CHAPTER 17

2968 Kata
Insiden Danie yang terserempet motor dua minggu lalu menjadi batu loncatan bagi hubungannya dan Deenan. Mereka berdua pergi dan pulang sekolah selalu bersama, di sore hari mencari jajanan dengan Rhea. Berbagi lelucon, meski Deenan masih kaku pada Danie, tak terbiasa memperlihatkan sisi humornya. Rhea berusaha mengajak (meski sebenarnya lebih kepada memaksa) Deenan untuk lebih sering berinteraksi, atau mendesaknya dalam menunjukkan perasaan. Deenan mendumel, tapi tetap setuju melakukan ini-itu. Pemandangan yang membuat Rhea puas. Kapan lagi bisa melunturkan ego Deenan Jevino? Hari ini Rhea tidak pulang bareng, sehingga Danie menunggu Deenan di sekitar parkir mobil. HOJ sudah selesai, jadwal kelas kembali aktif untuk UAS dan Danie harus mengakui bahwa Deenan selalu sibuk jika akan ada ujian resmi sekolah. Deenan itu favorit guru, banyak murid yang takut gagal ujian ikut pendalaman materi dengan Deenan. "Noona, kok belum pulang?" Suara Yuggi yang datangnya dari samping kiri membuat Danie melirik. Cowok itu menyeruput minuman berwarna pink. "Nunggu Deenan," jelas Danie sambil menanya balik mengapa anak berbintang satu pada kerahnya itu belum pulang juga dan Yuggi menjawab bahwa dia meminjam buku pelajaran di perpus. "Aku punya beberapa buku paket matematika kelas 10, mau minjem?" Mata Yuggi berbinar. "Boleh? please, noona. Buku yang ada di perpus harus dibalikin tiga hari setelah pinjam." Sesuai ketentuan Mahardika, lebih dari tiga hari kena denda. "Boleh, nanti kamu ke rumah aku aja, Gi." "Ngapain?" Itu Deenan, datang dengan tas gendongnya yang tersampir hanya sebelah. Alis naik satu, dan menatap Yuggi penuh penilaian. "Belajar, mau UAS. Jangan main." Yuggi langsung menggeleng. "Eh, bukan. Mau pinjam buku." Deenan melirik Danie, seolah bertanya itu benar atau tidak dan gadis itu mengangguk cepat. "Buku Danie masih bagus-bagus, sayang kalau nggak kepake." "Oh...," Hanya itu, dan Deenan melangkah mencari mobilnya. Danie mengikuti namun Deenan sedikit terganggu ketika Yuggi hendak membuka pintu belakang mobilnya. "Lo mau ngapain?" tanyanya. "Numpang. Kak Deenan mau nganterin Danie-noona, kan? Sekalian." Awalnya Yuggi memanggil Deenan dengan sebutan hyung, dalam bahasa Korea berarti kakak laki-laki yang dekat. Namun Yuggi merasa Deenan tidak senang dengannya sehingga dia merubah panggilan. Deenan hanya mengangkat bahunya dan bagi Yuggi itu adalah lampu hijau. Dia buru-buru masuk ke mobil, memuji kebersihan kendaraan milik Deenan dan mengobrol hal yang ringan-ringan dengan Danie. Dari kaca spion depan, Deenan melirik pemuda Korea yang selalu bersemangat itu. Yuggi berkata bahwa dia suka pipi cubby milik Danie dan Deenan pikir itu berlebihan sekali. Biar apa muji-muji? Caper? Dan apa dia tidak tahu kalau Danie sudah punya tunangan? Cowoknya Danie sedang menyetir! Hell. Isi pikiran Deenan adalah itu. Aneh, Deenan seharusnya tidak perlu repot-repot menganggap Yuggi adalah saingan. Konyol. Saingan dalam hal apaan, sih? "Makasih udah ngasih tumpangan, kak!!" ujar Yuggi ketika dia membuka pintu. Deenan membalas sarkas, "Gue nganterin Danie, bukan lo." Lalu Danie hanya melirik bingung pada keduanya. Tegang sekali, seperti ada yang kurang beres. Katanya dengan senyum kecil, "Makasih udah dianterin, Deen." Anggukan datang dari Deenan. Dengan lembut membalas Danie, "Sama-sama, sayangnya Deenan." Yuggi langsung terbatuk keras di tempatnya. OHEMGI... BARUSAN ITU APA?! *** Rhea menajamkan pendengarannya ketika Yuggi mengoceh dengan cepat. Napas putus-putus, terlalu heboh. "Nggak jelas banget, ceritanya kalem dikit, woy!" Rhea bisa b***k jika Yuggi begini terus. "KAK DEENAN MANGGIL SAYANG SAMA KAK DANIE, 'SAYANGNYA DEENAN' DIA BILANG!" teriak Yuggi dari telepon. "Sayangnya Deenan?" "YEEEES!" Senyum kecil Rhea terbit. "Baguslah." Entah alasannya karena Deenan cemburu pada Yuggi atau apa pun, Rhea mengapresiasi keberanian Deenan. "Yaudah, gue tutup ya. Makasih infonya, Upin!" Sambungan terputus setelahnya dan Rhea kembali menunggu di sofa ruang tengah rumah Maxon. "Menurut lo pilihan Jane bener, Rhe?" Maxon duduk bersebrangan, ekspresinya iba khas orang-orang baik. Rhea menjatuhkan punggungnya pada batasan sofa. Mengangguk. "Gue setuju sama Jane, dia nggak mau gugurin janinnya meski menolak tanggung jawab lewat pernikahan. Orang-orang berpikir korban p*********n itu harus dinikahkan sama pemerkosanya biar si bayi nggak lahir tanpa ayah, juga sebagai bentuk tanggungjawab. Mereka nggak mikirin mental korban. Kok korban malah dikasih ke p*******a?" "Jane berhenti jadi model dan dia mau berhenti sekolah...." Dua minggu lalu saat Rhea menemukan Jane di supermarket, adik kelasnya itu berkeringat dingin. Tidak sakit, ternyata mual-mual karena sedang mengandung. Yang membuat Rhea kesal adalah ada unsur p*********n yang diterima Jane. Gadis berumur 16 tahun itu dipaksa tidur dengan salah satu kakak kelasnya yang tak lain adalah Yeremi. Pemuda berengsek itu sudah datang menemui orangtua Jane dan berkata akan menikahi Jane tapi jangan sampai ada yang tahu alias pernikahan rahasia saja. Jane menangis saat menceritakan semuanya pada Rhea. Dia ketakutan, bagaimana orangtuanya langsung marah besar dan menyumpahinya sedangkan orangtua Yeremi tampak tidak mau ambil pusing. Mereka memberi uang sepuluh juta yang langsung Jane tolak. Jane bilang cepat atau lambat kehamilannya akan diketahui pihak sekolah dan dia harus menanggung malu seumur hidup. Rhea tidak bisa melakukan apa pun selain menenangkan dan mama Maxon terus meminta Jane untuk datang ke rumahnya. Diperiksa, diberi vitamin, agar ibu dan janinnya sehat. Kehamilan di usia Jane sangat berisiko. Jane sudah mengirimkan surat berhenti sekolah, tinggal di acc pihak Mahardika. Rhea marah sekali saat Jane berkata jangan sampai Rhea berbuat sesuatu pada Yeremi di sekolah. Rhea tahu Jane trauma, mentalnya sudah berantakan tapi gadis itu masih memikirkan orang yang membuatnya kehilangan asa dan cita-cita. "Max, di masa depan, gue mau bangum tempat perlindungan untuk korban-korban p*********n, abuse....," ujar Rhea dengan serius. "Gue mau ngasih harapan baru buat mereka. Gue mau mereka tahu bahwa masih ada yang peduli." Maxon mengangguk, mengerti. "Niat baik pasti diwujudkan Tuhan, Rhe." "Meski diucapkan sama orang yang nggak baik?" katanya, skeptis. "Lo orang baik," ujar Maxon, seyakin itu. "Thank you, Max." Maxon tersenyum, mau tak mau Rhea ikut menarik bibir. Jane sudah keluar dari ruang pribadi milik mama Maxon. Gadis yang sangat tegar itu berkata bahwa Mahardika sudah menyetuji suratnya dan Rhea benar-benar tidak akan pernah bisa sekuat Jane. *** Deenan tidak pulang ke rumah. Mobilnya masih terparkir di gerbang depan kediaman Danie. Bahkan Yuggi sampai bingung mengapa kakak kelasnya itu masih ada di sana. Danie datang masih mengenakan seragam, mengetuk kaca mobil Deenan. "Kok nggak pulang?" tanyanya. "Masuk." Deenan ingin dipatuhi. "Gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Nggak usah ganti baju." Dengan seragam sekolah dan sendal jepit berwarna hitam, Danie setuju untuk duduk lagi di kursi penumpang dan dibawa Deenan ke tempat yang selamanya terus membekas di otaknya. Rumah pohon. "Lo sedeket apa sama Yuggi?" Deenan bertanya saat dia sudah mengambil bola basket dan memasukannya ke dalam ring. Danie berdiri diam di belakangnya. "Deket banget?" "Danie nggak ngerti." "Lo punya ratusan adik kelas dan yang dikasih pinjem buku cuma dia, Danielle?" Oh... Danie mulai paham arah pembicaraan ini. "Karena Yuggi temennya Danie." "Temen spesial?" "Deenan cemburu?" tebak Danie, langsung. "Buat apa cemburu sama anak ingusan?" Danie hanya bisa tersenyum, karena kalimat Deenan malah menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak nyaman jika Danie berinteraksi dengan Yuggi. Apalagi namanya kalau bukan cemburu? "Tenang aja, Danie cintanya cuma sama Deenan," ujar gadis itu, sedikit keras. Sekarang kuping Deenan memerah. Dia terus memasukan bola ke dalam ring, seolah pura-pura tuli. Demi Tuhan, Danie gemas! "Danie cintanya sama Deenan....," sekali lagi, Danie ingin melihat kuping cowok itu semakin memerah. Deenan membelakanginya sehingga dia tidak bisa melihat wajah Deenan. "Cinta, cinta sekali." "Lo lagi ngerayu atau apa?" suara Deenan terdengar serak. "Jadi itu rayuan, ya?" "Danielle, stop." Deenan melihat gadis di hadapannya sedang memasang wajah berpikir yang kelewat lucu. Bagaimana bisa Danie mirip bayi tapi kata-katanya sudah seperti pecinta ulung? "Tenang aja, kalau Deenan baper pasti Danie tanggung jawab." Sekarang Deenan benar-benar dibuat geli dan tawa itu lolos. "Ngaur," ujarnya saat melemparkan bola basket pada Danie. "Kalau gue nggak suka liat lo deket-deket sama Yuggi, lo juga mau tanggung jawab?" tambahnya, alis naik sebelah. "Tanggung jawabnya gimana?" "Jadi punya gue aja." Ini... Danie tidak salah dengar, kan? "Danie punyanya Deenan, ya?" Cowok itu berkata dengan kalimat sederhana tapi mampu membuat Danie berhenti bernapas. "Mau jadi punyanya Deenan?" "Bukannya emang punyanya Deenan?" Terkekeh, memperlihatkan satu cincin di tangan kirinya. Jari manis Danie jadi sangat cantik karena kehadiran benda berkilau penuh makna itu. Deenan tersenyum, gadis itu juga. "Oke," katanya. Rambut Danie ikut bergerak saat mengangguk. "Oke." Di saat itu, awan menyambut percakapan kecil mereka dengan rintik hujan. Keduanya tidak buru-buru meneduh, malah tertawa satu sama lain. "Mau hujan-hujanan?" Deenan bertanya. "Ini hujan-hujanan, Deen!" karena tubuh mereka sudah basah dengan air langit yang lumayan deras. "Rentangin tangan lo kayak gini," Deenan membuka tangannya sendiri sampai sejajar dengan pinggang lalu menadahkan wajah sampai rintik-rintik hujan itu menyapa tepat. Danie mengikuti ucapan Deenan setelah menaruh bola basket. Merentangkan tangan dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Air hujan itu terasa geli turun pada wajah. "Dingin?" "Nope." Danie menggeleng. "Ini tenang." "Beda lagi kalau banyak geledek. Serem?" Deenan memberikan lelucon yang jarang sekali dia lakukan karena Deenan selalu ingin terlihat cool di hadapan Danie. "Deen...," Di bawah guyuran hujan, Danie menatap Deenan. Perlahan menyentuh ujung tangan kanan pemuda itu. "When you are with me alone, you don't have to keep your cool. Jadi diri Deenan sendiri aja. Danie suka." Deenan menyambut uluran gadis itu. Perlahan menggenggam tangan Danie yang basah namun tetap terasa hangat. "Oke... Deenan bakal coba." Hanya ada anggukan kecil dan senyum merekah sebagai penutup hari yang terasa sangat bermakna. *** "Saya ingin kamu jujur. Ada masalah apa sampai jadi begini?" Pak Giri menatap Rhea dengan serius. Gadis itu masih mengepalkan tangannya meski ekspresi wajah sudah lebih tenang. Di sebelah Rhea ada Yeremi yang pipinya bengkak karena dihajar menggunakan buku paket tebal yang dibawa oleh Yuggi. Orang Korea itu juga ada di ruang BK, dimintai penjelasan oleh pak Giri dan dia hanya menggeleng ragu. Ikut bingung mengapa Rhea langsung menyerang Yeremi yang sedang berjalan di koridor. Hari ini terakhir UAS. Rhea tidak menjelaskan alasan mengapa dia menjadi brutal meski ingin sekali berteriak bahwa Yeremi sudah membuat hidup seseorang menjadi berantakan karena keberengsekan yang lelaki itu lakukan. Jane tidak bisa mengikuti UAS bahkan tak akan pernah dapat ijazah SMA, tapi Yeremi enak-enakan melenggang di koridor seolah hidupnya baik-baik saja. "Saya nggak ngapa-ngapain, pak," ujar yeremi membela diri. Seketika Rhea melirik tajam padanya, dan pak Giri langsung berkata, "Rhea, k*******n tidak diperbolehkan di sekolah ini." Saat Rhea mendengus, pak Giri menggebrak meja. "Hukum saya aja, Pak. Saya emang sengaja mukul nih bangsat." Tidak ada ketakutan dari suaranya. "Rhealine Netteri Gideon, saya akan panggil ayah kamu jika kamu masih tidak sopan." "Nggak usah, papa saya sibuk. Jadi, saya dihukum apa? Hormat bendera?" "Rhealine, kenapa kamu memukul Yeremi?" Gadis itu masih keras kepala. "Hukum saya aja, Pak. Clear." "Hormat di depan tiang bendera seharian. Terdengar clear untuk kamu?" Rhea bangkit dari duduknya begitu saja lalu keluar mengajak Yuggi. Dia tidak merasa menyesal sudah membuat pipi Yeremi bengkak. Seharusnya dia bisa lebih tenang, tapi Rhea kesal sekali. Tak bisa tahan. Dan jika memang dia harus dihukum, ya sudah. "Noona, memangnya kakak yang tadi kenapa?" tanya Yuggi hati-hati. "Dia pantes gue pukul." Rhea terus melangkah menuju lapangan utama, berdiri tepat di bawah tiang bendera. Menaruh tangan kanannya di pelipis. "Noona, hari ini panas banget." Yuggi menaruh simpati kepada Rhea yang sekarang dijadikan tontonan murid. Bertanya-tanya apa yang dilakukan Rhea sampai kena hukuman. "Seharian mau di sini? Noona punya satu pelajaran lagi kan penutup UAS?" "Gue lagi dihukum, of course gue mesti di sini. Persetan sama UAS." Benar-benar keras kepala dan Yuggi harus melakukan sesuatu. Dia berlari menuju gedung seberang tempat kakak kelas berbintang dua. Bertanya pada senior di mana kelas Deenan. "Kenapa?" Deenan menangkap adik kelasnya itu menyebutkan namanya dengan tampang was-was. Awalnya Deenan pikir itu tentang Danie, ternyata Rhea. Deenan melihat dari kelasnya bahwa Rhea memang berdiri di bawah tiang bendera sambil hormat. "Dia belum makan siang," jelas Yuggi karena saat akan pergi ke kantin Rhea malah melabrak Yeremi dan dipanggil BK. Deenan setengah berlari untuk menghampiri Rhea. Cuacanya lumayan terik dan siapa pun yang berlama-lama berdiri seperti itu akan pingsan. "Rhe, s****n, panas!" Deenan menarik tangan kanan Rhea yang sedang hormat pada bendera. "Lo mau pingsan?!" "Minggir. Gue lagi dihukum!" bentak gadis itu. "Liat muka lo. Pucet." "Gue lagi dihukum, Jevino!" "Atas dasar apa?!" Deenan jadi ikut terbawa emosi. "Emang lo ngapain, hah?" Rhea tidak menjawab, kembali hormat dan menghitung banyak angka sebagai pertanda sudah berapa lama dia berdiri di sana. Gadis itu tidak peduli keberadaan Deenan. "Kalau lo nggak mau neduh, gue pastiin gendong lo ke kelas!" Deenan tidak bercanda, Rhea masih keras kepala. "Damn you, Rhealine." Bel masuk berbunyi, istirahat sudah selesai dan Rhea masih saja dengan pride berdiri tanpa melirik pada Deenan yang hilang sabar saat Rhea berkata, "Kalau lo gendong gue, lo bakal gue bunuh." "Terserah." Jika Rhea tidak ingin menjelaskan mengapa dirinya sampai bisa dihukum, lebih baik Deenan pergi. Rhea menghela napas saat yakin bahwa cowok itu sudah tidak ada di lapangan. Sekarang dia bisa fokus dengan rasa pening di kepalanya. Matahari menyorot langsung, seolah menusuk dan badan Rhea kepanasan. Gue akan pingsan, ujar gadis itu di dalam hatinya ketika bobot badan terasa lebih berat dari topangan kaki. Gue akan pingsan. Gue akan pingsan. Gue akan pingsan sebentar lagi. "Rhea, gue di sini. b**o, jangan buat gue khawatir, bisa?" Suara yang Rhea kenali terdengar lagi. Datang untuk menangkap tubuhnya dari belakang, sigap. Dan Rhea tidak pernah sekalipun berharap Deenan menjadi superhero untuknya. Tapi... mengapa pemuda itu selalu ada? *** "Menurut lo kak Deenan suka sama Kak Rhea nggak sih?" Danie sedang berada di salah satu bilik toilet saat suara seorang gadis terdengar menanyakan sesuatu, sepertinya pada temannya. "Nggak tahu, tapi masa iya nggak suka sama kak Rhealine, sih? Gila aja." "Menurut gue mereka cocok." "Yang satu ganteng, yang satu cantik." "Sepupuan, tahu," sahut gadis yang lain. "Sepupu boleh menikah." Begitu kah? Tak sadar Danie meremas tisu. Saat para siswi itu sudah benar-benar pergi, Danie keluar dari persembunyiannya. Terdengar menyebalkan sekali. Sembunyi? Dari apa? Dari kenyataan bahwa aku tunangan Deenan tapi mereka semua nggak tahu? Hahaha, kasihan sekali aku. Danie tidak pernah sekesal ini. Dia setuju-setuju saja saat Deenan tidak memperjelas statusnya kepada orang banyak, tapi rasanya tetap sesak saat orang yang jelas-jelas punya hubungan denganmu dikatakan lebih cocok dengan orang lain. Aku juga cocok jadi ceweknya Deenan. Danie ingin berkata seperti itu kepada setiap orang yang memasang-masangkan Deenan dengan gadis lain. Akankah Deenan marah? Atau Danie terkesan tidak tahu malu karena sangat ingin sekali diakui? Danie berjalan melewati koridor membawa tas sekolahnya, langkah terhenti saat menemukan pemandangan yang semakin memperburuk keadaan hatinya. Di sana ada Deenan dan Rhea duduk di bangku panjang. Entahlah Deenan sedang mengatakan apa, tapi ekspresi wajah dari pemuda itu terlihat jelas bahwa dia ingin didengarkan Rhea. Mereka tampak cute bersama, Danie jadi paham mengapa orang-orang senang pada mereka berdua. Tapi... sisi egoisnya mengambil alih. Dia tidak senang. Deenan miliknya, bukan? Ya, mereka bahkan sudah saling mengakui itu. Di bawah guyuran hujan, di rumah pohon kala itu. Danie milik Deenan, dan Deenan milik Danie. Begitu, kan? Dari tempatnya berdiri, Danie melihat Deenan menarik pipi Rhea menggunakan tangan kanannya karena Rhea tampak tidak mau mendengarkan Deenan. Akrab, dekat dan sangat mengenal satu sama lain. Danie seharusnya tidak usah terkejut. "Deenan!" teriak Danie cukup keras sehingga dua orang yang duduk di kursi panjang itu melirik. Deenan tersenyum kecil, masih agak kaku karena belum terbiasa tapi dia senang melihat Danie. "Jangan deket-deket!" ujar gadis itu, tak jelas. "Jangan deket-deket sama cewek lain!" Danie terlihat serius dan terdapat kilatan-kilatan marah pada netranya. Rhea mengerutkan dahi, kurang mengerti. Sangat konyol jika cewek lain yang Danie maksud adalah dirinya. Danie tahu bagaimana Rhea dengan Deenan. Danie tidak mungkin cemburu, kan? Tapi kenyataannya, Danie memang cemburu. Wajahnya berubah menjadi merah karena menahan emosi. Deenan sampai harus berdiri karena ingin tahu apa yang terjadi pada gadis itu. "Danie, maksud lo apa?" "Jangan deket-deket sama cewek lain, Deenan! Danie nggak suka!" ujar gadis itu sekali lagi. Lebih keras, melupakan bahwa kemungkinan ucapannya bisa didengar murid lain yang baru saja menyelesaikan UAS mereka, seperti Danie. Deenan menghampiri Danie secara perlahan dan gadis itu menahan diri agar tidak menangis. Danie berujar cepat, "Jangan deket-deket sama cewek lain....," serius, menarik kemeja seragam yang dikenakan Deenan. Saat ini hanya perhatian dan pengakuan Deenan yang mampu menenangkannya. Melirik ke belakang untuk melihat satu gadis lagi, Deenan tidak tahu harus bagaimana. Rhea tetap duduk di sana, dengan wajah yang sulit terbaca. Lalu terbukti mendengus, dan melangkah pergi saat Danie melingkarkan tangan untuk memeluk tubuh Deenan. Pemuda itu lantas menutup mata, Deenan amat sadar dirinya sedang berada dalam masalah besar. *** "Apa gue terlihat seperti perebut pacar orang?!" tanya Rhea dengan jengkel. "Bisa-bisanya dia manggil gue dengan sebuatan cewek lain. Gue kenal Deenan dari bayi!" "Itu bukan salah lo," kata Shaen. "Danie pengen kembaran gue jaga jarak sama lo? Sinting kali dia." Sangat tidak masuk akal. Shaen tahu Deenan memang berengsek karena memperlakukan Danie kurang baik beberapa waktu lalu, tapi akhir-akhir ini Deenan sedikit berubah dan seharusnya Danie tidak langsung melunjak atau dia bisa kehilangan segalanya secepat kedipan mata. "Gue nggak mau mereka renggang lalu gue yang disalahin." "Nggak bakal ada yang nyalahin lo." Shaen menegaskan. "Apa perlu gue marahin Deenan kalau dia sampai jauhin lo?" Rhea menggeleng cepat. "Jangan. Malah bagus kalau dia jauhin gue." "Rhea...." "Sha, biarin aja." nggak ada gunanya. "Gue juga bakal pergi." "Dia nggak tahu lo mau pergi after pembagian rapot?" "Nggak, Sha." "Seperti yang lo bilang tadi, lo kenal Deenan dari bayi. Bukannya jahat banget kalau dia nggak tahu apa-apa?" Tidak ada jawaban, Shaen menghela napas dan menepuk bahu Rhea. "Tapi semuanya balik lagi sama lo." Senyum kecil Rhea terbit, tapi entah datangnya dari hati atau hanya keharusan. Mungkin benar kata Shaen, mau bagaimana pun dia harus tetap memberi tahu Deenan. "Lo di mana?" tanya Rhea pada sambungan telepon. "Gue mau ketemu, Deen. Alamatnya gue kirim di chat. Oke?" "Next time, Rhe?" "Lo... lagi sibuk?" Karena biasanya Deenan selalu bisa. "Gue lagi nenangin Danie. Sorry, tapi gue nggak ngerti kenapa dia nggak mau berhenti nangis sejak pulang sekolah." "Oke, lo jagaian dia aja." "Atau gue ke rumah lo nanti malem, ya?" "Nggak usah. Good bye, Jevino." "Rhe, maksudnya apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN