CHAPTER 21

1802 Kata
"I'll take care my wife." Deenan menatap kedua orangtuanya setelah makan malam selesai. Danie yang juga bergabung di sana bisa mendengar dengan jelas. Wajar jika Jason langsung menatap Deenan dan bertanya tegas, "Kamu mau bawa Danie ke apart?" "Iya." "Kamu yakin, Deen? Apart  kurang nyaman untuk kesehatan Danie." Danie tidak tahu soal apartemen, atau ke mana pembicaraan ini sebenarnya bermuara. "Danie adalah tanggung jawab Deenan, Pa," tambah pemuda itu, tidak ada keraguan. "Danie istri Deenan." Aku bukan tanggungjawab siapa-siapa. Tapi Danie memilih bungkam daripada melayangkan protes. Lagipula, Deenan terlatih untuk mengatakan sesuatu langsung pada poinnya. Pemuda itu tak perlu bantuan dari 'calon mantan istrinya'. "Apa nggak sebaiknya Danie di sini aja dulu sampai pulih? Kamu bakal sibuk kerja, siapa nanti yang ngurus Danie?" Mungkin karena Ghea adalah seorang ibu, dia memikirkan ini lebih jauh. "Kalau di sini, kan ada Mama." Danie tidak mungkin terus diam ketika objek obrolan adalah dirinya sendiri. "Tante, Danie nggak pa-pa, kok." Dan Deenan meliriknya, tak menyangka Danie akan setuju. Saat ciuman after five years mereka tadi sore selesai dengan Danie yang mendorong dadanya, Deenan tidak mengatakan apa pun soal membawa gadis itu pindah. Ternyata Danie tak keberatan. Sebenarnya kurang tahu apa tujuan Danie, tapi itu prasangka yang Deenan punya untuk saat ini. "Danie nggak mau ngerepotin Tante. Kalau ada tempat untuk aku dan Deenan ngobrol serius, ini akan jauh lebih cepat." Danie menjelaskan. "Kalau yang kamu maksud cepat bercerai, Tante sangat tersinggung." Ghea serius, bahkan wajahnya langsung muram. "Semua bisa diperbaiki, Danie. Jika bercerai malah membuat masalah baru, lebih baik dihindari. Coba pikirin lagi." "Tante..." gadis itu menghela napas sejenak. "Memangnya Tante pikir aku dan Deenan itu adalah romantic couple, happy, together, forever?" lalu tertawa mengejek, bahkan Danie tidak tahu ke mana hilangnya manner yang dilatih papa sejak kecil. "Maaf Tante, tapi itu terlalu delusional. Jujur, aku sangat mengasihani Tante karena punya pikiran seperti itu." Adalah kalimat final dari Danie. Mengasihani katanya? Ghea seperti tidak mengenali sosok Danie yang duduk di hadapannya ini. Kepingan dari kata mengerti tak didapati, Ghea wajar kecewa pada Danie. "Seharusnya kamu berterima kasih sama Deenan, bukan menceraikannya! Memangnya kamu pikir kecelakaan lima tahun lalu—" Apa? Kenapa dengan kejadian lima tahun lalu? Danie ingin jawaban penuh, yakin bahwa Ghea tahu sesuatu. "Sayang..." Jason langsung memberikan sebuah gelengan kepala untuk istrinya. "Don't say anything, you promised," ujarnya pelan, sehingga Ghea tidak melanjutkan ucapannya. Wanita itu hanya menutup mata, dan menetralkan napas. "Ma, ini urusan Deenan dan Danie." Deenan mencoba menenangkan hati Ghea. Pemuda itu tahu mamanya tersinggung. "Semua akan baik-baik aja." Ya, setelah kita bercerai semua akan baik-baik aja, ujar Danie dalam hatinya. "Sebenarnya kalau kalian nggak menikahkan aku dengan Deenan, semuanya akan mudah. Berhubung semuanya udah terjadi, sekarang aku cuma mau menyampaikan permintaan maaf karena aku nggak bisa menyajikan drama yang udah kalian rancang," ujar Danie sarkas, lalu melangkah pergi dari sana. Jika setelah ini semua orang membencinya, itu sangat bagus. Memang tujuan Danie. *** "Look, Danie," Deenan mencoba mengajak Danie berbicara. "Lo nggak perlu sekasar itu sama orangtua gue. Mereka cuma nurutin kemauan gue untuk menikahi lo. Semuanya adalah tanggungjawab gue." "Kalau begitu segera buat surai cerai. Om Jason pengacara, kan?" balas gadis itu dengan suara lantang. "Lo yang buat ini jadi lama." "Gue udah bilang sama lo, gue nggak akan menceraikan lo." Danie memutar bola matanya ke atas. Mereka adalah sepasang suami istri yang saling berbicara sinis di depan pintu apartemen. Bersyukur lorong di lantai 12 selalu sepi sehingga kecil kemungkinan akan ada yang mendengar. "Lo bilang apart di depan lo itu punya Shaen. Gue mau tinggal di sana," kata Danie seenaknya sehingga Deenan melirik dengan alis naik. "Apart Shaen ada yang nyewa, lagian gue bawa lo ke sini supaya tinggal sama gue." "Lo nggak mu menceraikan gue, berarti gue juga nggak sudi tinggal sama lo, Tuan Deenan." Iya, Danie tahu ini terlalu kasar, tapi biarlah. "Bisa nggak kita masuk dulu dan bicarain ini di dalem?" Deenan membuka pintu apartemennya, sedangkan Danie masih berdiri dengan angkuh. Ingin kunci apartemen Shaen. "Masuk, Danie." "...." "...." "Mrs. Argadhika...." "Oke, oke!" Danie menghentakan kakinya, melangkah masuk dengan terpaksa. "Dan jangan manggil gue kayak gitu lagi! Kita akan cerai secepatnya!" Deenan hanya menahan senyum, lalu menutup pintu setelah membawa koper berisi baju baru milik Danie yang mereka beli di mall besar dekat apartemen. Setelah di dalam, Danie tak perlu menebak bahwa apartemen Deenan pasti akan sangat rapi. Di d******i warna putih dan abu-abu, barang-barang tertata, dan cukup nyaman untuk ditempati sendiri. "Jadi, kapan penyewa di apart Shaen bisa lo usir?" Danie tidak mau menunggu lama. "Coffee or tea?" "Deen, gue nggak haus," kata Danie, mulai jengkel ketika Deenan malah pergi ke mini kitchen. Sibuk membuka kulkas, pertanyaannya yang begitu penting tidak didengar. "Gue cuma mau nge-treat istri gue dengan baik," ujar pemuda itu dengan wajah tak menampilkan ekspresi apa pun. "So, coffee or tea, Mrs. Argadhika?" "Deenan!" "Mungkin lo lapar?" Deenan belum berhenti. "Mau makan? Atau lo yang gue makan?" Dengan ekspresi paling berengsek yang pernah Danie lihat, dia yakin Deenan sedang mempermainkannya. Mencemooh. Benar-benar kurang ajar. "Makan diri lo sendiri!" bentak gadis itu sambil melemparkan bantal sofa yang bahkan tidak mengenai Deenan seinci pun karena jaraknya lumayan jauh. Deenan datang membawa segelas air putih, menyuruh Danie duduk di sofa namun tidak mudah karena sekarang Deenan seperti berhadapan dengan Danie yang sama namun versi lebih keras kepala, tak mudah ditebak, dan... kuat. Deenan tidak tahu bahwa koma bisa merubah kepribadian seseorang sampai 180 derajat. Atau mungkin Danie berubah bukan karena koma. "Ada berapa kamar di apartemen ini?" Danie tidak membiarkan waktu terbuang sia-sia. "Sebenernya dua, tapi satu lagi gue pake jadi studio foto sekaligus ruangan kerja," jelas Deenan. Mendengar itu, Danie paham bahwa Deenan tidak menyerah pada mimpinya. Pemuda itu mempunyai pekerjaan sesuai hobinya sejak dulu, yaitu memotret. Danie bisa melihat beberapa penghargaan yang dipajang di tembok, atau beberapa bingkai foto berisi momen yang menunjukkan bahwa Deenan adalah orang yang ahli dalam bidang photography. Sepertinya Deenan punya kehidupan yang bagus, sayang sekali kehadiran Danie mengacaukan semuanya. Danie berjanji akan melepaskan lelaki itu dari kesengsaraan. Sebentar lagi, tunggu saja. "Gue harus ngomong sama orang yang nyewa apart. Selagi nunggu dia pindah, lo bisa pakai kamar gue," kata Deenan, masih membujuk agar Danie mau minum dan gadis itu bahkan tak peduli. "Lo tidur di mana?" "Di kamar gue—kita, sharing." "In your dream." "Danie, lo istri sah gue kalau lo lupa. Nggak ada yang salah dengan berbagi kamar." Tapi hubungan mereka salah. Danie tidak suka terikat dengan Deenan. Berbagi ruangan yang sama berarti mereka akan sering bertemu dan itu tidak baik untuk kewarasannya. "Gue sering punya kerjaan di luar, dan lama. Lo akan tenang-tenang aja pake kamar gue, Danie." Itu artinya Deenan jarang di apartemen, kan? "Sebenernya gue bisa tidur di sofa, tapi gue masih jet lag," ujar Deenan sambil memijat leher kanannya. "Mungkin besok gue bisa tidur di sofa tapi untuk malem ini biarin gue tidur di kasur." "Itu kasur lo, silakan." Danie menjawab acuh tak acuh. "Lo juga bisa tidur di kasur gue." "Terserah. Yang penting lo akan menceraikan gue, kan?" Danie bertanya nyaris mendesak, melupakan urusan kamar dan tempat tidur. Deenan hanya mengangkat bahu, berdiri dari sofa lalu menyeret koper menuju kamar. Danie ingin jawaban sehingga dia menyusul. "Ayolah Deen, jangan buang-buang waktu." Gadis itu terus mengoceh. "Menceraikan gue adalah hal paling mudah yang bisa lo lakukan." Deenan masih diam, sekarang dia merapikan baju-baju Danie ke dalam lemari. Ada tempat kosong di sana karena pakaian Deenan tidak terlalu banyak. "Deen," gadis itu menarik tangan Deenan agar menatapnya. Hal konyol ini perlu penyesalan. "Ceraikan gue." "Lalu apa?" Deenan memberikan perhatian yang Danie inginkan sejak tadi. "Setelah gue menceraikan lo, memangnya apa yang bakal terjadi?" "Apa pun, yang pasti lebih baik. Gue yakin! Sebagai contoh ringan, kongkrit: lo nggak perlu terjebak sama gue selama-lamanya." "Sayangnya, lo akan terjebak sama gue selama-lamanya, Mrs. Argadhika. Dan gue nggak mau menceraikan lo sampai kapan pun." *** Danie harus pergi ke London, sehingga seminggu setelah memperpanjang passport dan mengurus visa, dia siap terbang. Kedua tangannya bertaut menunggu pesawat lepas landas, duduk tak tenang di kursi dekat jendela. Dua kursi di sebelahnya kosong. Kepergiannya kali ini tidak ada yang mengetahui, atau begitulah yang Danie yakini. Dr. Alendra akan kesal padanya karena keras kepala, sedangkan keluarga Deenan pasti sudah tak tahu lagi harus bagaimana dengan kegigihannya yang menyebalkan. "Your seat, sir." "Thank you." Kepala Danie tentu saja langsung melirik dan dia menemukan pemuda itu duduk di tempat yang tadi ditunjukkan oleh pramugari. "Lo pakai credit card gue, Danie. Semua pengeluaran masuk ke email." Deenan menjelaskan lebih awal sebelum gadis itu mencecar pertanyaan mengapa dia ada di pesawat. Ya, Danie memang memakai credit card Deenan untuk membeli tiket pesawat, mengurus ini dan itu ketika pemiliknya tidur. Danie juga memakai laptop Deenan untuk mencari tahu alamat Rhea di London. Semuanya Danie lakukan karena dia tidak memegang uang sebanyak itu setelah bangun dari koma. Saldo di bank-nya baru bisa cair jika wali memberikan tanda tangan. Dan satu-satunya wali Danie sekarang adalah Deenan, suaminya. Sedangkan Danie tidak mau meminta tolong Deenan untuk pergi ke bank dan berkata pada mereka bahwa lelaki itu adalah suami dari Danie. Gadis itu juga tidak memegang ponsel, lebih tepatnya menolak pemberian Deenan. Sekarang dia jadi sulit sendiri, agak menyesal. Danie yakin tagihan-tagihan itu akan diketahui Deenan, tapi dia tidak menyangka bahwa Deenan sekarang malah duduk di sebelahnya. "Lo mau ketemu Rhea, kan?" tanya Deenan, yang sialnya akurat. Danie mengangguk cepat. "Ya." "Setelah itu apa?" Pandangan mereka bertemu, "Lo bisa lamar dia. Seperti yang selalu lo inginkan sejak dulu." "What a joke, Danielle." "Lihat aja, lo akan berterima kasih sama gue." Deenan menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu menutup mata. "Do what you want." *** Sungai Thames, London. Setelah terbang selama 15 jam dan harus mendapatkan perawatan di sekitar bandara (ini karena Danie butuh oksigen) mereka sampai di pusat kota lebih lama dari yang Danie inginkan. Deenan membawanya ke daerah Sungai Thames, padahal Danie ingin ditunjukkan di mana tempat tinggal Rhea. Deenan hanya berkata tunggu saja di sini, dan Danie akan mendapatkan apa yang gadis itu mau. Jam menunjukkan pukul delapan malam dalam waktu setempat. Area sungai yang sangat terkenal ini sangat tenang meski beberapa turis bahkan warga asli menghabiskan waktu mereka di sini. "Deen, gue kan udah bilang langsung ke apartemen gue aja, nggak usah pengen dijemput di—" Seseorang datang dengan wajah yang sangat familiar, tampak tak berubah. Hanya saja lebih cantik dari lima tahun lalu. Danie tidak tahu akan secanggung ini saat matanya bertatapan dengan Rhea. Tampak tak percaya melihat Danie, jelas sekali terpampang di wajah Rhea sehingga dia tidak melanjutkan kalimatnya. Perempuan itu hanya menatap kepada Danie kemudian Deenan. "Hai, Rhe?" Dua kata pembuka dari Danie. Struktur nada paling asing. "How—I mean," Rhea perlu beberapa kali menyadarkan dirinya, berbeda dengan Danie yang tampak sangat tenang. Lantas dia tersenyum kikuk. Ini realita. "Hai, hai Danie...." Mereka akhirnya bertemu.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN