Bab 7. Perang Saudara

1009 Kata
"Baik, Pak. Saya akan meminta mereka untuk bertemu dengan Anda siang ini," jawab asisten pribadi Akbar di dalam sambungan telpon. Akbar menutup sambungan telpon kemudian tersenyum menyeringai. "Liat aja, Bang. Saya akan merebut semua yang Abang miliki, perusahaan, rumah ini dan istri Abang sendiri. Semua itu memang milik saya dari awal," gumamnya penuh rasa dendam. *** Sementara itu di ruang makan, Jayden dan Stela tengah menikmati sarapan pagi berupa roti tawar lengkap dengan slay kacang sebagai isinya. Jayden menggigit setiap potongan hingga roti yang berada di telapak tangannya benar-benar habis tidak bersisa. Sedangkan roti milik Stela nampak masih utuh hanya ujungnya saja yang baru dia gigit sedikit. Stela menundukkan kepala menatap piring berwarna putih di mana sebagian besar sarapan miliknya masih mengisi di sana. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan kepada suaminya ini, tapi bibir seorang Stela seperti tercekat, rasanya sulit sekali untuknya mengeluarkan suara. "Apa bener Mas Jayden udah tau tentang perasaan Akbar? Ko dia biasa aja ya? Apa Akbar bohong tentang masalah itu? Ya Tuhan, bagusnya tanya Mas Jayden apa jangan ya?" batin Stela benar-benar larut dalam lamunan panjangnya. "Stela," sapa Jayden mengerutkan kening, tapi sapaannya sama sekali tidak ditanggapi oleh istrinya. "Stela Manjalita!" Jayden menaikan nada suaranya membuat Stela sontak menoleh dan menatap wajah pria itu sekaligus menyudahi lamunan panjangnya. "Hah? Ka-kamu manggil aku, Mas?" tanya Stela dengan wajah polos. "Di meja makan itu gak boleh ngelamun. Itu rotinya kenapa gak di makan? Kalau kamu gak suka, minta sama Bibi buat ganti sama menu yang lain," ujar Jayden dingin. "Ini mau aku makan ko, Mas," jawab Stela lalu meraih kemudian menggigit roti yang semula berada di atas piring. "Sebenarnya kamu ngelamunin apaan sih?" tanya Jayden. "Aku ngelamun?" Stela lagi-lagi dengan wajah polos. "Astaga, Stela. Dari tadi itu kamu bengong aja lho, hati-hati kesambet! Saya gak mau punya istri gila!" Stela menatap sinis wajah suaminya lalu kembali menggigit roti miliknya dengan perasaan kesal. Mulut suaminya ini benar-benar pedas bahkan lebih pedas dari yang namanya cabe setaan. Namun, wanita itu sama sekali tidak merasa tersinggung karena ia akan mencoba membiasakan diri untuk menerima sikap buruk suaminya, ucapan kasar yang kerap keluar dari mulut Jayden Cole, akan ia telan bulat-bulat. Jayden tiba-tiba saja merogoh saku celana berwarna hitam yang ia kenakan lalu meraih dompet dari dalam sana. Telapak tangannya perlahan mulai bergerak membuka lalu mengeluarkan dua buah kartu kemudian meletakkannya di atas meja. "Pakai kartu ini, Mas akan kirim uang belanja kamu ke kartu itu setiap bulannya," ujarnya membuat Stela yang tengah mengunyah makanan seketika mengerutkan kening. "Ini apa, Mas?" tanya Stela meraih dua kartu tersebut. "Masa gak tau sih itu kartu apa? Yang kuning itu kartu ATM, masih atas nama Mas. Nanti Mas bikinin yang baru buat kamu, sementara pake aja dulu yang itu," jawab Jayden. "Yang satunya lagi Black Card card." "Black Card?" Stela membolak balikan kartu berwarna hitam itu. "Iya Black Card. Kamu gak tau Black Card?" "Ya tau, masa gak tau. Emangnya aku sekatro itu apa," decak Stela kesal. "Maksud aku, buat apa kamu kasih aku Black Card ini, Mas?" "Ya buat belanja dong, gimana sih?" decak Jayden. "Kamu bebas belanja apapun yang kamu mau, semahal apapun itu Mas gak akan membatasi kamu. Mas gak mau liat kamu kucel. Pokoknya, kamu harus sering-sering perawan ke salon. Paham?" Stela hanya memutar bola matanya kesal. "Satu lagi, Mas gak mau kamu pake baju yang terlalu terbuka," tegas Jayden. "Mas gak mau ada laki-laki lain yang melihat tubuh seksi kamu ini. Ingat, Stela. Semua hanya di diri kamu itu milik saya, suami kamu. Jadi, jaga itu dan jangan biarkan siapapun menyentuh apa lagi menatap kamu dengan tatapan m***m. Oke?" Stela lagi-lagi memutar bola matanya kesal tanpa menimpali ucapan suaminya. "Ko malah gitu? Kamu denger gak apa yang Mas katakan?" tanya Jayden. "Iya, Mas. Iya ... aku denger," jawab Stela malas. "Kalau denger di jawab dong bukan malah dicuekin." Stela hanya menghela napas panjang. "Sekarang habisin rotinya, Mas gak mau kalau kamu sampe kurus kerontang." Lagi dan lagi, Stela hanya mengangguk-angguk kepalanya dengan wajah malas kemudian menggigit roti yang masih tersisa. Tanpa mereka sadari, Akbar melihat dan menyaksikan sikap ketus Jayden kepada istrinya. Pria itu berdiri di depan pintu ruang makan menatap wajah Stela penuh rasa iba. Akbar akhirnya menarik kesimpulan bahwa, kebahagiaan yang selama ini ditunjukkan oleh sepasangan pengantin baru itu hanya sandiwara semata. Tekadnya untuk merebut Stela pun semakin kuat, ia akan memperjuangkan wanita itu tidak peduli meskipun perang sodara akan terjadi nantinya. "Mas udah selesai, Mas berangkat ke kantor dulu," ujar Jayden berdiri tegak sementara Akbar segera bersembunyi di balik tembok. Pria itu menatap punggung Jayden yang melintas meninggalkan ruang makan. Setelah memastikan Jayden benar-benar pergi, barulah dia melangkah memasuki ruangan yang sama dengan Stela. Akbar menarik kursi lalu duduk tepat di samping sang kakak ipar. "Rotinya habisin, Mbak Stela," celetuk Akbar. Stela sontak membulatkan bola matanya. "Mbak Stela?" sahutnya merasa terkejut. "Iya, Mbak! Kenapa, salah? Kamu 'kan Kakak ipar saya," jawab Akbar santai seraya meraih satu buah roti tawar kemudian mengisinya dengan selai kacang. "Ya nggak salah juga sih," jawab Stela santai. "Saya 'kan udah bilang tadi, saya mau berteman dengan sama kamu, Mbak Stela. Saya janji gak akan membuat kamu ngerasa gak nyaman lagi. Kita jaga batasan di antara kita, saya adik ipar kamu dan kamu, Kakak ipar saya. Oke?" Stela seketika menunduk. "Ingat, Stela. Ipar adalah maut, jangan terlalu dekat sama Akbar kalau kamu gak mau terjebak nantinya. Kamu harus tetep jaga batasan, kalau perlu kamu gak boleh ngobrol sama dia. Jangan sampai perasaan kamu yang dulu balik lagi," batin Stela berbicara kepada diri sendiri. "Kenapa kamu diem aja, Mbak? Apa kamu gak mau berteman sama saya?" tanya Akbar menatap wajah Stela sayu. "Saya akan membuat kamu merasa nyaman sama saya biar kamu bisa membandingkan bahwa saya lebih baik dari Abang Jayden dan hanya sayalah pria yang cocok buat jadi suami kamu," batin Akbar tersenyum simpul. Stela tiba-tiba saja berdiri tegak. "Aku udah kenyang, silahkan lanjutin sarapan kamu, Akbar," ujarnya hendak melangkah. "Sebenci itukah kamu sama saya sampai berteman dengan saya aja kamu gak mau, Stel? Salah saya apa sama kamu?" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN