CHAPTER 20

1817 Kata
"Maaf karena kami baru bisa menjenguk." Danie menundukkan kepala ketika rambutnya dibelai oleh Tuan Javier Argadhika. Sangat perlahan, Danie diperlakukan layaknya porselin. Sedangkan di sebelah Javier ada seorang wanita yang menahan tangisnya. "Aku nggak bisa," bisiknya kepada sang suami. Javier mengusap lengan istrinya yang gemetaran dan Danie menganggap itu sebagai sinyal untuknya. Mengulang kalimat, "Aku baik-baik saja." kepada semua orang. Sekarang giliran Ines yang mendapatkan pernyataan resmi dari Danie. "Astaga, Danie..." Ines membawa tangan kanan Danie untuk dia genggam, sebisa mungkin tidak terlihat sedih. "Sayang, harusnya ini nggak terjadi sama kamu. Maafkan Yai." Ines memanggil dirinya sendiri 'nenek' dalam bahasa Thailand. Ingin memberi tahu Danie bahwa semua masih tetap sama antara hubungan mereka. Danie menggeleng, "Ini bukan salah siapa-siapa, dan Yai jangan nangis." Tapi tetap saja, Ines menangis sangat banyak. Gadis ceria yang dikenalnya sejak kecil kini tidak lagi punya rona merah di pipi. Senyum-senyum itu palsu. "Kakek Javier," Danie memanggil perlahan agar Javier memusatkan perhatiannya. Sama seperti Ines, sejak dulu Javier menyamaratakan teman dekat dari Shaen dan Deenan layaknya cucu sendiri, maka dari itu Danie tak pernah merasa segan. "Danie mau pulang," pintanya. Javier menahan untuk mengatakan sesuatu sehingga Danie melanjutkan, "Danie udah sehat, Kek. Please." "...." "...." Tidak ada jawaban. "Aku masih punya rumah, kan?" Danie pasti semakin menyedihkan sekarang dengan ekspresi kebingungan di wajahnya. "Of course, Danie." Javier mengangguk cepat.  "Almarhum Papa kamu mewariskan rumah untuk kamu." "Good? Jadi aku bisa pulang hari ini." Meski Danie masih belum terbiasa dengan ketidakhadiran Papa, tapi dia mencoba ikhlas. Menampilkan senyum berat. "Dokter Alendra menahan aku, Kek. Dan sekarang kalian juga." "Nggak ada satu orang pun dari kami yang menahan kamu." Javier menegaskan. "Kamu akan keluar dari rumah sakit setelah pulih total dan kamu akan pulang ke rumah Jason, Danie sayang." "Kenapa harus?" tanya gadis itu, terkesan menantang. "Karena aku menantu Om Jason sekarang?" "Ya." "Suamiku di mana kalau begitu, Kakek?" "Deenan akan pulang." Ines yang menjawab. Dan gadis itu berhasil mendengus, memalingkan wajah. Tak ingin mendengar bualan lagi. "Aku cuma mau keluar dari sini. Sulit sekali, ya? Aku nggak minta yang lain." "...." "Oh, mungkin ada satu lagi yang aku mau," Kedua mata gadis itu tertutup, beberapa detiknya terbuka lagi. "Surat cerai." "Yai tahu kamu sekarang pasti bingung, tapi jangan berpikir seceroboh ini." Ines mengeratkan genggaman tangannya pada Danie. "Pernikahan bukan hal yang main-main." "Aku menganggap ini sangat serius, kalian lah yang membuat alur picisan dengan menikahkan aku dengan Deenan." Danie menatap Javier. "Deenan menikahi aku untuk apa, Kek? Karena aku koma? Karena aku menyedihkan? Pasti Kakek tahu sesuatu, kan?" "Jason dan Papa kamu setuju karena ini demi kebaikan—" "Kebaikan siapa? Aku? Deenan? Memangnya kalian Tuhan?" Danie menuding. "Maaf..." lalu suaranya merendah. "Aku nggak bermaksud kurang ajar, tapi aku cuma mau kalian tahu bahwa ini nggak benar. Bukan Deenan kan yang menyebabkan aku koma?" "Bukan, Danie." "See? Berarti ini memang bukan tanggungjawab Deenan. Kalian membuat keputusan yang menyulitkan aku dan Deenan." "...." "Apa kalian mikirin perasaan Deenan? Dia nggak akan bahagia memiliki aku sebagai istri. Deenan cinta sama orang lain dan aku nggak mau jadi beban. Selama aku masih ada di hidup Deenan, dia nggak akan pernah bisa bahagia." *** Javier sulit dibujuk, Danie memohon sampai lelah pun tidak didengarkan. Kecuali ucapan Ines sore itu. Mempermudah Danie sedikit, karena akhirnya Javier mau mempertimbangkan tentang kepulangan Danie. Ines mengerti keadaan Danie, bukan berarti yang lain tidak. Danie tahu semuanya hanya mencoba melindunginya, tapi dia merasa harus menanggung beban ini sendiri. Danie mempunyai banyak PR: mengingat tentang kecelakaan, bertemu Deenan, bercerai, lalu menghilang. Banyak, banyak sekali yang harus segera diselesaikan sedangkan waktunya tersisa sedikit. Dr. Alendra berkata apa yang terjadi pada kepalanya sangat serius, kan? Memangnya siapa yang menjamin bahwa dia akan berumur panjang setelah bangun? Dirinya sekarat. Keadaan yang lebih buruk mungkin akan Danie rasakan, hanya tinggal menunggu garis takdir akan semenakutkan apa. "Apa aku terlibat kecelakaan mobil, Yai?" Danie bertanya di sela-sela Ines merapikan baju-baju Danie ke dalam tas. Tidak terlalu banyak yang Danie punya, hanya beberapa piyama dan juga selimut kesukaannya. Ines akan mengantarkan Danie pulang ke rumah keluarga Argadhika. "Oh sayangku... jangan tentang ini lagi." Ines tahu cepat atau lambat gadis cerdas seperti Danie akan memeras jawaban jujur pada setiap orang. "Fokus pada kesehatan kamu saja, Danie." "Kalian terkesan menyembunyikan penyebab aku koma. Hanya perasaan aku, atau emang kalian sengaja?" "Danie, ini bukan tempat Yai untuk menjelaskan. Yang ingin Yai sampaikan, kejadian itu sudah berlalu. Terpenting, Danie di sini sekarang." "Please, Yai...." Ines menyelesaikan kegiatannya merapikan baju tanpa menjawab, dan itu cukup membuat Danie frustasi. "Kalau gitu aku punya pertanyaan lebih mudah. Apa Rhea baik-baik aja?" "Ya, Sayang." "Di mana Rhea sekarang?" Ines menatap Danie, perlahan menjawab, "Dia tinggal di London." "Apa aku boleh minta tiket pesawat?" "Danie, kamu tidak bisa naik pesawat. Tidak dengan keadaan kamu yang seperti ini. Dokter Alendra tidak akan memberikan izin." Ines jelas menolak. "Dan kamu mau pergi ke mana?" "London, Yai." "Untuk apa?" "Membawa pulang seorang kekasih." *** Deenan Jevino Argadhika meninggalkan partner-nya di Malaysia. Malah, Aji adalah tersangka yang memesankan tiket pesawat. Deenan tidak akan pulang dengan hati bimbang seperti itu, Aji harus membuat tindakan dan dia berhasil. Deenan bukannya berat untuk pulang, tapi dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika nanti akhirnya berhadapan dengan perempuan itu. Pastinya sangat canggung, Deenan tidak akan sampai hati menatap atau mendengar suara perempuan itu. Mama bilang Danie sudah berada di rumah keluarga Argadhika, itu berarti Deenan akan langsung bertemu dengannya. Tidak ada tempat melarikan diri karena Deenan memang tidak ingin bersembunyi. Lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengatakan hal-hal rendahan seperti 'Hai', "Hallo" atau lainnya. Deenan hanya—masih—belum percaya bahwa hari di mana Danie bangun benar-benar ada. Deenan tidak membawa koper, hanya sebuah tas ransel hitam berisi passport, dompet, parfum dan beberapa potong pakaian bersih. Taksi mengatarkannya dari bandara menuju rumah, sepanjang jalan pikiran Deenan terlalu penuh. Dia menebak di mana kamar yang ditempati Danie, bagaimana ekspresi perempuan itu jika bertemu dengannya, atau bagaimana responnya sendiri saat melihat Danie. Semua berkumpul jadi satu sampai taksi itu berhenti tepat di depan gerbang megah rumahnya. Setelah lulus SMA, Deenan sudah tidak tinggal di sini. Papa menghadiahkan masing-masing satu apartemen untuknya dan Shaen. Berhubung Shaen kuliah di Amerika, satu apartemen itu disewakan sampai nanti Shaen ingin pindah lagi ke Indonesia. Sedangkan ruangan tepat di depan pintu apartemen Shaen dengan senang hati ditempati Deenan. Jadi, sebenarnya Deenan pulang ke rumah sesekali dan sekarang ada seseorang yang tinggal di sini. Suasana rumah terasa berbeda namun bukan asing. "Deen?" Pintu dibuka oleh Ghea, yang langsung tersenyum melihat putranya. "Delay?" "Ya, satu jam. Aji nggak pernah becus pesen pesawat," kata Deenan setelah mengecup pipi Mama. Ghea membawa Deenan masuk, menyuruh agar anaknya itu minum karena perjalanan jauh yang pastinya melelahkan. "Danie di kamar tamu." Dan Deenan mengangguk kecil saat mendengar informasi dari Ghea. "Apa dia sehat?" "Iya." "Nggak ada yang lebih bagus dari itu." "Kamu mau nemuin Danie?" Deenan mengangguk lagi. "Memang harus kan, Ma?" "Kamu istirahat dulu di kamar, Deen. Mandi, makan, lalu abis itu ketemu Danie." "Deenan mau ketemu dia sekarang." Lebih cepat lebih baik. *** Dulu, Danie selalu ingin tinggal di rumah keluarga Argadhika. Baginya, bangunan megah ini bukan hanya sekadar karya dari Arsitek, melainkan tempat berkumpulnya orang-orang yang saling menyayangi. Penuh kehangatan, dikelilingi rasa nyaman. Tembok-temboknya memeluk, menjauhkan dari hal-hal gelap. Merawat tawa, melepaskan bahagia. Sampai sekarang kehangatan itu masih ada. Danie bisa merasakan saat matanya terpejam, dadanya penuh oleh aura positif. Danie merasa aman. Danie merasa pulang. Dulu, Danie berharap bisa tinggal di rumah ini selamanya. Danie masih ingin, tapi nyaris tidak mungkin. Danie menganggap semua ini hanya singgahan sementara, setelah waktunya tiba Danie akan pergi. Dr. Alendra memang mengizinkannya keluar dari rumah sakit, tapi Danie harus rajin check up. Langsung lapor jika merasa sakit meski sedikit. Lihatlah, aku benar-benar menyusahkan. Danie tidak melakukan banyak hal setelah bangun dari tidur siang. Kepalanya berat, dan dia sadar bahwa ucapan dr. Alendra adalah benar. Kondisi Danie masih sangat rapuh, tapi Danie harus kuat. Kakinya perlahan menyentuh lantai untuk mencari sendal berbulu. Danie ingin keluar untuk menanyakan kapan Deenan tiba, namun saat pintu kamarnya terbuka dia mendengar suara yang begitu familiar tidak jauh dari tempatnya berdiri. "... Sha, gue udah balik. OK?" "... bisa nggak lo jangan teriak-teriak?" "... Damn, Sha, lo bikin gue tambah pusing." Danie tahu itu suara Deenan. Danie tahu arahnya dari pintu kaca yang menghubungkan langsung dengan taman belakang, sehingga dia langsung membawa langkahnya ke sana. Seseorang berdiri membelakangi Danie. Menjulang tinggi, kaos putih membukus lengan kekar yang sedang menempelkan ponsel di telinga. "Deenan?" Dan ketika sosok itu berbalik, Danie nyaris melupakan bahwa dia sedang berhadapan dengan Deenan Jevino Argadhika. Pemuda tampan yang sialnya semakin tampan setelah lima tahun mereka tidak bertemu. Danie tidak berkedip ketika menatap Deenan, dia kira ini akan mudah tapi ternyata tidak. "H—ai, Danie." Suara Deenan terdengar seperti o***m. Danie tidak menyangka namanya akan terdengar luar biasa ketika keluar dari mulut Deenan. Ada canggung yang sedikit lama sebelum Danie kembali sadar pada tujuannya. Tapi sekarang kepalanya terlalu pusing. "Glad to see you again. Maksud aku—gue, lo di sini. Aku—gue, damn it." Danie ingin menunjukkan sisi kuatnya, tapi sulit. "Hei, lo oke?" Ketika Deenan hendak menggapainya, Danie langsung mundur. "Lo mau gue anterin ke kamar?" "Nggak." Terlalu lama waktu terbuang. "Ceraikan gue, Deenan." Kening Deenan langsung mengerut, bingung. "Sorry, Danie. Gue rasa lo harus istirahat sekarang." "I will, tapi setelah gue dan lo bercerai. Ini sangat bodoh, Deen." "Apa yang bodoh, Danie?" "Kamu—lo, menikahi gue. Itu bodoh." "Gue berhak menikahi siapapun." "Dan itu bukan menikahi Danielle Fegaya..." ujar gadis itu, suaranya mengecil. "Lagipula pernikahan harus berdasarkan cinta." Deenan tidak menjawab. "Ceraikan gue, Deenan. Dan ini akan mudah." Seharusnya pemuda itu mengerti. "Lo masih 22 tahun, lo nggak mungkin mau terjebak dengan gadis menyusahkan seperti gue. Hidup lo masih panjang dan Danie yang dulu udah mati. Sekarang hanya ada Danie yang berusaha membereskan semuanya. Lo jangan khawatir, lo akan mendapatkan kembali waktu lo yang terbuang sia-sia karena menikahi orang yang koma." Deenan melihat Danie yang sudah tidak fokus sehingga dia menyentuh bahu gadis itu. "Jangan bodoh, Deen. Ceraikan gue," ujar gadis itu lagi. Matanya memanas padahal Danie berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menangis di hadapan Deenan. "Kenapa gue harus menceraikan istri gue?" Ini lucu. "Karena lo berhak atas kebahagiaan lo." "Lo juga berhak atas kebahagiaan lo, Danie." Deenan berkata serius. "Terlalu percaya diri, Deenan." Sekarang Danie benar-benar tertawa. "Apa lo pikir, lo adalah kebahagiaan gue?" "...." "Bukan, Deen. Lo bukan kebahagiaan gue lagi sekarang. Jadi, ceraikan gue dan gue akan menghilang setelahnya." "I'm sorry my wife, tapi gue nggak akan mewujudkan keinginan lo itu." Deenan membawa Danie mendekat, lantas mengecup bibir gadis itu. Tidak ada penolakan, sehingga kini Deenan benar-benar mencium Danie. Danie tidak tahu apa yang dia lakukan. Seharusnya dia menghajar Deenan, menunjukkan pada pemuda itu bahwa hatinya bukan milik Deenan lagi. Tapi Danie membalas ciuman itu. Ciuman yang bagi Danie adalah bentuk nyata dari selamat tinggal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN