Bab 10. Permintaan Pacar Jovanka

1268 Kata
Sementara itu, saat pulang dari kantor, Luka langsung masuk ke apartemennya. Ia mengunci ganda pintu rumahnya karena tak ingin ada tamu tak diundang datang lagi malam itu. Yah, sesaat sebelum Jovanka datang, seseorang lebih dulu berkunjung—Jessica, ibu tirinya—dan berhasil membuatnya terkena serangan panik. Usai membersihkan diri, pria 29 tahun itu turun ke dapur. Kedua matanya melebar ketika melihat isi kulkas. Tidak ada apa-apa kecuali air mineral dan ia pun mulai meneguk air dingin tersebut. “Aku lapar,” gumamnya seraya meraba perut. “Andai saja Devon tidak sakit,” monolog Luka dengan nada merana. “Haruskah aku merepotkan Jovanka? Tapi, dia sepertinya sedang bertemu seseorang di apartemennya, dan mungkin saja itu pacarnya.” Tangan Luka dengan cekatan membuka laci konter dan mengeluarkan mie instan yang tinggal satu-satunya. “Ah, menyebalkan. Harus mulai berbelanja,” gumamnya kesal. Karena tak punya pilihan lain, ia pun mulai memasak. Ia bisa saja memesan makanan, tetapi hari ini ia begitu malas harus bertemu orang di depan pintunya. Luka kini duduk di meja makan dengan semangkuk mie instan yang mengepul. Ia menatap makan malamnya dan mulai menyantap. Pria itu tidak memiliki TV, jadi rumahnya benar-benar sepi. Luka tidak menghabiskan makan malamnya karena memang ia tidak terlalu suka makan mie instan. Karena ia hanya sendirian, Luka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku atau membaca agenda pekerjanya besok. Namun, kali ini ia memilih membuka sebuah album foto yang sudah lama ia simpan. “Aku rindu,” ucapnya seraya meraba foto dirinya dengan seorang laki-laki yang terlihat hanya berbeda beberapa tahun dengannya. “Apakah kau sudah tenang di sana? Apakah kau juga akan menyalahkan diriku atau kematianmu?” Luka terus bermonolog sementara otaknya memutar adegan masa lalu yang sangat ia benci. Ia meraba pipinya seolah masih bisa merasakan pedihnya pukulan Jessica di sana. Padahal, itu sudah 17 tahun berselang. “Dasar pembawa sial! Kau sudah membunuh kakakmu sendiri, Luka! Kau yang seharusnya mati, bukan dia!” teriakan Jessica kembali menggema di benak Luka. Luka baru berusia 12 tahun waktu itu dan ia hanya bisa menangis. Ia sudah kehilangan sosok kakaknya yang begitu dekat dengannya. Kakak Luka adalah satu-satunya anggota keluarga di rumah itu yang peduli dengannya. Dan kini, ia yang justru disalahkan atas kematian tragis sang kakak. "Aku bukan pembunuh." Luka ingat, ia berusaha menyanggah ucapan ibu tirinya. "Ya, kau adalah seorang pembunuh, Luka. Apakah kau lupa, kau sudah membuat ibumu bunuh diri. Kau juga menyebabkan suamiku terbunuh dalam kecelakaan. Dan sekarang, aku kehilangan putraku tersayang. Itu semua karena dirimu! Kau tidak layak berdekatan dengan siapapun! Kau harus diasingkan! Kau hanyalah bocah pembawa sial! Siapa yang dekat denganmu, hanya akan mendapatkan kesialan! Pergi! Pergi dari rumah ini!” Luka menutup telinganya ketika ingatan masa lalunya terngiang. Ia membenci masa lalunya yang mengerikan. Ia juga tidak menginginkan kematian ibu, ayah maupun kakaknya, tetapi semuanya seperti hendak menyalahkan dirinya. Padahal dulu Luka sama sekali tidak memahami bagaimana tragedi itu terjadi. *** Sepulang dari rumah sakit, Jovanka menaiki anak tangga dengan napas ngos-ngosan. Hari ini ia cukup sial karena lift di apartemennya mati. Ini sering terjadi karena Jovanka menyewa apartemen dengan tarif pas-pasan. Apartemen itu lebih mirip rumah susun dan Jovanka menyewa lantai teratas karena selain paling murah, ia juga bisa menikmati pemandangan dari puncak bangunan. Sampai di lantai atas, Jovanka mendapati David sedang duduk sambil membaca koran. “Hai!” sapa Jovanka sambil mendekati pintu. “Sori lama.” Ia melemparkan senyuman lebar pada David. “Mobil siapa yang kau bawa?” tanya David yang sedari tadi melongok ke bawah untuk melihat kedatangan Jovanka. “Itu mobil bosku,” jawab Jovanka yang kini sudah melangkah masuk ke apartemennya. “Ayo masuk!” David membuang napas panjang. Ia mengikuti langkah Jovanka dan begitu masuk ke rumah, ia langsung memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Jovanka membelalak tetapi ia berusaha bersikap biasa karena menyadari ia sudah setahun lebih berpacaran dan sudah kalah telak dari pasangan Arilla dan Devon. "Mungkin ini bukan masalah, aku bisa memulai untuk naik ke level selanjutnya dengan David," pikirnya. Namun, ternyata ia tidak cukup nyaman. Apalagi David memeluknya secara tiba-tiba. “Jo, aku rindu sekali,” kata David sambil menciumi tengkuk Jovanka yang tertutup oleh rambut panjang Jovanka. “Dave, kita sudah ketemu tiga hari yang lalu,” kata Jovanka. “Aku mau ganti baju dulu, aku dari rumah sakit. Kau duduk saja, aku ambilkan minuman.” David mendengkus pelan. Susah sekali mendapatkan tubuh Jovanka, pikirnya. Namun, ia memutuskan untuk mengalah dan melepas pelukannya. “Aku ambil sendiri saja. Kau bisa ganti baju. Jangan lama-lama.” Jovanka mengangguk, ia membiarkan David ke dapur untuk mengambil minuman dan ia segera ke kamar—menguncinya—dan berganti pakaian. “Sampai kapan kau akan bersikap kaku begini, Jo?” tanya David saat Jovanka bergabung dengannya di ruang depan. Ia menatap Jovanka dengan ekspresi mencemooh. Ia sudah terlalu kesal dengan sikap Jovanka padanya. “Apa maksudmu?” Jovanka pura-pura bodoh, ia tahu yang diinginkan pacarnya adalah hal-hal yang ia hindari selama ini. “Kau tahu, kita sudah pacaran selama setahun lebih dan kau bahkan belum membiarkan aku menciummu,” kata David sengit. Jovanka menelan keras. “Kita bisa melakukannya setelah menikah. Tapi aku mau bekerja dulu, paling tidak setelah aku cukup mapan.” “Kau bercanda ya?” tukas David. “Kau tahu, mungkin rumor itu memang benar. Kau hanya menyukai pria-pria kaya yang sudah menikah!” “Itu tidak benar! Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku, Dave? Aku dilecehkan waktu itu. Aku yang jadi korban dan kau ... kamu percaya dengan gosip murahan itu? Dia yang memeluk dan meremas bokongku! Aku tidak berhasrat dengan pria tua itu!” pekik Jovanka tak terima. Ia tidak menyangka, pacarnya akan menilai dirinya begitu rendah seperti ini. “Lalu apa maksudmu pulang dengan mobil mewah bosmu? Kau juga menggoda bos barumu ya?” tanya David dengan nada meledek. "Apa dia juga pria tua kaya yang bisa kau goda?" “Itu sama sekali tidak benar, Dave!" sergah Jovanka. "Aku tidak mengira kau akan begini. Kau tahu, aku hanya menyukaimu dan hanya ingin bersamamu. Lagipula bos baruku tidak bisa digoda, dia pria aneh.” David tertawa mengejek. Ia berdiri kemudian. “Kau sangat menyebalkan! Apa benar, kita berpacaran? Aku sudah bertahan selama setahun bahkan untuk berciuman saja kau menolakku. Aku merasa terhina, asal kau tahu!” “Kau tidak perlu merasa seperti itu,” kata Jovanka yang tidak ingin pacarnya itu marah. “Begini, aku sudah memikirkannya. Kita bisa melakukannya perlahan-lahan, Dave. Aku mohon, jangan pergi seperti ini. Kita bisa berciuman jika kau ingin.” Jovanka merasa jantungnya hendak meledak kali ini, karena tiba-tiba David sudah berada dekat di depannya. Satu tangan David berada di tengkuknya dan satu lagi menarik pinggangnya. “Benarkah?” tanya David dengan nada menggoda. Jovanka tidak bergerak, ia merasa sangat gugup. Bayangan bagaimana Devon berciuman dengan Arilla kembali hadir, rasanya tidak akan sulit, pikirnya. Namun, kenapa sekarang saat David ada di depannya, ia justru merasa takut. David terlihat begitu ganas dan liar, yah, ia takut David justru menginginkan hal-hal selain ciuman dengannya. “Aku yakin, kau sudah pernah melakukannya dengan bos-bosmu. Benar? Kenapa kau bersikap sangat polos seperti ini di depanku?” David melepaskan tubuh Jovanka dengan mendadak. Ia bahkan tidak mempedulikan saat Jovanka terduduk gemetar akibat ulahnya. "Dave, itu tidak benar. Aku bukan wanita seperti itu," kata Jovanka membela diri. "Seharusnya kau percaya padanya!" “Aku pergi saja, aku kesal padamu, Jo!” “Dave!” panggil Jovanka saat David sudah mencapai pintu depan. “Datang ke apartemenku malam Minggu nanti jika kau tidak ingin putus denganku. Aku ingin kau memberikan apa yang aku inginkan malam itu!” ancam David sebelum ia membalik badan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN