CHAPTER 18

1988 Kata
"Hhh...." suaranya tak mau keluar, tertahan sesuatu. Matanya masih tertutup, kesulitan terbuka seperti tenggorokannya. Rasanya sakit sekali. Dia ingin bertanya ini di mana saat perlahan cahaya masuk pada netra, menusuk. Butuh seperkian detik untuknya paham bahwa dia berada di bawah langit-langit putih yang asing, dan aroma kelewat higenis yang mengerikan. Tangannya tak bisa digerakan, kebas. "Saya dokter Alendra. Bisa mendengar saya?" Suara itu menyambut Danie yang terus berusaha berbicara. Aku di rumah sakit, ujarnya dalam hati. Bahkan dia kesulitan meneliti wajah asing berjas putih dan Danie terbatuk, terlalu ingin bersuara. Banyak pertanyaan di benaknya. "Saya akan mengeluarkan sesuatu dari tenggorkan yang membantu Anda bernapas, oke? Anda baik-baik saja." Danie yakin dia ingin mengangguk dan patuh, tapi kepalanya berat. Hanya kedipan lemah yang bisa dia berikan. Danie diminta untuk mengatur udara secara perlahan setelah dokter melepaskan satu selang. Dokter ingin Danie mengatur suaranya tak terburu-buru dan Danie tak mengerti mengapa dia harus mendapatkan seserius ini. "Anda bisa melihat saya?" tanya dokter lagi. "Anda baru saja bangun dari koma. Saya harus memasang selang agar Anda bisa bernapas." Koma? Aku? "Anda harus menjalani beberapa kali tindakan operasi. Ada pembengkakan di kepala, kecelakaan...." Maka tangan lemah Danie berpindah untuk menyentuh bagian yang diberitahu dokter. Tersadar bahwa rambut panjangnya sekarang hanya kurang dari sebahu. "Kecelakaan?" tanya Danie serak, suaranya belum stabil. "Kecelakaan tunggal, dan sekarang Anda akhirnya bangun. Semua akan baik-baik saja." Danie tidak mengerti apa yang dimaksud baik-baik saja di sini, karena dia tak mengingat apa pun. "Koma?" Danie mengulang ucapan dokter. Dr. Alendra mengangguk. "Apa Anda mengingat nama Anda sendiri?" "Danielle Fegaya." Tentu saja, bahkan Danie ingat tanggal lahirnya. Dia yakin tidak hilang memori tapi merasa kehilangan sesuatu karena tak ingat alasan mengapa harus terbaring di sini. Kecelakaan seperti apa? "Oke, Danielle. Apa hal terakhir yang Anda ingat? Hari? Atau mungkin tanggal? Jam? Perlahan saja, short-term memory loss setelah koma itu efek yang wajar." "Saya..." hanya kilasan, Danie tidak yakin, "memakai seragam. UAS. Hari terakhir UAS, tanggal—" "Saya kelas sebelas. Umur saya 17 tahun—mungkin 18? Ulang tahun saya berdekatan dengan hari terakhir UAS." Karena Danie menyiapkan resep kue yang akan dia makan saat ulang tahunnya tiba. "Anda koma, Anda memang berusia 17 tahun, Danielle," dokter menjeda, "tapi itu lima tahun yang lalu." Telinga Danie menangkap ucapan dr. Alendra dengan sangat jelas, meski terdengar seperti lelucon murahan dan Danie tidak tahu harus percaya, tertawa atau mungkin marah. Lima tahun yang lalu? Berarti... "Sekarang Anda berusia 22 tahun." "Saya tidur selama itu?" Entah untuk apa, tapi sudut matanya memanas. "Saya yakin kamu terkejut, tapi kamu bisa bangun dari koma saja itu adalah suatu keajaiban, Danielle." Dokter menjelaskan dengan hati-hati, juga merubah panggilannya karena suatu alasan. Bahwa perempuan yang tampak kebingungan ini berkaitan dengan salah satu sahabatnya. "Kamu tidak kehilangan apa pun selama lima tahun ini. Kamu dikelilingi orang-orang yang sayang sekali kepada kamu. Ghea akan senang jika tahu kamu sudah bangun." "Dokter kenal tante Ghea?" "Ghea adalah sahabat saya." "Apa tante Ghea yang meminta dokter merawat saya selama koma?" "Benar, Danielle." "Lalu rambut saya—" seharusnya bertambah panjang, kan? Bukan malah sangat pendek. Danie nyaris tidak mau membayangkan penampilannya. "Satu tahun sekali, di tanggal ulang tahun kamu, perawat memotongnya. Dan kemarin adalah tepat hari di mana kamu berusia 22 tahun." "Prosedur perawatan?" Dr. Alendra menjawab, "Atas permintaan suami kamu, Danielle." Hal konyol apa ini? Sudah cukup pertunjukan sulapnya, ia malas kembali terkejut atau sakit semakin banyak. Kening Danie hanya bisa mengerut, kesulitan mencerna alphabet. "Suami aku? Siapa?" "Deenan. Deenan Jevino Argadhika adalah suami kamu." *** Lima jam setelah mendapatkan kenyataan bahwa usianya kini sudah 22 tahun, Danie masih belum bisa menerima apa yang di hadapkan padanya. Danie seperti membuka pintu waktu, langsung pergi ke masa depan dan tidak peduli pada hari-hari sebelum ini tiba. Danie terserang panik, bahkan dr. Alendra harus menangani amukan Danie. Tidak masuk akal untuknya, kenyataan memberikan cambukan keras. Sebanyak apa pun Danie menyangkal, dia memang bukan seorang gadis SMA lagi. Tidak ada yang berubah dari wajahnya ketika bercermin, hanya lebih terlihat dewasa dan menyedihkan karena tidak berhenti menangis. Matanya bengkak. Itu artinya Danie melewatkan waktunya di universitas. Jangankan kuliah, dia adalah perempuan berumur 22 tahun yang tidak memiliki ijazah SMA karena harus koma sebelum bisa menyelesaikan Ujian Nasional. Tanpa skil, tanpa pengalaman, benar-benar jalan cerita hidup yang tak pernah terdaftar dalam otaknya. Danie tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar sekarang ini. Seolah terdampar dalam garis waktu di saat semua orang melangkah seperti biasa. Lima tahun tertidur, Danie nyaris tidak mengenali jemarinya yang kaku atau pun suaranya. Dr. Alendra memberikan Danie jadwal untuk terapi berjalan, bahkan terapi berbicara agar mampu lagi mengucapkan kalimat dengan cakap. Saat Danie bertanya kapan dia bisa keluar, ternyata paling cepat adalah 2-3 bulan sampai dia pulih total.Terlalu lama. Abighea Citra datang setengah jam yang lalu dengan ekspresi paling memilukan di mata Danie. Ghea menatapnya penuh dengan rasa kasihan, memeluk secara perlahan dan Danie semakin yakin bahwa dia benar-benar koma karena orang lain saja bisa sesedih ini atas keadaan dirinya. Apa seburuk itu? Masalah yang ingin ditanyakan Danie selain kecelakaan adalah mengapa dia bisa berakhir menjadi istri dari Deenan. Pemuda itu, entah bagaimana wajahnya saat ini, sudah mengambil risiko menikahi orang yang tertidur panjang, bahkan bisa tertidur selamanya. Kenapa? Danie yakin Deenan bukan orang bodoh. Deenan amat sangat tahu keadaan Danie. Koma selama lima tahun, bukan hanya fisik Danie yang berubah, tapi juga keadaan organ-organnya. Dr. Alendra hanya terlalu baik belum mengatakan hal terburuk dari efek koma yang dialaminya. Danie bahkan tidak bisa memikirkan berapa banyak infeksi. Lalu mengapa Deenan harus repot-repot menjadi suaminya? "Danie, semua akan baik-baik aja. Kamu akhirnya bangun." Ghea mengusap lengan Danie. "Semua udah lewat, kamu hanya tinggal melanjutkan hidup, Sayang." Melanjutkan hidup. Terdengar sangat mudah, begitu? Tatapannya kosong, Danie seperti boneka rusak yang mendesak Ghea untuk menceritakan sedetail mungkin apa yang dia lewatkan selama lima tahun. Kenyataan paling berat mampu mengacak-acak kewarasannya adalah ternyata Papanya sudah menyusul sang mama satu tahun setelah Danie koma. Dari cerita Ghea, Papa sakit karena terlalu sedih melihat Danie yang terbaring koma. Tapi Ghea meyakinkan bahwa apa yang terjadi bukan salah Danie. Kecelakaan lima tahun lalu... bukan salah siapa-siapa. Tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya, hatinya sakit, tapi air mata Danie tak bisa keluar. Seolah rasa sedihnya terlewat bersama waktu. Memori Danie saat kecelakaan tidak sepenuhnya terkumpul. Dia hanya mengingat seragam Mahardika yang dikenakannya. Sambungan telepon, teriakan keras, juga menangis kepada Deenan yang tidak mau mendengar permohonannya. Lalu kepala Danie terasa berputar jika terlalu keras mengingat. Ah... Deenan, lelaki yang menjadi pusat dunia Danie. Khayalan paling ingin Danie jadikan nyata. Poros hidupnya, semesta milik Danie. Itu dulu, lima tahun lalu. Karena sekarang dia tidak tahu bagaimana menjelaskan hatinya. Terlalu banyak kejutan yang melumpuhkan titik sensitifnya nyaris netral. Jika keadaannya tidak seperti ini, mungkin Danie akan menjadi manusia paling bahagia karena Deenan adalah suaminya. Sayang, semua tidak sama lagi. Danie tidak mau menyiksa Deenan atas perasaannya. "Seharusnya Tante nggak membiarkan Deenan menikahi aku." Danie berucap dengan tenang meski suaranya sedikit bergetar. Tapi dia berani mempertaruhkan kalimatnya tanpa perlu menggunakan tangis. "Lihat aku, Tante. Aku berantakan. Aku bahkan kesulitan mengenali diri aku sendiri." Genggaman tangan dari Ghea langsung mengerat. "Danie, jangan seperti itu. Kamu masih Danie yang sama seperti lima tahun lalu. Cantik, kuat dan sabar." "Aku memang koma, dan itu masalah aku. Bukan tanggungjawab Deenan." "Deenan tidak bertanggungjawab untuk itu, Danie. Dia hanya ingin menikahi kamu." "Aku ingin bercerai," ujarnya. Menatap satu cincin asing yang Danie yakini sebagai tanda bahwa dia memang istri sah Deenan. Cincin tunangannya tidak ada. "Ini salah. Sangat salah. Kalian memutuskan sesuatu tanpa persetujuan aku." "Danie—" "Tante..." Danie menghela napasnya, "aku ingin bercerai. Aku nggak mengerti mengapa pernikahan ini harus terjadi, tapi yang aku tahu putra tante nggak mencintai aku. Deenan nggak pernah mencintai aku. Itu sudah cukup menjadi alasan berpisah karena sejak awal sebenarnya Deenan memang nggak perlu menjadi suami aku." "...." "Tante, please bantu aku. Di mana Deenan?" *** Danie terjatuh lagi saat seorang therapist melepaskan lengannya, berharap agar sang pasien punya kekuatan cukup untuk melangkah. "Perlahan saja jalannya, mbak Danielle." Tapi Danie ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit. Banyak masalah yang harus dia selesaikan. Bahkan dia berpikir untuk kabur setelah nanti benar-benar bisa berjalan, tidak bisa menunggu selama tiga bulan. Nampaknya dr. Alendra tahu rencana bodoh Danie sehingga dia tidak diperbolehkan keluar dari ruang rawat inap jika tidak ada jadwal terapi. Dr. Alendra bilang bahwa Danie keras kepala dan sepertinya itu benar. Alasannya adalah dia sudah tertidur lima tahun, apakah perlu terjebak di sini lebih lama lagi? "Astaga, gue masih jet lag." Shaen menaruh clutch bag miliknya pada sofa ketika melihat Danie terduduk di brankar dengan sepiring apel yang sudah dikupas oleh perawat. "Danie... gue bersyukur lo udah bangun," ujarnya tulus. "Iya, Sha. Seneng ketemu lo lagi." Danie bisa menebak keadaan Shaen lima tahun kemudian. Benar saja, gadis itu semakin menjelma menjadi barbie yang begitu cantik. Memiliki selera berbusana serba mewah. Tidak berubah, Shaen tetap menyukai barang-barang branded dan rambut pirangnya menambah pesona seorang Shaenette. Ghea bilang putrinya itu pergi kuliah di luar negeri, membuat Danie semakin merasa kecil. Seolah Tuan Puteri menemui pembantunya yang sedang sakit. "Amerika seru?" Danie ingin mendengar cerita milik Shaen. Tentang bagaimana gadis itu menjalani hidupnya, menghabiskan waktu dan cara Shaen bersenang-senang. Shaen mengangguk kecil. "Well... asyik kok, meski gue kadang-kadang jadi babunya si Gavin Adibrata. Oh iya, Gavin titip salam. Dia juga seneng lo udah bangun." "Gavin pacaran sama adik tingkat," ujar Shaen, lagi. "Tapi pacar Gavin pengertian, karena tahu kalo Gavin itu Arsitek yang selaluuuuu sibuk. Pokoknya pacar dia adorable. Kayanya si b*****t itu dapat berkat dari Zeus karena hidupnya selalu beruntung." Danie hanya menampilkan senyum kecil. "Gavin juga beruntung punya lo di sisinya, Sha." "Maybe." Lalu terjadi hening, sehingga Shaen sedikit bertanya, mengusap bahu sahabatnya yang memiliki tatapan kosong. "Danie, lo okey?" "Tell me, Sha." "Tentang apa?" "Kenapa kembaran lo menikahi gue." Suasana jadi berubah, Shaen tampak kaku dan Danie tahu gadis itu akan mengalihkan pembicaraan. "Jujur sama gue, Sha. Nyokap lo nggak akan mau jelasin. Gue nggak tahu harus nanya ke siapa lagi. Apa Deenan dipaksa Bokap gue?" "Nggak, Danie." Shaen menggeleng. "Deenan menikahi lo tanpa paksaan, dalam keadaannya paling waras." "Tapi, kenapa? Maksud gue..." sudut-sudut mata Danie memanas. "Lihat gue, Sha. Gue bukan seseorang yang harus Deenan nikahi. Gue cuma mayat hidup yang baru bangun dari koma. Bahkan mungkin gue nggak akan bisa bertahan untuk beberapa tahun ke depan." "Jangan ngomong gitu, Danie. Lo akan sehat." "Gue nggak mau Deenan jadi suami gue." "Sadly, dia suami lo. Deenan menikahi lo tiga tahun yang lalu." "Apakah pernikahan jadi sah ketika mempelai wanitanya dalam keadaan nggak sadar? Lagipula, siapa yang akan percaya seorang Deenan Jevino Argadhika punya istri di umur 22 tahun, Sha? Kalau ini diteruskan, gue hanya akan jadi beban kembaran lo. Deenan pasti malu punya istri seperti gue." "Astaga Danie, nggak kayak gitu." Shaen tampak frustasi menjelaskan. "Deenan menikahi lo karena dia mau menikahi lo." "Gue yakin ada alasannya. Dan setelah gue menemukan alasannya, dia nggak akan jadi suami gue lagi." "Maksud lo apa?" "Sha, gimana mungkin gue membiarkan Deenan jadi suami gue?" Danie menatap Shaen dengan serius. Lantas menaruh tangan kanannya pada d**a. "Di sini, nggak bergetar lagi, Sha. Nggak ada Deenan di sini. Berkali-kali gue ucap namanya, berkali-kali juga gue yakin kalau perasaan gue hilang." "...." "Sebaiknya kita memang harus berpisah dari orang yang nggak kita cinta kan, Sha?" "Danie—" "Oh iya, jika Deenan adalah benar suami gue, di mana dia sekarang? Di mana dia saat istrinya udah bangun dari koma?" Terkesan menantang dan menyebalkan, tapi hanya itu satu-satunya harga diri Danie yang tersisa, dia sudah berantakan. "Di mana Deenan, Sha? Sedang b******a bersama Rhealine?" "Danie..." Shaen hanya bisa menatap penuh kekecewaan. "Ucapan lo sangat kasar. Gue nggak kenal lo yang sekarang." "Apa itu bagus?" Karena aku akan menjadi egois. "Gue ingin bercerai." "Terserah. Gue hanya mau lo bahagia. Jadi tolong pikirkan ini baik-baik. Jika menjadi istri Deenan terlalu menyakitkan untuk lo, silakan lakukan apa yang lo mau. Karena ini hidup lo, Danie."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN