Bab 8. Menjenguk Devon

1315 Kata
Jovanka mengangguk. Ia bersyukur Luka mau mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan. Ia tak mau dituduh macam-macam lagi. Ia cukup tertekan dengan kejadian di perusahaan lamanya. Ia yang jadi korban, tetapi ia yang disalahkan oleh atasan. Semua orang bahkan lebih memilih percaya pada Jonathan dibandingkan dirinya. “Malam itu saya menemani tuan Jonathan untuk menghadiri pertemuan dengan klien," ujar Jovanka menceritakan masa lalunya. "Lalu?" Luka terlihat menyimak. "Acara itu diakhiri dengan minum-minum dan karaoke. Tuan Jonathan hampir mabuk dan dia tiba-tiba memeluk dan menyentuh bagian tubuh saya yang terlarang. Karena itu saya marah, saya memukul wajahnya. Setelah itu, saya dipecat dan dikabarkan bahwa sayalah yang berusaha mendekati Tuan Jonathan. Saya tidak tahu bagaimana gosip bisa berkembang secepat itu, tapi saya yang dipermalukan dan dia yang tidak berdosa.” “Aku sudah sering menjadi bahan gosip,” tukas Luka tanpa beban. “Aku tahu semua orang di kantor membicarakan aku. Aku tidak peduli. Kau tidak perlu memikirkan berita yang tidak benar tentang dirimu.” Jovanka mengerjap beberapa kali dan mengangguk. Ia tidak menyangka, tanggapan Luka cukup membuatnya terkesan. Sejak pagi tadi di Mall Pelangi, ia sudah cukup dibuat kaget oleh Luka yang rupanya tidak sekejam yang ia pikirkan selama ini. Jovanka merogoh ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Ia menatap nama pacarnya di layar ponsel dnegan berdebar. "Ah, kenapa David harus menelpon jam segini?" pikir Jovanka. Yah ini memang sudah bukan jam kerja—seharusnya—tetapi ia harus mengantarkan Luka pulang. “Angkat saja,” ucap Luka yang menyadari Jovanka tengah melirik-lirik ponselnya. “Asalkan tidak sampai kau membuat mobilku menabrak sesuatu.” “Ini tidak terlalu penting, Tuan,” kata Jovanka sambil memasukkan ponselnya kembali. Namun, ponsel itu kembali bergetar lagi dan lagi. “Maaf, Tuan Luka,” ucap Jovanka tak enak. Ia menoleh sejenak pada Luka yang tak memberinya respon apa-apa. Jadi, ia memutuskan untuk mengangkat panggilan David. “Halo, aku masih bekerja, Sayang.” Kedua mata Luka melebar ketika mendengar Jovanka memanggil seseorang dengan sebutan sayang. Sontak, ia mengangkat dagu untuk melihat Jovanka. “Aku di apartemenmu, bisa kita bertemu?” tanya David di seberang. “Kau sudah di apartemenku?” tanya Jovanka kaget. Luka yang hanya mendengar ucapan Jovanka semakin penasaran. "Apa dia sudah punya pacar?" pikir Luka dalam hati. “Ya, aku tunggu.” “Aku akan lama, Dave. Aku mau ke rumah sakit setelah ini. Devon sakit dan aku belum menjenguknya sejak tadi malam,” kata Jovanka. “Kau menolak bertemu denganku?” tanya David dengan nada suara tersinggung. “Bukan begitu, Sayang,” ucap Jovanka. “Aku sudah janjian dengan ibuku. Kau tahu aku tidak bisa menolak ibuku. Jadi, aku mungkin akan pulang agak malam.” “Oke, aku tunggu kau sampai pulang,” pungkas David. “Oh! Oke. Tunggu aku di rumah kalau begitu. Sampai jumpa!” seru Jovanka saat panggilan itu berakhir. Jovanka menoleh dan meringis karena tak enak dengan Luka. Namun, rupanya Luka terlihat tidak peduli sama sekali. “Kita mampir di toko bunga dekat apartemenku,” kata Luka yang ditanggapi dengan anggukan kepala Jovanka. Ia memalingkan wajahnya ke jalanan karena menatap Jovanka membuatnya sangat berdebar. Ia tak ingin sembarangan, Jovanka sudah punya pacar! “Bunga apa yang ingin Tuan beli?” tanya Jovanka saat ia memarkirkan mobilnya di depan toko bunga. “Terserah kau saja. Mana yang menurutmu bagus.” Jovanka tak tahu bunga apa yang diinginkan Luka, tetapi ia asal saja memilih bunga mawar merah. Ia mengira bunga itu untuk Bella sebagai permintaan maaf karena sudah meninggalkan pertemuan siang tadi. Namun, rupanya saat Luka hendak keluar dari mobilnya, ia berkata, “Berikan bunga itu pada Devon, katakan padanya jangan berlama-lama di rumah sakit!” *** Jovanka tiba di rumah sakit lebih dulu dibanding ibunya karena ternyata ibunya ada pekerjaan mendadak. Jadilah, kini Jovanka tengah bertanya pada petugas administrasi tentang kamar Devon. “Devon Reef? Dia ada di kamar VIP lantai 11, Nona. Tapi siapa Anda?” Jovanka agak kaget karena Devon ada di kamar VIP. Apakah Luka yang memesan kamar spesial untuk asisten pribadinya? “Saya adiknya. Bisa saya ke sana sekarang?” Dan kini, Jovanka yang tiba di depan kamar VIP cukup terkesima. Baru ia tahu ada ruangan sebagus ini di rumah sakit. Ia membuka pintu dengan cepat karena sudah mengkhawatirkan kondisi Devon. Namun, saat ia masuk, ia terkaget karena Devon tengah berpelukan mesra dengan seorang wanita. Bahkan ia bisa mendengar decakan bibir yang saling berpagutan itu. Jovanka berdehem keras. Ia agak gugup karena melihat adegan yang tak seharusnya lagi, tetapi kali ini ia tidak mau kabur. Devon sedang sakit dan rupanya ia asyik b******u di ruangan VIP ini? Wanita itu melepaskan pelukannya dan menatap Jovanka yang berkacak pinggang. “Halo, Jovanka!” Jovanka bisa melihat cengiran lebar di wajah Devon. Pria itu melambaikan tangan pada adiknya yang tengah memindai wanita di sebelah Devon. “Ini Arilla,” ucap Devon seolah menjawab rasa penasaran Jovanka. “Keluar!” pekik Jovanka pada Arilla yang membelalak. “Kakakku sedang sakit, dia butuh istirahat bukannya gangguan dari wanita sepertimu!” “Apa? Gangguan?” Arilla menatap Devon dengan kesal. “Keluar!” ucap Jovanka lagi. “Ibuku akan datang beberapa menit lagi dan kalian masih mau bermesraan di sini? Ah, pantas saja kau ada di ruang VIP. Supaya bisa berduaan? Kenapa tidak pergi ke hotel saja?” Devon membelai wajah Arilla dengan lembut lalu ia berbisik, “Adikku sedang kesal. Kau bisa keluar dulu, Sayang!” "Oke, Sayang." Usai mendaratkan kecupan di bibir Devon, Arilla akhirnya keluar dari kamar pacarnya itu. Tinggallah Jovanka yang mencebik. Ia meletakkan buket bunga dari Luka dan duduk di bangku kecil yang tadinya dipakai oleh Arilla. “Kenapa kau pacaran dengan gadis seperti itu?” gertak Jovanka. “Kenapa? Dia cantik!” protes Devon yang tak terima. Ia melirik buket bunga dari Jovanka. “Kau membawa bunga? Tumben kau menghamburkan demi bunga untukku.” “Itu dari Tuan Luka,” jawab Jovanka. Ia masih kesal dengan keberadaan Arilla tadi. “Kak, dia bukan perempuan yang tepat untukmu. Aku tahu dia sangat cantik. Tapi dia ... dia hanya memanfaatkan dirimu, 'kan?” “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Devon tercengang. “Tentu saja! Dia memakai barang-barang bermerek. Bagaimana dia membelinya? Kau membelanjakan apa yang dia inginkan hanya karena dia cantik?” cecar Jovanka yang tadi sudah melihat bagaimana cara berpakaian Arilla. Baju mahal dan tas branded yang ia bahkan tak sanggup membelinya dengan gaji tahunannya. “Kau salah paham, Jo,” kata Devon menjelaskan. “Dia membelinya sendiri.” “Bohong! Aku tahu dia hanya seorang petugas cleaning service di kantor. Bagaimana bisa kau pacaran dengannya, Kak?" protes Jovanka tanpa ampun. Bibirnya mencebik lucu hingga Devon merasa gemas. Sebenarnya Jovanka tidak keberatan dengan pekerjaan seseorang. Namun, melihat bagaimana Arilla bergaya parlente membuatnya curiga bahwa wanita itu hanya ingin uang dari kakaknya. Padahal kakaknya sudah bekerja keras selama ini. Bahkan sakit saja ia masih menyempatkan diri untuk membuat laporan pada Luka. Ia tidak terima jika Devon hanya dipermainkan oleh seorang wanita. “Bagaimana kau ... kau tahu? Kau baru datang ke kantor kemarin dan hari ini Arilla tidak bekerja. Kau melihat kami bersama kemarin? Ah, tidak mungkin!” Devon menatap Jovanka yang memerah wajahnya. “Jadi, siapa yang kemarin b******u mesra di bordes tangga darurat? Apakah itu pasangan hantu di kantor?” Jovanka menatap Devon yang seketika membelalak. “Kau melihat kami di sana?” tanya Devon kaget. Jovanka berdecih kesal. “Jangan pacaran dengannya. Kau hanya dimanfaatkan gadis itu, kan?” “Jo, deng—” “Apa? Kau mau membelanya?” Jovanka meraih tangan Devon. “Kau bisa mendapatkan gadis yang lebih baik daripada dia, Kak. Kau sudah bekerja keras selama ini. Aku tidak ingin kau dipermainkan oleh Arilla ataupun siapa namanya itu! Pokoknya segera putus saja!” “Jo, kau benar-benar salah paham. Arilla bukan petugas cleaning service. Dia putri keluarga yang kaya raya,” ujar Devon dengan seringaian di wajahnya. “Benarkah?” tanya Jovanka tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN