Tuk! Tuk!
Tanpa perlu bernegosiasi dengan otak dan mata, Deenan tahu siapa yang menyakiti kaca mobilnya. Hanya dengan helaan napas dan kedua tangan berada pada stir, pemuda dengan jaket dark blue itu siap mendengar suara nyaring setelah pintu yang sengaja tak dikunci itu berhasil dibuka.
"Deenan!" Danie memperlihatkan senyum sumringahnya, langsung duduk di kursi kosong setelah sempat melambaikan tangan pada tunangannya. "Babe, kok ganteng banget hari ini?"
Shut up, Deenan tak suka dengan ocehan gadis di sampingnya.
"Bohong deng. Deenan ganteng tiap waktu," lanjut Danie sambil terkekeh.
"Hmm," timpal Deenan tanpa nada.
Setelah selesai memakai sabuk pengaman, Danie menyerongkan tubuhnya menghadap pada Deenan. Posisi itu tentu saja membuat Deenan risi. Ia akan menyetir dan ditatap penuh cinta oleh Danie adalah hal yang paling ingin Deenan hindari.
"Deenan, ada angin apa ngajak pulang bareng?"
Deenan tahu Danie itu gadis cerdas sehingga pasti ia akan menanyakan hal ini apalagi setelah dikirimi pesan menye-menye palsu oleh Rhea tadi pagi.
"Lo boleh keluar kalau nggak mau balik sama gue." Deenan tidak jadi menyalakan mesin mobil.
Danie malah terkekeh, menganggap tunangannya sedang merajuk sehingga ia mengulurkan kedua tangan untuk mencubit pipi Deenan. "So cuteee!"
"Danie!" Deenan menepis perlahan, benar-benar risi.
"Heiii! Pacaran ya lo berdua? Hayo, pacaran di mobil!"
Keisengan Danie yang sedang mengunyel-unyel pipi Deenan itu diinterupsi oleh suara familiar.
Maxon menepuk-nepuk bagian depan mobil Deenan dengan heboh sambil tunjuk-tunjuk. "Nackal! Deenan nackaaaal! Mama Ghea, nih Deenan nackal!" katanya.
Tangan kiri Deenan menekan klakson, membuat Maxon terkejut lalu alien satu itu pergi dari sana setelah berhasil menganggu sahabatnya.
Deenan malah mendengar Danie terkekeh dan ketika ia melirik, Deenan baru sadar bahwa tangan kirinya menggenggam jemari Danie. Dengan segera Deenan menjuhkan tangannya.
"Mau pegangan tangan? Nih!" ujar Danie dengan tampang mupeng sambil mengulurkan tangan lagi.
Deenan bergeridik.
Setelah puas tertawa, kali ini Danie duduk dengan posisi safety. Dan ia mengeluarkan kalimat yang seharian ini mengganjal pada otaknya, "Danie seneng Deenan mau chat Danie."
Karena Deenan sudah mulai menyetir, ia jadi tidak bisa melirik Danie.
"Seriusan Deenan bakal chat Danie terus?" tanya gadis itu dengan nada penuh harap.
Setelah mengatur gigi agar laju mobilnya nyaman, Deenan berdeham. Dalam hati berkata, "Gue nggak mau buang-buang waktu buat chat lo." namun kenyataanya dia malah bertanya, "Seneng di chat doang?"
Danie mengangguk semangat. "Banget!"
Gitu doang seneng? Itu hal yang nggak penting, pikir Deenan.
"Oke," kata cowok itu, ambigu.
"For what?"
"Gue bakal chat lo terus kalau lo mau."
"Serius?!" Danie ingin memastikan ucapan Deenan bisa dipegang. "Deenan chat duluan?! Ahhhh... Dream comes trueee!!"
Deenan hanya mengangguk, matanya fokus pada jalanan Ibukota yang lumayan macet.
"Danie seneng banget, Deen!" Tanpa sadar Danie menjerit, semangat sekali mengetahui berita baik ini.
Deenan tak menjawab, ia terus menyetir dan membiarkan Danie berkhayal sesuai keinginan gadis itu
❄
Jam kosong memang menjadi favorit semua murid apalagi jika digantikan dengan acara keren seperti sekarang. Ulang tahun sekolah.
Deenan sudah keliling untuk memotret apa saja yang menurutnya harus diabadikan, jadi sekarang ia sedang duduk di bangku lapangan. Istirahat.
Deenan memberi lima jempol untuk anggota Osis yang membuat acara keren setiap tahunnya sehingga acara Mahardika pasti masuk berita di internet.
Mata Deenan menjelajahi setiap inci lapangan yang menjadi tempat utama dan fokusnya terhenti pada beberapa anak cowok kelasnya yang terkekeh-kekeh pada sesuatu. Deenan memperhatikan dan ternyata ada anak cowok bernama Yeremi sedang membidikan ponselnya pada sebuah objek yang Deenan kenal.
Deenan tahu betul mengapa anak-anak cowok itu sumringah.
"Makin banyak orang t***l," katanya sambil melangkah santai menuju Yeremi lalu merampas ponsel teman sekelasnya itu. Deenan menemukan perbuatan tidak pantas yang diperbuat oleh Yeremi.
Yeremi yang sadar sedang berhadapan dengan siapa, langsung membuat pembelaan. "Deen, gue iseng---"
"Foto-fotoin paha cewek lo bilang iseng? Iseng lo i***t banget, Man," sindir Deenan dengan telak. "Gue tahu lo nggak pinter dan entahlah otak lo ditaro di mana, tapi jangan bikin diri lo lebih rendah dari binatang."
Tipikal Deenan: tak banyak bicara namun sekali angkat suara, akan langsung to the point.
"Sorry, Deen," kata Yeremi kehilangan kata-kata. "Nggak lagi-lagi, deh. Suer!"
Deenan menjatuhkan ponsel apel digigit sebelah keluaran terbaru itu begitu saja membuat Yeremi hanya bisa berdoa agar layarnya tidak pecah.
"Kok pake dijatohin, Deen?!" Yeremi memungut kekasih hatinya yang dicederai oleh ketua kelasnya yang pendiam namun ditakuti hampir oleh satu sekolah. Ya karena ini: Deenan sekali marah atau kesal pasti menyeramkan.
"Iya, gue janji nggak bakal ambil foto paha cewek lagi!" Yeremi bersumpah karena takut dihajar meski tidak mungkin. Sepanjang satu kelas dengan Deenan, cowok beralis tebal itu tak pernah memukul siapa pun dan Yeremi terkadang penasaran mengapa Deenan selalu pakai jaket dan lebih memilih dihukum berlari keliling lapangan daripada melepas jaketnya.
Deenan pergi dari sana begitu saja, melangkah menuju seorang gadis yang tengah semangat menjadi supporter karena ada perwkilan kelasnya sedang tampil menyanyi.
"Ikut gue." Deenan menarik tangan gadis itu, tak peduli meski dilihat oleh murid yang lain.
"Deen, kenapa nih narik-narik?"
"Lo bisa nggak lebih perhatiin sekitar lo?!"
Danie mengerutkan dahi, tak mengerti. "Maksudnya?"
"Atau, lo emang mau pamer paha?! Murahan emang ya." Deenan berkata tanpa dipikir dahulu karena memang ia tak tahu mencari kosa kata yang benar.
"Murahan?" Danie menunjuk dirinya sendiri. "Siapa yang murahan, Deen? Danie emang ngapain?"
Deenan tak menjawab, ia malah berdecak keras dan pergi meninggalkan Danie yang masih kebingungan karena merasa tak melakukan apa pun.
Ternyata Deenan kembali lagi dan kali ini membawa sebuah celana training, ia berikan pada Danie dengan tampang ketus. "Pake," katanya dengan nada tak mau dibantah. "Pulang sekolah lo balik sama gue lagi dan jangan lepas celana s****n itu. Ngerti?"
Danie hanya mengangguk meski masih bingung. "O-oke."
❄
Sebuah gelas dengan lambang agensinya disimpan oleh Rhea ke atas meja setelah ia berhasil menghabiskan cairan bening sejuk itu. Tenggorokannya terbebas dari haus.
"Gimana usaha endorse kamu, Rhe? Lancar jaya?"
"Lancar dong." Rhea menjawab pertanyaan salah satu seniornya di agensi. "Semenjak wajah aku ada di sampul majalah, followers i********: naik drastis."
"Kamu bisa makin famous kalau ambil pemotretan with bikini, Rhe. Gede juga kan uangnya," ujar Liura.
Rhea mengangkat bahunya, masih bingung. "Gimana nanti," katanya lalu mencari posisi nyaman pada sofa.
Hari ini tidak ada jadwal pemotretan, tapi Rhea sering mampir ke kantor agensinya untuk sekadar bertemu dan ngobrol asyik dengan model-model yang lain. Meski Rhea paling kecil di antara semuanya namun sifat friendly gadis itu membuat Rhea disenangi semua staff bahkan Boss.
"Kira-kira bakal ada trainee yang ambil first job mereka tahun ini nggak, Kak?" Rhea penasaran karena tahun lalu dirinya masih berstatus trainee, belum jadi model.
Orang-orang berpikir Rhea mendapatkan posisi ini dengan cuma-cuma, modal tampang tanpa bakat. Padahal dirinya benar-benar bekerja keras agar bisa debut jadi model. Diet ketat, olahraga teratur, latihan memakai heels untuk runaway, dan hal-hal sulit lainnya. Bahkan dulu Rhea harus dilarikan ke UGD karena satu minggu full melakukan diet air putih. Demi body goals, Rhea hampir menyelakakan dirinya sendiri. Tapi sekarang Rhea sudah mendapatkan diet yang cocok untuknya, tinggal melaksanakannya saja.
"Belum ada kayaknya. Malah mau debut-in model yang dari Seoul, kan?"
"Oh iya, aku diminta Om Toro jadi pendamping selama dia ambil job di sini. Siapa sih, namanya? Cewek atau cowok?"
"Aku juga belum tahu, nih. Syukur-syukur cowok biar kita nggak ada saingan."
"HAHAHAHA." Rhea dan Liura hanya tertawa, heran pada pikiran mereka sendiri.
Tentu tidak bohong, persaingan dalam dunia model itu sangat ketat. Teman satu agensi saja bisa menjadi saingan berat. Hal seperti itu sudah biasa, yang penting bersaingnya dengan cara sehat: menunjukan bakat.
Dikenal orang banyak karena mendapatkan respect masyarakat, bukan terkenal karena membuat polemik tidak penting. Famous karena hal-hal bodoh. Banyak yang seperti itu, bukan?
Rhea pamit pada Liura untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Ia memilih gedung paling bawah dari tujuh lantai kantor agensinya. Tempat di mana para trainee diberi pelatihan bagaimana caranya menjadi model yang baik dan produktif setelah debut nanti.
Rhea tidak asing dengan ruangan yang ia kunjungi karena ia pernah bekerja keras di sini. Awal mula mimpi dan mentalnya dibentuk dan ditempa habis-habisan agar kuat.
Yang membedakan, saat ini Rhea sudah menjadi seseorang di umurnya yang masih muda. Sehingga ia terlihat mencolok saat berjalan di lantai bawah, tempat khusus para trainee. Pakaian yang dikenakan Rhea memperlihatkan bahwa ia sudah menjadi model yang sukses.
Rhea hanya tersenyum saat ada beberapa trainee yang mengenalinya. Ada juga yang menyapa Rhea secara terang-terangan meski mereka harus tetap mematuhi aturan: jika kamu seorang trainee, tak boleh terlalu banyak berinteraksi dengan model dan dilarang keras untuk bertukar kontak atau berfoto.
Peraturan agensi sangat ketat. Mereka membatasi pergaulan antara trainee dan model karena tak mau sampai ada trainee yang melakukan panjat sosial sebelum debut.
Harus benar-benar punya bakat, barulah agensi akan mengenalkan mereka pada masyarakat. Sulitnya berinteraksi juga didasari karena takut hal-hal bersifat rahasia agensi dibocorkan oleh model kepada trainee atau sebaliknya.
"Maaf, Kak!" Seseorang baru saja mendabrak Rhea yang sedang melangkah keluar ruangan.
"Nggak pa-pa," balas Rhea sesuai keadaan.
"Maaf, aku beneran nggak sengaja." Trainee itu membungkukan badan beberapa kali membuat Rhea tidak enak.
"Santai aja, nggak pa-pa kok. Lo juga nggak kenapa-napa, kan?"
Trainee perempuan yang Rhea tebak mempunyai umur di bawahnya itu mengangguk kikuk. Rhea tahu alasan mengapa ia ditabrak karena ternyata trainee itu sedang berlatih memakai heels.
"Hati-hati, kaki lo bisa patah pas latihan. Kalau itu terjadi, selamanya lo bakal jadi trainee." Rhea bukan menakut-nakuti, tapi kesehatan dan kondisi kaki itu sangat penting bagi para model.
"Iya, Kak. Sekali lagi aku minta maaf," katanya, membungkuk lagi.
"Iya, santai. Nama lo siapa?"
"J-Jane."
"Gue Rhea, team dream star di agensi keras ini. Semangat, ya! Semoga cepet dapet first job!" Rhea meninggalkan trainee yang menabraknya ketika teman Jane datang. Samar-samar Rhea bisa mendengar namanya disebut.
"Itu Rhealine? Yang katanya kalau di IG sombong banget? Banyak haters-nya?"
"Ka-kayanya iya. Tapi... dia baik ternyata."
"Ramah aslinya."
Rhea meneruskan langkahnya, sambil menahan kekehan.
Biar saja orang di luar sana menilai Rhea buruk, sombong, atau bahkan menganggapnya malaikat sekali pun.
Rhea tak perlu ambil pusing karena mereka hanya tahu sesuatu yang Rhea tunjukan di publik. Mereka tak tahu apa yang Rhea sembunyikan dalam hati terdalamnya.
Saat Rhea mengambil ponsel untuk memesan driver online, ternyata ada pesan dari seorang gadis yang biasanya tak pernah terlibat obrolan dengan Rhea entah itu di dunia nyata atau maya.
Danielle : Lo yang bajak HP Deenan ya tadi pagi? :)
Rhealine : What do
you mean?
Danielle : Gue nggak tahu harus bilang makasih atau nampar lo :)
Rhealine : Chill.
Danielle : You too, Princess :)
Rhealine : ?
Danielle : Hahahhaa. Jadi gak mau ngaku nih? Ok gpp
Danielle : Tapi serius Rhe, gue sakit banget :)
Danielle : Makasih ya :)
❄
Morning without sun...
"Lo bisa turun kan, Sha?"
"Kok kesannya gue kaya nenek-nenek?"
Danie terkekeh saat membantu sahabatnya turun dari mobil dengan perlahan.
"My i***t brother, kok dia bisa ama Rhea di sekolah dan di mana pun tapi nggak pernah berangkat bareng sama lo?" Shaen melihat kembarannya yang sedang---entah melakukan apa, hanya mengobrol mungkin---bersama Rhea di koridor sekolah. Pemandangan biasa sih, namun seharusnya Deenan tidak terlalu menempel seperti itu dengan seorang gadis yang berstatus sepupunya saat banyak rumors mengabarkan mereka itu berkencan. Gila! Tidak mungkin. Mereka berdua saudara.
"Gue duluan ke kelas ya, lo mau beli sarapan kan?" tanya Shaen memastikan.
"Iya, mau ke kantin." Danie menjawab.
"Pukul aja kepala Deenan kalau dia nyuekin lo, ya."
Danie terkekeh, mengangguk kecil. "Ya udah sana lo ke kelas. Mau nitip sesuatu nggak?"
"Nggak deh."
Setelah Shaen meninggalkannya yang terdiam mematung dengan pemandangan cantik di depan mata, Danie segera mengeluarkan ponselnya yang beberapa saat lalu bergetar.
Nama Deenan ada pada layar.
"Hai, Rhea," ujar Danie dengan senyum kecutnya sambil mengetik balasan. Ia sendiri pun tak mengerti bagaimana bisa membalas pesan dengan emot penuh love saat hatinya, satu-satunya, baru saja dihancurkan. "I know is you. And always you. Lo dunianya Deenan, Rhe."