CHAPTER 07

2812 Kata
Manusia bisa punah dan peradaban ini akan hilang namun pasti ada lagi manusia pertama di bumi yang memulai kembali kehidupan. Mengembangkan semuanya dari hal-hal sederhana, bertambah banyak beriringan dengan waktu. Rhea ingin merasakan ada di posisi orang-orang pembuat sejarah. Oh, ayolah, serba pertama! Meski harus duluan mati, Rhea tidak masalah. Akhir dari kehidupan memang kematian. Jika di kehidupan selanjutnya Rhea bisa memilih, ia ingin menjadi orang yang pertama kali menciptakan ponsel dan menemukan internet lalu membuat hukuman gantung bagi user-user jahat yang hanya bisa mem-bully dan berkata kasar di sosial media. Sehingga di kehidupan nanti tidak akan ada orang yang rela menghabisi hidupnya sendiri karena dipojokan di sosial media. Seharusnya media sosial itu memang menjadi hal yang positif, kan? Wow, otak kecil Rhea akhirnya bekerja. Bukan tanpa alasan, Rhea sudah bosan mendapatkan gunjingan dan kalimat sumpah serapah dari haters. Ingin berhenti main sosial media tapi Rhea menyukainya, ia masih tak ingin melepaskan diri dari i********:. Lagipula, ini hidupnya tapi mengapa orang lain yang sibuk? Pakaian Rhea dikomentari, gaya berteman, make-up, sampai apa pun pasti selalu dijadikan ajang adu presepsi. Sedang sibuk memikirkan akan jadi apa di kehidupan selanjutnya, suara teriakan dari Yuggi membuat Rhea berdecak. Pemuda Korea itu baru saja membawa Rhea kembali ke masa sekarang. Gadis itu segera menutup kolom komentar i********:, berhenti membaca kalimat baik dan buruk yang masuk. "Alamat rumah Noona bikin aku pusing!" Yuggi mengoceh sambil mengunyah beberapa cookies. Rhea memperhatikan, alisnya sebelah naik karena tidak asing dengan toples berpita pink itu. "Lo beli cookies di mana?" tanyanya. "Ahhh!" Yuggi ingat kembali seorang noona yang tadi membantunya. "Tadi aku salah perumahan terus nanya sama noona-noona baik. Dia ngasih tahu alamat yang bener terus ngasih setoples cookies. Dia bilang dia temen Rhea-noona." Siapa? Rhea ingin bertanya seperti itu tapi Yuggi sudah mendahului menjawab, "Namanya Danie, kalau tidak salah." Pantas Rhea hapal toplesnya! Danie sering membuat kue dan membagi-bagikan hasilnya pada teman-teman Danie semasa kecil. Rhea termasuk teman kecil Danie dan ia ikut menjadi bagian orang-orang yang mencicipi kue gadis itu. "Dia temen Noona?" Yuggi memastikan. Hubungan mereka berdua bagi Rhea masih belum terasa sehat atau sebaik itu. Namun ia takjub ketika Danie menganggapnya teman. Haruskah Rhea membalas? "Iya, dia temen gue." Rhea menjitak kepala Yuggi setelah menjawab karena cowok sipit itu makan terlalu lahap seperti kelaparan. "Apa temen-temen Noona yang lain secantik Danie-noona?" "Iyalah!" Tentu. Memang seperti itu kenyataannya. Yuggi nyengir, kehidupannya di Indonesia akan bahagia. Perempuan cantik selalu membuatnya bersemangat. "Danie-noona punya senyum amazing, mampu membuat orang yang melihatnya akan tertular rasa bahagia lalu ikut tersenyum." "Drama... Drama..." Rhea berkomentar dengan decihan, membuat pipi kanannya terangkat sedikit. "Lo harus belajar bahasa gaul, Yuggi. Lo bakal diketawain temen-temen baru lo kalau masih pake aksen Korea yang kental. Nggak salah sih, tapi banyak cowok di sini sensian sama orang Korea terutama ke sesama cowok, macam lo. Pasti deh lo kena ledek dan mungkin lo harus tahan kalau dikatain plastik. Nggak usah didenger, nanti gue tampar mereka." "Masih harus banyak belajar." Yuggi mengangguk, ia tidak main-main dengan niatnya ingin lebih banyak mengetahui seluk-beluk Jakarta termasuk bahasa lo-gue yang digunakan Rhea. Lidahnya masih sedikit belum terbiasa. "Ajari aku banyak hal ya, Noona." "Bisa diatur!" Rhea memberikan jempolnya, mengambil toples yang dipeluk Yuggi lalu ikut melahap cookies. "Oh iya, lo nggak bisa punya crush ke Danie." "Kenapa begitu?" tanya Yuggi. "Danie udah punya tunangan dan orangnya mendekati perfect. Danie sayang banget sama tunangannya dia nggak ada waktu ngelirik cowok lain. Bye-bye, Oppa. Kasihan deh lo!" ❄ "Ini bagus," kata Danie sambil menunjuk pada gambar tas berwarna putih polos namun harganya mampu ditukar dengan lima anak kambing. "Tapi yang ini juga..." Telunjuknya berganti pada katalog tas bertuliskan Limited Edition. "Danie, pilihin satu! Jangan bikin gue tambah bingung dong!" Danie terkekeh sebagai permintaan maaf kepada Shaen yang sudah cemberut. Dua gadis belia itu tengah berperang batin ketika harus memilih hanya satu tas di saat pilihannya terlampau banyak. Semuanya bagus-bagus. Danie menutup katalog ketika melihat kembaran dari Deenan itu tak bersemangat. Shaen melipat kedua tangannya pada meja makan lalu kepalanya tenggelam di sana. "Sha, kalau lo suka dua-duanya, beli aja," ucap Danie, mencoba menghibur. Shaen menjawab dengan nada pilu, "Nggak akan dikasih izin sama Mama...." Helaan napas panjang dari Danie terdengar. Ia sudah hapal kode dari Shaen karena mereka berteman sejak kecil. "Nanti gue yang bilang ke tante Ghea," kata nya. "Ahhh!! Lo yang terbaik!!" Danie mendapat pelukan gemas dari Shaen. "Oh iya gue mau video call sama Gavin bentar lagi." "Gue pulang sekarang, kok. Lo vcall aja." "Dianterin kembaran i***t gue?" Danie hanya tersenyum, mengambil tas gendongnya yang berwarna seteduh langit untuk ia tempelkan pada punggungnya. "Gue kayanya pulang sendiri. Lagian rumah gue deket." "Lagi? Sendiri?" ulang Shaen. Lagi, Dan? Benarkah? "Deenan sibuk, Sha. You know him," kata Danie dengan nada super santai. Menunjuk lantai atas, tempat di mana kamar Deenan berada. Danie ada di sini sejak siang, membuat PR bersama Shaen tapi Deenan tak mau turun untuk menemuinya. Lagian Danie nggak berharap apa-apa kok. "Lo mau gue anterin, Dan?" "Cowok lo gimana---" "Gue sama Gavin nggak pacaran." Shaen menggeleng cepat. Ia tahu ke mana arah perkataan Danie. Danie hanya mengangguk saja, ia tak mengerti apa yang sedang dilakukan dua sahabat kecilnya itu. Shaen dan Gavin saling suka, semua orang tahu itu, namun mereka memilih dekat tanpa status pacar. Bagi Danie itu lebih baik. Setidaknya mereka berdua saling menjaga hati dan perasaan mereka terbalas. Dibandingkan dengan dirinya yang terikat sebuah hubungan pertunangan tapi merasa sendirian. Tidak diinginkan, bukan pilihan, tak punya siapa-siapa. "Santet, Gavin bilang angkat panggilan dia!" Deenan berteriak sambil menuruni anak tangga. "Lo lagi ngapain? Gavin nelepon lo ampe 10 kali. Ntar nangis tuh dia." "Lebay banget, sih! Dan nama gue bukan Santet, s****n!" Shaen mengambil ponselnya yang tergeletak di meja makan lalu dia menghampiri Deenan dan menjambak rambut kembarannya sehingga cowok itu berdecak. Seperti biasa, tidak pernah akur. Danie terkekeh melihat pemandangan di hadapannya dan ketika Shaen pergi ke kamarnya---menyisakan Deenan yang berada di depan kulkas, menuangkan s**u  ke gelas, Danie jadi kikuk. "Lo free ntar malem?" Deenan bertanya tanpa membalikan badan. Masih sibuk menuangkan s**u. Danie mengangguk meski Deenan tak mungkin lihat. "Ummm, iya. Free." "Mau jalan? Tapi besok Senin." Lalu Deenan membalikan tubuhnya, melangkah mendekati Danie sambil meneguk s**u. Sudut bibirnya penuh dengan cairan putih itu. "Jalan?" Danie ingin memastikan pendengarannya ini baik. Berharap banyak pada Deenan itu selalu berujung pada kekecewaan. Meski begitu Danie tetap suka. "Kita berdua, Deen?" "Lo mau ajak Shaen? Gue sih ogah. Makan dia banyak," timpal Deenan sambil menggedikan bahu. "Jalan ke mana?" Hanya diajak dan belum tentu terlaksana, tapi hati Danie sudah sebahagia ini. Seperti ada kupu-kupu di perutnya. "Lo siap-siap aja jam 7 gue jemput." ❄❄❄ Deenan : Heh Rhealine : Helooow,  Deynan Jeyvinyooo Deenan : Dih? Rhealine :  Wkwkwk.  Ada apaan? Deenan : Gue mau nanya,  kalo cewek suka diajak jalan ke mana? Rhealine : Cieee mau date  sama Danie ya? Cieee XD Deenan : Kagak.  Gue cuma mau bayar utang janji. Rhealine : Tetep aja jatohnya date Deenan sudah besar ya ampun  Mama bangga sama kamu, Nak! Deenan : Rhea, pls.  Focus Rhealine : Sorry sorry, my bad.  Lo ajak Danie dinner fancy aja.  Resto baru buka  deket kantor bokap gue  enak tuh tempatnya.  Romantic vibes. Deenan : romantic apa sih? Yg biasa aja napa, Rhea. Rhealine : Ih, kakek ini kalo dikasih tahu suka ngeyel!  Cewek tuh demen diajak  ke tempat aestetic romantic!  Trust meeeeee! Deenan : Whtvr. Rhealine : Lo pergi ke resto  yg tadi gue bilang!  Mau gue pesenin  buket bunga nggak? Deenan : Cuma mau jalan, ngapa pake bunga segala? Rhealine : Udah,  lo tahu beres aja pokoknya! Rhea cekikian sendiri membaca pesan dari Deenan. Cowok itu terlalu sok tidak peduli tapi buktinya malah ngajak Danie jalan.   Play hard to get? Huh, dasar Deenan. Jam menunjukan pukul setengah tujuh malam dan Deenan setuju untuk membawa Danie ke resto yang tadi ia rekomendasikan sehingga Rhea langsung mengambil jaket dan kunci mobilnya. Pergi menuju toko bunga untuk memilih buket paling bagus, berharap agar Danie terkesan dengan apa yang diberikan Deenan. Date mereka kali ini harus sukses! Di tempat lain, Deenan sudah membunyikan klakson di depan rumah Danie. Gadis itu keluar dengan terburu-buru, mengenakan pakaian santai. Rok jeans selutut dan juga baju putih berlengan panjang. Make-up tipis, rambutnya sengaja ia ikat menyerupai buntut kuda, mampu memperlihatkan lehernya yang putih. "Lo mau makan di resto fancy?" Seharusnya Deenan membawa Danie saja tanpa harus bertanya dan menjadikan itu rahasia alias kejutan tapi cowok beralis tebal itu tentu saja tak mau repot. Toh, Danie bukan orang yang harus ia beri kesan mendalam. Danie mengangguk sambil memakai sabuk pengaman. "Tapi gue lagi pengen makan burger." "Berdoa aja itu ada di menu," balas Deenan tak acuh, mulai menjalankan mobilnya menuju resto yang dipilihkan Rhea. Fancy dan berkelas, resto yang baru buka beberapa minggu ini menyuguhkan kesan kelas atas. Mulai dari tatanan meja sampai serbet yang terlihat begitu cantik. Seorang pelayan membawa Deenan menuju meja yang sudah ia pesan dengan harga yang lumayan. Ia hanya berharap makanan di sini sesuai dengan angka-angka yang mereka tetapkan. Deenan tak punya masalah tentang budget, ia hanya paling anti makan di tempat mahal jika menu mereka kurang memuaskan. Perfeksionis. Pelayan wanita itu terus menyunggingkan senyum, takjub melihat pemuda di hadapannya. Seperti tokoh anime, punya wajah tampan yang unreal. Proporsi wajahnya mendekati tidak masuk akal. Danie bisa sadar bahwa pelayan itu terkesima pada Deenan, tapi dari cara menatapnya sangat tidak sopan. Deenan datang untuk makan bersama seorang perempuan---Danie memiliki posisi itu---dan sang pelayan seolah tidak peduli pada keberadaan Danie. Sejak tadi hanya memfokuskan netra pada Deenan, bertanya cowok itu ingin pesan apa dengan nada yang menjijikan. Danie tidak nyaman? Tentu! "Kami punya menu risoto yang sangat enak."  Pelayan itu merendahkan tubuhnya, membantu Deenan membuka menu dan menunjuk-nunjuk gambar sampai jarinya bersentuhan dengan tangan cowok itu. Danie melihat Deenan tampak sangat tenang dengan kelakuan pelayan itu dan Danie kesal. "Kalian punya burger?" tanya Deenan, menutup buku menu dengan cepat. Pelayan itu mengangguk. "Tentu. Apa Anda mau pesan? Cheese, beef burger. Banyak pilihan." "Saya mau cheese burger dengan irisan tomat yang lumayan banyak. Tanpa mayones. Dan satu americano." Pelayan itu dengan cepat mencatat pesanan Deenan. "Ayo pesan, Danie," kata Deenan pada gadis di hadapannya yang sejak tadi hanya diam. "Mbaknya pesan apa?" Nada suara pelayan  itu berubah ketika berbicara pada Danie. Terdengar ingin buru-buru dan sedikit ketus. "Pesanan saya sama: cheese burger tapi jangan pake tomat---" "Ya ya." Pelayan itu mengangguk cepat di saat Danie belum selesai memesan. "Silakan ditunggu," katanya lalu berlalu dari meja dua remaja itu. Tak lupa tersenyum ramah, hanya pada Deenan. Danie meminta izin ke toilet sebentar dan Deenan mengangguk. Cowok itu mendapatkan telepon dari Rhea. Gadis itu menanyakan mengapa Deenan tidak mengambil buket bunga yang sudah Rhea pilihkan. "Lo cuma tinggal ambil buket itu di toko bunganya, Deenan!" Rhea mengoceh dari balik telepon. "Lo makan di resto yang gue rekomendasiin? Oke tunggu, gue anterian bunganya ke situ!" "Rhea..." panggilan terputus saat Deenan ingin menyanggah. Danie sudah kembali, bersamaan dengan pesanan mereka yang datang. "Maaf, burger saya kok pakai tomat, ya?" Danie menyuarakan ketidakpuasaannya. "Tadi kan saya pesannya nggak pakai tomat." Pelayan itu menaikan sebelah alis, "Anda tidak bilang itu. Saya menyajikan sesuai pesanan." What's wrong with her? Danie benar-benar tidak paham. "Mungkin jika Anda mencatat pesanan tunangan saya dan berhenti menatap saya,   Anda bisa menyajikan menu yang benar." Deenan bersuara dengan nada yang amat sangat tenang namun mampu membuat sang pelayan itu kikuk. "Maafkan kesalahan saya, akan saya ganti dengan yang baru." Pelayan itu membungkukan badan, mengambil piring Danie tapi Deenan berkata tidak usah. Dia mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompet lalu menaruhnya di atas meja. Deenan berkata, "Restoran berkelas harus punya pelayanan yang berkelas juga." Pelayan itu menundukan kepalanya, merasa sangat bersalah dan Danie langsung mengatakan tidak apa-apa. "Saya akan makan ini, Mbak. Nggak usah diganti, " kata Danie. Ia malah merasa tidak enak karena sudah meminta pesanan yang aneh-aneh. "Danielle, kita pergi." Deenan sudah bangkit berdiri, memberi kode pada Danie untuk keluar dari restoran. "Deen, Danie mau kok makan ini." Danie serius. Ia tidak mau acaranya dinner-nya jadi kacau. "Kita cari restoran yang pelayanannya lebih baik, Danie. Ayo." Tangan Deenan terulur pada Danie sambil mengintimadi si pelayan yang terus meminta maaf. Danie bangkit dari duduknya, menyambut uluran tangan yang terasa sangat pas itu. Mereka berdua pergi dari sana, dengan Danie yang tetap merasa tak enak. "Mungkin Mbaknya lupa pesanan Danie, Deen..." katanya. "Gue dari awal juga udah nggak nyaman. Dia ngeliatin gue seakan gue ini barang langka." Deenan risi, tapi ketenangan dirinya baik, sampai egonya tadi tersentil saat mengetahui perlakuan buruk si pelayan pada Danie. Jelas-jelas gadis itu meminta burger tanpa tomat, Deenan bisa mendengarnya tapi pelayan resto itu fokus pada urusan pribadi yaitu menatap wajah Deenan. Deenan pergi dari resto itu hanya ingin menunjukan bahwa pelayanan mereka sangat buruk. Resto kelas atas tapi manner murahan. Genggaman tangan itu dieratkan oleh Danie sehingga Deenan melirik padanya. Danie berkata, "Ada mini market tuh di sana. Kita makan mie cup aja, gimana?" Makan mie cup? "Lo nggak mau beli makanan yang lebih bener?" tanya Deenan. Danie menggeleng, kali ini ia mengambil satu tangan Deenan yang lain dan bersyukur karena pemuda tampan itu tak menolak. Danie menggenggam kedua tangannya. "Semua jadi terasa benar kok kalau sama Deenan. Yuk, makan mie cup aja?" Dan entahlah, Deenan mengangguk. * Buket bunga cantik itu dipeluk oleh Rhea ketika beberapa menit lalu ia baru saja sampai di salah satu resto mewah. Rhea berpikir Deenan dan Danie pasti sedang berada di dalam, menikmati acara dinner mereka. Rhea sempat bingung juga bagaimana caranya memberikan buket ini. Tapi Rhea tak melanjutkan langkahnya ketika ia melihat Deenan dan Danie berdiri di luar resto. Gestur tubuh mereka menunjukan sesuatu di mata Rhea. Sesuatu yang positif. Bagaimana Danie memasang ekpresi lembutnya dan Deenan tampak biasa saja tapi mendengarkan dengan saksama setiap kalimat dari bibir Danie. Bagaimana Deenan diam saja saat Danie menggenggam kedua tangan pemuda itu, lalu menempelkan tangan Deenan pada kedua pipinya. Rhea tidak bisa mendengar apa yang mereka berdua katakan tapi pemandangan ini menunjukan bahwa mereka berdua baik-baik saja. Sangat bagus. Rhea menatap sekeliling, mencari mobil Deenan karena ia hapal plat nomornya. Gadis itu bergegas, sebelum kedua sahabatnya sadar. Rhea menaruh buket bunga itu di bagian depan mobil Deenan, ia dirikan pada kaca. Sehingga jika nanti cowok itu kembali ke mobil, dia bisa melihat buketnya. Dan agar Deenan tahu bahwa itu dari Rhea. ❄ 07.30 WIB.  Upacara bendera wajib SMA Mahardika. Perkelas, dari mulai junior yang baru memiliki satu bintang di kerahnya sampai para senior yang punya tiga bintang di kerah seragam mereka. Berjejer rapi di lapangan. Banyak murid yang telat, tentu saja karena hampir semua orang membenci apel pagi di hari Senin. "Selamat pagi murid Mahardika! Sawadhee khap!" Kepala sekolah memberikan sambutan setelah upacara selesai. Yayasan mereka berada di bawah naungan International Bangkok collage, sehingga aura khas negeri Mario Maureer itu sangat terjaga sampai kini. Tanpa meninggalkan ajaran khas ibu pertiwi, Mahardika menyeimbangkan budaya Thailand dan Indonesia. Para murid mendengar arahan Bapak kepsek ketika beliau menjelaskan tentang pembukaan HOJ: Hari Olahraga se-Jakarta. Yang biasa dilaksanakan tiga tahun sekali. "Kali ini Mahardika mendapat hak istimewa yaitu menjadi Tuan rumah penyelenggara HOJ." Ucapan kepsek langsung diberi sambutan heboh oleh semuanya. "Itu berarti mayoret beserta drum band saat acara pembukaan nanti adalah perwakilan Mahardika." "YEAAAAAY!!!" Kabar baik bagi semua orang karena HOJ akan berlangsung sekitar satu minggu full. Selain ditiadakannya acara belajar-mengajar alias free class, mereka bisa sekalian cuci mata karena seluruh perwakilan SMA di Jakarta akan datang ke Mahardika. Banyak cabang olahraga bergengsi dan keren yang bisa mereka tonton. "Saya dan para guru yang menjadi panitia sudah punya kandidat siapa saja siswi yang pantas menjadi mayoret tahun ini." Para murid semakin heboh, mereka bertanya-tanya siapa yang akan mendapatkan gelar ratu sehari itu. Siapa pun gadis yang menjadi mayoret saat pembukaan HOJ, pasti akan famous. Biasnya hanya gadis-gadis cantik berbadan tinggi yang dipilih menjadi mayoret dan siswi di Mahardika banyak sekali yang mempunyai visual luar biasa. "Sha, bukannya lo harus jadi mayoret tahun ini?" Inge menyeletuk kecil kepada sahabatnya yang mengunyah permen karet sepanjang upacara. "Yang ada tuh tongkat mayoret rusak sebelum gue pegang." Shaen meledek dirinya sendiri sehingga para kawannya tertawa. "Danie, lo cocok jadi mayoret." "Oh?" Danie menunjuk dirinya sendiri kemudian menggeleng. "Gue nggak pernah muter-muter tongkat begituan, Sha." "Semua anak Mahardika nggak pernah muter tongkat mayoret kecuali Kak Feela." Inge menjelaskan seniornya yang bertugas menjadi mayoret dari drum band Mahardika. "Tapi gue yakin anak kelas 12 nggak diizinin ikut HOJ, mereka udah banyak bimbel." "That's right." Shaen menimpali, masih mengunyah permen karet. Mereka bertiga kembali melihat ke depan untuk mendengarkan pengumuman lanjutan dari kepsek. Kali ini beliau ditemani seorang guru olahraga, menyebutkan dua nama siswi yang membuat para murid semakin heboh bahkan ada yang terang-terangan menjerit. "Kandidat pertama adalah Rhealine Netteri Gideon dari kelas 11-3 dan Danielle Fegaya dari kelas 11-1. Dimohon untuk maju ke depan." Goddamn it! The real war, is coming....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN