CHAPTER 13

3297 Kata
Hal yang pertama kali dilakukan Rhea adalah pergi ke ruang kepala sekolah. Mencari kebenaran pada yang paling bisa dia raih meski sinyal di kepalanya sudah ingin menghubungi sang mama. Rhea tidak percaya pada ucapan Danie, dia yakin bahwa mantan teman kecilnya itu hanya kesal—tidak jadi mayoret—sehingga memfitnah dirinya. Sangat naif bukan? Tapi jika kebenaran yang menakutkan itu nyata, Rhea belum menyiapkan apa pun—harga dirinya, bahkan hatinya. Dia mempercayai mama serta bakatnya, dan tidak bisa membayangkan apabila itu semua hanya ilusi-ilusi konyol yang membuatnya keras pada kejujuran. Kengerian menggerogoti tubuh Rhea yang kini tidak sabaran mengetuk pintu ruang Kepsek. Danie pasti salah, tuduhan itu bentuk dari iri hati dan gue akan tertawa tepat di depan wajah Danie. Sekarang orang yang posisinya paling tinggi di sekolah itu meminta agar muridnya tenang. Kepsek ingin Rhea menceritakan apa yang terjadi di balik kalimat; "Apa saya curang? Apa mama saya meminta sesuatu sama Bapak" "Saya mau tahu hasil yang sebenarnya. Saya unggul atau kalah dari Danielle Fegaya, pak?!" Rhea tahu rasanya tidak sopan berbicara dengan intonasi setinggi ini, namun dia menyingkirkan pilihan lain. "Saya mau kejujuran Bapak." "Rhea, semua orang tahu bahwa kamu paling cocok mendapatkan posisi mayoret—" "Hanya cocok?" sela gadis itu langsung, bukan saatnya berbasa-basi. "Jadi beneran mama saya minta supaya saya jadi mayoret biar kualifikasi saya bagus?" "Kamu paling cocok menjadi mayoret," sekali lagi Kepsek memberi pengertian, "dan siapa yang memberi tahu kamu tentang kualifikasi?" Ini sampah. Rhea ingin sekali mengumpat pada jawaban Kepsek yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Ini sampah. Jadi benar; bahwa Danie unggul dalam pemungutan suara tapi wanita bernama Adina—yang tak lain adalah ibunya sendiri—membuat Rhea menjadi mayoret tanpa hambatan? Wow. Bahkan pihak sekolah setuju untuk kecurangan ini. Seharusnya Rhea memberikan tepuk tangan. Ini sampah. Kepsek berucap dengan hati-hati, "Wajah kamu sangat cantik—semua orang akan senang melihat kamu menjadi mayoret, Rhea." Hanya karena cantik? Seklise itu? Rhea merasa tidak dihargai bakat dan usahanya. Jika dirinya tidak cantik, apa dia akan berguna? Jika dia tidak cantik, apa dunia mau berteman dengannya? Lagi-lagi karena fisik. Rhea muak. "Saya mundur dari posisi mayoret," ujar Rhea dengan lantang, tak bisa lagi mendengar lelucon, lalu pergi dari sana. Benar-benar sampah. *** Pemuda itu duduk di kursi kayu berwarna putih milik Danie. Dengan penerangan sedikit temaram, memperhatikan wajah lelap seorang gadis. Danie menangis, terlihat sangat kelelahan dan Deenan tidak ingin pulang. Di sini sejak tadi, kemauan untuk beranjak pergi ditepis jauh. Tangis yang diperlihatkan Danie bukan cengeng mencari perhatian, melainkan sesuatu—sesuatu yang sudah sulit ditahan lagi. "Danie marah karena takut nggak dipotret Deenan," adalah kalimat yang gadis itu ucapkan sebelum terlelap. Semula bersikeras tidak ingin naik ke atas tempat tidur. "Takut Deenan hilang," ujarnya, dengan air mata tidak berhenti. Deenan tidak ke mana-mana. Gadis itu terus menggengam tangan yang ia pikir miliknya. Kesadaran sudah berantakan, juga amarah dan kesal yang seolah mengontrol syaraf agar Danie melakukan hal bodoh. Mencium Deenan sambil menangis, dan pemuda itu diam saja. Tidak merespon, tidak menjauhkan—Danie tersesat. Danie kesulitan tenang, mengatakan banyak hal, seperti omong kosong, sehingga Deenan langsung mengusap kepalanya perlahan. Meminta agar gadis itu menatapnya, memasang telinga, siap diberi tahu bahwa, "Kemaren gue milih lo." Danie tidak mengatakan apa pun. Matanya membulat, memastikan telinganya masih berfungsi. "Ya," Deenan mengangguk, "menurut gue, lo sama Rhea itu pantes. Kalian punya kelebihan masing-masing. Unggul dalam hal yang berbeda dan kalian punya kesempatan untuk jadi mayoret. Gue milih lo karena gue percaya sama lo." Deenan menjelaskan agar Danie tidak salah paham. Gadis itu sedang kalut, bisa saja berpikir bahwa kalimat Deenan hanya obat penenang. Tapi demi alam semesta, Deenan tidak berbohong. "Bukan karena kasihan?" Suara Danie pecah. Separah itukah Deenan memperlakukannya selama ini sampai hal paling jujur pun diragukan oleh Danie? "Bukan...," Deenan merasa tidak bisa menyentuh Danie lebih dari ini—mengusap kepala. "Lo cocok jadi mayoret." "Rhea lebih cocok jadi mayoret." Danie mundur, menjauh. "Cantik, baik, badannya bagus. Semua orang suka Rhea." "Bukan gitu." Gelengan demi gelengan datang. Deenan harus mulai darimana? Agar tidak jauh berbelok dan langsung pada inti. Pemuda itu hanya melanjutkan, "Lo nggak tahu sulitnya Rhea mertahanin badannya, dia pernah masuk UGD karena diet ekstrim. Rhea model, bisa stres kalau timbangannya naik. Dia nggak bisa makan sesukanya—Rhea juga kesulitan, Danie. Semua orang punya kesulitan." Deenan yakin Danie mendengarnya meski mereka berdua tidak saling menatap. Dan gadis itu bertanya,"Apa Deenan tahu kesulitan Danie?" "...." Jawaban tidak datang. "Pasti Deenan nggak mau tahu." Gadis itu mengusap pipinya yang semakin basah. Sekali lagi, menjadi menyebalkan dan payah di depan Deenan. "Danie juga mau diperhatiin sama Deenan. Maaf karena Danie sayang sekali sama Deenan. Ingin Deenan, nyaris setengah mati." "Berhenti," potong Deenan, serius. "Jangan sayang sama gue sebanyak itu. Gue nggak bisa menjanjikan apa-apa. Sayangi dulu diri lo sendiri, baru sayangi orang lain." Menangis saja tidak cukup, sayang saja tidak cukup, tapi Danie terus melakukannya. "Jangan rela jadi bodoh untuk gue, Danielle..," tambah Deenan, suaranya melembut. Dia ingin berhati-hati kepada Danie. Membangunkan secara perlahan, serta menyadarkan. "Lo nggak akan dapat apa pun." Seperti polanya, kamu memang akan kecewa, jika berharap pada manusia. Seperti polanya, kamu ketahui, tetap diulangi, seolah tidak pernah sakit hati. *** Danie menyibakkan selimut, merasa kepalanya pening dan mulai mengingat-ingat apa yang sudah dia lakukan. Masih memakai seragam sekolah, namun dia sudah di rumah. Menatap cermin, matanya bengkak dan tidak ada Deenan di sini. "Udah bangun?" Atau... mungkin ada. "Jangan masuk!" Danie langsung mengambil sebuah bantal untuk menutupi wajahnya ketika langkah Deenan datang mendekat, memasuki kamarnya. "Gue bikin nasi goreng." Bantal itu turun sedikit, "Makasih, nanti Danie makan." "Sekarang," kata Deenan, terdengar tak mau dibantah. "Lo nggak usah malu, wajah lo nggak berubah. Cuci muka aja biar seger." Bagaimana bisa Deenan masih di sini dan terlihat santai setelah beberapa jam lalu Danie berperilaku seperti korban yang paling malang nan menyebalkan? Danie bahkan ingin mengacak-acak kepalanya ketika ingat sudah mencium Deenan tepat dibibir. Amatiran. Sangat memalukan, Danie harus minta maaf dan mengatakan bawa tadi dia kesurupan. Ketika emosi mengambil alih, semuanya hanya akan berakhir dengan penyesalan. Deenan benar-benar masak, tercium dari aroma yang keluar dari arah dapur. Pemuda itu menyuruh Danie segera duduk dan mengambil nasi goreng bagiannya. "Deen—" "Makan aja." Deenan yakin gadis yang tengah meremas jari-jari tangannya itu kelaparan karena sibuk menangis. Dia ingin Danie mengisi perut, bukan mengatakan hal-hal yang bisa saja menambah jelek suasana hati. Danie menurut, suap-persuap lolos di tenggorokan. Deenan ikut makan dengannya, Danie juga menyadari Deenan melepaskan jaket yang tadi siang dia pakai sehingga Danie bisa melihat bekas goresan-goresan pada lengan pemuda itu. Danie semakin menunduk, detik ini hatinya kembali tidak nyaman nyaris sesak. Sampai sekarang Danie tidak tahu mengapa luka-luka itu harus mengotori tangan Deenan. "Deenan udah ngomong sama Rhea? Danie jadi nggak enak." Gadis itu menghentikan acara makannya, tidak bisa tenang. "Danie mau minta maaf." "Tadi gue udah ke rumah tante Adina dan Rhea pergi." Sorot wajah Danie semakin mendung. Harusnya dia tidak menampar Rhea di kantin. "Rhea di kantor agensinya. Ada ruangan khusus buat model—dia tidur di sana," jelas Deenan. "Dia berantem sama nyokapnya. Kalau pun lo nggak nampar Rhea, dia tetep bakal marah sama nyokapnya karena curang. Ini bukan salah lo." Danie mengangguk paham. "Lo bisa omongin ini sama Rhea, besok di sekolah," kata Deenan. "Ya, sepertinya gitu. Danie nggak mau memperpanjang masalah." Sekarang berganti Deenan yang mengangguk lalu tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Danie. "Ada nasi—" mata mereka bertemu, "—sorry nyentuh lo. Abisin makannya ya." Selesai dengan aksi spontan itu, Deenan langsung pergi dari sana untuk mencuci piring. Seolah tidak ada yang salah, meninggalkan Danie bersama pipi merahnya yang terasa akan meledak. *** Ini tidak bisa disebut kabur karena Rhea hanya menumpang tidur di kantor agensi. Mematikan ponsel namun tidak sampai mengacak-acak kamar seperti pada film yang dia tonton jika pemeran utamanya sedang marah dikelilingi aura negatif. Rhea yakin mama mencari keberadannya dan sudah tahu ke mana Rhea kabur, tapi Adina sengaja tidak menjemput. Hanya mengantarkan barang-barang yang diperlukan untuk sekolah lewat Deenan. Ya, pemuda itu sekarang ada di ruangan khusus model—yang dipakai Rhea tidur—duduk cuek dengan segelas mie dalam cup yang sudah diseduh air panas yang berada di kantin kantor. Deenan tampak santai menyeruput sesuatu yang kenyal. Uap kuah mengepul, Rhea hampir bersin karena dari aromanya saja sudah terasa pedas. "Nggak mau dimakan tuh mie? Nunggu sampai ngembang kayak cacing alaska, Rhealine?" sindir Deenan kepada sepupunya yang langsung berdecak. "Situ ngerasa lucu, mas?" ejek Rhea. "Lo bukan om Jason, jadi nggak usah sok asyik." Deenan mengangkat bahu, lebih memilih menghabiskan mie. "Gue marah sama mama ada alasannya dan gue nggak akan ngambek—sampai kabur, kalau mama nggak curang." Sambil memainkan mie menggunakan garpu plastik murahan, Rhea akhirnya bercerita. Bibirnya mengerucut. "Gue malu, Deen. Nggak tahu lagi besok harus gimana di sekolah." "Ya," Deenan mengangguk, "lo boleh marah sama nyokap lo tapi tante Adina tetep nyokap lo. Orangtua emang nggak selalu bener, tapi nyokap lo pasti mau yang terbaik buat anaknya." "Dapet darimana kalimatnya?" "Dari n****+ yang dibaca Maxon." Mereka berdua terkekeh, namun hanya sebentar. "Apa nyokap gue nggak mikirin Danie? Gue bener-bener malu." Rhea merasa tidak enak kepada Danie yang di sini posisinya sudah dirugikan hanya demi kepentingan yang bahkan tidak diinginkan Rhea. Saat bertengkar beberapa jam lalu, mama langsung meminta maaf karena gegabah dan egois, namun Rhea terlanjur malu. Memikirkan bagaimana mulai dari sekarang orang-orang akan meragukannya dan mereka semakin menambahkan minus-minus baru seolah Rhea adalah objek yang bisa mereka nilai sesuka hati. Mentertawakan hal-hal yang mereka pikir salah. Mereka senang jika Rhea kesulitan. Ternyata selama ini gue hidup seperti itu.Rhea miris. "Jadi kapan lo balik?" Pertanyaan dari Deenan mampu mengembalikan kesadaran Rhea."Tadi pas gue ketemu nyokap lo, tante Adina keliatan khawatir. Lo nggak boleh hukum beliau, Rhe." "Mungkin nanti setelah gue tanda tangan kontrak." "Kontrak apa?" "Lepas dari agensi," jawab Rhea, tanpa nada. Berbeda dengan Deenan yang tidak ingin dijadikan ajang lelucon. Alisnya mengerut tidak paham."Apa artinya?" "Berhenti jadi model lah, menurut lo apa?" "Kenapa?" "Nggak tahu," suara Rhea mengecil,"gue jenuh." "Lo bisa libur dulu tapi jangan berhenti. Jenuh itu biasa." Deenan tidak berhak ikut campur dengan pilihan-pilihan yang dibuat Rhea, namun dia merasa tahu bahwa menjadi model profesional adalah mimpi Rhea sejak kecil. Deenan masih ingat bagaimana gadis itu pernah ditegur mamanya karena mengacak-acak lemari Adina ketika kecil. Deenan selalu pura-pura jadi juri atau penonton ketika Rhea berdandan dan berjalan cantik menggunakan sepatu tinggi yang kebesaran. Dan Deenan menjadi orang pertama yang kalap jika akhirnya Rhea keseleo. "Sepertinya gue mulai bosan jadi titik fokus dan perhatian orang-orang." Rhea terkekeh, namun nadanya tidak terdengar lucu. Jauh dari itu, ada makna yang lain. Meninggalkan mie cup-nya, dia beralih untuk menatap Deenan. "Gue juga mengundurkan diri jadi mayoret." "Rhe—" "Jevino, denger...," kedua mata gadis itu menutup secara perlahan kemudian terbuka lagi. "Gue nggak mau dapet petuah, nasihat, atau apa pun. Gue cuma mau didengerin dan lo boleh pergi kalau nggak mau jadi tempat sampah gue." Bagaimana bisa Deenan bisa pergi jika ini menyangkut Rhealine? Tentu tidak akan. Sehingga sekarang dia mengangguk pelan, menggunakan tangan kanannya yang bebas untuk mengusap bahu Rhea. Tubuh gadis itu refleks mendekat kepadanya dan Rhea berujar, "Selalu suka aroma lo. Dan hangat." "Gue tahu," ujar Deenan. Posisinya serius ketika mengatakan, "Lo pernah bilang kalau lo nggak butuh gue, begitupun sebaliknya. Itu nggak bener, dan jangan ngomong kayak gitu lagi seolah kita orang lain." Kali ini Rhea benar-benar tertawa mendengar ucapan dari sahabatnya sejak kecil. Seolah paham bahwa Deenan sedang merajuk, takut tidak dianggap. "Kita dekat, Rhea. Kita adalah seperti itu." Deenan menaruh dagunya di atas kepala Rhea, menandakan bahwa dia ada. Mengerartkan pelukan menggunakan sebelah tangan, Rhea mengangguk pelan. "Ya, Deenan, kita adalah seperti itu." *** Rhea menundukkan kepalanya, dari situ memberi tahu bahwa dia juga tidak enak, namun harus melakukannya. "Gue minta maaf, kak." Dengan wajah sedih, Feela menanggapi, "Tapi, Rhe, pembukaan HOJ minggu depan." "Gue minta maaf, kak." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Rhea. "Satu sekolah bakal makin nggak suka sama gue kalau tetep ambil posisi mayoret. Pasti gue dicap nggak tahu malu, karena Danie yang menang." "Rhealine, please...," Feela bertanggung jawab untuk urusan ini, pikirannya terasa buntu ketika mayoret yang sudah dia persiapkan tiba-tiba mengembalikan tongkat kepadanya. "Danie nggak mau jadi mayoret, dia nelepon gue tadi malem," jelasnya, sedih. "Kenapa?" Mata Rhea melebar. Karena setahu dirinya, Danie ingin sekali menjadi mayoret agar dipotret Deenan. Kurang lebih seperti itu. "Gue nggak tahu alasan Danie," beberapa kali Feela menghela napas, "dan sekarang lo bilang nggak mau jadi mayoret. Gue harus gimana?" Rhea tidak berniat menyusahkan kakak kelasnya, dia ingin menjadi mayoret, tapi itu jauh sebelum kebenaran terungkap. Sekarang Rhea tidak punya keberanian untuk tampil di hadapan orang-orang. Feela akhirnya mengusap bahu Rhea, takut jika mantan mayoret Mahardika itu ikut terbebani dan semakin sedih. Seluruh siswa membicarakan tentang kecurangan dari pemilihan mayoret dan Feela tidak ingin Rhea semakin merendahkan diri. "Oke kalau lo nggak mau nerusin ini. Tapi seandainya lo berubah pikiran, please banget hubungi gue ya," ujar Feela, masih menaruh harapan. Rhea mengangguk mengerti. "Oke, kak. Sekali lagi gue minta maaf." Feela membawa tongkat mayoret pergi dari hadapan Rhea yang hanya bisa berdiri diam di pinggir lapangan bola. Dari tempatnya, Rhea bisa melihat Feela mengatakan sesuatu pada anggota marching band. Mereka memusatkan pandangan pada Rhea, dengan raut wajah yang jelas memancarkan bahwa mereka semua kecewa. Entah sedih karena Rhea tidak jadi mayoret atau karena gara-gara mama Rhea curang sehingga semua rencana jadi berantakan. "Rhea...." Suara dari Danie membuat si pemilik nama melirik. Setelah kejadian tamparan di kantin kemarin, mereka berdua baru saling melihat lagi sekarang. "Hai," Danie merubah suaranya menjadi lebih ramah meski ada kecanggungan. "Lo ada waktu—" Rhea belum sempat mendengar kalimat lanjutan dari Danie ketika banyak dari murid berteriak untuk sesuatu. "Deenan!" Tidak pikir panjang, Rhea langsung berlari ke arah deretan kursi penonton di ujung kiri lapangan. Meminta agar cowok itu berhenti memukul seorang pemuda yang Rhea ketahui juga sekelas dengan Deenan. Sambil terus dihajar,Yeremi melindungi diri sebisa mungkin, bahkan ketiga pemuda lain yang berada di dekatnya malah mundur seolah tidak sanggup menghentikan perbuatan Deenan. "Stop, Deen!" Rhea berusaha menarik lengan sepupunya. Sungguh hal yang baru karena Deenan tidak pernah terlibat perkelahian. Cowok itu tidak suka membuang-buang waktu untuk ini. Jika sampai Deenan menonjok orang, sudah pasti masalahnya serius. Danie ikut berlari, ingin tahu mengapa tunangannya melayangkan bogem dengan sepenuh hati. Kalap, dan penuh emosi. Danie melihat Rhea menenangkan Deenan dengan kalimat yang tidak bisa dia dengar sedangkan Yeremi sudah dibantu teman-temannya untuk bangun. "Kalian semua, ke ruangan saya sekarang!" Pak Giri sudah mendapat laporan dari beberapa murid tentang perkelahian di lapangan bola. Suaranya semakin meninggi ketika menemukan bahwa Yeremi babak belur dan Deenan berantakan—dalam artian masih sangat marah. Yeremi bisa masuk UGD jika Deenan tidak disadarkan. "Berandal seperti kalian tidak pernah kapok membuat onar!" Deenan yang pertama kali pergi ke ruang BK, berbeda dengan Yeremi yang merasa takut berkali lipat seolah pukulan dari Deenan belum cukup kini dia harus berhadapan dengan pak Giri. "Deenan kenapa?" Hanya itu yang ada di kepala Danie. Dia mengikuti Rhea yang berjalan menuju BK. "Yeremi ngelakuin sesuatu yang bikin Deenan kesinggung sampai dia marah." Raut wajah Rhea terlihat kebingungan, juga berusaha menafsirkan apa yang tengah terjadi. "Deenan nggak pernah seemosi ini, dan semuanya karena lo, Danielle." Dan Danie mendengar ucapan Rhea terlalu jelas. *** Setelah Yeremi diobati oleh dokter sekolah, pak Giri tidak menunda-nunda untuk menyidang keduanya. Deenan dan Yeremi duduk bersebelahan di depan guru BP. Tentu saja Deenan enggan membuka mulut jika belum diminta, tidak seperti Yeremi yang bilang bahwa masalah ini adalah k*******n terhadap sesama pelajar. "Sampah ini motret orang sembarangan dan dijadikan lelucon setelahnya," kata Deenan ketika pak Giri meminta diberitahu dari awal kisah. "Si sampah ini juga saya liat sering melakukan kontak fisik nggak perlu dengan adik kelas. Salah satunya Jane, anggota marching band. Udah ditegur tapi tetap nggak punya otak." "Sebut nama teman kamu dengan benar, Deenan." Tapi Deenan tidak peduli dengan intrupsi pak Giri. Dia terus melanjutkan, "Dia motret kaki Danielle Fegaya, berkali-kali, sangat banyak. Nggak segan melakukan body shaming, termasuk s****l harassment. Bapak bisa cek di ponselnya." "s****l harassment?! Lo gilak?!" Yeremi tidak terima, namun saat Deenan menatap tajam padanya, Yeremi kembali ciut. Berkata pada pak Giri bahwa dia tidak melecehkan siapapun. "Kamu tahu kan bahwa apa yang kamu lakukan ini salah?" ujar pak Giri kepada Yeremi. "Mungkin terlihat sepele, tapi orang yang kamu foto bisa saja merasa tidak nyaman dan keberatan. Sesuatu yang merugikan orang lain tidak bisa lagi disebut lelucon." Yeremi menunduk. "Terima kasih karena kamu sudah memberitahu saya tentang ini. Tapi Deenan, tidak perlu ada kekerasan." Pak Giri menurunkan intonasi suara ketika berbicara pada Deenan. "Perbuatan kamu juga tidak bisa dibenarkan. Kamu sadar itu?" "Iya, pak. Saya siap dihukum," sahut Deenan, serius. Apa yang sudah dilakukan harus dia pertanggung jawabkan. "Membersihkan toilet selama seminggu," adalah hukuman untuk Deenan. "Dan Yeremi membersihkan toilet selama satu bulan. Berjanji tidak akan memotret siapapun lagi secara sembarangan atau melakukan tindakan tidak menyenangkan. Meminta maaf kepada orang-orang yang kamu rugikan." "Pak, kan saya yang dihajar—" Protes Yeremi berhenti ketika Deenan menyindir tanpa nada, "Kurang? Gue harus bikin kepala lo patah?" "Cukup. Kalian bisa keluar dan berikan surat ini kepada orangtua kalian. Rapot untuk akhir semester tidak bisa diambil kalau orangtua kalian tidak tanda tangan." Keduanya mengangguk kepada perintah pak Giri. Keluar dari ruang BK dan Yeremi sempat berkata, "Deen, gue minta maaf. Sumpah, gue nggak niat ngelecehin orang. Soal Jane—dia cute. Dia juga nggak pernah protes—" "Karena dia takut speak up bahwa selama ini ada kakak kelas mirip sampah yang suka nyentuh dia sembarangan." Deenan tidak membiarkan Yeremi berceloteh. "Dan soal Danie—" "Sekali lagi lo berani nunjukkin muka di hadapan Danie, leher lo beneran gue patahin." Yeremi semakin dibuat was-was mendengarnya. "O-oke, Deen. Gue janji akan jadi anak baik mulai sekarang dan gue akan minta maaf sama Danie dan juga Jane." Deenan melangkah pergi, menemukan Rhea di koridor dekat kelas. Berdeham, Deenan menyembunyikan tangannya yang tadi sempat menghajar Yeremi ketika sadar diperhatikan Rhea. "Jadi karena Danielle Fegaya lo lepas kendali, Jevino?" celetuk Rhea sesaat setelah memberikan sebotol air minum. Deenan membelokkan obrolan, "Lo mesti tahu bahwa adik kelas lo, yang juga model di agensi lo; namanya Jane, sering dilecehin sama Yeremi." "Dilecehin?" "Dirangkul—menurut gue itu bukan cuma—karena gue liat Jane nggak nyaman." Rhea mengangguk mengerti, dan merasa kurang peka dengan isu yang dikatakan Deenan. Pelecahan s*****l bukanlah masalah s**s saja, banyak jenisnya. Pelecehan s*****l adalah masalah penyalahgunaan kekuasaan (abusing power), jadi bisa terjadi di mana saja dan bisa dialami oleh siapa saja. Soal pelecehan fisik, sentuhan-sentuhan kecil memang tidak bisa dianggap enteng. Rhea senang Deenan peduli pada hal-hal seperti ini. "Lo jaga diri, Rhe. Orang jahat bisa ada di mana-mana. Bilang sama gue kalau ada yang bikin lo nggak nyaman," ujar Deenan, serius. "Treat tubuh lo seperti berlian, nggak boleh ada yang nyentuh lo sembarangan." "Makasih, tapi gue bisa jaga diri sendiri." "Oke." "Oh iya, gue mau nginep di rumah Danie nanti malem," kata Rhea, tiba-tiba. Deenan yang sedang minum air pun sampai berhenti dahulu. "Dia mau ngomongin sesuatu. Menurut lo apa?" "Gue nggak tahu," jujur Deenan. "Apa dia minta gue jauhin lo?" "Kenapa harus?" Kali ini Rhea yang berkata bahwa dia tidak tahu. "Gue nggak mau Danie berpikir ada apa-apa antara kita, Deen." Deenan hanya menepuk kepala Rhea menggunakan botol air, dengan perlahan dan tidak berniat menyakiti. "Kita memang ada apa-apa. Sodara, sahabat, dan apa lagi? Tempat sampah?" Rhea memutar kedua bola matanya dan Deenan terkekeh. "Lo sayang dan care banget sama Danie, Deen. Susah ya buat ngakuin? Keliatan jelas lho," ujar Rhea saat mereka berdua melangkah pergi untuk menelusuri koridor. "Gue kenal lo, Jevino. Lo nggak bisa bohong sama gue." Dan Deenan hanya mengangkat bahu lalu setelah itu berlari menuju pintu kelasnya. Menurut Rhea, diamnya Deenan adalah sebuah jawaban. Karena selama ini Rhea tahu bahwa Deenan selalu diam-diam mengikuti Danie jika gadis itu pulang sekolah sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN