CHAPTER 19

1564 Kata
Danie tidak menyangka bukan hanya dr. Alendra yang menanganinya. Selama lima tahun ini ada dua dokter lain yang rutin mengecek keadaan Danie, dan beberapa perawat yang mengatakan bahwa mereka senang sekali Danie bisa bangun. Mereka semua adalah tenaga medis yang ditunjuk langsung oleh Jason, dan Danie ditempatkan di ruang rawat VVIP. Selama lima tahun ini, Jason sudah membuang-buang uangnya untuk Danie. Salah satu perawat bilang bahwa kakek dari suami Danie—yang tak lain adalah Tuan Javier Argadhika—mempunyai saham khusus di rumah sakit ini. Itu berarti Javier memberikan wewenang kepada Jason soal siapa tenaga medis yang merawat Danie. "Suami Danie belum datang?" Salah satu perawat berumur 30 tahun yang mengenalkan dirinya sebagai Erna, tersenyum kepada Danie. Membawa makan siang. Awalnya dia memanggil Danie 'mbak' tapi perempuan itu minta dipanggil nama saja. "Mas Deenan biasanya selalu dateng sore, terus malemnya nginep dan pagi-pagi pulang." Selalu? Jadi Deenan di sini?  "Selama lima tahun?" tanya Danie, memastikan. "Iya. Baru dua bulan ini aja Mas Deenan nggak dateng." Danie tidak mau tahu mengapa Deenan tidak datang, mungkin pemuda itu muak. Yang Danie ingin tahu sekarang di mana Deenan berada agar dia bisa memberikan surat cerai secepatnya lalu benar-benar menghilang dari kehidupan Deenan. "Tenang aja Danie, suamimu ganteng banget." Erna menahan kekehannya. Sebenarnya Danie sudah yakin soal itu. Deenan versi dewasa akan mempesona. Namun... hal itu tak penting lagi untuknya. Danie bertanya pada Erna, "Aku boleh bolos terapi hari ini?" "Tidak." Pintu ruangan terbuka, dr. Alendra datang dengan jas putihnya yang bersih. Perawat memberikan sapaan, menjelaskan keadaan Danie yang mulai membaik. "Kamu punya keinginan sembuh, Danielle. Ini bagus." "Ya, karena aku harus cepat keluar, dokter," balas Danie, singkat. "Dan sebaiknya dokter nggak menghalangi aku." "Saya tidak melakukan itu. Saya dokter yang menangani kamu sejak awal, memperhatikan kamu, Danielle." "Apa ada hal penting yang harus aku tahu? Jangan terlalu baik, Dok. Ini tubuh aku, dan setelah keluar dari rumah sakit ini Anda nggak perlu merawat aku lagi." "Kamu masih harus kontrol dan bertemu saya. Apa yang terjadi kepada kamu adalah hal yang serius, Danielle." Dr. Alendra menatap pasiennya. "Kamu tidur selama lima tahun, banyak efek yang terjadi. Fungsi organ tubuh kamu tidak stabil. Fisik kamu boleh saja membaik tapi saya mengkhawatirkan mental kamu. Di tahun pertama, setelah melakukan dua operasi besar—yang mengharuskan saya memotong habis rambut kamu—bahkan tidak ada tanda-tanda rambut kamu akan kembali tumbuh. Saat itu Ghea terus menangis, saya mengatakan bahwa kamu akan bangun dan rambut-rambut itu pasti tumbuh lagi." Dr. Alendra menambahkan, "Dan di sini kamu sekarang. Membuka mata, setelah waktu yang lama. Saya rasa, kamu harus bertahan sedikit lagi sampai saya yakin untuk mengeluarkan kamu dari rumah sakit." "Selama dua minggu ini aku sudah melakukan terapi yang Anda mau, aku baik-baik saja. Aku sehat," kata Danie. "Aku janji akan langsung menghubungi dr. Alendra jika terjadi sesuatu—" "Saya tidak ingin terjadi sesuatu kepada kamu, Danielle. Sudah waktunya kamu kembali sehat, tunggulah beberapa waktu lagi. Selesaikan terapi kamu." "Aku harus melakukan sesuatu...." "Apa yang lebih penting dari kesehatan kamu, Danielle?" "Dokter..." perempuan itu menghela napasnya, "Anda adalah orang yang sejak awal merawat aku. Pasti dokter tahu bahwa aku dinikahkan saat terbaring koma. Ini nggak benar, Dok. Aku harus segera bercerai. Dan aku mau keluar secepatnya dari rumah sakit untuk menemukan Deenan. Aku mau ini cepat selesai." *** Shaenette : istri lo udah bangun. Shaenette : Deen, sebaiknya lo pulang. "Kalau nggak mau dimakan, buat gue aja." "Sumpah, lo harus tahu caranya berhenti kerja, Man." "Gue nggak lagi kerja." Karena Deenan sedang membaca pesan masuk dari kembarannya. "Pesan dari rumah, Ji. Penting." "Ohh..." Lelaki berbadan tegap yang siap mengambil alih kentang goreng milik Deenan itu langsung paham, sadar bahwa teman plus rekan bisnisnya juga punya kehidupan lain di luar pekerjaan, meski selama ini yang Aji lihat Deenan hanya sedang mencoba mengulur waktu. Bahkan Aji tak pernah segan menyeletuk, "Man, lo hidup tapi seakan nggak hidup." Jika sudah melihat betapa gilanya Deenan bekerja. Aji kenal Deenan saat pertama kali daftar ulang di kampus, Petrida. Wajah blasteran Deenan menarik perhatian Aji yang saat itu posisinya tidak punya kenalan karena Aji asal Jogja. Takdir berbaik hati, mereka berdua satu jurusan, satu kelas, satu hobi. Mereka akrab, Deenan menunjukkan betapa besar dan melelahkannya kota Jakarta sedangkan Aji menunjukkan betapa hidup ini bisa dinikmati lewat hal sederhana. Deenan menjadikan Aji teman baiknya selain tiga orang kucrut yang sudah Deenan kenal sejak lama. Xeliv, Maxon serta Gavin kuliah di luar negeri, adalah alasan teratas mengapa sekarang Deenan dekat dengan Aji. Bahkan mereka berdua bersama-sama membangun bisnis. Sebuah jasa profesional di bidang fotographi. "Lo mau balik?" tanya Aji ketika Deenan terlihat begitu resah. "Ada sesuatu di rumah? Atau kenapa?" Deenan hanya menggeleng, seolah itu cukup sebagai jawaban. Dan bagi orang iseng seperti Aji, tentu saja sesuatu yang kongkrit yang dia cari. "Gue bisa handle kerjaan besok, Deen. Santai aja kalo lo mau balik." "Nggak, gue balik setelah kerjaan selesai." Selalu seperti ini, Deenan tak akan pernah mau lepas tanggung jawab, Aji hapal betul. "Lo kerja mulu, seakan lagi nabung buat nikahin Raisa." Aji memberikan ledekan, sebenarnya ada bumbu serius di sana agar Deenan tersentil. Jangan salah paham, Aji sama rajinnya dalam mencari rupiah, tapi Deenan adalah versi tidak tahu waktu dan keadaan. Apalagi dua bulan terakhir ini adalah yang terburuk. Aji harus mengecek Deenan lebih sering takut temannya itu mati karena kelelahan mengambil job. "Raisa udah nikah. Amnesia lo?" dan hanya diberikan ekspresi lempeng dari wajah Deenan. "Lagian gue juga udah nikah, Ji." "Man, jadi itu serius? Lo punya istri?" tanya Aji,  berisik. "Menurut lo gue bercanda?" Aji menggeleng cepat, jika Deenan sudah berkata A maka sesuatunya tidak akan berubah menjadi B apalagi Z. "Lo emang gila." Deenan menaruh ponselnya di atas meja. Melirik kentang goreng yang hampir habis, sebagian sudah pindah rumah ke perut Aji. Lalu suaranya terasa sangat pelan saat mengatakan, "Dia udah bangun, Ji." "...." "Dia udah bangun." "OK? Happy?" Aji tidak tahu bagaimana merespon. "Lo nunggu dia, kan? Berapa tahun, Deen?" "Lima tahun." "Tuan Deenan Jevino Argadhika, lo adalah b*****t tergila yang pernah gue temuin." Aji wajar menganggap teman baiknya hilang waras, karena Aji saja tak pernah sanggup berpikir—apalagi sampai bersedia menikahi seseorang yang terbaring dalam jangka waktu lama tanpa tahu akan bangun atau tidak. Sinting. Deenan hanya terkekeh sedetik kepada Aji karena pilu itu hadir di wajahnya lagi. "Gue seneng dia bangun, tapi..." Menunduk, entah melihat apa. "Dia nggak akan seneng setelah tahu gue adalah suaminya." "Gue rasa, dia harus bersyukur. Maksud gue—lo adalah seorang Deenan. Artis-artis cantik yang udah dipotret sama lo aja sampai ngemis-ngemis pengen hatinya lo ambil. Kenapa istri lo harus nggak seneng? Gue kurang paham." "Dia nggak akan seneng." Deenan seyakin itu. "Apalagi setelah tahu alasan kenapa gue nikahin dia." Alis tebal Aji langsung mengerut. "Terus lo nggak akan nemuin istri lo, gitu?" "Gue nggak tahu, Man." *** Baru dua minggu, dan Danie sudah bosan. Dengan makanan rumah sakit, aroma, atau segala jenis terapi yang di hadapakan padanya. Ini nyaris seperti Danie diberikan tugas oleh dr. Alendra dan kewajibannya adalah mendapatkan nilai perfect. Sesuatu yang sudah rusak tidak bisa pulih menjadi sempurna lagi meski dia bisa sembuh. Danie mengira orang-orang memang melupakan kenyataan, terus bersembunyi lewat kalimat andalah mereka: semua akan baik-baik saja. Apa mereka tidak bosan percaya pada harapan fiksi? Karena Danie saja sudah muak. Danie berusaha mengingat kecelakaan yang dialaminya. Tapi s**l, sangat sulit. Dr. Alendra bilang ingatannya akan terkumpul seiring berjalannya waktu tapi Danie tidak tahu kapan. Hanya berharap itu bukan kebohongan, trik lain agar dia merasa lebih baik. Yang Danie ingat hari itu dia berlari, dan menangis. Ada banyak tangisan. Sekarang dirinya paham mengapa Deenan begitu kesulitan saat bersamanya karena Danie selalu menangis. Untuk banyak hal, yang bisa dia lakukan hanya membuang air mata. Benar-benar menyebalkan.  "Apa lo mau makan sesuatu?" Shaen bertanya dengan suaranya yang manis. Dia mendapat gelengan dari Danie. "Gue tahu, sangat bosan di sini, tapi lo belum bisa keluar dari rumah sakit." "Ya, gue bosan," jujurnya. Tidak perlu Danie tutupi. "Mau minjem HP gue? Ada game." Mungkin Danie mau, mungkin juga tidak. Sejak dulu game adalah hal yang kurang akrab dengannya. Danie lebih senang membuat kue dibandingkan menghabiskan waktu untuk bermain game di ponsel atau komputer. Tapi kali ini alibi 'bermain game di handphone Shaen' mungkin saja akan memberikan informasi yang Danie inginkan sejak dia bangun dari tidur panjangnya. Shaen memberikan ponselnya yang sudah bebas password kepada Danie. Barbie di dunia nyata itu lalu duduk di sofa, menyalakan TV di ruang rawat Danie. Menonton series dari Perancis. Danie tahu membuka aplikasi chat di ponsel seseorang adalah hal yang salah, tapi Danie tidak berniat membaca pesan pribadi Shaen. Dia hanya ingin berkomunkasi dengan saudara kembar Shaen. Danie harus tahu Deenan ada di mana. Satu kontak, dengan nama Deenan berada pada urutan keenam. Shaen mengirimkan pesan kepada kembarannya, menyuruh agar pemuda itu pulang dan tidak dibalas. Maka Danie memastikan bahwa Deenan tidak ada di rumah. Di luar kota? Negeri? Deenan mengabaikan pesan dari Shaen, hanya membacanya dan sekarang Danie akan mengirimkan pesan miliknya. Atau seperti itu rencana awal Danie, karena sekarang ada notif masuk. Sebuah pesan dari orang yang memang Danie cari. Deenan : Gue balik, Sha. Deenan : hmmm, dia okey kan? Pesan Deenan sudah Danie baca, dan ini terasa lebih mudah dari yang ia pikirkan. Seharusnya, setelah ini juga akan lebih mudah. Mereka akhirnya bisa bertemu. Danie akan langsung meminta Deenan menceraikannya. Apa pun yang terjadi, Danie harus menyelesaikan apa yang sudah dia mulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN