CHAPTER 15

1388 Kata
Danie terbatuk, adalah alasan mengapa ciuman itu berhenti. Deenan perlahan memundurkan kepalanya, dan membuka mata, meninggalkan degup. Dia sadar bahwa Danie kehabisan napas. Gadis itu mengira awalnya akan dapat ciuman lain, tapi ternyata Deenan merendahkan badan untuk membuka pintu mobil. Danie masih mematung dalam duduk, d**a naik turun, semampunya mengumpulkan kewarasan. Jelas saja menatap Deenan bukan hal yang tepat—Danie payah soal ini, namun dia kelewat penasaran. Harus mengetahui ekspresi Deenan. Pemuda itu memiliki mata yang Danie ingat sangat cerah meski jarang tersenyum, dan Danie sekarang seratun persen hilang akal karena Deenan tersenyum padanya! Bisa dibayangkan betapa sempurna tatapan itu? Juga sangat tampan, Danie ingin menangis. "Udah sampai." Deenan menunjuk gerbang rumah Danie menggunakan dagu. "Nggak mau turun?" Danie masih belum pulih dari kejadian beberapa saat lalu, dia perlu waktu lebih lama untuk berpikir dan bergerak. Nampaknya Deenan sadar, dia segera menepuk perlahan pipi Danie sambil berkata, "Yang tadi baru ciuman. Kemarin itu kecupan lo amatir, Danielle." Astaga! Boleh Danie mengubur dirinya sendiri karena tidak keren tapi tetap senang secara bersamaan?! "Danie e-emang amatir," jawab gadis itu sambil menyentuh pipinya sendiri. Malu sekali. "Teruslah jadi amatir—" ucapan Deenan berjeda, "cute," berbisik setelahnya. "Hah?" Nggak kedengeran. "Deenan ngomong apa?" Deenan hanya menggeleng lantas berdeham, "Sana turun, udah sampe." "O-oke." "Danielle...," "Ya?" Pergerakan Danie terhenti saat tangannya diraih Deenan. "Jangan ganti rasa lip tint lo. Itu cherry? Gue suka." Rasanya kaki seorang Danielle Fegaya berubah seperti jelly dan dia akan meleleh hanya dengan kedipan mata. Astaga. *** Rambutnya basah, Danie paling tidak suka menggunakan hair dryer jika sudah malam begini. Dia hanya mengeringkan perhelainya secara manual menggunakan handuk agar tidak basah pada bantal. Duduk di tepi jendela kamar dengan segelas s**u coklat dan sisa cookies yang tidak dijual karena toplesnya kehabisan. Besok Danie baru mau belanja bahan-bahan lagi karena stand kelasnya mengandalkan cookies buatan Danie. Tidak menyangka akan selaku itu sehingga dia harus bekerja keras membuat cookies. Untung teman kelasnya yang lain mau datang ke rumah untuk membantu, karena jika sendirian bisa-bisa sampai pagi Danie tak akan bisa tidur. Grup chat milik kelas—khusus panitia stand, sejak tadi membicarakan tentang HOJ dan persaingan antar stand. Meski bersaing secara sehat, tapi tetap saja semua kelas ingin stand-nya menjadi paling banyak dikunjungi. Akan dapat hadiah dari Kepsek. Allea: Danie, cookies lo diborong! Anjeeer. Udah ditransfer duitnya ke rekening gue, besok gue ambil di ATM. Oke okee Bona: Maksudnya??? Jadi besok kita nggak jualan karena ada yg borong??? Allea: IYA!!! BESOK KITA FREE, TAPI DUIT BANYAK! PUJA KERANG AJAIB! Allea: Oh iya, lusa ganti jualan cupcake ya, senior minta ganti menu Danie: Siapa yang borong 50 toples? Tadi siang Danie menjual habis 25 toples—masih banyak yang mau, maka dari itu cookies dibuat lebih banyak agar semua kebagian. Tapi, ada yang borong? Allea: Ketua mading favorit bangsa yg borong cookies Danie Bona: Deenan suka cookies? Ya ampun, ini serius?! Deenan membeli 50 toples? Tapi untuk apa? Itu banyak banget! Kepala Danie pusing—pusing sekali. Meninggalkan grup chat, jempol Danie berpindah pada kontak teratas yang baru saja mengiriminya pesan. Otak Danie dipaksa mencerna lebih keras. Deenan: Besok ke sekolah bareng. Gue jemput. Jangan bangun kesiangan atau gue tinggal. *** Deenan menepati ucapannya tentang menjemput Danie. Cowok itu ternyata sekalian membawa toples-toples cookies yang dia borong. Ditaruh di bagasi mobil. Saat Danie tanya untuk apa cookies sebanyak itu, Deenan bilang akan jadi oleh-oleh untuk tantenya yang akan berkunjung nanti malam. Jika Danie mau, gadis itu bisa datang untuk bertemu Arianna—adik dari mama Deenan. Keluarga Argadhika selalu makan bersama. "Tante bakal bawa Ethan." Deenan menjelaskan bahwa tantenya yang berdomisili di Bandung datang bersama putranya yang paling kecil. "Ethan suka cookies." Sekarang gadis itu paham. Sudah pasti Deenan tidak memikirkan tentang cookies buatan Danie, melainkan memikirkan keluarganya yang memang menyukai cookies. Hanya tentang kebetulan di garis semesta yang rumit. Danie cerita tentang ini pada Rhea; bahwa Deenan memborong cookies dan menjemputnya suka rela. Mantan model itu bilang bahwa Danie sedang mendapat perlakuan posesif, akibat dari kecemburuan Deenan. Tapi Rhea tidak mau menjelaskan Deenan cemburu pada apa atau siapa. Danie pikir, mungkin Rhea hanya ingin menenangkannya saja lewat lambungan harap. Danie berterimakasih untuk itu. Mereka berdua memang berciuman kemarin, membuat Danie sulit tidur. Tapi dia tidak bisa memaksakan kehendak bahwa apa yang kemarin terjadi adalah sesuatu yang besar bagi Deenan. Pemuda beralis tebal itu bisa saja hanya terlalu baik; menjelaskan bagaimana ciuman sebenarnya kepada seorang amatir seperti Danie. Ya, sebatas itu. Without feelings. "Danie nanti dateng deh, mau ketemu Ethan," ujar gadis itu, tidak sabar melihat pipi anak berumur lima tahun yang menggemaskan. Deenan mengangguk. "Dateng aja." "Tunggu...," Tapi Danie tidak dibiarkan keluar dari mobil. "Berarti hari ini lo nggak jualan cookies?" "Nggak," jawabnya, lalu telunjuk Danie pergi ke kursi belakang, tepatnya bagasi mobil tunangannya. "Diborong Deenan, kan?" Deenan mengangguk kecil, suaranya datang lagi, "Orang Korea itu nggak kebagian?" "Orang Korea? Maksudnya Yuggi?" Hanya bahu yang terangkat seolah Deenan tahu namanya tapi tidak benar-benar butuh penekanan. "Besok lo mau jualan cookies lagi?" dan banyak bertanya dari biasanya. "Kayanya nggak. Anak kelas pengen ganti jualan cupcake." Mata bening Danie berbinar. "Apa orang Korea itu suka cupcake?" "Yuggi? Nggak tahu, apa Danie harus nanya—" "Jangan," Deenan langsung menggeleng. "Ngapain lo harus nanya-nanya? Ntar dia ge-er—nyangka lo suka dia." "Danie emang suka Yuggi," katanya, yakin. "Hah?" Menyerongkan badan ke arah Danie, pemuda itu ingin mendengar lebih jelas. "Lo suka sama dia?" "Yuggi baik, kenapa harus nggak suka?" Danie jadi bingung. "Emang Deenan nggak suka sama orang baik?" "Suka dalam konteks apa?" Suara Deenan merendah. "Temen." Tentu saja, kan? Apa Deenan memikirkan hal yang sama seperti Danie? Mendengar itu bahu Deenan rileks lagi, dan dia bergumam sesuatu tapi Danie tidak mendengarnya. Hanya menyuruh gadis itu agar keluar dari mobil dan segera pergi ke kerumuman anak kelas. Perasaan Danie aja, atau hari ini Deenan sedikit aneh? Kenapa ya? *** Makan malam bersama di kediaman Argadhika selesai setengah jam yang lalu. Tante Deenan yang mempunyai sifat easy going membuat Danie nyaman mengobrol panjang lebar dan wanita bernama Arinna itu sekarang sedang karokean lagu dangdut bersama Jason dan Shaen. Kata Shaen, tantenya memang full energy serta selalu tampak tanpa beban meski sedikit galak pada tetangga julid. Arianna hanya tertawa saat Shaen menjulukinya ibu-ibu savage. Fokus Danie sejak tadi tertuju pada anak kecil berumur lima tahun yang memakai baju merah bergambar Iron Man. Kulitnya bersih, pipi kembung dan mulutnya sibuk mengunyah cookies. "Hai, Ethan...," sapa Danie, berharap disambut. Untung saja Ethan membalas dengan satu senyuman menggemaskan. "Ethan suka banget cookies, ya?" "Iya, kak. Cookies enak." Anak kecil itu mengangguk antusias. "Kata uncle Deen, cookies ini buatan kak Danie?" Saat pertama kali sampai, Danie sudah dikenalkan oleh mama Deenan dan dia senang ketika mengetahui kenyataan bahwa Ethan masih ingat namanya. Danie mengangguk. "Iya, kakak suka buat cookies." "Kak Danie pacarnya uncle Deen, ya?" Pertanyaan polos yang gampang dijawab itu mendadak canggung untuk Danie. Tidak tahu harus mengangguk atau bagaimana. "Ethan, masih makan cookies?" Deenan datang, mengacak-acak rambut Ethan—membuat anak kecil itu tersinggung. Katanya nanti Ethan tidak ganteng lagi kalau rambutnya berantakan. Danie terkekeh mendengarnya. "Ethan suka cookies buatan lo," kata Deenan kepada Danie ketika Ethan berlari pada Ghea meminta s**u coklat. Danie setuju. "Iya, dia lahap banget. Tapi Deenan lebih suka cookies dibanding Ethan pas masih kecil." Pemuda itu hanya mengangguk kecil, memgambil satu cookies dari toples. Jika Ethan tahu, pasti anak kecil tampan itu akan pura-pura galak. "Lo masih inget kalau dulu gue suka makan cookies?" tanyanya. "Masih, Deenan rewel kalau tante Ghea nggak beliin cookies." Danie mengingat kepingan masa lalu itu dengan jelas. Bagaimana Deenan mengadu padanya saat cemilan yang dia suka habis. Entah itu dimakan Shaen atau dimakan Deenan sendiri. Alis Deenan naik satu, "Gue rewel?" "Ummm, maksudnya bukan gitu!" Danie takut Deenan tersinggung, tapi pemuda itu malah terkekeh meski sedetik kemudian wajahnya langsung datar lagi. "Rewelnya Deenan nggak nyebelin, kok," tambah Danie, mengikis salah paham. "Iya-iya... santai." Karena Deenan memang tidak tersinggung. "Bicara soal cookies," kalimat menggantung, "gue pernah bilang mau menikah sama orang yang bisa bikin cookies." "Tapi Danie nggak tahu siapa yang mau Deenan nikahin." Rasanya gadis itu jadi penasaran lagi karena diingatkan. "Orangnya nggak berubah sampai sekarang." Jawabannya terlalu serius. Danie ingin yang pasti. "Siapa?" "Orangnya nggak berubah. Harus gue ulang berapa kali?" Deenan memang tidak menyebutkan nama, sehingga Danie kesulitan menebak. Tapi... entah mengapa detik ini dia melihat dirinya sendiri di mata Deenan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN