CHAPTER 14

3492 Kata
"Jane!" Di ujung koridor dekat toilet, tepatnya lantai kedua, Rhea menemukan adik kelasnya sedang berdiri sendirian. Kepala Jane menunduk di hadapan Yeremi dan teman-temannya. Yeremi bahkan berdecak ketika sadar bahwa mantan mayoret melangkah ke arahnya. "Heh Yeremi, lo apain Jane?!" tuduh Rhea langsung, mengingat cerita Deenan tentang Yeremi yang berperilaku kurang ajar sampai dapat hukuman dari pak Giri. Kening Yeremi bertaut, wajahnya yang babak belur akibat polesan Deenan tidak dia pedulikan saat berkata, "Kagak ngapa-ngapain." "Lo digodain, dek?" Rhea beralih kepada Jane yang langsung menggeleng. Raut wajah gadis itu jelas-jelas ketakutan, dia pasti tidak mengeluarkan suara bukan karena baik-baik saja melainkan pilihan yang lain tak digunakan. "Sibuk amat sih, Rhe?" Yeremi menyeletuk cukup keras, "kalaupun gue colek-colek Jane, itu bukan urusan lo. Jane aja santai." "Suruh siapa kalau foto pake baju seksi? Ya kita goda lah." Salah satu teman Yeremi berkata semaunya, seolah otak kecil itu di taruh di kaki. Merasa keren dan benar, padahal menggelikan. "Pake baju kebuka biar dapet pujian, kan? Berarti jangan marah. Lo contohnya, Rhe. Baju-baju lo seksi parah," timpal anak yang lain, terbahak-bahak, kadar bodohnya semakin terlihat. Senang menjadikan keadaan seseorang sebagai lelucon. "Murahan, ya?" "Kenapa lo nyalahin baju yang dipakai gue dan Jane?" Tangan kanan Rhea menarik kerah seragam teman Yeremi. Tidak merasa takut. "Dikit-dikit bisanya cuma bilang murahan. Apa cewek nggak berhak pake apa pun yang kami mau, hah?! Tugas lo bukan jadi berengsek pas ngeliat cewek pake baju seksi, tapi tundukkan pandangan! Yang salah bukan baju yang kami pakai tapi pikiran kalian memang kotor! Dan jangan gede kepala, nggak semua yang dilakukan cewek itu untuk mengesankan cowok!" "Gue bercanda, anjir... santai!" Orang yang Rhea tarik kerahnya langsung berteriak minta dilepas saat lehernya terasa tercekik. Udara melayang-melayang, selamat datang sekarat. Rhea tidak bisa memberi ampun pada orang bodoh seperti ini, tarikannya semakin berani. Biar tahu rasa. "Candaan itu seharusnya lucu, bukannya malah nyinggung orang!" Yeremi hendak menarik tangan Rhea namun gadis itu mengancam akan mematahkan leher mereka semua jika Yeremi berani menyentuhnya meski hanya sedetik. "Minta maaf sama Jane dan gue, sekarang!" bentak Rhea, seratus persen tersinggung. "Oke, maaf-maaf." Yeremi sampai menaruh kedua tangannya di d**a dan menyuruh temannya yang lain untuk mengikuti. Setidaknya mereka harus selamat, Rhea bukan tandingan. "Kita janji nggak akan goda-goda lagi. Maafin." "Kak, udah...," ujar Jane serak, hampir menangis. Merasa tidak enak karena mereka semua jadi ribut. "Ini emang salah aku." "No! Selagi nggak ngerugiin orang, semua cewek di dunia ini bebas melakukan apa yang dia mau termasuk berpakaian. Lo nggak salah." Rhea tidak suka jika kaumnya takluk untuk hal penting seperti ini. Apalagi sampai menyalahkan diri sendiri, tidak berani membela hak karena takut dikucilkan. "Dan sekali lagi gue bilang, ini bukan masalah baju. Orang berengsek emang udah punya pikiran kotor di dalam otaknya. Sejak kapan korban jadi salah, lalu pelaku malah dibela? Enak banget?!" "Kami minta maaf." Yeremi langsung menunduk dan membawa teman-temannya pergi dari sana sebelum dibunuh Rhea menggunakan kalimat yang terlalu tepat sasaran. "Makasih, kak Rhea." Jane tidak tahu harus pakai kalimat yang mana, dia merasa dibela. "Gue nggak mau ada lain kali, tapi lo nggak usah takut ngomong kalau ada seseorang yang ngambil keuntungan dari lo, apalagi dari tubuh lo." Ucapan Rhea melembut, juga tangannya sudah mengusap bahu sang adik kelas. "Jangan dengerin mereka, diri lo berharga. Lo bebas mau ngapain aja, termasuk pakai baju berbagai bentuk. Murahan nggak bisa dinilai dari pakaian. Dan sebenernya mereka nggak berhak nilai diri kita. Lakukan apa yang lo mau. Oke, Jane?" Jane mengangguk mengerti, secara tidak sadar melingkarkan tangannya pada tubuh Rhea dan cairan bening meleleh teratur dari sudut matanya. "Kak Rhea itu baik, mandiri dan kuat. Semoga kakak selalu bahagia. Jane nggak mau liat kakak dijahatin orang." Rhea hanya menepuk-nepuk punggung Jane. "Mereka yang nggak suka sama kakak, bener-bener harus tahu sifat asli kak Rhea," tambah Jane lagi. "Selama ini mereka pasti nyesel karena udah ngebenci dan salah paham sama kakak." Karena Jane tahu banyak sekali manusia kurang kerjaan (entah itu di sosmed atau real life) senang sekali mereceoki hidup Rhea. "Nggak perlu," sebuah kekehan Rhea terbit, "mau gue kayak gimana pun, di mata pembeci pasti gue tetep salah. Gue nggak hidup untuk menyenangkan semua orang, jadi biarin aja." *** Danie bersyukur ketika Rhea mengiyakan ajakkannya untuk menginap di rumah. Mereka butuh waktu lebih lama untuk membicarakan apa yang sebenarnya membayang-bayangi. Salah tangkap, kurangnya fakta, berbeda sudut pandang, juga hal negatif lain sudah dibiarkan berlarian di atas kepala terlalu lama. Danie ingin menghentikan kebekuan di antara mereka berdua. Dan sepertinya Rhea juga sama. Semoga ini berakhir baik. Sudah punya rencana akan pulang bersama, tentu saja Danie menunggu Rhea di koridor paling dekat dengan pintu gerbang. Sampai niatnya sedikit terkelupas ketika Feela melambaikan tangan dan meminta sedikit saja waktu yang dimiliki Danie. "Gue minta maaf soal hasil pemilihan mayoret yang kacau kemarin," ujar Feela langsung, ekspresinya mendung. "Dan ini makin buruk karena nggak ada mayoret untuk HOJ." Kening Danie mengerut begitu saja. "Kan ada Rhea, kak?" katanya. "Dia ngundurin diri." Kenapa... tapi sepertinya Danie bisa menebak bahwa Rhea merasa bersalah padanya. Danie sudah bicara dengan Adina, mama dari Rhea itu meminta maaf dan Danie semakin tidak enak karena kemarin kalah oleh emosinya. Menampar, mempermalukan Rhea tanpa memikirkan akibat setelahnya. Danie tidak bodoh, seharian tadi para murid terus membicarakan soal mayoret bahkan ada yang terang-terangan m******t kepadanya. Mereka mengatakan bahwa "Rhea memang jahat" dan Danie tidak suka ketika teman-teman sekelasnya, adik atau kakak kelasnya, berbicara hal buruk tentang Rhea. Karena Danie tahu Rhea tidak seperti itu. Teman-temannya salah paham. "Danie nggak bisa jadi mayoret, kak Feela." Suara dari gadis bermata sendu itu sangat kecil. "Maaf...." Feela mencoba mencari udara untuk paru-parunya setelah mendengar penuturan Danie. "Gue berharap banget antara lo dan Rhea mau berubah pikiran, tapi yaudah nggak-papa. Berarti gue harus nyari solusi lain." Saat Feela menepuk bahunya lalu pergi, dan Danie sudah menundukkan kepala tanda menyesal, gadis itu menemukan Rhea yang berdiri menatapnya. "Kak Feela bujuk lo jadi mayoret?" Rhea langsung menebak, terlalu terbaca. Danie mengangguk, membenarkan tas. "Gue nolak." Tidak ada jawaban dari Rhea. "Mau pulang sekarang?" atmosfer terasa kikuk, terlebih mereka berdua tidak sedekat itu sehingga Danie canggung. "Langsung ke rumah lo, kan?" "Lo harus pulang dulu, Rhea. Nyokap lo khawatir." Alis Rhea naik sebelah, juga kedua tangannya bersidekap. Sadar bahwa Danie tahu tentang dirinya yang kabur dari rumah. "Lo udah ngomong sama nyokap gue." sebuah pernyataan. "Iya kan, Danielle?" "Iya, tante Adina minta maaf sama gue. Dan gue juga minta maaf karena nampar lo. Tante Adina punya alasan, lo boleh marah tapi jangan lama-lama." Danie berharap kalimatnya tidak terdengar seperti ceramah. Ada jeda panjang, Rhea mengatupkan bibir, membuang pandangan dan terlihat seperti berpikir hati-hati. "Nggak usah ada acara minta maaf lagi. Lupain aja." "Oke," balas Danie, "dan... pulang ke rumah lo dulu ya, Rhe. Lo harus bawa baju ganti. Gue mau aja pinjemin baju gue, tapi yang ada di lemari bukan style lo." Rhea mengeluarkan dehaman sedikit untuk meminimalisir tawa. Karena ucapan Danie membuat perutnya geli. Ekspresi gadis itu terlalu polos saat menjelaskan baju macam apa yang dia punya, seolah akan menjadi bencana jika dipakai Rhea. "Lo bisa masak, kan?" Rhea malah mengganti topik. "Gue mau dibuatin nasi goreng spesial. Sosisnya yang banyak, pake telor ceplok. Oh iya, pesen Dum-Dum, yuk? Burger sekalian, eh kentang goreng juga. Laper banget." "Lo... nggak diet?" tanya Danie hati-hati, hanya ingin memastikan. Tubuh model itu harus terjaga, bukan begitu? "Apa itu diet?" Bahu Danie terangkat. "p********n?" "Seratus persen benar?" ibu jari Rhea menjawab. "Astaga, gue benci diet." Sekarang, mereka berdua malah terkekeh tanpa tahu ada sepasang mata terus memperhatikan. Deenan di sana, melihat semuanya jelas di balik kaca mobil dan sudut bibirnya terangkat sedikit. *** Danie masih ingat bagaimana ekspresi Adina saat Rhea mengatakan bahwa dia sudah berhenti menjadi model, bahkan tidak mengambil bayaran terakhir agensi karena gajinya dipakai untuk membayar denda lepas kontrak yang lumayan tinggi. Adina tidak bisa merubah keinginan Rhea atau putrinya itu akan semakin marah. Danie sendiri hanya bisa melihat dan merasa tidak enak namun sudah berjanji bersama Rhea bahwa di antara mereka berdua jangan ada lagi yang meminta maaf soal masalah tamparan dan hasil mayoret. Semuanya sudah terjadi, remedial tak tersedia. Buku yang sudah tercoret mustahil putih kembali. "Rhe... lo berhenti jadi model bukan karena gue, kan?" tapi tetap saja Danie kepikiran sehingga dia bertanya. Mereka berdua baru saja selesai pakai masker asli korea yang diberikan Yuggi, dan Rhea menyukai bau skincare berbentuk sheet mask itu di wajahnya. Plus, ada gambar oppa. Berada di satu tempat tidur dan selimut, hanya dihalangi boneka panda milik Danie. Girls time, dan Danie memilih membuka obrolan yang langsung pada inti. "Bukan," jawab Rhea, karena itu benar. "Gue cuma hobi foto dan berpikir cita-cita gue jadi model. Sekarang gue ngerasa ada banyak hal yang lebih menarik." bahunya terangkat cuek. "Tapi nggak tahu. Bisa aja gue jadi model lagi, someday." Danie merasa lega. Ternyata Rhea hanya sedang bingung dengan hobi dan tujuannya. Hal yang biasa, permasalahan remaja. "Ngomong-ngomong, ini kali pertama kita nginep berdua setelah lo balik dari Belanda." Netra Rhea melirik sedikit kepada teman masa kecilnya yang mengangguk-anggukkan kepala. Pipi Danie lebih penuh dilihat dari samping. Cute overload. Tapi mengapa Deenan bisa sangat dingin? Kalau Rhea jadi Deenan, pasti sudah mencubiti pipi Danie setiap ada kesempatan karena memang kembung sekali, penuh dengan lemak bayi. Sepertinya Deenan kurang waras karena nganggurin cewek selucu Danie, batin Rhea berkomentar sinis sesuai realita. "Gue ngerasa ada jarak sama lo." Danie menjawab perlahan. "Gue berpikir lo benci sama gue." Terbalik. "Malah gue pikir lo yang sentimen sama gue?" "Tentu aja nggak." Entah berapa kali gelengan kepala Danie datang. "Gue ngerasa bersalah soal kak Gansa, jadi...." "Danie," kalimat terpotong, sehingga mereka bertemu tatap. "Semua ini salah paham. Gue marah karena lo ada di sana saat kak Gansa meninggal, dan lo malah pergi ke Belanda seolah nggak peduli sama kak Gansa. Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak mencari kebenaran. Lo pergi ke Belanda buat nyembuhin trauma, bukan menghilang." Rhea merasa kecewa, wajar sebagai manusia. Senyum kecilnya mendung, Danie hanya bisa diam. Jika mengingat betapa sulitnya masa-masa itu, Danie selalu kembali ketakutan. Kobaran api, gemetar kaki yang tak sanggup melangkah, juga teriakan Gansa menjadi saksi terjadinya peristiwa paling tragis yang Danie alami. Dadanya akan langsung sesak jika memori itu melayang-layang, mengacaukan akal sehat Danie. Pengobatan dan terapi bertahun-tahun lamanya seolah kembali pada titik nol. Luka itu ada, mrngendap paling dasar di hati Danie. Menunggu dibangunkan lalu Danie harus siap hancur kapan pun. "Trauma nggak bisa hilang segampang itu. Bahkan waktu aja nggak akan membuat lo sembuh kalau traumanya terlalu berat. Trauma bukan hal yang sepele. Apa yang dilakukan papa lo adalah tindakan yang paling benar. Beliau berusaha nyembuhin lo." Rhea tidak tahu caranya mengucapkan kalimat baik, dia merangkai sendiri apa yang melintas di otaknya. Semoga Danie paham. Dengan tangan kanannya yang menggenggam jemari teman kecilnya, Danie berkata sambil mengulas lengkung bibir, "Dan udah seharusnya kita semua sembuh." Rhea setuju. "Ya, lo bener. Seharusnya kita sembuh lebih cepet dari hari ini." Mereka sudah terlalu lama tidak baik-baik saja. *** "Danie-noona! Danie-noona!" Sibuk menjajakan dagangan milik kelas dan terpukau karena keramaian HOJ yang akan dibuka hari ini, Danie kesulitan mencari siapa yang memanggilnya. Dia tahu itu suara dari Yuggi, tapi wujudnya tak terlihat. "Danie-noona! Haduh, permisi!" Kedua siku Yuggi berusaha menerbos ramainya taman depan Mahardika. Lapangan utama yang dipakai tapi gerbang sudah sesak. "Beri aku jalan!" Sekarang Danie bisa melihat sekilas wajah Yuggi yang berlari ke arahnya. Menggunakan setelan olahraga khas Mahardika juga sebuah bando dari kertas dengan tulisan 'Mahardika Cemunguds!' yang membuatnya lebih manis. "Ramai sekali sih," ujar Yuggi, ngos-ngosan. "Kamu nyari aku?" Danie menyentuh bahu adik kelasnya itu karena khawatir pada Yuggi yang kesulitan bernapas. "Kata temen-temenku, Danie-noona jualan cookies. Please, aku mau beli, jadi aku nyari stand kelas noona!" "Oh ya ampun....," Danie tidak habis pikir, Yuggi ini gemas sekali. Padahal hanya tinggal mengirimi chat karena sudah berteman di aplikasi Line. Danie pasti menyisihkan cookies jika Yuggi minta. "Cookies-nya masih banyak, jangan takut keabisan." "Yes, yes!" Yuggi senang melihat meja stand milik kakak kelasnya itu masih berjejer toples cookies. "Aku sama temen-temen sekelas juga baru buka stand, kok. Nggak mungkin langsung sold." "Mungkin banget! Soalnya cookies noona enak!" Yuggi masih ingat untuk pertama kalinya mencicipi kue buatan Danie. Juara, membuat ketagian. "Terima kasih," balas Danie, senang. "Meskipun nggak jadi mayoret, Danie-noona tetap shining shimmering splendid!" "Yuggi, ya ampun..." kali ini Danie tidak bisa menahan kekehannya. "Kamu fans Aladdin, ya?" "Aku fans Danie-noona!" jawab Yuggi cepat, tidak tahu malu padahal teman-teman Danie menatapnya aneh. Ya bagaimana tidak, karena pemuda Korea itu super berisik. "Ada apaan nih rame-rame?" Suara milik Rhea mengintrupsi kehebohan Yuggi. "Gue punya fans, Rhe," adu Danie, tawanya pecah lagi. "Seorang oppa ganteng." "Alah, paling nih oppa bodong lagi modus!" tangan Rhea terulur untuk menyentil telinga kiri Yuggi namun refleks pemuda itu bagus sehingga meleset. Yuggi memeletkan lidah. "Aku haus banget, mau beli air dulu ya. Tolong sisain cookies-nya," kata Yuggi sambil pura-pura mengelap peluh. Danie menitip air mineral pada Yuggi, pemuda Korea itu memberikan jempol. "Heboh banget tuh oppa satu." Rambut Rhea yang hari ini digerai ikut bergerak saat kepalanya menggeleng penuh tanda heran. "Tapi Yuggi bagus, always happy." Danie salut pada orang-orang seperti itu. Gerbang menjadi semakin ramai saat suara dari speaker mengatakan bahwa pembukaan HOJ akan segera dimulai. Sesuai tradisi, para atlet atau suporter dari berbagai sekolah akan dipandu masuk ke lapangan di mulai dari gerbang megah Mahardika. Di depan para atlet ada drum band dan mayoret yang seharusnya resmi diganti karena kelas 12 sudah tidak bisa mengikuti kegiatan secara aktif. Tapi Feela di sana, dengan kostum berwarna silver membalut tubuh rampingnya sempurna. Rambut hitamnya diikat tinggi, make-up tipis pemanis, tongkat di tangan kanan, siap melangkah penuh karisma. Aba-aba ada pada Feela, jelas sekali dia pemeran utamanya hari ini. "Kak Feela keren banget, ya?" gumam Danie setengah sadar. Terpukau dengan ekspresi wajah dan gerakan memutar tongkat dari si mayoret utama Mahardika. "Ujung-ujungnya, dia emang yang paling pantes jadi mayoret. Kita berdua nggak akan sekeren kak Feela." Rhea menimpali, ikut tersihir. Tubuh kakak kelasnya itu lebih pendek dari Rhea tapi kakinya melangkah dengan teratur dan cantik. Profesional. Danie mengangguk setuju. "Kak Feela emang keren." "KAK FEELA! SEMANGAT! CANTIK BANGET! QUEEN! QUEEN! KAK FEELA YANG PALING KEREN!" teriak Rhea dari tempatnya berdiri dan Feela mendengar itu. Langsung melirik cepat pada Rhea, menampilkan senyum ramah lalu melanjutkan memandu drum band sampai lapangan utama.Rhea dan Danie melambaikan tangan, merasa bangga karena sempat diajari Feela bagaimana menjadi mayoret utama meski keduanya gagal mengisi posisi bergengsi itu. "Wuihhh, Feela-noona keren!" Yuggi sudah datang lagi, membawa dua botol air mineral, satunya dia berikan pada Danie. Mereka bertiga setuju untuk pergi ke lapangan, ingin melihat keseruan dari opening. "Semua orang di mata lo keren yeeee." Rhea menyindir Yuggi, tapi hanya bercanda saja. "Btw, lo bisa survive kan di agensi? Gue out." Kedua bola mata Yuggi membulat. "Kenapa noona?! Terus nanti yang jagain dan ngelatih aku siapa?" "Ada yang gantiin kok. Kalem." Tepukkan pada bahu sengaja Rhea berikan. Dan tidak menunggu balasan Yuggi, dia pamit untuk berjalan-jalan mengelilingi stand milik ekskul yang berada di sisi lapangan utama. Dapat benefit dari Kepsek karena hanya ekskul saja yang boleh buka stand jualan di lapangan utama. Semua stand kelas ada di taman depan. Rhea menemukan Deenan sibuk mengambil foto opening HOJ, sesuai tugasnya. Awalnya tidak ada yang aneh sampai Rhea sadar bahwa sejak tadi Deenan mencuri-curi lirik sambil memotret. Menariknya lagi, tatapan Deenan tertuju pada Danie yang sedang tertawa karena Yuggi melakukan hal bodoh: memakan cookies sambil berakting sebagai bayi dinosaurus. "Jevino!" Bodo amat jika jantung sepupunya itu loncat karena terlalu kaget dapat teriakan tiba-tiba. "Gitu banget ngeliatin Mrs. Fegaya nya??" "Apaan?" Kumpulan rambut tebal bernama alis milik Deenan bertaut. "Siapa yang ngeliatin siapa?" Si jago ngeles sedang beraksi. Rhea tidak peduli, yang pasti dia senang menggoda Deenan. "Cemburu ya ngeliat tunangan lo bisa se-happy itu sama cowok lain?" "Ngaur." Meneliti raut wajah Deenan, dan tanpa perlu menjadi profesional pun Rhea bisa tahu. "Ngaku aja sih!" "Halu lo. Dan gue lagi kerja, jangan ganggu." Deenan meninggalkan sepupunya untuk memotret Feela lagi. Rhea hanya bisa berdecak melihat kuping Deenan yang memerah. Pasti karena ketahuan cemburu sama Danie, batin Rhea makin jahil. "Potret gue juga dong!" sebenarnya Rhea tidak perlu berteriak karena Deenan hanya beberapa langkah darinya, hanya saja suara musik dari drum band membuat bising. "Ogah," kata Deenan. "Atau gue teriak nih kalau lo mau nikah muda sama Danie, biar semua orang denger dan mereka kondangan?" "Rhea, nggak lucu." "Gue teriak ah?" "Nggak lucu." s****n, Deenan tidak seharusnya menggeram. "Emang, tapi lo panik! Hahahah. LO HARUS LIAT EKSPRESI LO, JEVINO! KAYAK IKAN CUPANG OM ARIS KALAU LAGI MAU BOKER!" Tawa keras dari Rhea itu memacu Deenan untuk melangkah ke arahnya kemudian jepret! Deenan membidikan kameranya tepat di depan hidung Rhea. "s****n lo, Jevino!!!" teriak Rhea kalap sambil memukul-mukul bahu Deenan. "Gue doain wajah lo jadi mirip ikan cupang!" "No, thank you. Bokap gue bakal seneng kalo anaknya mirip ikan cupang dan nyokap gue pasti stress," jawab Deenan dengan ekspresi datar padahal sedang melucu. Tidak masuk akal kenapa bisa-bisanya begitu. Heran. Oh, ya ampun, dasar es. Dan Danie masih suka dengan es balok seperti Deenan? Rhea pikir, couple satu ini memang aneh. *** Deenan : Pulang bareng, ada yang mau diomongin. Dahinya mengerut saat membaca pesan dari Deenan, tetapi tak bohong sekarang Danie merasa penasaran sekaligus berdebar. Hanya diajak pulang bersama tapi dia sudah sesenang ini. Ditambah, Danie juga ingin membicaran sesuatu. Dia ingin Deenan tahu bahwa antara Danie dan Rhea kini sudah menghangat. Tak ada maksud untuk menyogok hubungan mereka agar lebih baik, seratus persen Danie hanya ingin Deenan paham bahwa dirinya berbaikan dengan Rhea, sudah saling menerima dan memaafkan. Jika setelah ini hubungannya dengan Deenan juga ada kemajuan, itu bagus. Tapi biarlah,  Danie tak mau besar kepala dulu takut kecewa. "Danie-noona!" Yuggi melambaikan tangannya, disambut oleh senyum hangat dari Danie. "Makasih cookies-nya, besok aku mau beli lagi." "Nanti aku kasih aja," ujar Danie, merasa tidak enak. "Pokoknya aku kasih, ya. Besok pagi ketemu di gerbang." "Tapi...," Yuggi menggaruk tengkuk, "hmmm, oke deh." Jempol Danie terangkat, dia pamit ke parkiran karena sudah ditunggu seseorang, tapi langkahnya terhenti saat melihat Deenan berdiri tak jauh dari tempatnya tadi mengobrol dengan Yuggi. Bahkan adik kelasnya itu masih ada di sini. Bilang bahwa ada Deenan, jelas-jelas Danie juga lihat. "Hai, Danie kira Deenan nunggu di mobil?" tanya gadis itu kikuk. "Ya," Deenan mengangguk, "lo lama." Iya, kah? Danie langsung menunduk. "Sorry, tadi---" "Ngobrol sama adek kelas dari Korea?" potong Deenan, langsung. Baru saja Danie mau menjawab, Deenan merubah tension pada air mukanya. Sedikit menakutkan sampai Danie ingin menunduk lagi rasanya. Sekarang pemuda itu menghela napas lalu berbalik badan, pergi. Danie mengekor di belakang. Deenan pasti marah karena nunggu lama. Pikiran Danie terdominasi oleh itu. Deenan tidak suka menunggu dan Danie malah membuang waktu berharga Deenan. Bodoh sekali. "Masuk," kata Deenan ketika kaca depan terbuka. "Atau lo mau ngobrol sama adek kelas lo lagi?" Danie langsung menggeleng, dia membuka pintu mobil kelewat cepat bahkan memakai sabuk pengaman seperti akan pergi perang. Deenan benar-benar kesal karena aku lelet. Sekali lagi Danie membatin. Mobil Deenan sudah keluar dari area Mahardika, sepanjang jalan suasana hening, dan Danie tidak punya cukup keberanian untuk memecah kebekuan. Deenan sedang tidak dalam mode oke untuk diberikan ocehan. Danie sadar diri dia membuat Deenan kesal karena menunggu. "Besok-besok Danie nggak akan lelet lagi." suara Danie keluar, semoga ucapannya tidak menambah masalah. "Maaf ya, Deen." "Kenapa minta maaf? Lo nggak salah." Deenan sibuk menyetir saat mengatakan itu. Masih ada yang mengganjal di lidah Deenan, tapi pemuda itu memilih menyimpannya. "Tadi Deenan mau ngomong apa?" Danie harus bertanya karena sebentar lagi mobil Deenan sampai rumahnya, sudah masuk gerbang  komplek. "...." Tidak ada jawaban. Bahkan sampai mobil berhenti di depan rumah Danie. Hening tercipta lagi, kali ini lebih tak tersentuh. Danie kurang berani melirik Deenan atau membuka pintu. Hanya menunggu pemuda itu mengatakan sesuatu. Lima menit berlalu, Danie masih duduk di kursi mobil Deenan. Tangan kirinya meremas sabuk pengaman. Bingung harus berbuat apa. "Danielle...," adiktif, Danie nyaris tak pernah mendengar Deenan memanggilnya dengan jenis suara seperti itu. Perlahan Danie melirik ke samping, jantungnya sudah tidak beraturan ketika Deenan menekan sesuatu di sisi tempat duduk agar sabuk pengaman Danie terlepas. Rongga d**a gadis itu seharusnya merasa lega karena tubuhnya bebas, tapi dia malah kalut. Danie tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bukan gadis selugu itu sampai tidak paham tujuan Deenan yang terlalu dekat dengan wajahnya. Sesempurna saat Danie benar-benar berhadapan dengan Deenan, gadis itu disambut dengan sesuatu yang sangat lembut menempel di bibirnya. Seperti hanyut, dinyanyikan lagu selamat malam, kedua mata Danie tertutup. Berbeda dengan malam itu, saat Danie mencium Deenan amatiran, kali ini dia mendapat balasan dari Deenan karena pemuda itu yang menciumnya duluan. Tangan kiri Danie digenggam erat ketika Deenan mengecup bibir bawahnya. Dengan gemetaran, Danie mencoba mengikuti gerakan bibir Deenan. Ini nyata, Danie tahu ini nyata. Tidak peduli apa alasannya, Danie terlalu menyukai apa yang sedang dia lakukan. Jika ini mimpi sekali pun, Danie berharap tak usah bangun. Karena saat ini, Deenan Jevino Argadhika tengah menciumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN