umur 5 tahun kebingungan. "Okey, baiklah. Setelah besar nanti Deenan bisa menikah sama Danie tapi Rhea tetep boleh nginep di sini karena kita adalah keluarga. Setuju?" "Setuju!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN