Bab 9. Jovanka VS Arilla

1251 Kata
“Ya, ayah Arilla adalah pemilik perusahaan penyalur tenaga bersih-bersih di berbagai instansi. Dia punya beberapa cabang di kota ini bahkan di luar kota. Jadi, Arilla bukan wanita seperti yang kau pikirkan,” kata Devon menerangkan. “Dia bekerja sebagai petugas cleaning service hanya karena sedang dihukum oleh ayahnya. Dia tidak akan lama berada di kantor Tuan Luka.” Jovanka ternganga dengan fakta yang baru saja ia dengar. “Tidak mungkin, kau bohong, 'kan?” “Tentu tidak, kau bisa bertanya pada Arilla secara langsung,” ucap Devon. “Itu memalukan. Aku menuduh yang tidak-tidak,” kata Jovanka penuh sesal. “Tapi, Kak, kau tidak pantas bersama gadis kaya seperti dia. Kita bukan dari kalangan atas, kau tahu?” “Jangan khawatir, aku ini asisten Tuan Luka. Kau tidak akan menyangka berapa banyak kekayaaan yang aku miliki sekarang,” ucap Devon dengan pongah. Jovanka mendengkus mendengar nama Luka. Ia jadi ingat bagaimana kakaknya yang tengah sakit tapi harus bekerja keras. “Dia pria yang mengejutkan. Kau tahu apa yang terjadi semalam?” Jovanka mengawali ceritanya tentang bagaimana ia menyelamatkan nyawa Luka, tetapi ia tidak menceritakan bagian ia memberikan napas buatan. Ia tak ingin Devon salah paham atau marah padanya. “Apa? Kau benar-benar melakukannya? Kau menyentuhnya?” Devon tampak ngeri sekarang. Ia menatap wajah Jovanka seolah sedang mengecek apakah ada sesuatu yang bakalan muncul di sana. “Kenapa sih? Aku seratus persen baik-baik saja! Kenapa memangnya kalau aku menyentuh Tuan Luka?” tanya Jovanka penasaran. “Tidak ada, hanya saja, kurasa kau orang pertama yang melakukan itu padanya,” kata Devon. Ia menepuk bahu Jovanka. “Untung saja dia tidak menyerangmu. Dia bisa kaget dan menyerang seseorang secara tiba-tiba.” “Benarkah? Kau pernah melihat dia mengamuk?" tanya Jovanka. Devon mengangguk. “Dia memang aneh, tapi sebenarnya dia baik dan selalu takut berada di tempat yang banyak orang. Dia kesepian dan tidak memiliki siapa pun yang mau dekat dengannya karena rumor itu begitu subur menyebar.” “Dia tidak terlalu kejam setelah aku mengenalnya. Kenapa semua orang berkata dia pembawa sial hanya karena sentuhannya? Aku agak terkejut dengan kejadian di Mall Pelangi tadi. Aku kira dia akan mengusir keluarga penjual makanan itu. Tapi, kau memberinya ide untuk memindahkannya ke Lokari Street?” Devon menggeleng pelan. “Itu ide tuan Luka. Aku hanya mengurus pemindahannya.” “Benarkah?” Jovanka terkesima sementara Devon mengambil buket bunga dari Luka. “Dia orang yang baik, Jo. Dia benar-benar kasihan jika kau tahu ceritanya,” ucap Devon sambil mengamati bunga mawar merah yang ada di pangkuannya. “Tapi jangan bertanya padaku, aku tidak akan cerita. Kau mungkin akan tahu sendiri jika kau bertahan di sisinya untuk waktu yang lama.” “Ya, aku akan bertahan selama mungkin meskipun ini menyebalkan. Lagipula, ini hanya 4 bulan! Aku penasaran dengan dirinya yang aneh,” kata Jovanka. Ia tersenyum melihat Devon memainkan buket bunga mawar merah itu. “Aku kira bunga itu untuk Bella. Jadi aku memilih bunga mawar merah. Sori, Kak!” “Kau bahkan bertemu Bella? Kau baik-baik saja?” tanya Devon penuh perhatian. “Ya, aku tak apa meskipun ia mencelaku perihal apa yang terjadi di kantor ayahnya. Untung saja, tuan Luka tidak terpengaruh dengan ceritanya. Aku tak mau dia menganggapku sebagai w************n hanya karena aku menyentuhnya tanpa izin semalam,” kata Jovanka. Devon mengangguk. Dalam hati ia agak khawatir karena baru dua hari adiknya sudah melakukan kontak fisik pada Luka. Ia berharap adiknya akan baik-baik saja karena ia tak mau adiknya menjadi orang yang akan terluka jika berhubungan lebih dengan Luka. “Ehm, kau akan disini sampai malam?” tanya Devon mengalihkan pembicaraan. “Eii! Kau ingin berduaan lagi dengan Arilla?” tanya Jovanka yang masih setengah jengkel. “Tidak juga, kupikir kau lebih baik beristirahat setelah seharian bekerja,” kata Devon cengengesan. “Bagaimana kabar pacarmu? Kau tidak pernah membahasnya lagi sekarang.” “David? Ehm, dia sedang menungguku di apartemen,” jawab Jovanka santai. “Kalau begitu cepat pulang!" suruh Devon. "Dia pasti ingin bertemu denganmu.” “Ya, tapi aku lebih mengkhawatirkan dirimu, Kak,” kata Jovanka sungguh-sungguh. "Ibu juga akan datang ke sini, 'kan? Aku rindu ibu." “Jo, aku baik-baik saja dan akan segera pulang. Aku bahkan bisa sambil bekerja di sini. Ibu tak akan datang hingga malam,” kata Devon meyakinkan. “Pulanglah, jangan abaikan pacarmu nanti dia diambil wanita lain.” Jovanka melotot seketika. Ia langsung berdiri dan memukul d**a Devon. “Dia tidak akan selingkuh! Dia sangat menyukaiku,” kata Jovanka jengkel. Cengiran lebar terlihat di wajah Devon. “Yah, kurasa begitu. Apakah dia akan bermalam di apartemenmu?” “Tidak! Tidak akan,” kata Jovanka malu-malu. “Tidak usah bohong, kita sudah sama-sama dewasa, Jo. Pasti itu alasanmu memilih tinggal di apartemen sendiri, 'kan? Kau ingin menghabiskan malammu dengan David secara bebas, 'kan?" tanya Devon sambil tertawa. “Tentu saja tidak,” ucap Jovanka cepat. “Aku bukan gadis seperti itu, tahu!” Wajah Jovanka semakin memerah karena Devon yang menertawakannya. Tentu saja Devon tidak percaya dengan ucapan Jovanka karena ia mengira adiknya itu sudah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang dewasa pada umumnya. “Aku pulang saja lah! Ibu akan kemari sebentar lagi, jangan asyik b******u jika kau tidak ingin dinikahkan secepatnya!” gertak Jovanka. “Aku mengerti, adikku sayang!” Jovanka yang tidak mau diledek lagi akhirnya keluar dan menjumpai Arilla masih duduk di kursi tunggu pasien. Karena merasa bersalah telah menuduh Arilla, ia memutuskan untuk meminta maaf sekaligus berkenalan. Ia mendekati Arilla lalu mengulurkan tangan. “Maaf, sudah kasar padamu,” kata Jovanka. "Aku Jovanka, adik Devon yang kadang bersikap protektif padanya." Arilla menyambut tangan Jovanka. "Ya, salam kenal. Aku Arilla, pacar baru Devon. Senang berkenalan langsung denganmu, Devon banyak cerita tentangmu,” kata Arilla sambil tersenyum. Jovanka meringis lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ehm, kau pacar baru Devon? Ah, aku jadi penasaran, sudah berapa lama kalian pacaran?” Arilla yang tadinya duduk kini berdiri dan Jovanka baru sadar, wanita di depannya ini sangat cantik, tinggi dan bertubuh sangat sempurna. “Sudah satu bulan,” jawab Arilla membuat Jovanka melongo. “Apa baru sebulan dan kalian ... wahh!” Jovanka mendadak gugup karena sudah dua kali ia memergoki keduanya sedang bermesraan. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Sebaiknya aku pulang, Arilla. Hati-hati, ibuku akan datang sebentar lagi. Jangan sampai kalian ketahuan. Ibuku agak galak." “Aku mengerti, aku bisa bersikap baik, kok! Kau tenang saja. Hati-hati di jalan.” Arilla tersenyum ceria lantas masuk ke ruangan Devon. Jovanka menggeleng. Ia tidak mau mengintip atau menguping apa yang ada di dalam ruangan itu lagi. Jadi, cepat-cepat ia memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit meskipun ia belum bertemu dengan ibunya. Jovanka yang kini masuk ke mobil Luka terduduk dengan mata kosong. Ia mencerna apa yang baru saja ia pelajari. Bahkan Devon dan Arilla yang baru berpacaran satu bulan sudah melakukan ciuman dan mungkin hal-hal lain yang tidak ingin ia bayangkan. Apakah ia terlalu polos atau bodoh dengan caranya berpacaran? Benarkah ia terlalu kolot selama ini? “Haruskah berciuman?” gumam Jovanka sambil meraba bibirnya. Jovanka sudah beberapa kali punya pacar dan tidak pernah lebih dari satu tahun, ia selalu putus saat pacarnya menginginkan sesuatu yang lebih darinya, termasuk ciuman. Baru David yang rasanya sudah bertahan setahun dengan sikapnya yang seperti ini. Dan David rasanya cukup setia. Ia tidak pernah selingkuh meskipun mereka tidak pernah berciuman. Jovanka menggeleng pelan, lebih baik ia menemui David sekarang juga! Ia tak tahu, bahwa di apartemennya David berniat menuntut lebih banyak darinya malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN