CHAPTER 16

2234 Kata
Danie menggeleng saat Arianna memberikan mic, meminta agar gadis itu menyumbangkan suara. Bernyanyi bersama-sama menggantikan Shaen yang sudah capek. Danie tidak mempan dipaksa, dia merasa kurang bisa menyanyi. Hanya mendukung yang lain karena sekarang Jason semakin bersemangat menghabiskan waktu dengan berteriak-riak. Suara ke mana, lagu ke mana, yang penting happy. "HALLOOO!!!" Sapaan lantang datang dari arah pintu depan. "Ethan! Mana Ethan???" "Kak Eya!!" Ethan meninggalkan segelas s**u yang awalnya dia nikmati, beralih untuk berlari menghampiri seorang gadis dengan totebag berlambang toko mainan. "Masa masih cadel, sih?" Gadis itu mencubit pipi gembut Ethan, mengecek giginya yang sudah rapi. "Coba bilang R, nanti mobil-mobilan yang dibawa kakak buat Ethan." "Errrrr." Rhea langsung tertawa mendengar pelapalan Ethan. Anak kecil itu menarik tangan kanannya untuk duduk di sofa, sebelah Deenan, lalu membuka totebag yang dibawa Rhea. "Eya, mau nyanyi nggak Eya???" Jason memberikan mic dan mengeluarkan suara sok imut. "Om, jangan ikut-ikutan Ethan deh!" Menyebalkan, baru datang tapi Rhea sudah diledek. "Nggak usah nyanyi, suara lo jelek," kata Deenan, tepat di kupingnya. Rhea langsung berdecak, satu injakkan di kaki pemuda itu mendatangkan tawa renyah dari Ethan. "Danie, lo nyanyi nggak? Udah dari tadi di sini?" Rhea bertanya kepada temannya yang sejak tadi hanya senyum-senyum melihat kelakuan Jason dan mamanya Ethan yang semakin aneh. "Iya, gue dari tadi dan nggak bisa nyanyi." Danie menjawab, menggeleng pelan dan Rhea berpindah tempat duduk di sebelahnya. "Udah kenalan sama Ethan? Lucu banget, ya??" Tidak terlalu suka anak kecil tapi Rhea gemas pada Ethan. Danie mengangguk. "Lucu banget! Biasanya cuma liat di i********: tante Rianna, sekarang baru bisa ketemu." "Kalau kakaknya pendiem." Yang dimaksud Rhea adalah Edith, anak pertama Rianna yang tidak mau ikut menginap di Jakarta karena harus sekolah, di sana bersama papanya. Beda empat tahun dengan Ethan. "Rhe, gue bingung deh, kenapa Ethan manggil Deenan uncle? Bukannya kakak sepupu?" "Itu karena kak J nggak mau dipanggil Om." Rianna duduk di tengah-tengah dua ABG itu secara tiba-tiba dan menjawab pertanyaan Danie. "Kak J bilang, Deenan aja yang dipanggil uncle sedangkan dia dan kak Ghea dipanggil mami sama papi biar kece. Kayanya kalau nanti Deenan punya anak, kak J juga nggak mau dipanggil kakek karena menolak tua. Otak si kakak ipar emang rada aneh." Mereka bertiga tertawa. Memang keluarga paling unik tidak ada duanya. "Guysss, main tebak-tebakan yuk?" Jason bersuara di depan mic, heboh. Si kembar langsung buang muka, yakin akan ada hal cringe yang akan dilakukan atau diucapkan ayah mereka, sedangkan Rhea dan Danie selalu suka lelucon milik Jason sehingga mereka berdua mengangguk antusias. "Buah, buah apa yang durhaka?" "Pap, stop." Shaen rasanya ingin berlari ke kamar. "Nyerah nih???" kata Jason menunjuk satu-persatu makhluk hidup yang setengahnya merasa terjebak duduk di sofa rumahnya. "Buah durhaka? MELON KUNDANG! HAHHAHA!" Krik... krik.... Jangkrik aja gulung tikar saking malunya melihat Jason Argadhika.... "Ha ha ha, apaan sih." Tawa meledek datang dari Deenan, tidak ikhlas dan penuh kekesalan. Entah berapa kali Shaen memutar bota matanya untuk lelucon payah ini, tapi Danie dan Rhea malah keasyikan dan minta tambah. "Hantu, hantu apa yang pinter ngitung?" Ini masih berlanjut, saudara-saudara.... "Hantu lulusan akuntansi?" Danie mencoba menebak meski dipelototi Shaen karena gadis itu tahu papanya akan semakin menggila jika diladeni. "Bukan!" Jason menggeleng senang, sok misterius. Rhea menaikkan kedua tangan, geli perutnya menahan tawa. "Pasrah, cuy!" "Jawabannya: han, tu, tri, four, five, six, seven... HAHAHA LUCU BINGITS!!!" Ya ampun, Yang Mulia jangkrik, maafkan papaku.... Deenan dan Shaen rasanya ingin minta refund ayah saja pada Tuhan. ZEUS, BERIKAN KAMI SPESIES NORMAL!!! *** Pulang dari rumah Deenan jam sembilan malam, tidak terasa karena Jason memberikan lelucon yang tidak habis-habis. Meski krik, tetap menyenangkan. Danie suka berlama-lama bersama keluarga Deenan. Ditambah papanya sibuk bekerja, dia sudah tidak punya mama, sehingga keluarga Argadhika menjadi obat sepi di dalam hati Danie. Merasa diterima, rasa sayang menyelimuti dan mendapat perlindungan. Diberikan rasa percaya serta aman, tidak ada yang lebih baik dari ini. Danie bersyukur bisa kembali ke Indonesia karena kehangatan yang dia punya sekarang tidak akan dia dapatkan di Belanda. Senyaman apa pun di sana, tetap saja terasa asing. Danie tidak mau sendirian. "Gue nggak bisa bikin kue, jadi gue nungguin lo aja." Rhea duduk di sebelah Danie saat mereka menaiki taksi online menuju supermarket yang buka 24 jam. Danie mengajak Rhea membeli bahan-bahan membuat cupcake. "Kalau lo mau tidur juga nggak pa-pa," balas Danie. "Okay." Rhea menginap di rumah Danie dengan alasan malas tidur di kamar padahal tahu ada dua teman sekelas Danie yang akan membantu gadis itu membuat kue. Malam-malam tapi masih produktif. "Tolong cariin buah ceri sama strawberry ya, Rhe." Danie berpisah di lorong supermarket membawa keranjang, Rhea mengangguk untuk mengambil keranjang lain dan berjalan ke arah stand buah-buahan dan matanya tak sengaja menangkap satu gadis yang dia kenali tengah memilih mangga. "Jane!" sapa Rhea seramah mungkin dan adik kelasnya itu tampak sedikit terkejut. "Kak Rhea?" sapa Jane balik, berhenti mencari mangga yang sekiranya bagus, beralih untuk merapatkan jaketnya dan tersenyum saat melihat keranjang kosong di tangan Rhea. "Belanja sama siapa, kak?" "Sama Danie." Telunjuknya pergi ke lorong yang lain, menjelaskan bahwa temannya itu mencari terigu. Kepala Jane tertunduk sedikit. "Aku duluan ya, kak." "Eh? Nggak jadi beli mangga?" Jane semakin merapatkan jaket. "Nggak, kak. Kayanya kurang mateng." "Oh gitu?" Rhea tidak pernah belanja atau memilih buah, jadi dia tidak tahu produk bagus yang bagaimana. "Sebelum lo pergi, tolongin gue pilihin ceri sama strawberry dong." "Kakak bisa beli yang masih seger kayak gini." Jane mengambil strawberry kemasan, tampak enak. Rhea berterimakasih. Jane tersenyum lagi, dan Rhea baru sadar bahwa sejak tadi adik kelasnya itu terlihat kelelahan dan merapatkan jaket tetapi bukan seperti kedinginan. "Jane, lo okey? Wajah lo pucet." Menaruh tangannya di bahu Jane, Rhea takut gadis itu sakit dan bisa saja pingsan saat mengelilingi supermarket. Jane tidak menjawab, Rhea yakin ada yang kurang beres. Saat Jane hendak berbalik, langkahnya goyah, nyaris jatuh jika Rhea tidak sigap. "Lo sakit," katanya memberikan pernyataan. "Pusing?" "Mual, kak...." "Ayo cari tempat duduk, Jane. Dan gue bakal beliin lo air." Rhea memapah gadis itu menjauh dari stand buah. *** "Perasaan gue doang atau lo senyum-senyum ngeliatin toples cookies?" Mendapat sindiran halus, tatapan menyelidik dan gestur tangan terlipat di d**a seperti gaya-gaya orang kepo di sinetron, Deenan langsung berkata bahwa Shaen terlalu usil dengan urusan pribadinya. "Lo jatuh cinta sama cookies atau apaan sih, anak tokek? Aneh banget." Sekarang Shaen menepuk bagian belakang kepala Deenan secara sengaja, kembarannya menggeram dan Shaen tak pernah takut. "Lo titisan anaconda diem aja," ledek Deenan balik. "Dih, anaconda lebih mahal dari tokek. Mau apa lu?" "Nah gitu dong berantem, saya nggak suka liat kalian akur," komentar santai Jason datang dari arah sofa. "Ada kampak dan pisau. Silakan dipilih." Tak mendengarkan papanya, Deenan beranjak dari dapur, 15 menit berlalu dia pakai untuk duduk memandangi cookies yang berjejer rapi di meja. Mungkin benar kata Shaen, dia berubah gila. Ponselnya bergetar, ada nama Maxon di layar. Suaranya terdengar hati-hati saat menyapa halo. "Kenapa, Max?" tanya pemuda itu. "Bokap gue nelepon, katanya Danie ada di UGD rumah sakit bokap gue, Deen." "Hah???" Suara Deenan berubah, tidak secuek tadi. "Maksudnya?" "Danie keserempet motor, nggak parah kok. Cuma dibawa ke RS sama orang yang nolongin dia." "Ada Rhea kan di sana?" Karena Deenan tahu Rhea menginap di rumah Danie, mereka bilang akan pergi ke supermarket bersama-sama. "Kata bokap gue, Danie sendirian dan disuruh nelepon papanya atau lo, tapi Danie nggak mau." "Gue otw," kata Deenan, langsung mengambil kunci mobil di kamar, berlari menuju garasi. "Lo di mana?" tanyanya langsung, penuh penekanan ketika menelepon orang lain setelah mematikan panggilan Maxon. "Lagi di supermarket." "Bohong." "Hah? Gue lagi di kasir, bayar strawberry. Danie lagi nyari tepung, nggak ngangkat telepon, gue nungguin Danie lama banget." "Lo halu, Rhealine? Tunangan gue ada di UGD, dia keserempet motor. Lo sebenernya di mana?! Lo ninggalin Danie sendirian di pinggir jalan?" Terjadi hening cukup lama, sampai Deenan mendengar suara Rhea yang meminta taksi untuk berhenti. "Rumah sakit mana, Deen? Tadi gue ngobrol sama Jane, gue kira Danie masih belanja, gue nggak tahu dia keserempet." Deenan langsung mematikan panggilan seenaknya. *** Gadis itu duduk di salah satu brankar, ada dua kantung plastik di lantai dan Deenan terfokus pada siku lengan Danie yang sudah selesai dibersihkan dan diobati. Gadis itu merasa bersalah ketika sadar Deenan berlari untuknya. Dia tidak bilang pada siapa pun karena takut merepotkan, tapi nampaknya Danie tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Deenan Jevino Argadhika. "Lo bisa nelepon gue," ujar Deenan ketika Danie sudah duduk dengan nyaman di bangku penumpang. Deenan membawa Danie pulang. "Keserempet itu bukan cuma. Keadaan lo harus kayak gimana dulu baru mau nelepon gue?" Deenan malas membayangkan keadaan terburuk Danie. "Danie nggak pa-pa kok, Deen." "Terus kenapa Rhea nggak ada bareng lo? Dia pergi sama lo kan?" "Danie nunggu Rhea di kasir setelah nyari dia di stand buah, tapi Rhea nggak muncul-muncul. HP Danie mati, bingung mau ngapain. Nunggu di luar supermarket berharap Rhea keluar karena nggak nemuin Danie. Tapi Rhea nggak dateng-dateng." Cengkraman Deenan pada stir mobil mengeras. "Dia sengaja ninggalin lo." "Tentu aja itu nggak bener." Danie langsung menggeleng. "Pasti ini miskomunikasi aja. Harusnya Danie jangan keluar dari supermarket dan nyari Rhea. Deenan jangan mikir aneh-aneh, Rhea kan juga nggak tahu Danie bakal keserempet. Pasti sekarang Rhea bingung nyari Danie karena HP Danie mati." "Atau dia nggak peduli sama lo." "Deenan...," Danie tidak mengerti mengapa pemuda yang sedang menyetir itu jadi begini. "Nggak boleh ngomong gitu." Mereka sampai di rumah Danie, dan sudah ada Rhea berdiri di depan gerbang. "Syukur lo balik sama Deenan!" ujarnya langsung saat kaca depan dibuka Danie. "Gue nggak bisa hubungin lo, Danie. Gue juga nggak tahu lo di RS mana, jadi gue inisiatif ke rumah lo aja. Lo nggak pa-pa, kan?" Danie tidak enak melihat ekspresi khawatir dan bersalah dari wajah Rhea. "Cuma luka kecil, Rhe. Lo tadi ke mana? HP gue mati, maaf ya." "Gue ngobrol sama Jane dan gue juga minta maaf gara-gara ngilang lo harus bawa bawaan banyak sendirian dan keserempet." Deenan menutup pintu belakang cukup kencang saat dia sudah berhasil mengambil belanjaan. Mengambil alih tubuh Danie ketika Rhea hendak memapah gadis itu masuk rumah. "Lo balik aja," kata Deenan kepada Rhea. Danie berucap, "Rhea mah nginep di sini." "Nggak perlu. Lo juga jangan buat cupcake atau kue apa pun lagi. Biar gue biayain stand kelas lo. Beli apa aja buat dijual tapi lo jangan kerja." Danie tidak bisa menjawab, hanya melirik pada Rhea yang sepertinya juga kehilangan kalimat. "Lo pulang sekarang," ujar Deenan sekali lagi. "Emang salah gue Danie keserempet? Gue kan bukan orang yang nyerempet Danie, kenapa lo marah sama gue?" Rhea merasa tersinggung. "Emang gue mau Danie celaka?" "Tapi kalau lo nggak ngilang, Danie nggak bakal sendirian." Deenan merasa harus mengatakan itu. "Gue kan bilang, gue ngobrol sama Jane." "Atau lo sengaja ninggalin tunangan gue, Rhealine." "The f**k, Jevino?" Rhea tak pernah tahu Deenan berpikir seperti itu padanya. "Lo juga nggak ada buat dia, s****n! Selama ini lo ke mana? Kenapa sekarang sok-sokan paling khawatir dan nyalahin orang lain pas Danie kenapa-napa?!" "Jangan berantem." Danie benci situasi ini, dia tidak mau melihat Deenan dan Rhea berteriak satu sama lain. "Gue nggak niat ninggalin lo di supermarket," jujur Rhea sambil menatap Danie. "Sorry, Danie, tapi kayanya tunangan lo nggak percaya sama gue." lalu pergi dengan cepat setelah menekankan kata tunangan. "Deen, minta maaf sama Rhea sekarang!" kata Danie, sedikit menaikkan intonasi. "Kamu bikin dia tersinggung." Deenan melepas napas panjang, isi pikirannya berantakan. Kesulitan berpikir jernih, dan menyesal pada tindakannya sendiri beberapa detik lalu. *** Sesuatu yang paling dihindari Deenan adalah menyakiti Rhea. Dia sudah berjanji tidak akan membuat gadis itu sedih atau Deenan akan membenci dirinya sendiri. Berjanji menjaga, bukan membuat kecewa. Berjanji saling melengkapi, bukan menimbulkan benci. Berjanji ada untuk satu sama lain, bukan berjauhan seperti musuh. Jadi detik ini dia mengetuk pintu kamar Rhea, berharap agar pemiliknya masih sudi bertatap muka. Soal ditampar atau tidak, Deenan siap-siap saja. Memang dia berengsek karena sudah berpikir sejahat itu pada Rhea. "Waktu lo dua menit," ujar Rhea saat pintu terbuka. Membiarkan Deenan masuk. "Lo boleh nampar gue." "Gue malah mau bunuh lo." Tawa kecil, sarkas dari Deenan. "Nanti lo sedih kalau gue mati." "Lo aja nggak peduli gue sedih atau nggak." "Rhealine...," "Deen, bukan urusan gue lo mau gimana pun sama Danie, tapi tolong jangan berpikir gue tokoh jahat di kisah kalian." Dari ucapannya saja Deenan tahu bahwa Rhea lebih dari tersinggung. Deenan tidak punya apa-apa lagi selain kata maaf. "Perasaan lo sama Danie adalah urusan lo, jangan bawa-bawa orang lain." Akhirnya suara itu terdengar pecah juga. "Gue bukan orang jahat...." "Tentu aja bukan." Deenan menggeleng keras. "Gue bener-bener minta maaf. Gue kalut dan bodoh. Nggak bisa ngatasin situasi. Lo segalanya buat gue, maaf buat lo tersinggung." Rhea hanya menunduk, berdiri di hadapan Deenan sambil memainkan jari tangan. "Gue nggak marah sama lo, Jevino." "...." "Tapi dari ucapan lo tadi, gue jadi tahu bahwa lo khawatir banget sama Danie. Lo cuma nggak bisa kendaliin rasa meluap-luap lo itu," tambah Rhea, tertawa kecil. "Rasa meluap-luap?" "Lo sayang sama Danie, bodoh." Harus berapa kali Rhea jelaskan? "Lo bodoh, Jevino." Deenan tidak menjawab, dia mendapatkan beberapa langkah mendekat dari Rhea. Gadis itu melengkungkan bibirnya yang pink alami. "Gue sayang sama Danie?" Pertanyaan, yang bisa saja berisi pernyataan. Anggukan Rhea terlihat yakin. "Iya." "Gue sayang sama Danie, Rhe." "Iya...," Perlahan kedua tangan Rhea terlingkar pada bahu Deenan. Aroma pemuda itu menenangkan. Dirinya mendapat balasan hangat. "Jevino, lo sayang sama Danie. Selalu Danie." Dan Rhealine menangis setelahnya tapi Deenan tidak akan pernah tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN