Jovanka berusaha mengejar David, tetapi sayangnya pria itu dengan cepat tak terlihat lagi. "Apa yang David inginkan? Dia ingin tidur denganku?"
Jovanka menyugar rambutnya dengan gelisah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa David sangat serius menginginkan tubuhnya. Selama ini David terlihat cukup sabar. Ataukah ia yang sudah keterlaluan dan kaku sebagai seorang wanita?
"Apa aku harus mengalah?" Jovanka masih merenung. Ia mengepalkan tangannya. Ia tak ingin putus dari David, jika ia putus ibunya akan memaksanya menikah dengan pria lain yang tak ia sukai. Namun, ia juga merasa kecewa dengan David yang menuduhnya macam-macam.
"Kenapa David menganggap aku sebagai wanita seperti itu? Padahal, aku benar-benar menjaga diriku untuknya setelah menikah nanti."
Sementara Jovanka masih berpikir keras, David yang sedang meninggalkan apartemen Jovanka kini tersenyum tipis. Ia tidak bisa bersikap lemah lagi di depan Jovanka. Ia sudah lama menahan diri untuk tidak memaksa Jovanka menyerahkan tubuhnya. Dan kini sepertinya ancaman darinya akan berhasil. Jovanka tidak akan mau putus.
Sebentar lagi, David akan mendapatkan tubuh menawan Jovanka. Ia akan menjadi pria pertama yang menikmati tubuh itu, pikirnya. Dengan senyuman lebar, David menuruni anak tangga.
***
Keesokan harinya, Jovanka tidak bisa berkonsentrasi ketika bekerja karena ulah David semalam. Pria itu membuatnya kelimpungan karena tidak bisa dihubungi. Yah, di luar sana David tengah menertawakannya yang begitu polos karena sebentar lagi ia yakin, Jovanka akan jatuh ke dalam perangkapnya.
“Sial, kenapa David semarah itu padaku?” gumamnya saat ia duduk di depan komputer. “Benar, aku tidak ingin putus darinya. Devon saja yang baru sebulan pacaran sudah sepanas itu. Aku pasti juga bisa. Aku akan memberinya kejutan lebih cepat.”
Jovanka meraih cermin kecil di sakunya, ia memeriksa wajah cantiknya yang dipoles dengan riasan tipis dan mulai memanyunkan bibirnya seperti orang yang hendak mengecup sesuatu. Andai saja Devon ada di meja seberangnya, pasti ia akan ditertawakan sekarang juga.
“Hanya ciuman, itu tidak akan sulit,” batinnya.
“Apa yang kau lakukan?”
Jovanka mendongak saat mendengar suara merdu seorang wanita diikuti ketukan keras di mejanya. Ia terkaget dengan presensi Bella yang tiba-tiba.
“Oh, Nona Bella,” ucap Jovanka gugup. Ia berdiri dan membungkuk sekilas.
“Kau bersantai di sini sambil melamun, ha? Bagaimana kau bisa menjadi sekretaris?” ledek Bella sambil menatap Jovanka dari atas hingga ke bawah. “Ah! Yang penting kau bisa menggoda bosmu dengan tubuhnya itu, ya? Dulu, kau menggoda ayahku dan sekarang kau ingin menggoda tunanganku?”
Jovanka mengepalkan tangannya. "Untuk apa aku menggoda Luka yang sedingin es beku itu?" pikirnya.
“Maaf, tapi Anda salah paham. Ayah Anda, Tuan Jonathan yang melakukan tindakan senonoh pada saya, bukan sebaliknya,” kata Jovanka tak ingin ditindas.
Bella mendengkus kesal. Tentu saja ia lebih percaya pada ayahnya dibandingkan sekretaris ini. “Luka di dalam? Aku mau masuk!”
“Anda sudah membuat janji?” tanya Jovanka yang tak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu.
“Aku bukan orang asing, aku tunangan Luka! Kenapa aku harus membuat janji!” gertak Bella tak suka. “Dia di dalam, 'kan?”
“Ya, ayo saya antar Anda masuk,” ucap Jovanka yang tak ingin terjadi keributan.
Bella spontan mendorong bahu Jovanka. “Tidak perlu! Aku bisa masuk sendiri.”
Jovanka membuang napas panjang saat melihat Bella menerobos masuk ke ruangan Luka. Ia yakin, di dalam sana akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Namun, ia memutuskan untuk duduk saja karena ia kesal dengan ucapan Bella.
“Luka, kau sudah makan siang?” tanya Bella begitu melihat Luka yang menatapnya tajam. Ia melempar senyum, tak peduli dengan reaksi Luka lalu menutup pintu rapat-rapat. “Aku membawakanmu makanan. Aku masak sendiri.”
“Aku tidak mau memakannya. Aku hanya makan apa yang disiapkan sekretasrisku,” kata Luka dingin.
Bella sangat kesal dengan ucapan Luka, tetapi Bella tidak mau mundur. Ia mendekati meja Luka tanpa ragu. Ia sudah bertekad untuk mendapatkan Luka seutuhnya. Ia tidak hanya mengincar status pertunangan atau pernikahan, ia juga ingin merasakan tubuh pria yang rumornya tak bisa dijamah itu.
“Mundur!” gertak Luka kaget. Ia tahu, Bella adalah wanita yang agresif tapi tak biasanya dia seperti ini. Biasanya dia masih bisa menjaga jarak.
“Jangan begini, Luka,” kata Bella. “Aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin kita lebih dekat.”
Melihat Luka tidak bereaksi, Bella mulai menurunkan kotak bekal di atas meja Luka dan membukanya. Aroma makanan yang super sedap menggoda penciuman Luka, tetapi Luka tidak tertarik sama sekali bahkan untuk meliriknya.
“Aku katakan padamu untuk mundur dan pergi dari ruanganku,” ucap Luka lagi. “Aku tidak suka kau ada di sini, pergi!”
“Tidak, Luka. Ayo kita makan bersama,” bujuk Bella. “Aku ikut kelas memasak dengan ibuku. Dan ini adalah hasilnya. Bukankah ini terlihat sangat enak. Ayo kita makan.”
Luka mendengkus keras, ia mulai memundurkan kursinya karena Bella bergerak memutari mejanya. Ia ingin memanggil Jovanka untuk mengusir Bella, tetapi tangannya tidak bisa menjangkau gagang telepon.
Dalam hati, Luka merutuk, "Apa yang dilakukan Jovanka? Kenapa Jovanka bisa membiarkan Bella masuk ke sini? Jika saja Devon ada di depan, ini tidak akan terjadi."
“Luka, apakah aku tidak cantik? Aku tidak seksi? Kau ini kenapa tidak tertarik sama sekali denganku?” tanya Bella yang hampir mencapai tempat duduk Luka.
Luka mengepalkan tangannya yang mulai basah, ia hampir meledak saat melihat Bella menjulurkan tangan ke wajahnya.
“Kau akan menyesal,” bisik Luka.
Dan tiba-tiba, Luka merasakan tangan lembut Bella di pipinya. Wanita itu tersenyum lebar karena merasa puas sudah bisa menyentuh pria dingin itu. Rupanya begini rasanya, tidak ada bedanya dengan menyentuh orang lain, pikir Bella. Mungkin itu hanya rumor belaka, bahwa Luka adalah pria tak tersentuh.
Namun, itu adalah pemikiran Bella yang sesaat. Karena sedetik kemudian, Luka berdiri dan mendorong tubuh Bella hingga membuat gadis itu tersungkur menghempas kabinet di dekat meja Luka. Luka bahkan melemparkan kotak bekal yang dibawakan Bella, pria itu tiba-tiba menggila di depan Bella yang meringis kesakitan.
Jovanka yang berada di luar tiba-tiba mendengar sesuatu menghempas pintu dari dalam. Ia mulai gusar, haruskah ia melihat masuk. Ia menahan diri beberapa saat, tetapi kemudian dia mendengar jeritan Bella.
“Apa yang terjadi?” monolog Jovanka panik.
Jovanka berdiri seketika. Ia mendorong pintu ruangan Luka. Jovanka langsung dikagetkan dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Ruangan itu berantakan, makanan berserak di lantai dan Bella meringis kesakitan memegang pipinya.
"Apakah Luka baru saja memukulnya?" batin Jovanka.
Kedua mata Jovanka beralih pada sosok Luka yang berdiri menjulang di depan Bella, tampak bahwa pria itu sedang sangat marah dan memegang piala besar di tangannya yang terangkat.
Jovanka berlari mendekati kedua orang itu. Ia merentangkan tangan ke depan dan menggeleng pada Luka yang sepertinya tengah bersiap untuk menyerang Bella.
“Jangan, Tuan,” bisik Jovanka. Ia mendadak merasa bersalah karena telah mengizinkan Bella masuk ke ruangan. Ia juga baru tahu Luka benar-benar bisa menyerang seseorang seperti yang dikatakan oleh Rensi dan Devon. "Jadi begini jika dia sedang marah," pikir Jovanka. “Tenang, Tuan.”
Luka tampaknya tak mau tenang. Kedua matanya menatap lurus Bella yang tergolek di atas lantai dengan gemetar. Luka membenci ulah Bella, ia ingin Bella tahu bahwa seharusnya gadis itu tak melawan kata-katanya, jadi ia harus mengakhirinya. Ia hampir mengayunkan piala di tangannya, tetapi sesuatu mendadak terjadi!
Jovanka mau tak mau memeluk tubuh kekar Luka ketika pria itu berusaha menerjang Bella. Awalnya ia kesulitan mempertahankan posisinya yang menahan berat tubuh Luka apalagi pria itu bergerak-gerak untuk maju—mungkin untuk menyerang Bella—tetapi kemudian piala di tangannya terlepas. Jovanka bisa merasakan napas naik turun yang begitu cepat Luka karena ia benar-benar menahan tubuh itu di dekapannya.
“Berhenti, Tuan Luka,” bisik Jovanka. Sekuat tenaga, ia menahan tubuh Luka tetap di pelukannya. Ia melirik Bella yang gemetar karena takut, marah sekaligus malu atas kejadian ini. “Nona Bella sebaiknya Anda keluar dari ruangan ini.”
Tadinya Bella ingin mengumpat, ia tidak rela jika tunangannya justru tenang di pelukan Jovanka alih-alih dirinya yang hanya bisa menyentuh pipi pria itu. Namun, karena ia merasa cukup terancam, ia memutuskan untuk segera keluar dari ruangan.
“Aku akan membalas semuanya!” geram Bella saat ia keluar dari ruangan. Ia meraba pipinya yang sakit karena kejatuhan benda yang ada di atas kabinet. “Bagaimana bisa Jovanka mendekati Luka? Aku tidak bisa membiarkan wanita itu!”