Deenan mendesah saat melihat apa yang sudah ia lakukan sejak pulang sekolah tadi. Berkutat di depan laptop selama dua jam untuk mengedit foto kue milik Danie yang tadi ia potret.
Berhenti dengan pekerjaannya, Deenan menutup laptop itu. Mengambil ponselnya yang diletakan pada meja lalu mengirim pesan pada Danie bahwa foto-foto yang tadi Deenan potret akan ia kirimkan nanti malam.
Deenan harusnya tidak perlu repot-repot, tapi feeds i********: Danie sangat jelek. Tidak menarik untuk jualan kue maka dari itu Deenan mempercantik foto-foto kue Danie dengan cara mengeditnya. Deenan hanya membantu, sedikit.
Lagi pula Deenan tidak mengerti pada jalan pikiran Danie yang ingin jualan kue padahal gadis itu terlahir dari keluarga berada. Tidak akan pernah kekurangan uang.
Danielle : Nonton bioskop yuk? Danie yg traktir deh soalnya Deenan mau fotoin kue2 Danie. Mau yaaa? :)))
Deenan menghela napas, serba salah.
Deenan : Ok ktmu di bioskop.
Danielle : Ambil jadwal jam 7 ya Deen! See you
Deenan : Y.
Ponselnya bergetar lagi, Deenan hampir kesal jika itu pesan dari Danie, untung saja itu dari Rhea.
Rhealine : Jevino, jemput gue
di agensi dong :)))))))))))
Deenan : Males.
Tentu saja balasan Deenan beberapa detik lalu adalah bohong karena sekarang pemuda itu sudah mengambil jaket dark blue miliknya serta kunci mobil. Deenan membawa kendaraannya menuju gedung yang selalu Rhea kunjungi minimal dua minggu sekali.
Di depan gerbang agensi, Deenan bisa melihat Rhea berdiri menunggu dengan pakaian serba hitam. Gadis itu cepat-cepat membuka pintu depan mobil sesaat setelah Deenan menghentikan kendaraannya di depan Rhea.
"Kenapa lo buru-buru gitu?" tanya Deenan, heran.
"Kaya ada yang merhatiin gue sejak tadi. Ngeri." Rhea menjawab sambil mengenakan sabuk pengaman.
"Siapa yang mau nyulik lo? Nggak bakal laku."
"Laku lah! Gue ini berharga!"
"Kuda Shaen lebih berharga dari lo."
"Monyet kaya lo mana ngerti!" Rhea hanya mendengus, kesal karena Deenan tidak pernah bosan untuk mem-bully-nya. Cowok itu seperti punya dendam, senang sekali membuat Rhea naik darah dengan ekpresi datar dan suara tanpa nadanya.
"Siapa cowok yang ada di snapgram lo tadi sore?" Deenan bersuara lagi setelah Rhea berhasil memutar lagu pada radio mobil.
"Yang mana?" Rhea lupa.
"Lo bikin boomerang sama cowok yang matanya sipit."
"Ohh... itu Yuggi. Salah satu model di agensi gue. Dari Korea dan dia mau lanjut sekolah di Mahardika soalnya harus tinggal di sini selama tiga tahun." Rhea menjelaskan panjang lebar meski sebenarnya Deenan hanya ingin tahu siapa nama cowok bermata sipit itu.
Deenan mengangguk, menyetir dengan aman dan nyaman namun bagi Rhea itu membosankan.
"Pengen pop mie deh, Deen," adu Rhea sambil mengusap perut ratanya.
"Udah malem, nyokap lo bakal ngomel kalau lo makan mie."
"Please dong. Gue juga pengen makan yang begituan!" Rhea merengek, membuat Deenan mendesah pelan. Akhirnya cowok itu menghentikan mobilnya di sebuah mini market untuk membeli mie yang Rhea mau.
Mereka berdua menyeduh mie dalam kemasan, menikmati makanan instan itu di meja khusus yang disiapkan mini market. Ada beberapa remaja seumuran mereka yang juga sedang nongkrong sambil menikmati makanan ringan dan minuman cola.
Rhea menikmati makanannya, seolah itu adalah hari pertama ia merasakan mie. Deenan hanya terkekeh melihat cara makan Rhea yang belepotan. Jauh berbeda jika gadis itu tampil di snapgram.
"Deen, ada pemulung yang ngeliatin kita, gue risi." Rhea berhenti menyeruput mie lalu berjalan menuju mini market. Ketika keluar lagi ia membawa sekantung belanjaan berisi makanan ringan, s**u dan beberapa mie cup.
"Nih, kasih ke pemulung itu. Gue jijik liatnya, kumel banget." Rhea memberikan kantung belanja kepada Deenan yang mengangguk. Pemuda dengan alis tebal itu semakin mengangkat sudut bibirnya karena geli melihat sifat tsundere Rhea.
Deenan paham betul bagaimana Rhea menunjukan rasa care terhadap sesama. Kesannya seperti sombong, angkuh dan berhati dingin. Tapi jika semua itu benar, untuk apa Rhea memberikan sekantung plastik berisi banyak makanan? Jika hanya ingin mengusir seorang pemulung, Rhea bisa langsung berteriak, kan?
Rhea berbeda ia punya cara sendiri menunjukan sesuatu yang ia rasa, itu yang membuat Deenan nyaman dengan gadis itu.
"Ini untuk kamu, Dek. Cepat pulang, udah malam," ujar Deenan sambil memberikan makanan dari Rhea kepada seorang gadis kecil yang tersenyum bahagia. Pemulung itu berkata bahwa ia sangat berterima kasih karena sejak kemarin belum sempat mengisi perut.
"Kakak cantik yang duduk di sana itu yang ngasih semua makanan buat kamu." Deenan menunjuk tempat Rhea dan gadis itu langsung pura-pura memakan mie padahal Deenan yakin sejak tadi Rhea memperhatikan.
Setelah mengusap rambut si gadis kecil, Deenan kembali menghampiri Rhea. Berkata, "Lo udah nyelamatin satu nyawa hari ini. Suara dia sampe geter, kayanya udah kelaperan banget."
"Gue nggak nyelamatin nyawa siapa-siapa, gue bukan Avengers." Rhea mengangkat bahu judes. "Itu karena gue mau dia pergi aja. Lagian duit gue banyak, makanan segitu doang bisa gue beli."
"I know..." Deenan hanya menghela napas, pura-pura percaya pada jawaban Rhea yang tidak masuk akal.
"Lo spesial, Rhe. Lo tahu itu kan?"
"Dengan visual yang gue punya tentu aja gue spesial, Jevino!" Rhea berdecak mendengar ucapan Deenan.
Deenan tidak menjawab, ia hanya mengajak Rhea pulang. Malam sudah semakin larut dan orangtua Rhea akan khawatir jika anak semata wayangnya tidak ada kabar.
Setelah Rhea turun dari mobil dan sempat mengecup pipi kanan Deenan sebagai tanda terima kasih, Deenan langsung membawa mobilnya pergi dari sana. Sebenarnya sejak tadi ia merasa ada yang mengganjal sampai Deenan ingat bahwa ia ada janji menonton dengan Danie.
Deenan melihat jam di dashboard, pukul sepuluh malam dan berarti ia sudah telat selama dua jam.
Setelah sampai di parkiran bioskop yang sudah sepi, Deenan bergegas masuk. Namun ketika ia melihat sosok Danie duduk sendirian di sofa sambil menunduk dan dua tiket film berada di sampingnya, Deenan langsung menghentikan langkah.
Kenapa dia nggak pulang aja? Adalah pertanyaan yang berputar di otak Deenan. Ia yakin jadwal film yang dibeli Danie sudah diputar beberapa jam lalu dan gadis itu masih saja duduk di sofa. Menunggu Deenan? Untuk apa?
Bukannya menghampiri Danie dan mengucapkan maaf karena telat, Deenan malah merogoh ponsel. Ia menelepon Maxon.
"Apa, Deen? Jemput Danie di bioskop? Kan lo tunangan dia kenapa gue yang harus tanggung jawab?!" Maxon mengomel dari ujung telepon.
"Males aja dan gue lagi di rumah Rhea," bohongnya.
"Ya udah, gue otw. Yeuuu nyusahin aja dasar lo lele tengil!"
Sebelum Maxon menutup panggilan, Deenan sempat berucap, "Thanks and take care, Bro. Anterin Danie dengan selamat sampai rumah."
❄
"Max?" Danie mengangkat sebelah alis ketika melihat salah satu sahabat Deenan berdiri di hadapannya sambil ngos-ngosan. Sudah dipastikan Maxon berlari. "Lo ngapain di sini?"
"Mau jemput lo," jawab Maxon sambil mengatur napas. "Yuk, pulang!"
Danie langsung menggeleng. "Gue nunggu Deenan, Max."
"Princess Danie choky-choky sweety baby tuing-tuing awe-aweu, denger ya, Deenan sendiri yang nyuruh gue jemput lo. Yuk, capcus!" Maxon memberi kode agar Danie mengikutinya ke parkiran dan gadis itu menurut meski masih bingung kenapa Deenan menyuruh Maxon menjemputnya. Jika memang tidak mau datang Deenan tinggal telepon dan Danie akan pulang naik taksi.
"Gue nggak tahu rumah lo, nanti tunjukin aja yups," Maxon menginjak gas dengan perlahan, menyetir dengan kecepatan aman.
"Rumah gue satu perumahan sama Deenan, beda blok aja," kata Danie.
"Okaaay."
"Max, kenapa Deenan nyuruh lo jemput gue?"
Maxon menjawab dengan polos, "Katanya Deenan males terus dia lagi di rumah Rhea. Gitu, Princess choky-choky."
Rhea? Of course.
Siapa lagi memangnya?
Tapi mengapa Danie masih saja merasa kecewa? Seharusnya hal-hal seperti ini sudah bisa ia tangani.
Maxon memang bukan teman kecil Danie karena ia menghabiskan waktu TK sampai SMP kelas 8 di Jogja, terus Danie pindah ke Belanda sehingga mereka baru mengenal saat SMA. Tapi Maxon tahu bahwa Danie itu gadis yang ceria sehingga ia bingung ketika Danie hanya diam saja dan terlihat murung.
"Dan, lo nggak suka gue jemput ya? Besok-besok gue nggak jemput lo lagi deh." Maxon tidak enak.
"Nggak, Max. Gue malah mau berterima kasih karena lo udah repot jemput gue." Danie membuat senyuman di bibirnya, takut Maxon tidak nyaman karena ia sangat diam. "Gue cuma capek aja nggak pernah jadi prioritas."
"Hah?"
Danie segera mengalihkan pembicaraan, "Sebelum gue pindah ke sini, apa Deenan sama Rhea deket banget?"
Maxon mencoba mengingat lalu mengangguk. "Mereka selalu saingan dalam segi apa pun. Kadang marahan tapi cepet baikannya. Kenapa?"
"Menurut lo Deenan suka sama Rhea?"
"Nggak," jawab Maxon langsung meski ia sendiri tidak tahu dapat darimana keberanian menjawab itu tapi feeling-nya kuat. "Mereka sodara, Danie. Menurut gue sih mereka saling sayang tapi bukan dalam hubungan tanda kutip. Sayang yang wajar sesama keluarga. Lagian Deenan kan tunangan lo, pasti dia cintanya sama lo, lah."
"Bener?"
"Deenan bukan tipe cowok b******k, gue yakin. Lagian kalau dia gak peduli sama lo, ngapain dia nyuruh gue jemput lo?" Maxon percaya diri dengan ucapannya. "Mungkin Deenan cuma nggak tahu caranya mengekpresikan perasaan dia aja. Deenan itu terlalu diem, nggak kaya gue yang blak-blakan, toa masjid aja kalah berisik. Uwu!"
Danie tersenyum kecil mendengar Maxon tertawa. Siapa pun yang berada di sekitar Maxon akan merasa hatinya lebih ceria. "Asyik ngobrol sama lo, thanks ya, Max."
❄
Berbeda dengan kembarannya yang masih menggulung diri dengan selimut di atas kasur, Deenan selalu bangun pagi di hari libur. Biasanya ia lari mengelilingi komplek bersama Papa lalu setelah itu sarapan di warung BY. Tapi kali ini Deenan hanya menonton kartun ditemani sereal yang dibuatkan Mama.
"Selamat pagi, Argadhika family!" Suara nyaring yang sudah Deenan hapal terdengar dari pintu masuk. Danie datang membawa dua toples berisi cookies tak lupa bersama senyum terlukis di bibirnya.
"Hai, Fiance." Danie mengedipkan mata pada Deenan yang sama sekali tidak melirik namun cowok itu memperhatikan saat Danie berlari untuk menghampiri Ghea, memberikan toples cookies.
"Deen, Danie buat sendiri lho cookies-nya! Sini cobain!" terika Ghea dari dapur.
"Nggak mau," jawab Deenan langsung.
Danie kembali menghampiri Deenan sambil memeluk satu toples yang akan ia berikan ke tetangga sebelah, rumah keluarga Adibrata.
"Semalem gue nggak dateng karena gue males." Meski tidak ditanya, entah mengapa Deenan ingin mengatakan itu. Tanpa ada embel-embel sorry yang seharusnya ia sertakan di awal kalimat.
Danie mengangguk, seolah itu bukan hal yang salah. "Ini bukan pertama kalinya Deenan nggak dateng kalau ada janji date. Santai."
Ucapan gadis dengan piyama pink itu terdengar biasa saja tapi mampu membuat Deenan menatapnya. "Lo nggak marah?"
"Kenapa Danie harus marah?"
Kedua bola mata Danie yang terlihat sangat polos membuat tulang Deenan ngilu karena rasa bingung. Seajaib itukah Danie karena merasa baik-baik saja di saat tunangannya tidak meminta maaf?
Lalu Danie pamit karena ia harus memberikan toples cookies ke rumah sebelah dan Deenan hanya mengangguk ketika lagi dan lagi Danie mengedipkan mata.
Setelah menutup pintu utama keluarga Argadhika dan berada di luar, Danie menghela napasnya. "Kamu nggak minta maaf," katanya pelan. Namun Danie sudah terbiasa kecewa.
Danie hendak membuka gerbang rumah keluarga Adibrata tapi satpam berkata bahwa pemilik rumah pergi sejak kemarin sehingga mau tak mau Danie membawa cookies-nya pulang.
Suara klakson dari arah belakang mengintrupsi langkah Danie, seseorang yang memakai helm hitam menghentikan motor matic-nya.
"Permisi..." orang asing itu berkata. "Noona, apakah kau tahu letak rumah Rhealine Netteri Gideon?" karena gadis yang ia tanya diam saja, ia kembali bersuara, "Maaf, bahasa Indonesiaku belum baik."
Danie menggeleng pada pemuda berkulit sangat putih dengan mata minimalis. "Indonesiamu bagus kok tapi sepertinya kamu salah perumahan."
"Oh?"
"Dari jalan raya, rumah Rhea di belokan pertama, perum Voili Park. Dekat dari sini."
Pemuda itu menepuk pahanya. "Ah, pantas saja aku pusing. Sudah berputar sejak tadi tapi tidak ada rumah yang cocok. Apakah Noona kenal Rhealine?"
"Dia temanku."
"God bless me..." pemuda itu menghela napas lalu mengulurkan tangan. "Nama panjangku agak sulit jadi panggil saja Yuggi, aku dari Korea. Teman satu agensi Rhea-noona."
Ah, model... pantas saja wajah tampan pemuda Korea ini tidak main-main. Meski begitu, di mata Danie itu Deenan Jevino Argadhika tetap the most handsome.
Danie mengangguk ramah, langsung menjabat uluran tangan Yuggi. "Aku Danie."
"Aku bersekolah di Mahardika Senin nanti maka dari itu mencari rumah Rhea-noona untuk melengkapi berkas." Yuggi bercerita meski baru pertama bertemu. Menurutnya Danie punya aura ramah.
"Aku juga bersekolah di sana, kebetulan sekali. Aku sebenarnya ingin mengantarmu ke rumah Rhea tapi maaf ayahku akan khawatir jika aku belum pulang." Danie tahu sulitnya tinggal di negara orang, ia ingat pertama kali tinggal di Belanda dan pastinya Yuggi bingung mencari alamat di Jakarta yang tidak tertata rapi maka dari itu ia ingin menolong.
"Tidak apa-apa, aku akan mencarinya sendiri, Noona."
Danie mengangguk, lalu ia memberikan toples berisi cookies pada Yuggi. "Sebagai tanda berkenalan. Ini buatanku sendiri."
"Wah, gumawo, Noona!" Yuggi menyambutnya dengan gembira. Ia memasukan toples itu ke dalam tas karena ia akan menyetir.
"Lain kali jangan bawa motor kamu nggak punya SIM, kan? Polisi di sini ketat, lho."
Yuggi terkekeh, malu. "Besok aku tidak akan mengulanginya lagi. Janji."
"..."
"Senang bertemu denganmu, Cookies-noona!"
Cookies-noona? Lucu.
Danie hanya terkekeh mendengarnya ketika Yuggi sudah membawa motor matic itu pergi.
Pagi ini Danie baru saja dapat teman baru.